Tantra menatap istrinya dalam-dalam. Nada langsung menunduk. Pemuda itu menghela napas perlahan. "Mbak, boleh kusimpan lagi sendok ini?"
Nada hanya mengangguk. Tantra tersenyum dan meletakkan sendok itu ke habitatnya. Setelah itu, ia kembali menemui istrinya.
"Aku tidak pernah lupa, "ujarnya sambil meraih tangan Nada dan mengajaknya duduk di kursi dapur, "Belum pernah aku melihat perawat yang begitu lembut dan penuh perhatian kepada pasien, sepertimu."
Nada mengangkat wajahnya. Ia pun tersenyum. "Pasien kan orang sakit, Mas, "tukasnya lembut, "tidak sepantasnya kita tidak memberi perhatian dan kasar terhadap mereka."
"Itu yang membuatku kagum. Kamu yang paling sabar menghadapi mereka."
"Biasa saja. Memang seharusnya begitu."
"Tapi...."
"Tapi apa?"
"Setelah kita menikah, aku baru tahu kalau istriku ini pemalu luar biasa. Ini sudah berapa bulan?"
Nada menggeleng. "Tolong, jangan tanyakan itu."
Tantra memilih untuk mengalah.
Terdengar azan Magrib dari mesjid perusahaan. Tantra bergegas melepas kaos kakinya untuk mengambil air wudhu. Setelah salat Magrib, ia berniat pulang.
Keputusan Banu sudah mantap. Ia ingin melamar Meyra. Betapa memesona gadis itu. Belun pernah Banu melihat gadis secantik Meyra. Tetapi lebih dari itu, ia jatuh hati pada sosok yang lembut dan bersahaja itu.
Tentu saja kedua orang tua menyambut gembira dan bahagia dengan keputusan anak laki-laki mereka. Selama ini, Banu hampir tidak mempunyai teman perempuan lantaran gadis-gadis itu sudah ketakutan lebih dulu karena mendengar kisah masa lalunya.
Tetapi sayangnya, justru Meyra yang tampak ragu-ragu ketika Banu menyampaikan hal itu.
"Serius?"
Banu mengerutkan kening, "Apa aku kelihatan main-main?"tukasnya balik bertanya.
"Maaf, tapi kau belum tahu tentang diriku."
"Meyra, aku tahu kau gadis yang baik. Bagiku itu sudah cukup."
Meyra menunduk. Bukan itu, Banu! Bukan itu!jeritnya tetapi hanya dalam hati. Seandainya kau tahu kejadian yang menimpaku, apa kau masih mau melamarku?! Apa kau sudi datang ke rumahku dan menyatakan niatmu itu seperti baru saja?!
Banu kebingungan. Meyra beranjak meninggalkannya di ruang tamu.
Sesampai di rumah, Tantra tertegun mendapati Nada sedang berkutat dengan majalah dan surat kabar di ruang tengah. "Asalamualaikum, "sapanya.
"Waalaikumussalam, "Nada cepat berdiri dan mengambil tas kerja suaminya.
"Mbak, kamu sedang apa?"
Nada meletakkan tas suaminya di meja.
Tantra duduk di karpet mengamati halaman yang terbuka. Ia pun tercengang. Apa-apaan ini?
Kamis, 29 Desember 2011
Rabu, 28 Desember 2011
Di Arung Jeram Cinta
Suami lebih muda dan pantas dijadikan adik. Hm, Nada tersenyum geli teringat betapa ia dulu terpikat kepada remaja yang belum lulus SMA beberapa tahun yang lalu. Cinta tak mengenal usia sehingga mereka pun menikah.
Tetapi, jujur sering Nada tidak percaya diri karena perbedaan usia itu. Sebaliknya Tantra biasa-biasa saja (atau laki-laki memang ditakdirkan memiliki kepercayaan diri lebih tinggi dibanding perempuan?) dan kadang-kadang seenaknya saja mendekap pinggangnya padahal mereka berada di tempat yang bisa terlihat orang banyak.
Dua hari ini hubungannya dengan Tantra sedikit menegang. Nada sangat lelah mengurus bayi dan rumah tangga mereka. Tetapi tampaknya Tantra tak mau mengerti dan kecewa karena ketika pulang melihat istrinya awut-awutan.
"Mbak, kenapa bajumu kusut?"
"Baju yang tadi kena ompol Arsya, jadi aku ganti."
"Lalu kenapa kusut?"
"Aku belum setrika baju satupun."
Tantra mengerutkan kening. "Lalu seragamku besok?"
"Belum, aku belum sempat."
"Mbak...."
"Mas, aku repot."
Tantra tak berkata-kata lagi.
"Mas, perlu apa lagi? Biar kuambilkan."
Tantra menggeleng. "Aku tidur saja, "sahutnya beranjak dari duduk. Kecewa.
Nada menarik napas panjang. Jadi, ternyata laki-laki memang ditakdirkan egois dan mau menang sendiri. Kalau dihitung-hitung, berapa kali Tantra membantunya memandikan atau sekadar mengganti popok si Kecil? Rasanya hanya sampai hitungan lima jari. Itu pun hanya dua bulan awal kelahiran anaknya itu. Heran, bagaimana mungkin laki-laki bisa seegois itu? Padahal dia sendiri yang mulai dan menyebabkan...Nada menoleh ke arah bayinya yang asyik bermain-main dengan jari tangannya.
Hampir magrib tetapi Tantra masih duduk di ruang kerjanya. Di hadapannya laptop masih menyala. Laki-laki muda itu menatap gambar di layar yang menampakkan langit dan awan berarak.
Malas pulang. Begitulah perasaan Tantra. Untuk apa, toh Nada lebih memerhatikan si Kecil. Ah, diam-diam pemuda itu menyesal telah menjadi ayah.
Ponsel berdering. Dengan malas Tantra mengangkatnya. "Asalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Mas, kok belum pulang?"
Itu suara Nada. Tantra terdiam, tak tahu yang harus dijawabnya.
"Mas, masih marah, ya? Maafkan aku, aku memang salah, tidak seharusnya aku mengabaikanmu. Aku...maaf, sudah lama aku merasa kalau aku tidak pantas jadi istrimu...."
Tantra tersentak. Ia tak menyangka sedikitpun istrinya akan mengucapkan kata-kata seperti itu. "Mbak, kenapa kau berkata seperti itu?"
Tapi istrinya telah memutuskan hubungan.
Tantra tertegun. Tiba-tiba ia teringat semuanya. Malam penyebab kehadiran Arsya.
Semua bermula saat ia menyadari betapa menawan istrinya malam itu. Ketika itu Nada mengenakan gaun tidur kuning muda bermotif bunga-bunga jingga. Gaun tidur itu biasa saja, tetapi entah mengapa ia terpesona, ingin mencium istrinya, dan terjadilah apa yang terjadi.
Tantra menyimpan senyum di hatinya setiap teringat Nada yang sangat pemalu. Keesokan harinya istrinya itu melakukan pekerjaan rumah tangga dengan membisu. Tantra yang iseng tak kuat didiamkan begitu rupa. Tanpa permisi, ia mengambil sendok dari tangan istrinya.
Nada terpaku.
Tetapi, jujur sering Nada tidak percaya diri karena perbedaan usia itu. Sebaliknya Tantra biasa-biasa saja (atau laki-laki memang ditakdirkan memiliki kepercayaan diri lebih tinggi dibanding perempuan?) dan kadang-kadang seenaknya saja mendekap pinggangnya padahal mereka berada di tempat yang bisa terlihat orang banyak.
Dua hari ini hubungannya dengan Tantra sedikit menegang. Nada sangat lelah mengurus bayi dan rumah tangga mereka. Tetapi tampaknya Tantra tak mau mengerti dan kecewa karena ketika pulang melihat istrinya awut-awutan.
"Mbak, kenapa bajumu kusut?"
"Baju yang tadi kena ompol Arsya, jadi aku ganti."
"Lalu kenapa kusut?"
"Aku belum setrika baju satupun."
Tantra mengerutkan kening. "Lalu seragamku besok?"
"Belum, aku belum sempat."
"Mbak...."
"Mas, aku repot."
Tantra tak berkata-kata lagi.
"Mas, perlu apa lagi? Biar kuambilkan."
Tantra menggeleng. "Aku tidur saja, "sahutnya beranjak dari duduk. Kecewa.
Nada menarik napas panjang. Jadi, ternyata laki-laki memang ditakdirkan egois dan mau menang sendiri. Kalau dihitung-hitung, berapa kali Tantra membantunya memandikan atau sekadar mengganti popok si Kecil? Rasanya hanya sampai hitungan lima jari. Itu pun hanya dua bulan awal kelahiran anaknya itu. Heran, bagaimana mungkin laki-laki bisa seegois itu? Padahal dia sendiri yang mulai dan menyebabkan...Nada menoleh ke arah bayinya yang asyik bermain-main dengan jari tangannya.
Hampir magrib tetapi Tantra masih duduk di ruang kerjanya. Di hadapannya laptop masih menyala. Laki-laki muda itu menatap gambar di layar yang menampakkan langit dan awan berarak.
Malas pulang. Begitulah perasaan Tantra. Untuk apa, toh Nada lebih memerhatikan si Kecil. Ah, diam-diam pemuda itu menyesal telah menjadi ayah.
Ponsel berdering. Dengan malas Tantra mengangkatnya. "Asalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Mas, kok belum pulang?"
Itu suara Nada. Tantra terdiam, tak tahu yang harus dijawabnya.
"Mas, masih marah, ya? Maafkan aku, aku memang salah, tidak seharusnya aku mengabaikanmu. Aku...maaf, sudah lama aku merasa kalau aku tidak pantas jadi istrimu...."
Tantra tersentak. Ia tak menyangka sedikitpun istrinya akan mengucapkan kata-kata seperti itu. "Mbak, kenapa kau berkata seperti itu?"
Tapi istrinya telah memutuskan hubungan.
Tantra tertegun. Tiba-tiba ia teringat semuanya. Malam penyebab kehadiran Arsya.
Semua bermula saat ia menyadari betapa menawan istrinya malam itu. Ketika itu Nada mengenakan gaun tidur kuning muda bermotif bunga-bunga jingga. Gaun tidur itu biasa saja, tetapi entah mengapa ia terpesona, ingin mencium istrinya, dan terjadilah apa yang terjadi.
Tantra menyimpan senyum di hatinya setiap teringat Nada yang sangat pemalu. Keesokan harinya istrinya itu melakukan pekerjaan rumah tangga dengan membisu. Tantra yang iseng tak kuat didiamkan begitu rupa. Tanpa permisi, ia mengambil sendok dari tangan istrinya.
Nada terpaku.
Senin, 12 Desember 2011
Di Arung Jeram Cinta
Nada diam dengan perasaan kikuk. Ibu menatapnya dengan sorot mata yang mengatakan, 'Nah, apa kata Ibu dulu?' Tetapi mungkin hanya perasaannya saja sebab ternyata ibunya tak mengungkit-ungkit lagi masalah yang satu itu.
"Menurutmu, Tantra itu bagaimana?"
Entah mengapa tiba-tiba Nada merasa malu dengan pertanyaan itu. Ia memahami arah pertanyaan ibunya. "Maksud Ibu?"
Tia tersenyum geli. "Ah, pura-pura tidak tahu, ya? Kamu tahu maksud Ibu, kan?"
"Tantra selalu baik, Bu."
"Juga romantis?"Tia mengerling.
Pipi Nada bersemu merah seketika. Kalau yang satu itu jangan ditanya! Tantra sering memberinya kejutan yang tak disangka-sangka. Termasuk kejutan ketika dirinya dilanda curiga.
Tia menyimpan tawa dalam hati. Ia tak mau lagi menyalahkan putri sulungnya karena menikah dengan pemuda kemarin sore. Walaupun jujur, ia penasaran dengan cara suami belia, menantunya itu merayu sehingga Nada menyerah tanpa syarat.
Sebaliknya Nada, setiap teringat kembali malam penyebab lahirnya Arsya membuatnya malu bukan kepalang.
"Cobalah pahami posisi istrimu, "kali ini giliran Cakra menemani sulungnya.
"Ayah, aku sudah mencoba, "tukas Tantra, "tapi aku belum siap dengan semua ini."
Cakra mengerutkan kening. "Belum siap katamu? Kalau begitu, mengapa kamu hamili istrimu kalau belum mau punya anak?"
"Ayah, mana aku tahu kalau akhirnya Nada hamil?"
Mendengar jawaban Tantra, mengertilah Cakra bahwa sebenarnya putranya itu masih ingin berbulan madu lebih lama. Dasar masih muda. Diam-diam laki-laki empat puluh tujuh tahun itu jatuh iba kepada menantunya. Pastilah Nada banyak mengalah dan membujuk-bujuk suami yang lebih pantas menjadi adiknya itu kalau sedang uring-uringan.
"Menurutmu, Tantra itu bagaimana?"
Entah mengapa tiba-tiba Nada merasa malu dengan pertanyaan itu. Ia memahami arah pertanyaan ibunya. "Maksud Ibu?"
Tia tersenyum geli. "Ah, pura-pura tidak tahu, ya? Kamu tahu maksud Ibu, kan?"
"Tantra selalu baik, Bu."
"Juga romantis?"Tia mengerling.
Pipi Nada bersemu merah seketika. Kalau yang satu itu jangan ditanya! Tantra sering memberinya kejutan yang tak disangka-sangka. Termasuk kejutan ketika dirinya dilanda curiga.
Tia menyimpan tawa dalam hati. Ia tak mau lagi menyalahkan putri sulungnya karena menikah dengan pemuda kemarin sore. Walaupun jujur, ia penasaran dengan cara suami belia, menantunya itu merayu sehingga Nada menyerah tanpa syarat.
Sebaliknya Nada, setiap teringat kembali malam penyebab lahirnya Arsya membuatnya malu bukan kepalang.
"Cobalah pahami posisi istrimu, "kali ini giliran Cakra menemani sulungnya.
"Ayah, aku sudah mencoba, "tukas Tantra, "tapi aku belum siap dengan semua ini."
Cakra mengerutkan kening. "Belum siap katamu? Kalau begitu, mengapa kamu hamili istrimu kalau belum mau punya anak?"
"Ayah, mana aku tahu kalau akhirnya Nada hamil?"
Mendengar jawaban Tantra, mengertilah Cakra bahwa sebenarnya putranya itu masih ingin berbulan madu lebih lama. Dasar masih muda. Diam-diam laki-laki empat puluh tujuh tahun itu jatuh iba kepada menantunya. Pastilah Nada banyak mengalah dan membujuk-bujuk suami yang lebih pantas menjadi adiknya itu kalau sedang uring-uringan.
Sabtu, 10 Desember 2011
Di Arung Jeram Cinta
Mungkin benar kata orang bahwa sebaiknya perempuan menikah dengan laki-laki yang berusia lebih tua dan bukan sebaliknya. Alasannya, biar bagaimanapun dewasanya seorang laki-laki, dia tetap saja mau menangnya sendiri. Yang lebih tua, seumuran bapak mertuanya saja kadang-kadang tukang ngotot, enggan mengalah, apalagi yang ini.
Nada menghela napas perlahan. Benar, kata orang tuanya dulu, tujuh tahun bukan selisih yang sedikit.
Wanita itu merasa Tantra telah berubah. Ia heran padahal dulu suaminya tidak seperti itu. Sekarang Tantra seolah-olah tak mau tahu bahwa istrinya sudah kepayahan mengurus anak dan segala tetek bengek urusan rumah tangga. Tantra, suaminya mau menangnya sendiri.
Randy memang nekat. Belum lama ia mengenal Nila tetapi sudah bertekad bulat menikahi gadis itu. Gayung pun bersambut karena kebetulan Nila tipe gadis yang tidak suka berpacaran (takut kebablasan, begitu katanya).
Pasangan serasi. Mereka sebaya dan untungnya Randy lahir dua bulan lebih awal.
Randy tahu seharusnya ia bersyukur mendapatkan istri yang begitu taat. Ia tahu sangat tidak pantas kalau ia membanding-bandingkan istrinya yang berpostur pendek dan kurang pandai berdandan itu dengan gadis-gadis dan para wanita yang berpapasan bahkan satu ruangan di kantor.
Tetapi... Nila memang benar-benar membosankan.
Nada menghela napas perlahan. Benar, kata orang tuanya dulu, tujuh tahun bukan selisih yang sedikit.
Wanita itu merasa Tantra telah berubah. Ia heran padahal dulu suaminya tidak seperti itu. Sekarang Tantra seolah-olah tak mau tahu bahwa istrinya sudah kepayahan mengurus anak dan segala tetek bengek urusan rumah tangga. Tantra, suaminya mau menangnya sendiri.
Randy memang nekat. Belum lama ia mengenal Nila tetapi sudah bertekad bulat menikahi gadis itu. Gayung pun bersambut karena kebetulan Nila tipe gadis yang tidak suka berpacaran (takut kebablasan, begitu katanya).
Pasangan serasi. Mereka sebaya dan untungnya Randy lahir dua bulan lebih awal.
Randy tahu seharusnya ia bersyukur mendapatkan istri yang begitu taat. Ia tahu sangat tidak pantas kalau ia membanding-bandingkan istrinya yang berpostur pendek dan kurang pandai berdandan itu dengan gadis-gadis dan para wanita yang berpapasan bahkan satu ruangan di kantor.
Tetapi... Nila memang benar-benar membosankan.
Minggu, 04 Desember 2011
Di Arung Jeram Cinta
Kesibukan mengurus bayi dan rumah tangga membuat Nada nyaris tak sempat memperhatikan penampilannya lagi. Akhir-akhir ini wanita itu semakin tampak awut-awutan, setidak-tidaknya begitulah dalam pandangan Tantra.
Malam itu, dengan mata stengah terpejam, Nada mengambilkan segelas air putih dan sepiring kacang goreng yang diminta suaminya. Hari ini seharian Arsya rewel dan ia belum beristirahat sedetik pun.
"Arsya sudah tidur?"
Nada mengangguk. "Mas mau makan malam? Biar sayurnya aku panaskan dulu."
Tantra menggeleng. "Tidak, tapi aku ingin kita bicara, duduklah, "laki-laki muda itu menepuk sebelah tempat duduknya.
Meskipun heran, Nada menurut.
Afna menarik napas panjang mendengar cerita anak sulungnya. Wanita setengah baya itu sudah dapat menangkap kejenuhan dalam diri putranya. Dulu, beberapa hari sebelum pernikahan, Cakra pernah menyatakan keraguan itu.
"Bu, anak kita umurnya berapa dan calon istrinya berapa?"
Afna yang sedang memasang taplak meja ruang tamu menghentikan kegiatannya dan menoleh. "Kenapa, Yah? Apa karena calon menantu kita lebih tua usianya dibanding anak kita?"
Cakra mengangguk. "Tujuh tahun itu bukan selisih yang sedikit, Bu."
"Memang, Pak, tapi Ibu yakin kalau Tantra bisa jadi imam yang baik."
"Kalau istrinya tidak bisa jadi makmum yang baik?"
"Ah, Ayah terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti."
"Bu...."
Afna tersentak. Ah, rupanya ia melamun.
"Kalau aku perhatikan Nada tidak seperti dulu lagi."
"Tidak seperti dulu lagi bagaimana maksudmu, Nak?"
"Dia terlalu sibuk mengurus Arsya sampai-sampai waktu giliranku, dia tinggal mengantuknya saja."
"Lalu maumu apa, Tantra? Mengurus anak itu tidak mudah dan memang melelahkan. Belum lagi urusan pekerjaan rumah tangga yang seperti tidak habis-habisnya...atau jangan-jangan...."
"Jangan-jangan apa, Bu?"Tantra terkejut melihat tatapan ibunya yang penuh selidik.
"Jangan-jangan kamu menyesal sudah menikahinya."
"Menyesal?"
"Ya, sekarang baru kamu sadar kalau ternyata Nada terlalu tua untukmu. Mungkin kamu merasa kalian tidak sezaman karena itu Nada berubah. Tapi itu hanya perasaanmu."
"Perasaanku? Ibu, aku tidak mengerti."
"Nada tidak berubah, ia statis. Kamulah yang berubah apalagi kamu banyak menghabiskan waktu di luar rumah."
Mendengar penuturan ibunya yang panjang lebar itu, Tantra terpekur.
Malam itu, dengan mata stengah terpejam, Nada mengambilkan segelas air putih dan sepiring kacang goreng yang diminta suaminya. Hari ini seharian Arsya rewel dan ia belum beristirahat sedetik pun.
"Arsya sudah tidur?"
Nada mengangguk. "Mas mau makan malam? Biar sayurnya aku panaskan dulu."
Tantra menggeleng. "Tidak, tapi aku ingin kita bicara, duduklah, "laki-laki muda itu menepuk sebelah tempat duduknya.
Meskipun heran, Nada menurut.
Afna menarik napas panjang mendengar cerita anak sulungnya. Wanita setengah baya itu sudah dapat menangkap kejenuhan dalam diri putranya. Dulu, beberapa hari sebelum pernikahan, Cakra pernah menyatakan keraguan itu.
"Bu, anak kita umurnya berapa dan calon istrinya berapa?"
Afna yang sedang memasang taplak meja ruang tamu menghentikan kegiatannya dan menoleh. "Kenapa, Yah? Apa karena calon menantu kita lebih tua usianya dibanding anak kita?"
Cakra mengangguk. "Tujuh tahun itu bukan selisih yang sedikit, Bu."
"Memang, Pak, tapi Ibu yakin kalau Tantra bisa jadi imam yang baik."
"Kalau istrinya tidak bisa jadi makmum yang baik?"
"Ah, Ayah terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti."
"Bu...."
Afna tersentak. Ah, rupanya ia melamun.
"Kalau aku perhatikan Nada tidak seperti dulu lagi."
"Tidak seperti dulu lagi bagaimana maksudmu, Nak?"
"Dia terlalu sibuk mengurus Arsya sampai-sampai waktu giliranku, dia tinggal mengantuknya saja."
"Lalu maumu apa, Tantra? Mengurus anak itu tidak mudah dan memang melelahkan. Belum lagi urusan pekerjaan rumah tangga yang seperti tidak habis-habisnya...atau jangan-jangan...."
"Jangan-jangan apa, Bu?"Tantra terkejut melihat tatapan ibunya yang penuh selidik.
"Jangan-jangan kamu menyesal sudah menikahinya."
"Menyesal?"
"Ya, sekarang baru kamu sadar kalau ternyata Nada terlalu tua untukmu. Mungkin kamu merasa kalian tidak sezaman karena itu Nada berubah. Tapi itu hanya perasaanmu."
"Perasaanku? Ibu, aku tidak mengerti."
"Nada tidak berubah, ia statis. Kamulah yang berubah apalagi kamu banyak menghabiskan waktu di luar rumah."
Mendengar penuturan ibunya yang panjang lebar itu, Tantra terpekur.
Di Arung Jeram Cinta
Ternyata Rafa, gadis yang nekat dan suka mencampuri urusan dapur orang lain itu kembali datang. Tetapi, kali ini ia tidak sendiri. Ada yang menemaninya dan hal itu membuat Danar semakin gusar.
Bagaimana mungkin ia bisa melupakan kakak beradik pembawa naas bagi hidupnya ini? Sampai saat ini ia masih memendam kesumat karena Rafa pernah menendang bisulnya sampai pecah dan Tantra yang menendang dadanya sampai dua hari dua malam sesak napasnya. Tetapi kesumat itu lebih-lebih terhadap Tantra yang nyata-nyata telah memperistri mantan tunangannya.
"Ada apa lagi?"Danar berdiri di depan rumah sambil bertolak pinggang. "Kalian ini mengganggu jam istirahat orang. Apa, kalian tidak tahu sekarang jam berapa?"
"Mana ada orang tidur jam tujuh malam, kalau bukan bayi, "sahut Rafa sinis. "Memangnya kamu bayi, bayi raksasa?"
Bagi Tantra, ucapan adiknya sungguh lucu dan ia pun tertawa. Rafa mencubit lengan kakaknya perlahan memberi kode.
Tantra mengentikan tawanya dan segera memasang tampang serius. "Danar, kalau kau belum becus jadi suami, sebaiknya ikut pelatihan dulu."
"Sialan! Jangan menghinaku! Kamu cuma anak bau kencur yang sok tua!" Danar tampak sangat geram.
Tantra mengangkat bahu. "Terserah, "katanya, "tapi yang jelas, sampai detik ini aku belum pernah menjadikan istriku sansak tinju."
"Istri harus menurut suami. Kalau tidak menurut atau bersalah, dia layak dapat hukuman."
"Sampai seperti itu?"Tantra menunjuk Lisa yang duduk didampingi Rafa. "Kami akan membawanya ke dokter sekarang juga."
"Aku tidak akan mengizinkan kalian. Dia istriku."
"Siapa yang minta izinmu?" selesai berkata, Tantra berpaling ke arah adiknya, "Antar Mbak Lisa naik ke taksi."
"Iya, Mas. Ayo, Mbak, pelan-pelan saja."
"Tapi...,"Lisa memandang takut ke arah suaminya yang jelas-jelas melontarkan tatapan penuh ancaman. "Aku tidak mau merepotkan. Lagipula lukaku ini tidak seberapa, cuma memar kecil."
Tantra menghampiri wanita sebaya istrinya itu. "Mbak, kau tidak boleh terus begini. Jangan menyerah pada keadaan. Sekarang, kau harus mau untuk sembuh."
Lisa tampak ragu-ragu.
"Jangan takut, percayalah pada kami."
Perlahan wanita itu pun mengangguk. "Terima kasih, Dik."
Tanpa berkata-kata lagi, Rafa memapah Lisa. Tantra pun mengikuti.
"Tunggu!" Danar hendak menarik tangan istrinya tetapi Tantra lebih cepat. Ia sudah lebih dulu mengait kaki Danar sehingga laki-laki itu jatuh dan terjengkang tepat di bantalan sofa yang belum dipasang.
Masih terngiang-ngiang diagnosis dokter Ratih. Diagnosis yang sangat mengerikan dan seolah-olah melempar Danar ke jurang yang curam, pekat, dan sepi.
" Mas, belum tidur?"
Danar tersentak. Ia pun menoleh."Kau sudah bangun? Mau minum?"
Lisa menggeleng sambil tak lupa menghidangkan seulas senyum. "Mas, maafkan aku, sudah membuatmu sedih dan kecewa."
Danar tercengang. Demi Allah! Bicara apa istrinya ini?! "Kenapa kauberkata seperti itu?"
"Sebenarnya sudah lama aku merasa kalau pada akhirnya dokter akan mengatakan hal itu. Tapi aku diam saja, aku tidak mau menyusahkan Mas."
Danar tertegun. Teringat hari-hari yang dilewatinya bersama Lisa. Seingatnya belum pernah sekalipun ia memperlakukan istrinya itu dengan tutur kata dan sikap lemah lembut.
Lisa terkejut. Tiba-tiba Danar menutupi wajahnya dengan bahu terguncang-guncang.
Bagaimana mungkin ia bisa melupakan kakak beradik pembawa naas bagi hidupnya ini? Sampai saat ini ia masih memendam kesumat karena Rafa pernah menendang bisulnya sampai pecah dan Tantra yang menendang dadanya sampai dua hari dua malam sesak napasnya. Tetapi kesumat itu lebih-lebih terhadap Tantra yang nyata-nyata telah memperistri mantan tunangannya.
"Ada apa lagi?"Danar berdiri di depan rumah sambil bertolak pinggang. "Kalian ini mengganggu jam istirahat orang. Apa, kalian tidak tahu sekarang jam berapa?"
"Mana ada orang tidur jam tujuh malam, kalau bukan bayi, "sahut Rafa sinis. "Memangnya kamu bayi, bayi raksasa?"
Bagi Tantra, ucapan adiknya sungguh lucu dan ia pun tertawa. Rafa mencubit lengan kakaknya perlahan memberi kode.
Tantra mengentikan tawanya dan segera memasang tampang serius. "Danar, kalau kau belum becus jadi suami, sebaiknya ikut pelatihan dulu."
"Sialan! Jangan menghinaku! Kamu cuma anak bau kencur yang sok tua!" Danar tampak sangat geram.
Tantra mengangkat bahu. "Terserah, "katanya, "tapi yang jelas, sampai detik ini aku belum pernah menjadikan istriku sansak tinju."
"Istri harus menurut suami. Kalau tidak menurut atau bersalah, dia layak dapat hukuman."
"Sampai seperti itu?"Tantra menunjuk Lisa yang duduk didampingi Rafa. "Kami akan membawanya ke dokter sekarang juga."
"Aku tidak akan mengizinkan kalian. Dia istriku."
"Siapa yang minta izinmu?" selesai berkata, Tantra berpaling ke arah adiknya, "Antar Mbak Lisa naik ke taksi."
"Iya, Mas. Ayo, Mbak, pelan-pelan saja."
"Tapi...,"Lisa memandang takut ke arah suaminya yang jelas-jelas melontarkan tatapan penuh ancaman. "Aku tidak mau merepotkan. Lagipula lukaku ini tidak seberapa, cuma memar kecil."
Tantra menghampiri wanita sebaya istrinya itu. "Mbak, kau tidak boleh terus begini. Jangan menyerah pada keadaan. Sekarang, kau harus mau untuk sembuh."
Lisa tampak ragu-ragu.
"Jangan takut, percayalah pada kami."
Perlahan wanita itu pun mengangguk. "Terima kasih, Dik."
Tanpa berkata-kata lagi, Rafa memapah Lisa. Tantra pun mengikuti.
"Tunggu!" Danar hendak menarik tangan istrinya tetapi Tantra lebih cepat. Ia sudah lebih dulu mengait kaki Danar sehingga laki-laki itu jatuh dan terjengkang tepat di bantalan sofa yang belum dipasang.
Masih terngiang-ngiang diagnosis dokter Ratih. Diagnosis yang sangat mengerikan dan seolah-olah melempar Danar ke jurang yang curam, pekat, dan sepi.
" Mas, belum tidur?"
Danar tersentak. Ia pun menoleh."Kau sudah bangun? Mau minum?"
Lisa menggeleng sambil tak lupa menghidangkan seulas senyum. "Mas, maafkan aku, sudah membuatmu sedih dan kecewa."
Danar tercengang. Demi Allah! Bicara apa istrinya ini?! "Kenapa kauberkata seperti itu?"
"Sebenarnya sudah lama aku merasa kalau pada akhirnya dokter akan mengatakan hal itu. Tapi aku diam saja, aku tidak mau menyusahkan Mas."
Danar tertegun. Teringat hari-hari yang dilewatinya bersama Lisa. Seingatnya belum pernah sekalipun ia memperlakukan istrinya itu dengan tutur kata dan sikap lemah lembut.
Lisa terkejut. Tiba-tiba Danar menutupi wajahnya dengan bahu terguncang-guncang.
Jumat, 02 Desember 2011
Noda
Jerat cinta menguak malu di remang sunyi
Kala kegelapan mengaitkan warnanya pada sepi
Hanya sekilas bimbang mendekati
Lalu semuanya hilang terbang bagai tak berarti
Cinta menjala kisi-kisi hati
Melumatnya habis menggelepar dalam diri
Ribuan bintang serentak bersembunyi
Sementara rembulan pun bergegas pergi
Malam percikkan noda di remang sunyi
Mencabik-cabik jiwa yang tiada lagi berseri
Tinggallah kegelapan berteman sepi
Memandangi sekeping hati menangis sesali diri
Kala kegelapan mengaitkan warnanya pada sepi
Hanya sekilas bimbang mendekati
Lalu semuanya hilang terbang bagai tak berarti
Cinta menjala kisi-kisi hati
Melumatnya habis menggelepar dalam diri
Ribuan bintang serentak bersembunyi
Sementara rembulan pun bergegas pergi
Malam percikkan noda di remang sunyi
Mencabik-cabik jiwa yang tiada lagi berseri
Tinggallah kegelapan berteman sepi
Memandangi sekeping hati menangis sesali diri
Minggu, 27 November 2011
Di Arung Jeram Cinta
Mimpi buruk. Itulah yang dirasakan Danar. Betapa mahal pelajaran yang harus dibayarnya akibat perbuatannya dulu. Yang paling menyakitkan adalah mengapa harus Lisa, istrinya yang menerima semua dampak dari kekejamannya pada masa lalu. Lisa, istrinya, wanita yang begitu lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Pantas, pantas saja, Lisa sering mendesaknya untuk menikah lagi. Ternyata selama ini istrinya itu tak pernah berhenti memikirkan kebahagiaan suaminya.
"Pasti kaumenyakitinya lagi, "tuduh Randy emosi saat Danar menghubunginya lewat ponsel.
"Bukan itu yang terjadi. Tolong, jangan salah sangka."
"Lalu apa? Kenapa adikku harus masuk rumah sakit lagi?"
"Sebenarnya...."
"Sebenarnya apa?"Randy tak sabar.
"Semua itu akibat perbuatanku dulu...."
"Kau...."
"Maafkan aku, Randy. Aku sungguh-sungguh menyesal. Aku...," Danar tersentak. Di ujung sana kakak ipar mematikan ponsel dengan kasar.
"Dari siapa?"
Randy meletakkan ponsel di atas meja. Laki-laki itu tersenyum. "Adik iparku, "jawabnya.
Seorang wanita berusia sebaya dengannya meletakkan dua gelas jus melon di dekat ponsel. "Mas ada masalah dengan adik ipar?"
"Lain kali saja kuceritakan, "sahut Randy meraih jus melonnya.
Wanita itu mengangguk. Berusaha maklum."Permisi, saya setrika baju dulu."
Randy mengangguk. Dihelanya napas, teringat pertemuan singkatnya dengan Nila, wanita yang baru seminggu resmi menjadi istrinya.
Danar memandangi istrinya yang sudah terlelap. Tampaknya wanita itu sudah menata perasaannya jauh-jauh hari menghadapi masalah seberat ini.
Sedangkan Danar, ia masih sering terbayang-bayang perbuatannya sendiri yang baru disadari akhir-akhir ini, bahwa ternyata ia bisa sekejam itu.
"Kamu ini bisanya apa?!"hardik Danar menampar Lisa. "Lihat ini warna sepatuku jadi aneh!"
"Maaf, Mas, saya tidak sengaja...."
"Sudah seribu kali, kamu tidak sengaja! Semua barangku jadi rusak! Dasar tidak berguna!"
Danar memejamkan mata, berusaha mengusir bayang-bayang itu. Teringat saat itu, tanpa belas kasihan sedikitpun, tangan dan kakinya menghajar tubuh Lisa. Bahkan, tanpa segan-segan, ia melakukannya di beranda rumah. Beberapa orang melihat, tetapi mereka memilih untuk tidak ikut campur urusan rumah tangga orang lain.
Sementara itu Lisa berusaha untuk tidak menangis. Entah berapa kali tangan kekar Danar hinggap telak di wajah dan bagian tubuh yang lain. Sesekali tendangan kuat terasa di punggung. Sampai....
"Hentikan!"
Karena terkejut, Danar berhenti. Ia menoleh.
Seorang gadis belia, jauh belia dibanding istrinya, berdiri dengan sorot mata menyala-yala.
Danar langsung mengenali gadis itu. Rafa.
Bergegas Rafa menolong Lisa berdiri. "Duduklah, Mbak, "ujarnya menuntun wanita yang lemah karena kesakitan itu di kursi beranda.
"Terima kasih, Dik, "ujar Lisa lirih.
"Aku antar Mbak ke dokter."
"Terima kasih. Nanti juga sembuh sendiri."
Rafa mengerti Lisa tak akan bisa dibujuk. Gadis itu pun menoleh ke arah Danar.
"Aku punya kakak laki-laki dan ia jago berkelahi, "katanya. Tapi, belum pernah sekalipun kudengar ia menampar, memukul, apalagi menghajar istrinya sepertinya yang kaulakukan sekarang. Kau ini benar-benar pemberani." Tanpa menunggu jawaban, gadis itu pun berlalu.
Danar begitu terkejut sehingga tak sanggup berkata-kata. Tetapi, amarahnya kembali memuncak saat melihat istrinya belum beranjak dari duduknya.
"Bagus, kau punya pembela rupanya! Tidurlah di teras dan jangan coba-coba masuk kalau tidak kusuruh!"
Pantas, pantas saja, Lisa sering mendesaknya untuk menikah lagi. Ternyata selama ini istrinya itu tak pernah berhenti memikirkan kebahagiaan suaminya.
"Pasti kaumenyakitinya lagi, "tuduh Randy emosi saat Danar menghubunginya lewat ponsel.
"Bukan itu yang terjadi. Tolong, jangan salah sangka."
"Lalu apa? Kenapa adikku harus masuk rumah sakit lagi?"
"Sebenarnya...."
"Sebenarnya apa?"Randy tak sabar.
"Semua itu akibat perbuatanku dulu...."
"Kau...."
"Maafkan aku, Randy. Aku sungguh-sungguh menyesal. Aku...," Danar tersentak. Di ujung sana kakak ipar mematikan ponsel dengan kasar.
"Dari siapa?"
Randy meletakkan ponsel di atas meja. Laki-laki itu tersenyum. "Adik iparku, "jawabnya.
Seorang wanita berusia sebaya dengannya meletakkan dua gelas jus melon di dekat ponsel. "Mas ada masalah dengan adik ipar?"
"Lain kali saja kuceritakan, "sahut Randy meraih jus melonnya.
Wanita itu mengangguk. Berusaha maklum."Permisi, saya setrika baju dulu."
Randy mengangguk. Dihelanya napas, teringat pertemuan singkatnya dengan Nila, wanita yang baru seminggu resmi menjadi istrinya.
Danar memandangi istrinya yang sudah terlelap. Tampaknya wanita itu sudah menata perasaannya jauh-jauh hari menghadapi masalah seberat ini.
Sedangkan Danar, ia masih sering terbayang-bayang perbuatannya sendiri yang baru disadari akhir-akhir ini, bahwa ternyata ia bisa sekejam itu.
"Kamu ini bisanya apa?!"hardik Danar menampar Lisa. "Lihat ini warna sepatuku jadi aneh!"
"Maaf, Mas, saya tidak sengaja...."
"Sudah seribu kali, kamu tidak sengaja! Semua barangku jadi rusak! Dasar tidak berguna!"
Danar memejamkan mata, berusaha mengusir bayang-bayang itu. Teringat saat itu, tanpa belas kasihan sedikitpun, tangan dan kakinya menghajar tubuh Lisa. Bahkan, tanpa segan-segan, ia melakukannya di beranda rumah. Beberapa orang melihat, tetapi mereka memilih untuk tidak ikut campur urusan rumah tangga orang lain.
Sementara itu Lisa berusaha untuk tidak menangis. Entah berapa kali tangan kekar Danar hinggap telak di wajah dan bagian tubuh yang lain. Sesekali tendangan kuat terasa di punggung. Sampai....
"Hentikan!"
Karena terkejut, Danar berhenti. Ia menoleh.
Seorang gadis belia, jauh belia dibanding istrinya, berdiri dengan sorot mata menyala-yala.
Danar langsung mengenali gadis itu. Rafa.
Bergegas Rafa menolong Lisa berdiri. "Duduklah, Mbak, "ujarnya menuntun wanita yang lemah karena kesakitan itu di kursi beranda.
"Terima kasih, Dik, "ujar Lisa lirih.
"Aku antar Mbak ke dokter."
"Terima kasih. Nanti juga sembuh sendiri."
Rafa mengerti Lisa tak akan bisa dibujuk. Gadis itu pun menoleh ke arah Danar.
"Aku punya kakak laki-laki dan ia jago berkelahi, "katanya. Tapi, belum pernah sekalipun kudengar ia menampar, memukul, apalagi menghajar istrinya sepertinya yang kaulakukan sekarang. Kau ini benar-benar pemberani." Tanpa menunggu jawaban, gadis itu pun berlalu.
Danar begitu terkejut sehingga tak sanggup berkata-kata. Tetapi, amarahnya kembali memuncak saat melihat istrinya belum beranjak dari duduknya.
"Bagus, kau punya pembela rupanya! Tidurlah di teras dan jangan coba-coba masuk kalau tidak kusuruh!"
Kamis, 17 November 2011
Di Arung Jeram Cinta
Kalau saja tidak menyadari keadaan dirinya, mungkin Meyra sudah jatuh hati. Pemuda itu memang bertampang biasa saja tetapi keramahan dan sorot matanya yang berkilat jenaka sudah cukup membuat gadis-gadis terpesona. Termasuk Meyra.
"Kamu jatuh cinta, "begitu kata Dewi setelah mendengar penuturan putri bungsunya.
"Ya, Bunda..."
Dewi tersenyum, mengusap kepala gadis itu lembut. "Ternyata putriku ini tidak takut jatuh cinta, "sahutnya, "syukurlah, Bunda senang dan ikut bahagia."
"Bunda, aku bukannya tidak takut jatuh cinta, "tukas Meyra murung, "tapi...."
"Tapi apa, Nak?"
"Aku tidak bisa menghindari perasaan itu, "gadis itu tertunduk.
"Menurutmu, dia sendiri bagaimana? Maksud Bunda, apa kelihatannya dia juga punya perasaan yang sama denganmu?"
"Kelihatannya begitu...."
"Bagus itu."
"Ya, karena dia belum tahu tentang aku, Bunda. Kalau saja dia tahu, mana mungkin...."
Dewi memeluk pundak putrinya. Sebagai sesama kaum hawa, lebih-lebih lagi sebagai ibu, ia mampu merasakan betapa hancur perasaan Meyra. Kehilangan satu-satunya identitas penanda yang begitu berharga bagi makhluk berspesies perempuan sebelum waktunya. "Anakku sayang, percayalah Allah itu Maha Pengasih, Maha Penyayang, suatu saat Bunda yakin kamu akan meraih kebahagiaan."
"Mungkinkah, Bunda? Laki-laki mana yang mau jadi suamiku? Bahkan, yang paling bejat sekalipun mungkin tidak akan sudi menerima gadis seperti aku...gadis tapi bukan gadis lagi... I was a girl...."
"Hentikan itu, Meyra, "getas terdengar ucapan Dewi sehingga Meyra tersentak. Ia mengangkat wajah menatap ibunya. "Berhentilah merendahkan dirimu, Nak, "suara Dewi melembut. "Percayalah, semua ada hikmahnya."
"Maafkan Meyra, Bunda...maafkan...."
Dewi berusaha agar air mata yang sudah merebak di kedua kelopak matanya tidak jatuh. Tanpa sepatahpun ia mengusap air mata yang berderai menganak sungai di pipi putrinya.
Pukul sembilan malam. Meyra tertidur di pangkuan ibunya. Dewi membiarkan anaknya, ia tak ingin mengusik gadis yang belum sembuh dari luka jiwanya itu.
"Bunda...."
Dewi menoleh. Ia memberi isyarat agar sosok yang menghampirinya di kamar itu tidak mengeluarkan suara yang mampu membangunkan Meyra.
Herman mengangguk. Ia tersenyum dan berbalik meninggalkan keduanya.
"Kamu jatuh cinta, "begitu kata Dewi setelah mendengar penuturan putri bungsunya.
"Ya, Bunda..."
Dewi tersenyum, mengusap kepala gadis itu lembut. "Ternyata putriku ini tidak takut jatuh cinta, "sahutnya, "syukurlah, Bunda senang dan ikut bahagia."
"Bunda, aku bukannya tidak takut jatuh cinta, "tukas Meyra murung, "tapi...."
"Tapi apa, Nak?"
"Aku tidak bisa menghindari perasaan itu, "gadis itu tertunduk.
"Menurutmu, dia sendiri bagaimana? Maksud Bunda, apa kelihatannya dia juga punya perasaan yang sama denganmu?"
"Kelihatannya begitu...."
"Bagus itu."
"Ya, karena dia belum tahu tentang aku, Bunda. Kalau saja dia tahu, mana mungkin...."
Dewi memeluk pundak putrinya. Sebagai sesama kaum hawa, lebih-lebih lagi sebagai ibu, ia mampu merasakan betapa hancur perasaan Meyra. Kehilangan satu-satunya identitas penanda yang begitu berharga bagi makhluk berspesies perempuan sebelum waktunya. "Anakku sayang, percayalah Allah itu Maha Pengasih, Maha Penyayang, suatu saat Bunda yakin kamu akan meraih kebahagiaan."
"Mungkinkah, Bunda? Laki-laki mana yang mau jadi suamiku? Bahkan, yang paling bejat sekalipun mungkin tidak akan sudi menerima gadis seperti aku...gadis tapi bukan gadis lagi... I was a girl...."
"Hentikan itu, Meyra, "getas terdengar ucapan Dewi sehingga Meyra tersentak. Ia mengangkat wajah menatap ibunya. "Berhentilah merendahkan dirimu, Nak, "suara Dewi melembut. "Percayalah, semua ada hikmahnya."
"Maafkan Meyra, Bunda...maafkan...."
Dewi berusaha agar air mata yang sudah merebak di kedua kelopak matanya tidak jatuh. Tanpa sepatahpun ia mengusap air mata yang berderai menganak sungai di pipi putrinya.
Pukul sembilan malam. Meyra tertidur di pangkuan ibunya. Dewi membiarkan anaknya, ia tak ingin mengusik gadis yang belum sembuh dari luka jiwanya itu.
"Bunda...."
Dewi menoleh. Ia memberi isyarat agar sosok yang menghampirinya di kamar itu tidak mengeluarkan suara yang mampu membangunkan Meyra.
Herman mengangguk. Ia tersenyum dan berbalik meninggalkan keduanya.
Jumat, 11 November 2011
Di Arung Jeram Cinta
Tepat tengah malam. Tetapi, Nada masih terbelalak, berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Ia benar-benar terganggu dengan cerita-cerita yang disampaikan gadis yang mengaku mantan kekasih suaminya itu.
Pintu kamar terbuka. Tantra masuk. Nada hanya menoleh sejenak, tetapi kemudian kembali
tak mengacuhkan.
"Belum tidur, Mbak?"
"Hm."
"Tadi ada tamu?"
"Ada."
"Oh ya, siapa?"
"Mantanmu."
"Mantanku?"Tantra terperanjat.
Nada melengos. "Iya, yang katanya Mas sudah berkali-kali menginap di rumahnya."
"Itu katanya, kan?"
"Ya."
"Kamu percaya, Mbak?"
Cepat Nada mengubah posisinya dari berbaring menjadi duduk. "Bagaimana aku tidak percaya? Gadis itu cantik sekali, kulitnya putih bersih, langsing, tapi seksi sekali. Laki-laki mana yang tidak akan tertarik? Sedangkan aku? Kamu bisa lihat sendiri, bagaimana? Bahkan, cinta pertamaku dulu kandas gara-gara wajahku yang biasa saja dan warna kulitku yang gelap. Dan...aku, aku juga tidak seksi. Jadi, aku tidak akan heran kalau kamu sudah melakukannya dengan gadis cantik itu jauh sebelum kita menikah...,"tiba-tiba Nada merendahkan suaranya, menyadari bahwa ia terlalu emosi.
Tantra menghela napas perlahan. Ia duduk di samping istrinya. "Mbak, berapa kali aku harus meyakinkanmu kalau aku tidak pernah pacaran atau berhubungan dengan siapapun sebelum kita menikah?"
"Kalau memang benar, aku juga tidak apa-apa, "Nada sudah mulai mampu menguasai perasaannya. "Aku sudah bersyukur kau tidak menanyakan kegadisanku waktu kita menikah dulu."
"Kenapa harus meributkannya? Aku tahu kamu benar-benar menjaga diri."
Nada menoleh, memperhatikan suaminya dengan lebih saksama dibanding biasanya. Suaminya teramat tampan, berkulit putih bersih, dan ditunjang dengan postur tubuh yang begitu proposional. Memang rasanya tak ada pantas-pantasnya kalau aku ini istrinya, ujar Nada dalam hati. Mungkin pantasnya aku ini pramuwismanya....
Tantra tersenyum membalas tatapan istrinya. Malam ini Nada mengenakan gaun tidur hijau muda dengan aplikasi dedaunan di bagian dada. "Aku ingin kamu lebih percaya padaku dibanding orang yang baru saja kaukenal, "ujarnya.
Nada terdiam. Ia masih bimbang.
Pintu kamar terbuka. Tantra masuk. Nada hanya menoleh sejenak, tetapi kemudian kembali
tak mengacuhkan.
"Belum tidur, Mbak?"
"Hm."
"Tadi ada tamu?"
"Ada."
"Oh ya, siapa?"
"Mantanmu."
"Mantanku?"Tantra terperanjat.
Nada melengos. "Iya, yang katanya Mas sudah berkali-kali menginap di rumahnya."
"Itu katanya, kan?"
"Ya."
"Kamu percaya, Mbak?"
Cepat Nada mengubah posisinya dari berbaring menjadi duduk. "Bagaimana aku tidak percaya? Gadis itu cantik sekali, kulitnya putih bersih, langsing, tapi seksi sekali. Laki-laki mana yang tidak akan tertarik? Sedangkan aku? Kamu bisa lihat sendiri, bagaimana? Bahkan, cinta pertamaku dulu kandas gara-gara wajahku yang biasa saja dan warna kulitku yang gelap. Dan...aku, aku juga tidak seksi. Jadi, aku tidak akan heran kalau kamu sudah melakukannya dengan gadis cantik itu jauh sebelum kita menikah...,"tiba-tiba Nada merendahkan suaranya, menyadari bahwa ia terlalu emosi.
Tantra menghela napas perlahan. Ia duduk di samping istrinya. "Mbak, berapa kali aku harus meyakinkanmu kalau aku tidak pernah pacaran atau berhubungan dengan siapapun sebelum kita menikah?"
"Kalau memang benar, aku juga tidak apa-apa, "Nada sudah mulai mampu menguasai perasaannya. "Aku sudah bersyukur kau tidak menanyakan kegadisanku waktu kita menikah dulu."
"Kenapa harus meributkannya? Aku tahu kamu benar-benar menjaga diri."
Nada menoleh, memperhatikan suaminya dengan lebih saksama dibanding biasanya. Suaminya teramat tampan, berkulit putih bersih, dan ditunjang dengan postur tubuh yang begitu proposional. Memang rasanya tak ada pantas-pantasnya kalau aku ini istrinya, ujar Nada dalam hati. Mungkin pantasnya aku ini pramuwismanya....
Tantra tersenyum membalas tatapan istrinya. Malam ini Nada mengenakan gaun tidur hijau muda dengan aplikasi dedaunan di bagian dada. "Aku ingin kamu lebih percaya padaku dibanding orang yang baru saja kaukenal, "ujarnya.
Nada terdiam. Ia masih bimbang.
Kamis, 10 November 2011
Di Arung Jeram Cinta
Tidak sabar rasanya Banu menanti kedatangan gadis cantik yang lembut itu. Gadis yang begitu menawan sehingga membuat hatinya tertambat. Ia ingin berkenalan dan mengajaknya bercakap-cakap. Tetapi, alangkah sulitnya, karena gadis itu seolah-olah selalu menghindar bila pembicaraan mengarah pada hal-hal pribadi. Seperti ada yang ...tiba-tiba Banu melihat sosok yang dicarinya melintas. Bergegas ia beranjak dari duduknya dan berlari seraya berteriak, "Tunggu!"
"Tunggu!"nekad ia menghadang gadis itu.
Gadis yang dihadang langsung menghentikan langkah. Ia menatap si penghadang dengan sorot mata terganggu.
"Maaf, "Banu berusaha sopan. "Boleh kita bicara sebentar?"
"Untuk apa?"
Brr! Dingin sekali!rutuk Banu dalam hati. "Begini, bisa kita cari tempat duduk yang enak?"
Gadis itu tampak berpikir. "Baiklah, "katanya beberapa saat kemudian.
Banu menarik napas lega.
Beberapa hari yang lalu, Nada melihat Tantra menerima beberapa teman semasa kuliah. Dua di antaranya wanita. Kedua-duanya sama-sama cantik dan salah satunya berpakaian seksi. Nada sendiri sampai menahan napas melihatnya.
Pagi ini gadis itu baru saja datang, ingin bertemu Tantra tentunya. Entah apa maksudnya, tetapi yang jelas sikap dan kata-katanya membuat Nada gerah.
"Jadi situ istri Tantra?"tanyanya sambil memperhatikan Nada dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Iya."
"Ooh...,"gadis itu manggut-manggut. "Kok mau ya? Tantra kan ganteng abis, kok dapatnya cuma yang beginian...mana kelihatannya sudah tua? Berapa sih umur situ?"
"Saya? Sudah lewat tiga puluh."
"Ha?OMG!Kasihan amat nasib Tantra! Dapat perawan tua, cocoknya jadi tantenya kaleee!"
Untung saja Nada menyadari bahwa dirinya sedang berhadapan dengan gadis yang jauh lebih muda, jadi ia memilih untuk bersabar.
"Sayang, kami putus. Padahal sempat pacaran dua tahun,lho."
"Pacaran?"seingat Nada suaminya tidak pacaran dengan siapapun sebelum menikahinya.
"Iya, pacaran. Apa Tantra gak cerita sama situ? Padahal, kita dah jauh."
"Jauh? Apanya yang jauh?"
Apanya yang jauh?"gadis itu mengulang pertanyaan Nada dengan intonasi mengejek. "Eh, situ udah tua tapi kuper juga, ya? Ya, tahulah gaya pacaran anak muda sekarang? Beberapa kali, sih. Aku cari hari kapan kira-kira aku gak sampai kebobolan. Untungnya pas terus...."
Nada tercengang. Selanjutnya gadis yang mengaku mantan pacar Tantra itu terus saja berkicau. Pengakuannya sungguh membuat Nada terusik.
"Tunggu!"nekad ia menghadang gadis itu.
Gadis yang dihadang langsung menghentikan langkah. Ia menatap si penghadang dengan sorot mata terganggu.
"Maaf, "Banu berusaha sopan. "Boleh kita bicara sebentar?"
"Untuk apa?"
Brr! Dingin sekali!rutuk Banu dalam hati. "Begini, bisa kita cari tempat duduk yang enak?"
Gadis itu tampak berpikir. "Baiklah, "katanya beberapa saat kemudian.
Banu menarik napas lega.
Beberapa hari yang lalu, Nada melihat Tantra menerima beberapa teman semasa kuliah. Dua di antaranya wanita. Kedua-duanya sama-sama cantik dan salah satunya berpakaian seksi. Nada sendiri sampai menahan napas melihatnya.
Pagi ini gadis itu baru saja datang, ingin bertemu Tantra tentunya. Entah apa maksudnya, tetapi yang jelas sikap dan kata-katanya membuat Nada gerah.
"Jadi situ istri Tantra?"tanyanya sambil memperhatikan Nada dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Iya."
"Ooh...,"gadis itu manggut-manggut. "Kok mau ya? Tantra kan ganteng abis, kok dapatnya cuma yang beginian...mana kelihatannya sudah tua? Berapa sih umur situ?"
"Saya? Sudah lewat tiga puluh."
"Ha?OMG!Kasihan amat nasib Tantra! Dapat perawan tua, cocoknya jadi tantenya kaleee!"
Untung saja Nada menyadari bahwa dirinya sedang berhadapan dengan gadis yang jauh lebih muda, jadi ia memilih untuk bersabar.
"Sayang, kami putus. Padahal sempat pacaran dua tahun,lho."
"Pacaran?"seingat Nada suaminya tidak pacaran dengan siapapun sebelum menikahinya.
"Iya, pacaran. Apa Tantra gak cerita sama situ? Padahal, kita dah jauh."
"Jauh? Apanya yang jauh?"
Apanya yang jauh?"gadis itu mengulang pertanyaan Nada dengan intonasi mengejek. "Eh, situ udah tua tapi kuper juga, ya? Ya, tahulah gaya pacaran anak muda sekarang? Beberapa kali, sih. Aku cari hari kapan kira-kira aku gak sampai kebobolan. Untungnya pas terus...."
Nada tercengang. Selanjutnya gadis yang mengaku mantan pacar Tantra itu terus saja berkicau. Pengakuannya sungguh membuat Nada terusik.
Kamis, 27 Oktober 2011
Di Arung Jeram Cinta (Bab XII)
Menikmati peran baru, itulah Tantra. Sampai menginjak bulan ketiga ini, tetap saja ayah berusia muda itu mengagumi bayi mungilnya. Biasanya, ia akan memandangi istri dan bayinya itu silih berganti.
"Lihat apa, Mas?"tegur Nada sambil mengganti baju Arsya yang basah oleh keringat. Tantra duduk di sisi ranjang.
"Ternyata anak kita ini wajahnya mirip ibunya, ya."
"Oh, ya?"Nada mengangkat kepala dan punggung anaknya untuk memakaikan kaos. "Kok, aku tidak begitu jeli, ya?"
"Karena Mbak percaya ini anak kita, "sela Tantra, "Jadi, tidak perduli lagi wajahnya."
Nada tersenyum. Lembut, ia mengangkat tubuh si kecil dan mengusap-usap punggungnya. "Biarpun mirip ibunya, tapi tetap ganteng, kan?"
Tantra tertawa.
Pertemuan dua hari yang lalu dengan gadis cantik dan lembutr itu benar-benar menyita pikiran Banu. Belum pernah ia merasakan hal ini sebelumnya. Kalaupun pernah, itu adalah cinta monyet alias milik remaja ingusan. Tetapi, kali ini rasanya begitu berbeda, Banu yakin bahwa dirinya telah menemukan cinta sejati.
Arman tertawa mendengar pengakuan jagoannya itu. "Jadi, kamu suka?"
"Bukan, Pak, tapi jatuh cinta."
"Oh, ternyata jagoan Bapak yang satu ini bisa juga jatuh cinta, ya?"
"Memangnya salah?"
"Oh, tidak. Bapak cuma heran, ini kejutan, "tukas Arman meraih secangkir kopi dari meja ruang keluarga.
"Bapak selalu heran, Ibu juga, "tukas Banu, "Dulu waktu Mbak Nada terima lamaran Tantra, semua heboh."
"Itu wajar, "sambut bapaknya. "Masa kakakmu yang mau tiga puluh manggut-manggut saja dilamar pemuda baru lulus kuliah? Ini kamu, katamu tadi kenal juga tidak, kok bisa percaya gadis itu cinta sejatimu?"
Pertanyaan yang mudah namun sulit untuk dijawab. Banu garuk-garuk kepala. "Eh, Ibu mana, Pak?"tanyanya mencoba mengalihkan perhatian.
"Ada pengajian bulanan di tetangga sebelah. Mungkin setengah jam lagi pulang. Kenapa? Mau curhat sama Ibu juga?"
Banu cengegesan.
"Lihat apa, Mas?"tegur Nada sambil mengganti baju Arsya yang basah oleh keringat. Tantra duduk di sisi ranjang.
"Ternyata anak kita ini wajahnya mirip ibunya, ya."
"Oh, ya?"Nada mengangkat kepala dan punggung anaknya untuk memakaikan kaos. "Kok, aku tidak begitu jeli, ya?"
"Karena Mbak percaya ini anak kita, "sela Tantra, "Jadi, tidak perduli lagi wajahnya."
Nada tersenyum. Lembut, ia mengangkat tubuh si kecil dan mengusap-usap punggungnya. "Biarpun mirip ibunya, tapi tetap ganteng, kan?"
Tantra tertawa.
Pertemuan dua hari yang lalu dengan gadis cantik dan lembutr itu benar-benar menyita pikiran Banu. Belum pernah ia merasakan hal ini sebelumnya. Kalaupun pernah, itu adalah cinta monyet alias milik remaja ingusan. Tetapi, kali ini rasanya begitu berbeda, Banu yakin bahwa dirinya telah menemukan cinta sejati.
Arman tertawa mendengar pengakuan jagoannya itu. "Jadi, kamu suka?"
"Bukan, Pak, tapi jatuh cinta."
"Oh, ternyata jagoan Bapak yang satu ini bisa juga jatuh cinta, ya?"
"Memangnya salah?"
"Oh, tidak. Bapak cuma heran, ini kejutan, "tukas Arman meraih secangkir kopi dari meja ruang keluarga.
"Bapak selalu heran, Ibu juga, "tukas Banu, "Dulu waktu Mbak Nada terima lamaran Tantra, semua heboh."
"Itu wajar, "sambut bapaknya. "Masa kakakmu yang mau tiga puluh manggut-manggut saja dilamar pemuda baru lulus kuliah? Ini kamu, katamu tadi kenal juga tidak, kok bisa percaya gadis itu cinta sejatimu?"
Pertanyaan yang mudah namun sulit untuk dijawab. Banu garuk-garuk kepala. "Eh, Ibu mana, Pak?"tanyanya mencoba mengalihkan perhatian.
"Ada pengajian bulanan di tetangga sebelah. Mungkin setengah jam lagi pulang. Kenapa? Mau curhat sama Ibu juga?"
Banu cengegesan.
Minggu, 16 Oktober 2011
Secangkir Rindu
Kubaca raut wajahmu pada secangkir hangat susu coklat
yang kautuangkan untukku dalam malam pekat
Kulihat cahaya bulan melekat
pada ombak kecil melaut dalam cangkir hangat
Berapa bulan yang terlewat
masih kuraba sisa senyummu yang rekat
Masih kuraba sisa senyummu yang melekat
dalam secangkir hatiku yang menghangat
yang kautuangkan untukku dalam malam pekat
Kulihat cahaya bulan melekat
pada ombak kecil melaut dalam cangkir hangat
Berapa bulan yang terlewat
masih kuraba sisa senyummu yang rekat
Masih kuraba sisa senyummu yang melekat
dalam secangkir hatiku yang menghangat
Di Arung Jeram Cinta
Tidak mungkin membujuk seorang yang tercabik-cabik jiwanya. Lisa memahami benar hal itu. Meskipun peristiwa itu telah lama berlalu, tetap saja ada bekas yang mencubit jauh di dasar sana. Lisa pun mengerti bahwa Meyra tidak menyimpan dendam walaupun gadis itu tak mau lagi memandang wajah Danar.
Sementara itu Danar memperhatikan istrinya yang melipat setumpuk pakaian dari keranjang. Laki-laki itu menarik napas perlahan. Berapa lama ia menyakiti wanita pendamping hidupnya ini? Ia teringat, selalu saja mencari-cari kesalahan istrinya yang sebenarnya tidak seberapa.
Masih terbayang jelas dalam ingatannya, teramat sering ia mendaratkan tangannya yang kekar ke wajah atau tubuh wanita yang tak berdaya itu. Kalau marahnya sedang memanas di ubun-ubun, maka bukan tangan lagi yang melayang, melainkan ikat pinggang atau cambuk yang akan menghantam istrinya.
Lisa merapat di sudut. Sekujur tubuhnya sakit bukan main. Danar menarik tangannya kasar membuat wanita semakin kesakitan.
"Sudah setiap hari dihajar, masih bodoh juga!"
"Maafkan, saya, Mas...."
"Gara-gara kamu, nomor temanku itu jadi hilang, tahu?!"
"Maaf, Mas, saya...saya tidak sengaja...."
"Heh, "Danar menarik rambut istrinya, "Apa kamu pikir nomor itu bisa muncul lagi kalau kamu minta maaf?"
"Ti...tidak, Mas...,"Lisa menjawab lirih kesakitan karena rambutnya ditarik kuat oleh suaminya.
"Padahal belum tentu, aku bertemu dia dalam waktu dekat ini, "Danar melepas tarikannya kasar sehingga Lisa nyaris terjatuh.
"Maaf, apa Mas tidak mencatat alamatnya? Mas bisa pergi ke rumahnya...."
Bukannya berterima kasih, Danar malah menampar istrinya, "Tidak usah mengajariku, Bodoh! Berani sekali kamu!"
Kali ini Lisa tidak dapat menahan rasa sakitnya. Cambuk yang besar itu mendarat telak menghantam lengan, punggung, dan kakinya.
"Mas...."
Danar tersentak.
Lisa tersenyum. "Mas melamun, ya?"
Danar balas tersenyum. "Bu Dewi benar, Lisa."
"Maksud Mas?"
"Hatimu sangat mulia, "Danar menatap istrinya penuh sayang, "aku juga heran bagaimana dulu aku bisa begitu kejam kepadamu...."
"Sudahlah, itu masa lalu, "tukas Lisa tulus, "yang penting Mas sudah menyadari kesalahan dan berjanji tidak akan mengulangi lagi."
Lihat, lihat, betapa tulus hati wanita ini, tegur hati Danar. Sampai detik ini, ia tidak marah sedikitpun karena perbuatanmu yang biadab. Bahkan juga ketika kau melampiaskan nafsumu kepada gadis malang itu. Ia tidak marah dan berusaha menerima sepak terjangmu dengan lapang dada.
Danar memandang istrinya. Lisa tidak banyak berubah, ia tetap lemah lembut seperti dulu. Hanya saja ia terlihat jauh lebih tegar dibanding sebelumnya.
"Lisa...."
Lisa mengangkat wajahnya.
"Menurutmu, apa yang harus kulakukan untuk meringankan penderitaan Meyra?"
Lisa menatap suaminya dalam-dalam.
Sudah beberapa minggu ini Banu bekerja di sebuah bank syariah yang terkenal. Setelah dua tahun keluar masuk dan pindah-pindah, akhirnya penuda itu menemukan juga jalan menuju kesuksesannya. Arman dan Tia sangat senang melihat putra bungsu mereka tampak bersemangat setiap kali berangkat kerja.
"Ibu, Bapak mau titip tabungan?"tanya Banu pagi itu setelah menghabiskan sepiring nasi gotreng dan segelas air putih.
"Bapak titip, "sahut Arman.
"Kalau Ibu?" Banu berpaling ke arah ibunya.
Tia menggeleng. "Ibu belum sempat menjenguk kemenakanmu, cucu Bapak sama Ibu.
Kapan, Pak?"
"Minggu ini Bapak belum bisa, Bu."
"Ibu titip saja."
"InsyaAllah, Bu. Mana titipannya?"
Tia beranjak dari ruang makan.
Sementara itu Danar memperhatikan istrinya yang melipat setumpuk pakaian dari keranjang. Laki-laki itu menarik napas perlahan. Berapa lama ia menyakiti wanita pendamping hidupnya ini? Ia teringat, selalu saja mencari-cari kesalahan istrinya yang sebenarnya tidak seberapa.
Masih terbayang jelas dalam ingatannya, teramat sering ia mendaratkan tangannya yang kekar ke wajah atau tubuh wanita yang tak berdaya itu. Kalau marahnya sedang memanas di ubun-ubun, maka bukan tangan lagi yang melayang, melainkan ikat pinggang atau cambuk yang akan menghantam istrinya.
Lisa merapat di sudut. Sekujur tubuhnya sakit bukan main. Danar menarik tangannya kasar membuat wanita semakin kesakitan.
"Sudah setiap hari dihajar, masih bodoh juga!"
"Maafkan, saya, Mas...."
"Gara-gara kamu, nomor temanku itu jadi hilang, tahu?!"
"Maaf, Mas, saya...saya tidak sengaja...."
"Heh, "Danar menarik rambut istrinya, "Apa kamu pikir nomor itu bisa muncul lagi kalau kamu minta maaf?"
"Ti...tidak, Mas...,"Lisa menjawab lirih kesakitan karena rambutnya ditarik kuat oleh suaminya.
"Padahal belum tentu, aku bertemu dia dalam waktu dekat ini, "Danar melepas tarikannya kasar sehingga Lisa nyaris terjatuh.
"Maaf, apa Mas tidak mencatat alamatnya? Mas bisa pergi ke rumahnya...."
Bukannya berterima kasih, Danar malah menampar istrinya, "Tidak usah mengajariku, Bodoh! Berani sekali kamu!"
Kali ini Lisa tidak dapat menahan rasa sakitnya. Cambuk yang besar itu mendarat telak menghantam lengan, punggung, dan kakinya.
"Mas...."
Danar tersentak.
Lisa tersenyum. "Mas melamun, ya?"
Danar balas tersenyum. "Bu Dewi benar, Lisa."
"Maksud Mas?"
"Hatimu sangat mulia, "Danar menatap istrinya penuh sayang, "aku juga heran bagaimana dulu aku bisa begitu kejam kepadamu...."
"Sudahlah, itu masa lalu, "tukas Lisa tulus, "yang penting Mas sudah menyadari kesalahan dan berjanji tidak akan mengulangi lagi."
Lihat, lihat, betapa tulus hati wanita ini, tegur hati Danar. Sampai detik ini, ia tidak marah sedikitpun karena perbuatanmu yang biadab. Bahkan juga ketika kau melampiaskan nafsumu kepada gadis malang itu. Ia tidak marah dan berusaha menerima sepak terjangmu dengan lapang dada.
Danar memandang istrinya. Lisa tidak banyak berubah, ia tetap lemah lembut seperti dulu. Hanya saja ia terlihat jauh lebih tegar dibanding sebelumnya.
"Lisa...."
Lisa mengangkat wajahnya.
"Menurutmu, apa yang harus kulakukan untuk meringankan penderitaan Meyra?"
Lisa menatap suaminya dalam-dalam.
Sudah beberapa minggu ini Banu bekerja di sebuah bank syariah yang terkenal. Setelah dua tahun keluar masuk dan pindah-pindah, akhirnya penuda itu menemukan juga jalan menuju kesuksesannya. Arman dan Tia sangat senang melihat putra bungsu mereka tampak bersemangat setiap kali berangkat kerja.
"Ibu, Bapak mau titip tabungan?"tanya Banu pagi itu setelah menghabiskan sepiring nasi gotreng dan segelas air putih.
"Bapak titip, "sahut Arman.
"Kalau Ibu?" Banu berpaling ke arah ibunya.
Tia menggeleng. "Ibu belum sempat menjenguk kemenakanmu, cucu Bapak sama Ibu.
Kapan, Pak?"
"Minggu ini Bapak belum bisa, Bu."
"Ibu titip saja."
"InsyaAllah, Bu. Mana titipannya?"
Tia beranjak dari ruang makan.
Jumat, 14 Oktober 2011
Di Arung Jeram Cinta
Entah darimana keberanian itu timbul. Tanpa pikir panjang, Danar mengikuti
Herman yang menemui Meyra di halaman.
Tampak Meyra berdiri terpekur sambil melipat kedua tangan di dada. Kepalanya tengadah menatap langit purnama. Rambutnya yang dibiarkan tergerai tanpa asesoris apapun tampak melambai tertiup angin.
"Meyra...,"hati-hati Herman menegur adiknya.
Meyra tidak memberikan reaksi apalagi jawaban.
"Ada apa, Dik? Kenapa kamu tiba-tiba keluar?"
Kali ini Meyra menoleh dan menatap kakaknya. "Mas, sampai kapan aku harus menderita seperti ini? Rasanya aku selalu dicekam rasa ketakutan dan rendah diri, apalagi... kalau aku harus melihat laki-laki yang merenggut..., "Meyra terdiam, berusaha menguasai emosinya.
Herman menepuk-nepuk pundak adiknya lembut. "Kenapa masih saja kamu ingat-ingat, Dik? Itu sudah berlalu."
Meyra menggeleng. "Tidak, aku tidak bisa. Mas pikir siapa laki-laki yang mau denganku kalau tahu aku sudah tidak...."
"Meyra,...kau tidak boleh murung terus...."
"Herman, semua memang salahku."
Kakak beradik itu serempak menoleh. Danar menghampiri mereka.
"Aku...aku benar-benar menyesal, "Danar menunduk.
Herman menoleh ke arah adiknya. Gadis itu memalingkan wajahnya ke arah lain.
Meyra memejamkan mata dengan pedih mengiris-iris hati. Bagaimana bisa terhapus bayang-bayang kelam itu?
Bertemu teman lama memang menyenangkan. Feri tidak banyak berubah. Ia tetap iseng dan suka bercanda. Setelah dua jam bercakap-cakap, pemuda itu mohon diri. Tantra berjanji akan membantu acara reuni yang akan diadakan.
Tantra membuka pintu kamar. Ia terpaku melihat Nada mencium kening si kecil dengan lembut dan penuh kasih. Tiba-tiba saja ia teringat saat-saat mendebarkan itu. Nada tampak menahan sakit yang sangat sampai-sampai berjalan pun tak sanggup. Baru saat itu Tantra mengetahui beratnya perjuangan ibu melahirkan anaknya.
"Mbak, belum tidur?"
Nada menoleh. "Aku menunggu Mas, "jawabnya tersenyum. "Mas mau minum lagi?"
Tantra menggeleng. "Sudah waktunya kamu istirahat, "tukasnya, "aku bisa buat minum sendiri."
"Mas juga harus istirahat."
"Biarkan malam ini giliranku menjaga Arsya."
Nada menatap suaminya kagum bercampur tak percaya. "Memang Mas mau?"
Tantra mengangguk. "Kenapa tidak? Arsya kan anakku juga."
Tiba-tiba saja wanita itu, Nada, tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Tanpa berkata sepatahpun, ia menggenggam tangan suaminya lembut.
Tantra terkejut, tak menyangka sedikitpun akan reaksi istrinya. Tetapi, itu hanya sebentar karena sesaat kemudian ia membalas genggaman itu.
"Tidurlah, Mbak."
Nada mengangguk dan melepaskan genggamannya sambil tersenyum.
Tantra memperhatikan istrinya yang mengambil selimut. Tidak, sampai saat ini, Tantra tidak menyesal telah menikahi Nada. Meskipun ada selisih usia yang tidak sedikit terbentang diantara mereka, tetapi Nada sangat menghormati suaminya. Wanita itu selalu bersikap merendah setiap berbicara dengannya. Soal wajah dan penampilan fisik, Tantra mengakui istrinya kalah bersaing dengan gadis-gadis di luar. Tetapi, bagi Tantra, setiap kali menatap istrinya yang begitu lembut dan penuh perhatian, semua itu membuatnya menilai bahwa yang di luar sana tidak berarti apa-apa.
Herman yang menemui Meyra di halaman.
Tampak Meyra berdiri terpekur sambil melipat kedua tangan di dada. Kepalanya tengadah menatap langit purnama. Rambutnya yang dibiarkan tergerai tanpa asesoris apapun tampak melambai tertiup angin.
"Meyra...,"hati-hati Herman menegur adiknya.
Meyra tidak memberikan reaksi apalagi jawaban.
"Ada apa, Dik? Kenapa kamu tiba-tiba keluar?"
Kali ini Meyra menoleh dan menatap kakaknya. "Mas, sampai kapan aku harus menderita seperti ini? Rasanya aku selalu dicekam rasa ketakutan dan rendah diri, apalagi... kalau aku harus melihat laki-laki yang merenggut..., "Meyra terdiam, berusaha menguasai emosinya.
Herman menepuk-nepuk pundak adiknya lembut. "Kenapa masih saja kamu ingat-ingat, Dik? Itu sudah berlalu."
Meyra menggeleng. "Tidak, aku tidak bisa. Mas pikir siapa laki-laki yang mau denganku kalau tahu aku sudah tidak...."
"Meyra,...kau tidak boleh murung terus...."
"Herman, semua memang salahku."
Kakak beradik itu serempak menoleh. Danar menghampiri mereka.
"Aku...aku benar-benar menyesal, "Danar menunduk.
Herman menoleh ke arah adiknya. Gadis itu memalingkan wajahnya ke arah lain.
Meyra memejamkan mata dengan pedih mengiris-iris hati. Bagaimana bisa terhapus bayang-bayang kelam itu?
Bertemu teman lama memang menyenangkan. Feri tidak banyak berubah. Ia tetap iseng dan suka bercanda. Setelah dua jam bercakap-cakap, pemuda itu mohon diri. Tantra berjanji akan membantu acara reuni yang akan diadakan.
Tantra membuka pintu kamar. Ia terpaku melihat Nada mencium kening si kecil dengan lembut dan penuh kasih. Tiba-tiba saja ia teringat saat-saat mendebarkan itu. Nada tampak menahan sakit yang sangat sampai-sampai berjalan pun tak sanggup. Baru saat itu Tantra mengetahui beratnya perjuangan ibu melahirkan anaknya.
"Mbak, belum tidur?"
Nada menoleh. "Aku menunggu Mas, "jawabnya tersenyum. "Mas mau minum lagi?"
Tantra menggeleng. "Sudah waktunya kamu istirahat, "tukasnya, "aku bisa buat minum sendiri."
"Mas juga harus istirahat."
"Biarkan malam ini giliranku menjaga Arsya."
Nada menatap suaminya kagum bercampur tak percaya. "Memang Mas mau?"
Tantra mengangguk. "Kenapa tidak? Arsya kan anakku juga."
Tiba-tiba saja wanita itu, Nada, tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Tanpa berkata sepatahpun, ia menggenggam tangan suaminya lembut.
Tantra terkejut, tak menyangka sedikitpun akan reaksi istrinya. Tetapi, itu hanya sebentar karena sesaat kemudian ia membalas genggaman itu.
"Tidurlah, Mbak."
Nada mengangguk dan melepaskan genggamannya sambil tersenyum.
Tantra memperhatikan istrinya yang mengambil selimut. Tidak, sampai saat ini, Tantra tidak menyesal telah menikahi Nada. Meskipun ada selisih usia yang tidak sedikit terbentang diantara mereka, tetapi Nada sangat menghormati suaminya. Wanita itu selalu bersikap merendah setiap berbicara dengannya. Soal wajah dan penampilan fisik, Tantra mengakui istrinya kalah bersaing dengan gadis-gadis di luar. Tetapi, bagi Tantra, setiap kali menatap istrinya yang begitu lembut dan penuh perhatian, semua itu membuatnya menilai bahwa yang di luar sana tidak berarti apa-apa.
Rabu, 12 Oktober 2011
Di Arung Jeram Cinta
Kamar kos Ara sederhana namun tertata apik dan asri. Cakra langsung betah berlama-lama duduk di sana. Meskipun sudah dua kali menemui adiknya, tetapi baru kali ini ia menyempatkan diri mampir ke tempat kos Ara.
"Kebetulan aku tadi praktik buat puding roti, "ujar Ara sambil meletakkan dua gelas jus semangka di meja kecil. "Mas mau coba?"
"Boleh, "jawab Cakra tersenyum. "Kamu sudah makan?"
"Belum, tapi aku sudah nanak nasi dan masak sayur lodeh. Kita makan sama-sama, yuk."
Cakra mengangguk. Ia tidak ingin mengecewakan adiknya.
Sementara itu Ara beranjak dari karpet untuk menyiapkan hidangan.
Feri masih saja terheran-heran, padahal Nada sudah berlalu dari hadapan. Pemuda itu menggamit lengan Tantra.
"Benar, dia istrimu?"bisiknya.
Tantra mengangguk.
"Tapi..., "Feri tampak ragu-ragu khawatir Tantra tersinggung. "Maaf, tadinya kukira dia pengasuh bayimu...soalnya...."
Tantra menoleh, menunggu kelanjutan ucapan kawannya.
"Soalnya...kupikir kamu pasti akan memilih wanita yang sebaya...maaf, kalau aku salah."
Tantra tersenyum. "Tidak apa-apa."
"Kalian bertemu di mana?"
"Kamu masih ingat aku pernah masuk rumah sakit karena koma gara-gara dikeroyok?"
Feri mengerutkan kening berusaha mengingat-ingat. "Rasanya, aku ingat, "ujarnya mengangguk-angguk. "Lalu?"
"Dia perawat yang membantuku sampai sehat."
"Ooh?"Feri tertawa menggoda. "Cinta lokasi rupanya?"
Tantra tertawa.
Mendadak Feri memasang wajah serius. "Jadi, waktu itu kamu masih SMA? Lalu suster itu...?"
"Kalau dia juga mau, apa salahnya?"
Feri terbelalak. "Gila, aku tahu kamu suka nekat, tapi tidak sampai seperti sekarang ini."
"Hei, aku tidak nekat, "tukas Tantra pura-pura tersinggung.
"Kamu salah satu dari beberapa teman kita yang menikah sebelum usia seperempat abad. Tidak menyesal menikah muda? Apalagi katamu tadi, istri sudah setahun jadi ibu rumah tangga seutuhnya?"
Tantra menggeleng.
Feri tampak terkagum-kagum. Ia dapat melihat sinar kebahagiaan yang terpancar dari wajah teman SMAnya itu. Padahal selama ini tidak demikian gambarannya tentang lembaga pernikahan.
"Tantra..., "bisiknya setelah suasana hening beberapa saat.
"Ya?"
"Tiba-tiba terlintas tanya di kepalaku."
"Tentang apa?"
"Kalau malam-malam di kamar, siapa dulu yang ambil inisiatif?"Feri menoleh sambil memasang tampang iseng.
Tantra langsung menyodok lengannya.
"Kebetulan aku tadi praktik buat puding roti, "ujar Ara sambil meletakkan dua gelas jus semangka di meja kecil. "Mas mau coba?"
"Boleh, "jawab Cakra tersenyum. "Kamu sudah makan?"
"Belum, tapi aku sudah nanak nasi dan masak sayur lodeh. Kita makan sama-sama, yuk."
Cakra mengangguk. Ia tidak ingin mengecewakan adiknya.
Sementara itu Ara beranjak dari karpet untuk menyiapkan hidangan.
Feri masih saja terheran-heran, padahal Nada sudah berlalu dari hadapan. Pemuda itu menggamit lengan Tantra.
"Benar, dia istrimu?"bisiknya.
Tantra mengangguk.
"Tapi..., "Feri tampak ragu-ragu khawatir Tantra tersinggung. "Maaf, tadinya kukira dia pengasuh bayimu...soalnya...."
Tantra menoleh, menunggu kelanjutan ucapan kawannya.
"Soalnya...kupikir kamu pasti akan memilih wanita yang sebaya...maaf, kalau aku salah."
Tantra tersenyum. "Tidak apa-apa."
"Kalian bertemu di mana?"
"Kamu masih ingat aku pernah masuk rumah sakit karena koma gara-gara dikeroyok?"
Feri mengerutkan kening berusaha mengingat-ingat. "Rasanya, aku ingat, "ujarnya mengangguk-angguk. "Lalu?"
"Dia perawat yang membantuku sampai sehat."
"Ooh?"Feri tertawa menggoda. "Cinta lokasi rupanya?"
Tantra tertawa.
Mendadak Feri memasang wajah serius. "Jadi, waktu itu kamu masih SMA? Lalu suster itu...?"
"Kalau dia juga mau, apa salahnya?"
Feri terbelalak. "Gila, aku tahu kamu suka nekat, tapi tidak sampai seperti sekarang ini."
"Hei, aku tidak nekat, "tukas Tantra pura-pura tersinggung.
"Kamu salah satu dari beberapa teman kita yang menikah sebelum usia seperempat abad. Tidak menyesal menikah muda? Apalagi katamu tadi, istri sudah setahun jadi ibu rumah tangga seutuhnya?"
Tantra menggeleng.
Feri tampak terkagum-kagum. Ia dapat melihat sinar kebahagiaan yang terpancar dari wajah teman SMAnya itu. Padahal selama ini tidak demikian gambarannya tentang lembaga pernikahan.
"Tantra..., "bisiknya setelah suasana hening beberapa saat.
"Ya?"
"Tiba-tiba terlintas tanya di kepalaku."
"Tentang apa?"
"Kalau malam-malam di kamar, siapa dulu yang ambil inisiatif?"Feri menoleh sambil memasang tampang iseng.
Tantra langsung menyodok lengannya.
Jumat, 07 Oktober 2011
Di Arung Jeram Cinta
Dewi tidak henti-hentinya mengagumi sosok Lisa yang bersahaja. Belum pernah ia melihat istri zaman sekarang yang begitu sabar atas sepak terjang suaminya yang tidak bermoral. Amarah wanita itu mendadak saja hilang ketika melihat Lisa muncul dan menyapa dengan santun dan ramah.
Lisa menyilakan tamu-tamunya menikmati hidangan yang tersedia di meja tamu.
Dewi mengambil biskuit dari toples. Herman dan Meyra mengikuti.
Dewi memperhatikan Lisa yang tampak kurus dan pucat. Tampaknya ia sedang sakit parah. Dalam hati menyesal juga Dewi telah membuat perasaan wanita muda ini bersedih. Tetapi....
"Maafkan suami saya, Bu."
Dewi tercengang. "Jadi...kau sudah tahu?"
"Iya, Bu, "jawab Lisa lembut. "Suami saya juga sudah menyesali perbuatannya."
"Ah, kau istri yang berhati mulia, "Dewi tak dapat menyembunyikan kekagumannya. "Kalau Ibu tidak mengenalmu, rasanya tega melemparkan suamimu ke dalam penjara."
Lisa memandang ke arah suaminya. "Suami saya siap menerima hukuman untuk menebus dosanya."
Danar tersenyum. "Ibu, istri saya benar. Saya bersedia...." Belum selesai Danar berbicara, mendadak Meyra bangkit dan melangkah ke luar.
"Meyra!"panggil Herman.
"Susul adikmu."
"Baik, Bu."
Tantra mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Sebentar, sepertinya aku punya nomor teman-teman yang kamu sebutkan tadi."
"Iya, syukurlah, soalnya aku mau adakan reuni."
"Oh ya? Kapan?"
"InsyaAllah, bulan depan. Sudah ada, sih, beberapa teman yang kuhubungi untuk membantuku, termasuk kamu."
"Mudah-mudahan aku bisa."
"Kurasa kau pasti bisa. Eh, mana istrimu?"
"Tadi masih menidurkan Arsya. Kulihat dulu."
Feri mengawasi teman semasa SMAnya yang berlalu. Ia berpikir seperti apa istri Tantra. Pemuda seperti Tantra pasti akan memilih gadis berkulit putih atau kuning langsat dan bertubuh seksi untuk menjadi istrinya. Mana mungkin ia memilih wanita yang menyuguhkan hidangan tadi itu ....
"Fer, kenalkan istriku."
Feri tercengang. Tantra menggandeng mesra seorang wanita. Wanita yang tadi menyuguhkan hidangan.
Lisa menyilakan tamu-tamunya menikmati hidangan yang tersedia di meja tamu.
Dewi mengambil biskuit dari toples. Herman dan Meyra mengikuti.
Dewi memperhatikan Lisa yang tampak kurus dan pucat. Tampaknya ia sedang sakit parah. Dalam hati menyesal juga Dewi telah membuat perasaan wanita muda ini bersedih. Tetapi....
"Maafkan suami saya, Bu."
Dewi tercengang. "Jadi...kau sudah tahu?"
"Iya, Bu, "jawab Lisa lembut. "Suami saya juga sudah menyesali perbuatannya."
"Ah, kau istri yang berhati mulia, "Dewi tak dapat menyembunyikan kekagumannya. "Kalau Ibu tidak mengenalmu, rasanya tega melemparkan suamimu ke dalam penjara."
Lisa memandang ke arah suaminya. "Suami saya siap menerima hukuman untuk menebus dosanya."
Danar tersenyum. "Ibu, istri saya benar. Saya bersedia...." Belum selesai Danar berbicara, mendadak Meyra bangkit dan melangkah ke luar.
"Meyra!"panggil Herman.
"Susul adikmu."
"Baik, Bu."
Tantra mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Sebentar, sepertinya aku punya nomor teman-teman yang kamu sebutkan tadi."
"Iya, syukurlah, soalnya aku mau adakan reuni."
"Oh ya? Kapan?"
"InsyaAllah, bulan depan. Sudah ada, sih, beberapa teman yang kuhubungi untuk membantuku, termasuk kamu."
"Mudah-mudahan aku bisa."
"Kurasa kau pasti bisa. Eh, mana istrimu?"
"Tadi masih menidurkan Arsya. Kulihat dulu."
Feri mengawasi teman semasa SMAnya yang berlalu. Ia berpikir seperti apa istri Tantra. Pemuda seperti Tantra pasti akan memilih gadis berkulit putih atau kuning langsat dan bertubuh seksi untuk menjadi istrinya. Mana mungkin ia memilih wanita yang menyuguhkan hidangan tadi itu ....
"Fer, kenalkan istriku."
Feri tercengang. Tantra menggandeng mesra seorang wanita. Wanita yang tadi menyuguhkan hidangan.
Rabu, 05 Oktober 2011
Di Arung Jeram Cinta
Memberi kesempatan sekali lagi, itulah keputusan Rafa. Menjadi pemimpin memang dituntut untuk berlapang dada dan memiliki jangkauan pandang-dengar yang luas. Tidak perduli, pemimpin itu masih belia bahkan kanak-kanak sekalipun.
Begitulah, Masto, satpam perusahaan yang dikelola Rafa selamat dari ancaman PHK. Bukan main bersyukur laki-laki itu. Ia bertekad bekerja dengan giat dan menghilangkan kebiasaan buruknya yang bersifat musiman, yaitu menggoda sambil bersuit-suit jika ada gadis atau wanita muda yang melintas di depannya.
Rafa menjalankan perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Pelanggannya cukup banyak dan mereka sangat terkesan dengan pelayanan yang ada. Sudah hampir seratus kasus yang dapat diselesaikan dengan baik dan memuaskan kedua pihak yang bersengketa.
Feri mengamati Nada yang menghidangkan dua tangkup roti bakar dan dua cangkir teh hangat. Dalam hati pemuda itu bertanya-tanya siapa gerangan wanita berjilbab coklat muda dengan jubah senada bermotif kotak-kotak hijau ini.
"Silakan, "ujar Nada.
"Oh, terima kasih, "sahut Feri. "Maaf, Pak Tantra masih lama, ya, Mbak?"
Nada tersenyum. "InsyaAllah, sebentar lagi, Pak. Beliau masih mandi."
"Ya, aku tunggu. Tapi, jangan panggil aku 'pak', aku masih bujangan."
"Oh, kalau begitu, maafkan saya, Mas. Permisi, saya masuk dulu."
"Ya, silakan."
Begitulah, Masto, satpam perusahaan yang dikelola Rafa selamat dari ancaman PHK. Bukan main bersyukur laki-laki itu. Ia bertekad bekerja dengan giat dan menghilangkan kebiasaan buruknya yang bersifat musiman, yaitu menggoda sambil bersuit-suit jika ada gadis atau wanita muda yang melintas di depannya.
Rafa menjalankan perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Pelanggannya cukup banyak dan mereka sangat terkesan dengan pelayanan yang ada. Sudah hampir seratus kasus yang dapat diselesaikan dengan baik dan memuaskan kedua pihak yang bersengketa.
Feri mengamati Nada yang menghidangkan dua tangkup roti bakar dan dua cangkir teh hangat. Dalam hati pemuda itu bertanya-tanya siapa gerangan wanita berjilbab coklat muda dengan jubah senada bermotif kotak-kotak hijau ini.
"Silakan, "ujar Nada.
"Oh, terima kasih, "sahut Feri. "Maaf, Pak Tantra masih lama, ya, Mbak?"
Nada tersenyum. "InsyaAllah, sebentar lagi, Pak. Beliau masih mandi."
"Ya, aku tunggu. Tapi, jangan panggil aku 'pak', aku masih bujangan."
"Oh, kalau begitu, maafkan saya, Mas. Permisi, saya masuk dulu."
"Ya, silakan."
Jumat, 23 September 2011
Di Arung Jeram Cinta
Beberapa hari ini ada kekhawatiran melanda benak Nada. Ia merasa begitu sibuk dengan bayinya sampai-sampai tidak ada waktu untuk berdandan.
Berdandan? Nada terheran-heran sendiri. Sejak kapan ia merisaukan masalah penampilan? Toh, Tantra tidak pernah protes apalagi sampai menginap di tempat lain gara-gara istrinya tidak pernah dandan.
Tetapi, jujur, Nada mulai mencemaskan masalah itu. Setelah melahirkan, banyak yang berubah pada dirinya. Bagaimana kalau nanti suaminya tertarik kepada gadis atau perempuan lain? Sementara, perempuan mana yang tidak simpati melihat Tantra yang memang penuh pesona?
Nada menarik napas perlahan. Si kecil sudah terlelap di buaian.
Pukul lima sore. Feri menatap Tantra yang mengaduk-aduk es jermannya. Rasanya tak percaya Feri mendengar pengakuan teman sebangkunya semasa SMA.
"Jadi, kau sudah menikah?"
Tantra mengangguk.
"Berapa tahun?"
"Satu tahun setengah tahun."
Feri tersenyum lebar. "Ayolah, kau pasti bercanda, Sobat, "tukasnya. "Jangan katakan kalau kamu juga sudah punya anak."
Tantra tersenyum. "Memang sudah, laki-laki, lima belas hari."
Pemuda dua puluh empat tahun itu meneguk limun soda dinginnya dengan susah payah. "Apa? Padahal, dulu kamu terkenal dingin dan pendiam. Sampai-sampai ada beberapa teman yang mengira kamu...maaf, homo...."
"Aku tahu, "tukas Tantra tenang.
Berdandan? Nada terheran-heran sendiri. Sejak kapan ia merisaukan masalah penampilan? Toh, Tantra tidak pernah protes apalagi sampai menginap di tempat lain gara-gara istrinya tidak pernah dandan.
Tetapi, jujur, Nada mulai mencemaskan masalah itu. Setelah melahirkan, banyak yang berubah pada dirinya. Bagaimana kalau nanti suaminya tertarik kepada gadis atau perempuan lain? Sementara, perempuan mana yang tidak simpati melihat Tantra yang memang penuh pesona?
Nada menarik napas perlahan. Si kecil sudah terlelap di buaian.
Pukul lima sore. Feri menatap Tantra yang mengaduk-aduk es jermannya. Rasanya tak percaya Feri mendengar pengakuan teman sebangkunya semasa SMA.
"Jadi, kau sudah menikah?"
Tantra mengangguk.
"Berapa tahun?"
"Satu tahun setengah tahun."
Feri tersenyum lebar. "Ayolah, kau pasti bercanda, Sobat, "tukasnya. "Jangan katakan kalau kamu juga sudah punya anak."
Tantra tersenyum. "Memang sudah, laki-laki, lima belas hari."
Pemuda dua puluh empat tahun itu meneguk limun soda dinginnya dengan susah payah. "Apa? Padahal, dulu kamu terkenal dingin dan pendiam. Sampai-sampai ada beberapa teman yang mengira kamu...maaf, homo...."
"Aku tahu, "tukas Tantra tenang.
Kamis, 22 September 2011
Di Arung Jeram Cinta
Baik Herman maupun Meyra tak berdaya menghalang-halangi ibu mereka yang sedang murka. Begitu pintu terbuka dan melihat seorang laki-laki, Dewi langsung bertanya tanpa tedeng aling-aling, "Kamu yang bernama Danar?"
"Benar, Bu, ada...." Plak! Belum selesai Danar menjawab, tiba-tiba salah satu pipinya terasa pedih.
"Bunda!"seru Herman dan Meyra serentak.
"Maaf, ada apa?"Danar berusaha sabar sambil mengusap pipinya yang terkena sasaran.
"Haah, tidak usah pura-pura, anak muda!"seru Dewi sambil menuding laki-laki sebaya sulungnya itu. "Kaupikir, aku akan tinggal diam setelah tahu perbuatan bejatmu!"
Meyra cepat-cepat meraih tangan ibunya. "Bunda, sudahlah, "bisiknya.
Dewi melotot. "Apa katamu? Sudah? Tidak ada kata sudah untuk laki-laki mesum semacam dia!"
"Ibu, maafkan saya, "Danar menyela santun. Benar-benar bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dibanding Danar yang dulu, sampai-sampai Herman pun tercengang. "Silakan masuk dulu...."
Untuk kesekian kalinya wanita setengah baya itu melotot. Jadi, laki-laki bejat yang merusak masa depan anak gadisku ini tidak merasa berdosa sedikitpun? Ini tidak boleh dibiarkan!
Cakra tertawa mendengar penuturan istrinya. Afna melirik kesal. "Kok tertawa?"
"Kenapa heran, Bu? tukas suaminya. "Itu kan karena mereka tidak hanya berdua, coba kalau berdua...."
Afna mencibir melihat bola mata suaminya berputar nakal. "Sok tahu, memangnya kenapa kalau berdua?"
"Mereka masih terhitung pengantin baru, kan? Jadi...."
"Ayah jorok!"
"Lho, bukan jorok, tapi romantis..., "Cakra tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Afna sudah beranjak dari sofa ruang keluarga dengan sewot. "Bu, kok jadi marah?!"
Afna tak menjawab. Ia menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.
"Benar, Bu, ada...." Plak! Belum selesai Danar menjawab, tiba-tiba salah satu pipinya terasa pedih.
"Bunda!"seru Herman dan Meyra serentak.
"Maaf, ada apa?"Danar berusaha sabar sambil mengusap pipinya yang terkena sasaran.
"Haah, tidak usah pura-pura, anak muda!"seru Dewi sambil menuding laki-laki sebaya sulungnya itu. "Kaupikir, aku akan tinggal diam setelah tahu perbuatan bejatmu!"
Meyra cepat-cepat meraih tangan ibunya. "Bunda, sudahlah, "bisiknya.
Dewi melotot. "Apa katamu? Sudah? Tidak ada kata sudah untuk laki-laki mesum semacam dia!"
"Ibu, maafkan saya, "Danar menyela santun. Benar-benar bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dibanding Danar yang dulu, sampai-sampai Herman pun tercengang. "Silakan masuk dulu...."
Untuk kesekian kalinya wanita setengah baya itu melotot. Jadi, laki-laki bejat yang merusak masa depan anak gadisku ini tidak merasa berdosa sedikitpun? Ini tidak boleh dibiarkan!
Cakra tertawa mendengar penuturan istrinya. Afna melirik kesal. "Kok tertawa?"
"Kenapa heran, Bu? tukas suaminya. "Itu kan karena mereka tidak hanya berdua, coba kalau berdua...."
Afna mencibir melihat bola mata suaminya berputar nakal. "Sok tahu, memangnya kenapa kalau berdua?"
"Mereka masih terhitung pengantin baru, kan? Jadi...."
"Ayah jorok!"
"Lho, bukan jorok, tapi romantis..., "Cakra tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Afna sudah beranjak dari sofa ruang keluarga dengan sewot. "Bu, kok jadi marah?!"
Afna tak menjawab. Ia menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.
Rabu, 07 September 2011
Puisi Idul Fitri
Cahaya itu tak lagi sebersit
namun cerah membentang langit
menyambar habis setumpuk dosa
yang habis meranggas jiwa
Sinar itu tiada sekejap
yang datang lalu lenyap
tetapi hadirkan impian
menggenggam berjuta angan
Selaksa pelangi hiasi angkasa
walau tiada hujan yang menerpa
sebab pelangi itu bersemayam di hati
menyambut hari yang fitri
Catatan: Puisi kilat usang yang kuketik di depan layar komputer adik sepupu, di kota dingin Malang (1 Oktober, 2008).
namun cerah membentang langit
menyambar habis setumpuk dosa
yang habis meranggas jiwa
Sinar itu tiada sekejap
yang datang lalu lenyap
tetapi hadirkan impian
menggenggam berjuta angan
Selaksa pelangi hiasi angkasa
walau tiada hujan yang menerpa
sebab pelangi itu bersemayam di hati
menyambut hari yang fitri
Catatan: Puisi kilat usang yang kuketik di depan layar komputer adik sepupu, di kota dingin Malang (1 Oktober, 2008).
Selasa, 06 September 2011
Di Arung Jeram Cinta
Siapa yang dapat menghalangi niat seorang ibu? Apalagi demi buah hatinya? Begitu pula Herman dan Meyra, keduanya tak sanggup mencegah keinginan ibu mereka yang ingin menemui Danar untuk melabraknya, tentu saja. Ternyata Dewi tak mau tahu bahwa peristiwa itu sudah berlalu berbulan-bulan, baginya laki-laki semacam Danar harus diberi pelajaran. "Antarkan, Ibu, "ujar Dewi meraih tas tangannya dari sofa ruang tamu. "Bu, Meyra sudah tidak apa-apa, "sela Meyra mengikuti ibunya. "Meyra sudah melupakan peristiwa itu."
Dewi menatap putrinya tajam. "Kamu bukan melupakan, tapi berusaha melupakan, "tukasnya. "Dan Ibu tahu, kau belum berhasil."
Melihat adiknya tertunduk, Herman tak sampai hati. "Bu, tolong jangan ungkit peristiwa itu lagi."
Dewi melotot. "Kau belum punya anak perempuan, Herman! Kalau sudah, kau akan tahu bagaimana rasanya kalau anak perempuanmu...,"wanita empat puluh delapan tahun itu terdiam. "Maafkan Ibu, Herman, Meyra... tolong antarkan Ibu ke rumah laki-laki bejat itu."
Herman mengerti bahwa ibunya tak mungkin dibantah lagi.
Perusahaan yang dikelola Rafa sejak awal kuliah hingga saat ini bergerak di bidang jasa. Gadis yang lincah itu sangat prihatin dengan kasus kekerasan terhadap wanita dan anak-anak. Dengan modal nekat, ia berusaha mencari psikolog dan psikiater yang bersedia membantunya.
"Ayah, Rafa tidak cari keuntungan, "ujarnya saat Cakra mengingatkan bahwa usaha semacam itu lebih banyak risikonya dibanding hasil yang diperoleh.
"Kau harus tetap waspada, Rafa,"sahut Cakra serius."Ayah tidak ingin kamu bertindak gegabah."
"Rafa mengerti, Ayah." Sekarang perusahaan milik Rafa telah memiliki tiga cabang yang didirikan di kota-kota kecil, hal itu untuk memudahkan para pelanggan yang bermukim di kota kecil jika ingin menggunakan jasa perusahaan tersebut.
"Silakan duduk, Pak, "Rafa menunjuk kursi di hadapannya yang dibatasi dengan meja presiden direktur. Pak Satpam menurut dengan laku yang kikuk. "Sepertinya Bapak belum lama bekerja di sini, "Rafa membuka percakapan. "Berapa lama?"
"Satu bulan, Bu...."
Rafa mengangguk-angguk. Pantas, pikirnya. Sebulan memang aku tidak sempat ke sini karena mengurus tetek bengek kelulusan.
Dewi menatap putrinya tajam. "Kamu bukan melupakan, tapi berusaha melupakan, "tukasnya. "Dan Ibu tahu, kau belum berhasil."
Melihat adiknya tertunduk, Herman tak sampai hati. "Bu, tolong jangan ungkit peristiwa itu lagi."
Dewi melotot. "Kau belum punya anak perempuan, Herman! Kalau sudah, kau akan tahu bagaimana rasanya kalau anak perempuanmu...,"wanita empat puluh delapan tahun itu terdiam. "Maafkan Ibu, Herman, Meyra... tolong antarkan Ibu ke rumah laki-laki bejat itu."
Herman mengerti bahwa ibunya tak mungkin dibantah lagi.
Perusahaan yang dikelola Rafa sejak awal kuliah hingga saat ini bergerak di bidang jasa. Gadis yang lincah itu sangat prihatin dengan kasus kekerasan terhadap wanita dan anak-anak. Dengan modal nekat, ia berusaha mencari psikolog dan psikiater yang bersedia membantunya.
"Ayah, Rafa tidak cari keuntungan, "ujarnya saat Cakra mengingatkan bahwa usaha semacam itu lebih banyak risikonya dibanding hasil yang diperoleh.
"Kau harus tetap waspada, Rafa,"sahut Cakra serius."Ayah tidak ingin kamu bertindak gegabah."
"Rafa mengerti, Ayah." Sekarang perusahaan milik Rafa telah memiliki tiga cabang yang didirikan di kota-kota kecil, hal itu untuk memudahkan para pelanggan yang bermukim di kota kecil jika ingin menggunakan jasa perusahaan tersebut.
"Silakan duduk, Pak, "Rafa menunjuk kursi di hadapannya yang dibatasi dengan meja presiden direktur. Pak Satpam menurut dengan laku yang kikuk. "Sepertinya Bapak belum lama bekerja di sini, "Rafa membuka percakapan. "Berapa lama?"
"Satu bulan, Bu...."
Rafa mengangguk-angguk. Pantas, pikirnya. Sebulan memang aku tidak sempat ke sini karena mengurus tetek bengek kelulusan.
Senin, 05 September 2011
Langit di Awal Syawal
Langit tak pernah sebiru ini
berselimut kemilau bak intan baiduri
Angkasa belum pernah cerah begini
berpendar cahaya berwarna-warni
Apakah kalbumu secerah langit biru
Adakah hatimu seluas angkasa tanpa awan kelabu
Sebab alam semesta tengah bersuka ria
menyambut tiba hari sang juara
Pasrahkan diri ke pangkuan Illahi
alunkan senandung dari bait kitab suci
Jagad raya kan iringi
luruh jiwamu dalam kasih tak bertepi
berselimut kemilau bak intan baiduri
Angkasa belum pernah cerah begini
berpendar cahaya berwarna-warni
Apakah kalbumu secerah langit biru
Adakah hatimu seluas angkasa tanpa awan kelabu
Sebab alam semesta tengah bersuka ria
menyambut tiba hari sang juara
Pasrahkan diri ke pangkuan Illahi
alunkan senandung dari bait kitab suci
Jagad raya kan iringi
luruh jiwamu dalam kasih tak bertepi
Jumat, 19 Agustus 2011
Di Arung Jeram Cinta
Rafa memang gadis energik. Ia tidak pernah bisa melewatkan waktu tanpa melakukan sesuatu yang bermanfaat. Ada saja yang dilakukannya untuk mengisi waktu. Ayah dan ibunya tentu saja sangat mendukung kebiasaan putri bungsunya itu. Bahkan Tantra pun tak segan-segan memberikan bantuan.
Hari ini adalah hari paling sial sedunia bagi satpam yang bertugas di perusahaan itu. Tetapi ia masih belum menyadarinya.
"Mau lapor siapa, Neng?" ia malah menggoda saat melihat Rafa menghubungi seseorang lewat ponsel.
Rafa memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Sebentar lagi Anda akan tahu, "tukasnya tenang.
"Lapor pacarnya, ya?"
Rafa tak mengacuhkan. Ia mengalihkan pandangannya ke arah seorang laki-laki bertubuh tinggi dan kekar.
"Ada tugas untuk kami, Mbak?"
"Sampaikan kepada Pak Satpam, bahwa dia harus menghadap saya di kantor. Sekarang juga."
"Baik, Mbak."
Sebelum membalikkan tubuh, gadis itu melempar senyum mengejek kepada satpam yang kini terbengong-bengong.
"Siapa perempuan itu?"
"Itu Mbak Rafa pemilik perusahaan ini."
Pucat seketika wajah laki-laki tiga puluhan itu. "Aduh, bagaimana ini, aku tadi sudah menggodanya."
Hari ini adalah hari paling sial sedunia bagi satpam yang bertugas di perusahaan itu. Tetapi ia masih belum menyadarinya.
"Mau lapor siapa, Neng?" ia malah menggoda saat melihat Rafa menghubungi seseorang lewat ponsel.
Rafa memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Sebentar lagi Anda akan tahu, "tukasnya tenang.
"Lapor pacarnya, ya?"
Rafa tak mengacuhkan. Ia mengalihkan pandangannya ke arah seorang laki-laki bertubuh tinggi dan kekar.
"Ada tugas untuk kami, Mbak?"
"Sampaikan kepada Pak Satpam, bahwa dia harus menghadap saya di kantor. Sekarang juga."
"Baik, Mbak."
Sebelum membalikkan tubuh, gadis itu melempar senyum mengejek kepada satpam yang kini terbengong-bengong.
"Siapa perempuan itu?"
"Itu Mbak Rafa pemilik perusahaan ini."
Pucat seketika wajah laki-laki tiga puluhan itu. "Aduh, bagaimana ini, aku tadi sudah menggodanya."
Selasa, 05 Juli 2011
Celah Pelangi
Aku sengaja menghapus gambar-gambar avatar yang baru beberapa hari kutampilkan di situs ini. Bukan karena dikomentari zombie, tetapi karena aku baru tahu hukumnya.
Sesungguhnya ilmu Allah itu tiada terbatas. Dia memerintahkan hambaNya agar menuntut ilmu, bahkan mewajibkannya. Manusia tidak boleh puas dengan semua yang telah diketahuinya, tetapi ia harus selalu mencari, mencari, dan mencari serta belajar tentang segala hal yang harus diketahuinya.
Ini hanyalah celah ilmu yang sebenarnya pernah kubaca, tetapi aku sempat terlupa (bukan melupakan). Sekarang aku sudah ingat kembali.
Rabu, 29 Juni 2011
Di Arung Jeram Cinta
Dewi alias bunda, ibu Herman dan Meyra baru saja mengetahui peristiwa tragis yang menimpa putri bungsunya itu. Wanita lima puluh tahun itu menyesalkan sikap Herman yang tertutup.
"Jadi, kejadian itu sudah beberapa bulan yang lalu?"
Herman mengangguk. Ia merasa sangat bersalah. "Maafkan saya, Bunda. Saya pikir Ibu pasti tidak ingin mendengar berita buruk ini."
Dewi menarik napas panjang. "Herman, Bunda memang tidak ingin mendengar berita yang buruk, tapi bukan berarti Bunda tidak perduli."
Herman memandang ibunya yang duduk sambil memeluk pundak adiknya. Pagi itu Meyra tampak lebih ceria walaupun sedikit pucat. "Saya tidak ingin membuat Bunda sedih."
"Bunda mengerti, "Dewi tersenyum. Wanita menoleh ke arah putrinya. "Yang Bunda herankan kenapa tidak kalian jebloskan saja laki-laki bejat itu ke penjara?"
Herman menatap adiknya. "Meyra yang tidak mau, Bun."
"Kenapa, Nak?"
Meyra menggeleng. "Bunda, saya hanya ingin melupakan peristiwa itu. Tapi...rasanya sulit sekali."
"Kau tidak hamil kan?"
Lagi-lagi Meyra menggeleng.
"Kalau kamu sampai hamil, laki-laki itu harus bertanggung jawab, "geram Dewi.
"Dia sudah menikah, Bunda...."
Lirih memang ucapan Meyra, tetapi mampu membuat kedua mata ibunya terbelalak. "Apa?!"
Menunggu wisuda yang masih dua minggu lagi terlalu lama bagi Rafa. Gadis itu sudah tidak sabar lagi untuk terjun ke dunia kerja. Setelah mendapatkan surat keterangan lulus dari fakultas, ia bergegas menulis surat lamaran pekerjaan.
"Maaf, tidak ada lowongan, "sambut satpam saat Rafa hendak memasuki sebuah gedung perkantoran yang megah. Laki-laki berkumis tebal itu mengamati gadis di hadapannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sebenarnya Rafa gerah diperlakukan seperti itu, tetapi pura-pura tidak tahu. Saat itu mengenakan busana muslim lengkap dengan jilbabnya langsung mengerutkan kening. "Oh ya? Tapi, kenapa tulisan di karton manila...."
"Oh, "pak satpam membalik karton manila putih yang terpasang di atas meja. Karton yang bertuliskan 'MASIH ADA LOWONGAN' itu kini terbaca menjadi 'TIDAK ADA LOWONGAN'.
Tiba-tiba timbul pikiran iseng di benak Rafa. Kini ia balas memandang pak satpam tanpa berkedip. Gadis itu masih kesal karena diperlakukan sedemikian rupa oleh laki-laki yang baru dikenalnya. Rafa tidak akan puas kalau belum membalas.
"Jadi, kejadian itu sudah beberapa bulan yang lalu?"
Herman mengangguk. Ia merasa sangat bersalah. "Maafkan saya, Bunda. Saya pikir Ibu pasti tidak ingin mendengar berita buruk ini."
Dewi menarik napas panjang. "Herman, Bunda memang tidak ingin mendengar berita yang buruk, tapi bukan berarti Bunda tidak perduli."
Herman memandang ibunya yang duduk sambil memeluk pundak adiknya. Pagi itu Meyra tampak lebih ceria walaupun sedikit pucat. "Saya tidak ingin membuat Bunda sedih."
"Bunda mengerti, "Dewi tersenyum. Wanita menoleh ke arah putrinya. "Yang Bunda herankan kenapa tidak kalian jebloskan saja laki-laki bejat itu ke penjara?"
Herman menatap adiknya. "Meyra yang tidak mau, Bun."
"Kenapa, Nak?"
Meyra menggeleng. "Bunda, saya hanya ingin melupakan peristiwa itu. Tapi...rasanya sulit sekali."
"Kau tidak hamil kan?"
Lagi-lagi Meyra menggeleng.
"Kalau kamu sampai hamil, laki-laki itu harus bertanggung jawab, "geram Dewi.
"Dia sudah menikah, Bunda...."
Lirih memang ucapan Meyra, tetapi mampu membuat kedua mata ibunya terbelalak. "Apa?!"
Menunggu wisuda yang masih dua minggu lagi terlalu lama bagi Rafa. Gadis itu sudah tidak sabar lagi untuk terjun ke dunia kerja. Setelah mendapatkan surat keterangan lulus dari fakultas, ia bergegas menulis surat lamaran pekerjaan.
"Maaf, tidak ada lowongan, "sambut satpam saat Rafa hendak memasuki sebuah gedung perkantoran yang megah. Laki-laki berkumis tebal itu mengamati gadis di hadapannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sebenarnya Rafa gerah diperlakukan seperti itu, tetapi pura-pura tidak tahu. Saat itu mengenakan busana muslim lengkap dengan jilbabnya langsung mengerutkan kening. "Oh ya? Tapi, kenapa tulisan di karton manila...."
"Oh, "pak satpam membalik karton manila putih yang terpasang di atas meja. Karton yang bertuliskan 'MASIH ADA LOWONGAN' itu kini terbaca menjadi 'TIDAK ADA LOWONGAN'.
Tiba-tiba timbul pikiran iseng di benak Rafa. Kini ia balas memandang pak satpam tanpa berkedip. Gadis itu masih kesal karena diperlakukan sedemikian rupa oleh laki-laki yang baru dikenalnya. Rafa tidak akan puas kalau belum membalas.
Selasa, 28 Juni 2011
Di Arung Jeram Cinta (Bab XI)
Bayi itu begitu mungil dan menggemaskan. Tidak bosan-bosannya Tantra mengamati buah hatinya. Ia tidak habis pikir bagaimana caranya bayi itu bersemayam di rahim istrinya lalu sekarang....
Tantra menoleh. Nada mencolek lengannya. Ayah muda itu menghela napas perlahan saat istrinya memberi kode supaya keluar kamar.
"Mas...."
Tantra menoleh.
"Makan dulu saja, ajak Ibu dan Dik Rafa."
Tantra tersenyum.
"Tidak temani istrimu?"tanya Afna melihat si Sulung menghampiri.
"Sedang sensor, "sahut Tantra asal sambil menghempaskan tubuhnya ke kursi empuk di ruang tengah.
"Sensor apa, Mas?"Rafa mengerutkan kening.
"Iya, kamu ini ada-ada saja, Tantra."
"Arsya minum asi, Bu."
"Kamu tidak temani istrimu?"
Tantra menggeleng.
"Kenapa?"
Tantra menatap ibunya serius. "Bu, Nada sangat pemalu. Ganti baju saja, aku disuruh berbalik atau keluar kamar."
Rafa teringat peristiwa handuk itu. "Iya, Bu, "sela gadis itu. "Pernah Mas Tantra menitipkan handuk supaya aku berikan pada Mbak Nada yang sedang mandi."
Afna mengerutkan kening. "Kamu tidak mengasari istrimu, kan?"tanya wanita setengah baya itu dengan nada menyelidik.
"Ya Allah, Ibu, masa aku begitu?"
Wanita itu kembali mengerutkan kening. "Jadi benar, tidak ada apa-apa?"
"Tidak, Bu. Mbak Nada memang seperti itu."
Rafa mendehem. "Maksud Ibu, kok bisa Mbak Nada hamil padahal dia pemalu seka...auuw!" belum selesai bicara, kakinya langsung diinjak kakaknya.
"Rafa, jangan goda kakakmu, "Afna tersenyum simpul.
Tantra berusaha bersikap biasa. "Kita makan dulu atau...."
"Kita tunggu Mbak Nada, "tukas Afna.
Bagai disambar petir Danar mendengarkan penuturan Ratih. Ternyata selama ini Lisa telah begitu banyak menderita, menderita jiwa dan raga. Tetapi, tidak sedikitpun istrinya itu mengeluh. Ia selalu sabar menghadapi perlakuan kejam suaminya.
"Kamu ini bisa masak apa tidak?!" bentak Danar melempar sebasi sup makaroni.
Lisa memekik kaget campur takut. Ia lupa membeli kentang kesukaan suaminya dan baru teringat setelah sup itu dihidangkannya di meja makan.
"Ma..maaf, Mas, saya lupa...."
"Begitu, ya, "sahut Danar mencengkeram lengan istrinya. "Kalau dandan, kamu tidak lupa? Begitu?"
Padahal mana sempat Lisa mengurusi dirinya sendiri. Melihat istrinya diam saja, Danar semakin marah. Seperti biasa tangannya yang kekar terayun menebas tubuh istrinya yang tinggi dan besarnya tak sepadan dengan dirinya.
"Selama ini Mbak Lisa mengikuti terapi."
"Kenapa Dokter tidak menceritakannya kepada saya?"
"Maafkan saya, Pak Danar, "sahut Ratih dengan nada menyesal. "Mbak Lisa yang melarang saya. Ia tidak ingin Anda khawatir."
Danar terdiam. Ada rasa takut mengusik perasaannya. Tetapi, ia harus mengetahui penyebabnya. "Maaf, Dokter, sebenarnya apa penyebab penyakit yang diderita istri saya?"
Tantra menoleh. Nada mencolek lengannya. Ayah muda itu menghela napas perlahan saat istrinya memberi kode supaya keluar kamar.
"Mas...."
Tantra menoleh.
"Makan dulu saja, ajak Ibu dan Dik Rafa."
Tantra tersenyum.
"Tidak temani istrimu?"tanya Afna melihat si Sulung menghampiri.
"Sedang sensor, "sahut Tantra asal sambil menghempaskan tubuhnya ke kursi empuk di ruang tengah.
"Sensor apa, Mas?"Rafa mengerutkan kening.
"Iya, kamu ini ada-ada saja, Tantra."
"Arsya minum asi, Bu."
"Kamu tidak temani istrimu?"
Tantra menggeleng.
"Kenapa?"
Tantra menatap ibunya serius. "Bu, Nada sangat pemalu. Ganti baju saja, aku disuruh berbalik atau keluar kamar."
Rafa teringat peristiwa handuk itu. "Iya, Bu, "sela gadis itu. "Pernah Mas Tantra menitipkan handuk supaya aku berikan pada Mbak Nada yang sedang mandi."
Afna mengerutkan kening. "Kamu tidak mengasari istrimu, kan?"tanya wanita setengah baya itu dengan nada menyelidik.
"Ya Allah, Ibu, masa aku begitu?"
Wanita itu kembali mengerutkan kening. "Jadi benar, tidak ada apa-apa?"
"Tidak, Bu. Mbak Nada memang seperti itu."
Rafa mendehem. "Maksud Ibu, kok bisa Mbak Nada hamil padahal dia pemalu seka...auuw!" belum selesai bicara, kakinya langsung diinjak kakaknya.
"Rafa, jangan goda kakakmu, "Afna tersenyum simpul.
Tantra berusaha bersikap biasa. "Kita makan dulu atau...."
"Kita tunggu Mbak Nada, "tukas Afna.
Bagai disambar petir Danar mendengarkan penuturan Ratih. Ternyata selama ini Lisa telah begitu banyak menderita, menderita jiwa dan raga. Tetapi, tidak sedikitpun istrinya itu mengeluh. Ia selalu sabar menghadapi perlakuan kejam suaminya.
"Kamu ini bisa masak apa tidak?!" bentak Danar melempar sebasi sup makaroni.
Lisa memekik kaget campur takut. Ia lupa membeli kentang kesukaan suaminya dan baru teringat setelah sup itu dihidangkannya di meja makan.
"Ma..maaf, Mas, saya lupa...."
"Begitu, ya, "sahut Danar mencengkeram lengan istrinya. "Kalau dandan, kamu tidak lupa? Begitu?"
Padahal mana sempat Lisa mengurusi dirinya sendiri. Melihat istrinya diam saja, Danar semakin marah. Seperti biasa tangannya yang kekar terayun menebas tubuh istrinya yang tinggi dan besarnya tak sepadan dengan dirinya.
"Selama ini Mbak Lisa mengikuti terapi."
"Kenapa Dokter tidak menceritakannya kepada saya?"
"Maafkan saya, Pak Danar, "sahut Ratih dengan nada menyesal. "Mbak Lisa yang melarang saya. Ia tidak ingin Anda khawatir."
Danar terdiam. Ada rasa takut mengusik perasaannya. Tetapi, ia harus mengetahui penyebabnya. "Maaf, Dokter, sebenarnya apa penyebab penyakit yang diderita istri saya?"
Minggu, 26 Juni 2011
Di Arung Jeram Cinta
Kertas itu masih terletak di tempat semula. Meyra sengaja menempelkannya di album kenangan. Gadis itu termenung. Mengapa setelah ia menyadari betapa berharga dirinya, ia harus mengalami petaka itu?
Bukan Tantra yang melakukannya. Padahal, kalau ia mau, dengan mudah akan mendapatkan. Bukankah Meyra yang menawarkan hal itu lebih dulu? Meskipun tentu saja hanya main-main, tetapi seandainya bukan Tantra, mungkin akan lain ceritanya.
"Biar kakakmu yang sok alim itu tahu kalau dia bukan apa-apa, juga adiknya ini, "ujar Danar dengan tatapan merendahkan memandang Meyra yang berdiri menunduk. "Aku tahu selama ini kau suka merayu Tantra supaya dia tertarik padamu...."
Meyra mengangkat wajahnya. "Boleh aku pulang?"
"Pulang? Silakan, setelah ada ganti rugi."
Meyra menjerit. Pegangan laki-laki sebaya kakaknya itu bagaikan penjepit besi.
"Mau jenguk kemenakannya, ya Dik?"sapa perawat duplikat Paramitha Rusady saat berpapasan dengan Tantra dan Rafa.
"Iya, Suster, "sahut Tantra ramah.
"Oh ya, sebaiknya Adik segera menghubungi ayah kemenakanmu untuk mengurus surat keterangan lahir."
"Terima kasih, Suster, saya akan urus pagi ini."
"Harus ayah kandungnya, Dik, "tukas perawat itu sotoy.
"Saya ayah kandungnya."
Merah padam seketika wajah Paramitha Rusady gadungan itu. Meskipun demikian, dia berusaha supaya terlihat tenang. "Oh, kalau begitu, sekarang saja, Pak, "ujarnya jaim.
"Terima kasih, Suster."
Rafa tersenyum geli. "Mas Tantra memang cocok jadi mahasiswa, "komentar gadis itu.
"Dik, Mas sudah jadi ayah, "tukas Tantra tersenyum.
"Eh, kemarin ada yang mengira Mas pemuda yang menghamili kekasihnya."
"Memang."
"Di luar nikah."
"Mas juga tahu."
"Kenapa Mas diam saja?"
"Untuk apa? Yang penting sebenarnya tidak."
Rafa mengangkat bahu. Kakaknya ini memang terlalu baik hati. Dia tidak pernah mau ikut campur urusan pribadi atau komentar orang lain tentang dirinya.
Meyra menggeleng kuat-kuat berusaha mengusir bayangan yang sangat mengusik itu supaya pergi jauh-jauh.
Tok, tok, tok.
Meyra tersentak. "I...iya?"
"Ini Bunda, Sayang."
"Bunda?" bisik Meyra seolah-olah mengira pendengarannya salah. Sejak kapan Bunda datang? Apa dari tadi pagi? Mengapa ia baru tahu menjelang siang?
"Bukakan pintunya, Sayang. Bunda kangen."
Bukan Tantra yang melakukannya. Padahal, kalau ia mau, dengan mudah akan mendapatkan. Bukankah Meyra yang menawarkan hal itu lebih dulu? Meskipun tentu saja hanya main-main, tetapi seandainya bukan Tantra, mungkin akan lain ceritanya.
"Biar kakakmu yang sok alim itu tahu kalau dia bukan apa-apa, juga adiknya ini, "ujar Danar dengan tatapan merendahkan memandang Meyra yang berdiri menunduk. "Aku tahu selama ini kau suka merayu Tantra supaya dia tertarik padamu...."
Meyra mengangkat wajahnya. "Boleh aku pulang?"
"Pulang? Silakan, setelah ada ganti rugi."
Meyra menjerit. Pegangan laki-laki sebaya kakaknya itu bagaikan penjepit besi.
"Mau jenguk kemenakannya, ya Dik?"sapa perawat duplikat Paramitha Rusady saat berpapasan dengan Tantra dan Rafa.
"Iya, Suster, "sahut Tantra ramah.
"Oh ya, sebaiknya Adik segera menghubungi ayah kemenakanmu untuk mengurus surat keterangan lahir."
"Terima kasih, Suster, saya akan urus pagi ini."
"Harus ayah kandungnya, Dik, "tukas perawat itu sotoy.
"Saya ayah kandungnya."
Merah padam seketika wajah Paramitha Rusady gadungan itu. Meskipun demikian, dia berusaha supaya terlihat tenang. "Oh, kalau begitu, sekarang saja, Pak, "ujarnya jaim.
"Terima kasih, Suster."
Rafa tersenyum geli. "Mas Tantra memang cocok jadi mahasiswa, "komentar gadis itu.
"Dik, Mas sudah jadi ayah, "tukas Tantra tersenyum.
"Eh, kemarin ada yang mengira Mas pemuda yang menghamili kekasihnya."
"Memang."
"Di luar nikah."
"Mas juga tahu."
"Kenapa Mas diam saja?"
"Untuk apa? Yang penting sebenarnya tidak."
Rafa mengangkat bahu. Kakaknya ini memang terlalu baik hati. Dia tidak pernah mau ikut campur urusan pribadi atau komentar orang lain tentang dirinya.
Meyra menggeleng kuat-kuat berusaha mengusir bayangan yang sangat mengusik itu supaya pergi jauh-jauh.
Tok, tok, tok.
Meyra tersentak. "I...iya?"
"Ini Bunda, Sayang."
"Bunda?" bisik Meyra seolah-olah mengira pendengarannya salah. Sejak kapan Bunda datang? Apa dari tadi pagi? Mengapa ia baru tahu menjelang siang?
"Bukakan pintunya, Sayang. Bunda kangen."
Jumat, 24 Juni 2011
Jiwa Pelangi
"Lho, ke bank saja kok diantar ibunya?"begitu sapa petugas suatu bank saat melihatku berdiri di samping Ibu.
"Kan sekalian, Ibu juga mau ambil tabungan, "tukasku. "Biar hemat."
"Oh, begitu...."
Apa sih urusannya? Waktu itu aku masih duduk di bangku SMA. Terus terang aku tak habis pikir mengapa orang sering bertanya sesuatu yang bukan urusannya. Mungkin sekadar basa-basi, tetapi perlukah mengomentari sesuatu yang bisa menyinggung perasaan orang lain?
Kakak iparku menceritakan pengalamannya mengantar putra sulungnya mengurus KTP. Petugas kecamatan menegur kemenakanku itu. "Lho, kok masih diantar ibunya?"
"Ini baru pertama urus KTP, biar cepat ya saya bantu. Besok-besok ya harus urus sendiri, "begitu jawab kakak iparku.
"Besok ke sini sendiri bisa, kan?" tanya petugas itu kepada kemenakanku."
"Bisa, "jawab kemenakanku.
"Wah, memangnya yang punya anak siapa?"begitu komentarku setelah mendengar cerita kakak ipar. "Kan anak-anaknya sendiri. Mau diantar, mau disuruh naik taksi, naik angkot, memang apa urusannya?"
Maaf, maaf, mungkin aku bukan tipe orang yang perduli dengan urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan diriku. Apalagi menyangkut cara mendidik anak. Kalau para tetangga sering ikut memarahi anak tetangga yang tidak menurut orang tua, aku memilih diam saja. Menurutku mungkin saja orang tua anak itu tersinggung karena tetangganya ikut campur dalam mengurus anaknya, hanya saja ia tidak menyampaikan hal itu.
"Kan sekalian, Ibu juga mau ambil tabungan, "tukasku. "Biar hemat."
"Oh, begitu...."
Apa sih urusannya? Waktu itu aku masih duduk di bangku SMA. Terus terang aku tak habis pikir mengapa orang sering bertanya sesuatu yang bukan urusannya. Mungkin sekadar basa-basi, tetapi perlukah mengomentari sesuatu yang bisa menyinggung perasaan orang lain?
Kakak iparku menceritakan pengalamannya mengantar putra sulungnya mengurus KTP. Petugas kecamatan menegur kemenakanku itu. "Lho, kok masih diantar ibunya?"
"Ini baru pertama urus KTP, biar cepat ya saya bantu. Besok-besok ya harus urus sendiri, "begitu jawab kakak iparku.
"Besok ke sini sendiri bisa, kan?" tanya petugas itu kepada kemenakanku."
"Bisa, "jawab kemenakanku.
"Wah, memangnya yang punya anak siapa?"begitu komentarku setelah mendengar cerita kakak ipar. "Kan anak-anaknya sendiri. Mau diantar, mau disuruh naik taksi, naik angkot, memang apa urusannya?"
Maaf, maaf, mungkin aku bukan tipe orang yang perduli dengan urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan diriku. Apalagi menyangkut cara mendidik anak. Kalau para tetangga sering ikut memarahi anak tetangga yang tidak menurut orang tua, aku memilih diam saja. Menurutku mungkin saja orang tua anak itu tersinggung karena tetangganya ikut campur dalam mengurus anaknya, hanya saja ia tidak menyampaikan hal itu.
Antara Kita
Engkaukah itu yang mendekap tangisku
dengan segenap tawa dan rayuanmu
bintang-bintang di angkasa kemilau menari
temani lembutnya rembulan malam hari
Adakah engkau yang menyodorkan lusinan cangkir angan
luapan masa lalu penuh kegirangan
berdua kita melangkah meniti hari
dalam riang gembira yang menanti
Masihkah kau meraba mimpi-mimpi kita
yang dulu pernah terajut dalam dunia tak kenal duka
dan masihkah kau sudi mendekap tangisku
dengan bujuk dan senyummu
dengan segenap tawa dan rayuanmu
bintang-bintang di angkasa kemilau menari
temani lembutnya rembulan malam hari
Adakah engkau yang menyodorkan lusinan cangkir angan
luapan masa lalu penuh kegirangan
berdua kita melangkah meniti hari
dalam riang gembira yang menanti
Masihkah kau meraba mimpi-mimpi kita
yang dulu pernah terajut dalam dunia tak kenal duka
dan masihkah kau sudi mendekap tangisku
dengan bujuk dan senyummu
Di Arung Jeram Cinta
Afna mengusap-usap punggung anak sulungnya yang tampak cemas. Wanita itu sangat memahami perasaan Tantra yang kebat-kebit karena akan menjadi ayah dalam arti yang sebenarnya.
"Kau harus tenang, "bisik Afna. "Berdoalah supaya istri dan anakmu selamat, tidak ada apa-apa."
Tantra menoleh ke arah ibunya. "Kenapa aku tidak boleh masuk?"
"Tantra, pasrahkan semua kepada Allah, biarkan dokter dan suster melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya."
Rafa duduk mengapit kakaknya. "Sayang sekali Ayah masih di Australia, "katanya. "Coba, kalau sudah pulang, pasti bisa bantu Mbak Nada melahirkan."
"Lusa, ayahmu baru pulang, "sahut Afna.
Tantra tidak menyela percakapan ibu dan adiknya. Pikirannya terfokus pada istrinya yang sedang berjuang bertaruh nyawa.
"Dulu, waktu Ibu melahirkan aku dan Mas Tantra, bagaimana? Sakit tidak?"
Afna tersenyum. "Hampir semua proses dalam kehidupan ini menyakitkan, "ujarnya lembut. "Tapi, jika sudah berhasil melaluinya, kita akan melupakan rasa sakit itu. Begitu juga saat Ibu melahirkan kalian. Rasa sakit itu hilang seketika setelah melihat kalian lahir sehat dan normal."
Rafa meraih dan mencium tangan ibunya.
"Aku sayang Ibu, "bisik Tantra mencium pipi Afna.
Afna memeluk kedua anaknya penuh sayang.
Nada masih tampak lemah saat Tantra menghampirinya. Ia tersenyum menyambut kedatangan suaminya.
"Anak kita laki-laki, "ujar Tantra tersenyum.
"Kulitnya belang atau seperti papan catur, tidak?"
"Memangnya zebra?"Tantra heran istrinya masih bisa bercanda setelah melalui saat-saat yang sangat menegangkan itu.
"Bayi kita masih di inkubator, "kata Nada. "Mas pasti penasaran ingin tahu wajahnya mirip siapa."
"Nanti aku intip dari kaca."
Nada tersenyum geli. Dipandangnya Tantra yang tampak semakin tampan dan gagah saja. Kalau sudah begini, siapa yang percaya kalau dia sudah menikah dan mempunyai anak?
"Kau harus tenang, "bisik Afna. "Berdoalah supaya istri dan anakmu selamat, tidak ada apa-apa."
Tantra menoleh ke arah ibunya. "Kenapa aku tidak boleh masuk?"
"Tantra, pasrahkan semua kepada Allah, biarkan dokter dan suster melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya."
Rafa duduk mengapit kakaknya. "Sayang sekali Ayah masih di Australia, "katanya. "Coba, kalau sudah pulang, pasti bisa bantu Mbak Nada melahirkan."
"Lusa, ayahmu baru pulang, "sahut Afna.
Tantra tidak menyela percakapan ibu dan adiknya. Pikirannya terfokus pada istrinya yang sedang berjuang bertaruh nyawa.
"Dulu, waktu Ibu melahirkan aku dan Mas Tantra, bagaimana? Sakit tidak?"
Afna tersenyum. "Hampir semua proses dalam kehidupan ini menyakitkan, "ujarnya lembut. "Tapi, jika sudah berhasil melaluinya, kita akan melupakan rasa sakit itu. Begitu juga saat Ibu melahirkan kalian. Rasa sakit itu hilang seketika setelah melihat kalian lahir sehat dan normal."
Rafa meraih dan mencium tangan ibunya.
"Aku sayang Ibu, "bisik Tantra mencium pipi Afna.
Afna memeluk kedua anaknya penuh sayang.
Nada masih tampak lemah saat Tantra menghampirinya. Ia tersenyum menyambut kedatangan suaminya.
"Anak kita laki-laki, "ujar Tantra tersenyum.
"Kulitnya belang atau seperti papan catur, tidak?"
"Memangnya zebra?"Tantra heran istrinya masih bisa bercanda setelah melalui saat-saat yang sangat menegangkan itu.
"Bayi kita masih di inkubator, "kata Nada. "Mas pasti penasaran ingin tahu wajahnya mirip siapa."
"Nanti aku intip dari kaca."
Nada tersenyum geli. Dipandangnya Tantra yang tampak semakin tampan dan gagah saja. Kalau sudah begini, siapa yang percaya kalau dia sudah menikah dan mempunyai anak?
Sabtu, 11 Juni 2011
Di Arung Jeram Cinta
Ini malam istimewa. Tidak seperti biasanya wanita itu menyiapkan makan malam untuk suami dan kedua anaknya. Irsan tak urung bertanya-tanya meskipun ia sangat menikmati kejutan itu.
Tetapi pria tigapuluh tahun itu memilih menahan diri untuk tidak bertanya sampai kedua buah hati mereka terbuai mimpi.
Ratih meletakkan dua cangkir susu coklat di meja ruang keluarga. Malam itu ia tampak cantik dan anggun dengan piyama merah muda bermotif bunga- bunga jingga.
"Seandainya setiap hari seperti ini, "ujar Irsan memperhatikan istrinya yang sibuk merapikan majalah di rak buku. "Maksudku...paling tidak, ya, dua atau tiga kali seminggulah."
Ratih menoleh. "Kenapa?"tanya wanita itu mengulum senyum.
"Aku senang hari ini kamu pulang lebih awal dari biasanya."
"Kamu menyesal punya istri seorang dokter?"
Irsan menggeleng cepat. "Tentu saja tidak, Ratih. Sejak awal aku tahu konsekuensinya, sebab risiko profesimu memang tidak ringan."
Ratih tersenyum. Ia beranjak dan duduk di samping suaminya. "Terima kasih, Irsan, "sahutnya. "Aku jadi semakin yakin kalau aku tidak salah memilih."
"Memang ada yang tidak setuju kalau aku jadi suamimu?"
Ratih tampak ragu-ragu.
"Katakan saja, "Irsan mendesak.
"Mm...Pakdhe, kakak ayah. Beliau lebih suka kalau aku menikah dengan laki-laki yang paling tidak sepuluh tahun lebih tua."
"Oh ya? Aku baru tahu."
"Maksudnya memang baik, supaya kehidupanku terjamin. Malah kalau bisa menurut beliau yang sudah kepala lima."
Irsan tidak dapat menahan rasa gelinya. Untunglah sebelum tawanya meledak, istrinya sudah mencubit lengannya.
"Tidak lucu."
"Maaf, aku hanya membayangkan gadis usia dua puluh lima tahun bersanding dengan kakek-kakek beruban."
Ratih tersenyum. "Tapi, jangan khawatir, Pakdhe setuju kok waktu aku tunjukkan fotomu. Katanya, wah ganteng juga, Nak. Ini calonmu, ya? Anak mana?"
"Lalu jawabmu?"
"Ya, aku jawab lengkap. Nama Mahendra Irsanto Wiranata, tempat tanggal lahir tujuh belas Maret...."
"Kamu baca biodataku semua?"
Ratih mengangguk. "Pakdhe tambah senang waktu tahu kamu sarjana teknik listrik, jadi bisa reparasi listrik gratis."
Irsan menatap istrinya dengan senyuman. "Kapan pulang awal lagi?"
"Besok juga pulang awal."
Irsan terbelalak. "Maksudmu?"
Tantra terkejut bukan kepalang. Ia mendapati Nada tampak sangat kesakitan. Cepat-cepat dibantunya istrinya duduk di kursi.
"Mbak, kenapa?"tanyanya cemas.
"Se...sepertinya ss...sudah waktunya...."
"Apa?!"kalang kabut Tantra meraih ponsel dari atas meja. Panik laki-laki muda itu menekan-nekan tombol. "Asalamualaikum...."
Nada memperhatikan suaminya yang tampak kebingungan. "Mas...."
Tantra menoleh.
"Tenang saja, ini sakit biasa, kok. Mas tidak usah panik."
Tetapi tentu saja tidak semudah itu. Karena dua kali Tantra salah menghubungi nomor yang tidak dikenal. Keduanya diterima oleh suara ibu-ibu yang tampaknya marah karena anak gadisnya dicampakkan begitu saja.
Tetapi pria tigapuluh tahun itu memilih menahan diri untuk tidak bertanya sampai kedua buah hati mereka terbuai mimpi.
Ratih meletakkan dua cangkir susu coklat di meja ruang keluarga. Malam itu ia tampak cantik dan anggun dengan piyama merah muda bermotif bunga- bunga jingga.
"Seandainya setiap hari seperti ini, "ujar Irsan memperhatikan istrinya yang sibuk merapikan majalah di rak buku. "Maksudku...paling tidak, ya, dua atau tiga kali seminggulah."
Ratih menoleh. "Kenapa?"tanya wanita itu mengulum senyum.
"Aku senang hari ini kamu pulang lebih awal dari biasanya."
"Kamu menyesal punya istri seorang dokter?"
Irsan menggeleng cepat. "Tentu saja tidak, Ratih. Sejak awal aku tahu konsekuensinya, sebab risiko profesimu memang tidak ringan."
Ratih tersenyum. Ia beranjak dan duduk di samping suaminya. "Terima kasih, Irsan, "sahutnya. "Aku jadi semakin yakin kalau aku tidak salah memilih."
"Memang ada yang tidak setuju kalau aku jadi suamimu?"
Ratih tampak ragu-ragu.
"Katakan saja, "Irsan mendesak.
"Mm...Pakdhe, kakak ayah. Beliau lebih suka kalau aku menikah dengan laki-laki yang paling tidak sepuluh tahun lebih tua."
"Oh ya? Aku baru tahu."
"Maksudnya memang baik, supaya kehidupanku terjamin. Malah kalau bisa menurut beliau yang sudah kepala lima."
Irsan tidak dapat menahan rasa gelinya. Untunglah sebelum tawanya meledak, istrinya sudah mencubit lengannya.
"Tidak lucu."
"Maaf, aku hanya membayangkan gadis usia dua puluh lima tahun bersanding dengan kakek-kakek beruban."
Ratih tersenyum. "Tapi, jangan khawatir, Pakdhe setuju kok waktu aku tunjukkan fotomu. Katanya, wah ganteng juga, Nak. Ini calonmu, ya? Anak mana?"
"Lalu jawabmu?"
"Ya, aku jawab lengkap. Nama Mahendra Irsanto Wiranata, tempat tanggal lahir tujuh belas Maret...."
"Kamu baca biodataku semua?"
Ratih mengangguk. "Pakdhe tambah senang waktu tahu kamu sarjana teknik listrik, jadi bisa reparasi listrik gratis."
Irsan menatap istrinya dengan senyuman. "Kapan pulang awal lagi?"
"Besok juga pulang awal."
Irsan terbelalak. "Maksudmu?"
Tantra terkejut bukan kepalang. Ia mendapati Nada tampak sangat kesakitan. Cepat-cepat dibantunya istrinya duduk di kursi.
"Mbak, kenapa?"tanyanya cemas.
"Se...sepertinya ss...sudah waktunya...."
"Apa?!"kalang kabut Tantra meraih ponsel dari atas meja. Panik laki-laki muda itu menekan-nekan tombol. "Asalamualaikum...."
Nada memperhatikan suaminya yang tampak kebingungan. "Mas...."
Tantra menoleh.
"Tenang saja, ini sakit biasa, kok. Mas tidak usah panik."
Tetapi tentu saja tidak semudah itu. Karena dua kali Tantra salah menghubungi nomor yang tidak dikenal. Keduanya diterima oleh suara ibu-ibu yang tampaknya marah karena anak gadisnya dicampakkan begitu saja.
Minggu, 05 Juni 2011
Di Arung Jeram Cinta
Akhirnya Ratih mengizinkan Lisa pulang. Selain keinginan pasien sendiri, kondisi wanita itu sudah cukup baik dan stabil. Jadi, Ratih memutuskan Lisa untuk berobat jalan seminggu dua kali.
Tentu saja Lisa sangat gembira dengan keputusan dokter yang murah senyum itu. Pagi itu ia tampak berseri-seri menunggu kedatangan Danar untuk menjemputnya.
"Kita makan di rumah saja, Mas, "ujar Lisa saat suaminya menuntunnya turun dari tempat tidur. "Kita belanja dulu."
"Kamu harus jaga kondisi, Lisa, "sahut Danar.
"Mas jangan khawatir, "tukas Lisa tersenyum. "Cuma masak saja."
"Baik, tapi nanti aku ikut bantu, ya?"
Lisa menatap suaminya tak percaya. "Sungguh?"
Danar tersenyum.
Di depan paviliyun, mereka berpapasan dengan Ratih. Dokter itu menyapa keduanya dengan riang, "Wah, senangnya, sudah bisa pulang."
"Terima kasih, Dokter, "sahut Lisa membalas senyum Ratih.
"Jaga kesehatan, Mbak, jangan lupa berobat jalan dua kali seminggu."
"Iya, Dok."
Ratih berpaling ke arah laki-laki yang berdiri di samping pasiennya. "Pak Danar juga wajib mengingatkan soalnya Mbak Lisa belum boleh banyak beraktivitas."
"Saya akan berusaha, Dok, terima kasih."
Minggu depan Rafa siap maju skripsi. Gadis lincah itu bersyukur karena skripsinya bisa selesai lebih cepat daripada yang diperkirakan. Kalau sukses, berarti ia berhasil menempuh kuliah dalam waktu hanya tiga tahun.
Dasar Rafa, ia tidak akan lega kalau kakaknya belum mendengar kabar gembira ini. Tenu saja ia mencari hari libur supaya dapat berkunjung ke rumah kontrakan sang Kakak.
"Selamat, ya, "Tantra mencium pipi adiknya. "Kapan ujiannya?"
"InsyaAllah minggu depan."
Nada membuka toples berisi kacang tanah goreng. "Silakan, Dik Rafa."
"Terima kasih, Mbak."
"Kalau begitu sebentar lagi sarjana, ya?"
Rafa tersenyum mendengar pertanyaan kakak iparnya. "Amin, "sahutnya.
"Minggu depan?" sela Tantra. "Minggu depan kan waktunya..., "ia memandang istrinya.
Nada mengangguk. "Iya, Mas. Kata dokter, waktunya anak kita lahir."
Rafa memandang kakak iparnya. Hatinya masih saja heran melihat jalan hidup kakak semata wayangnya ini. Istri jauh lebih tua, cantik juga tidak, masih ditambah warna kulit yang coklat tua, dan... kalau nanti bayi mereka lahir, jangan-jangan kulitnya saingan sama papan catur...ups! Rafa buru-buru berightisfar. Kok, dia jadi mengejek kakak ipar sama bakal kemenakan?
Tentu saja Lisa sangat gembira dengan keputusan dokter yang murah senyum itu. Pagi itu ia tampak berseri-seri menunggu kedatangan Danar untuk menjemputnya.
"Kita makan di rumah saja, Mas, "ujar Lisa saat suaminya menuntunnya turun dari tempat tidur. "Kita belanja dulu."
"Kamu harus jaga kondisi, Lisa, "sahut Danar.
"Mas jangan khawatir, "tukas Lisa tersenyum. "Cuma masak saja."
"Baik, tapi nanti aku ikut bantu, ya?"
Lisa menatap suaminya tak percaya. "Sungguh?"
Danar tersenyum.
Di depan paviliyun, mereka berpapasan dengan Ratih. Dokter itu menyapa keduanya dengan riang, "Wah, senangnya, sudah bisa pulang."
"Terima kasih, Dokter, "sahut Lisa membalas senyum Ratih.
"Jaga kesehatan, Mbak, jangan lupa berobat jalan dua kali seminggu."
"Iya, Dok."
Ratih berpaling ke arah laki-laki yang berdiri di samping pasiennya. "Pak Danar juga wajib mengingatkan soalnya Mbak Lisa belum boleh banyak beraktivitas."
"Saya akan berusaha, Dok, terima kasih."
Minggu depan Rafa siap maju skripsi. Gadis lincah itu bersyukur karena skripsinya bisa selesai lebih cepat daripada yang diperkirakan. Kalau sukses, berarti ia berhasil menempuh kuliah dalam waktu hanya tiga tahun.
Dasar Rafa, ia tidak akan lega kalau kakaknya belum mendengar kabar gembira ini. Tenu saja ia mencari hari libur supaya dapat berkunjung ke rumah kontrakan sang Kakak.
"Selamat, ya, "Tantra mencium pipi adiknya. "Kapan ujiannya?"
"InsyaAllah minggu depan."
Nada membuka toples berisi kacang tanah goreng. "Silakan, Dik Rafa."
"Terima kasih, Mbak."
"Kalau begitu sebentar lagi sarjana, ya?"
Rafa tersenyum mendengar pertanyaan kakak iparnya. "Amin, "sahutnya.
"Minggu depan?" sela Tantra. "Minggu depan kan waktunya..., "ia memandang istrinya.
Nada mengangguk. "Iya, Mas. Kata dokter, waktunya anak kita lahir."
Rafa memandang kakak iparnya. Hatinya masih saja heran melihat jalan hidup kakak semata wayangnya ini. Istri jauh lebih tua, cantik juga tidak, masih ditambah warna kulit yang coklat tua, dan... kalau nanti bayi mereka lahir, jangan-jangan kulitnya saingan sama papan catur...ups! Rafa buru-buru berightisfar. Kok, dia jadi mengejek kakak ipar sama bakal kemenakan?
Selasa, 31 Mei 2011
Di Arung Jeram Cinta
Meyra tidak sanggup berkata-kata. Ia hanya menatap laki-laki di hadapannya dengan perasaan berkecamuk. Terus terang tidak ada rasa bangga apalagi bahagia saat medengar pernyataan Danar itu. Malah sebaliknya, ia semakin merasa yakin bahwa selama ini dirinya telah salah menilai.
Melihat Meyra diam saja, Danar memberanikan diri bersuara. "Aku tidak akan memaksamu kalau kau tidak mau." Selesai mengucapkan kalimat itu, alangkah terkejutnya ia melihat gadis itu balas menatapnya dengan tajam.
"Benar, kau tidak akan memaksaku? Lalu apa yang kaulakukan dulu itu? Apa namanya?"
"Ma...maafkan aku, Meyra. Aku mengaku salah, aku berdosa padamu."
"Apa dengan mengaku dosa, kamu bisa mengembalikan semuanya seperti semula?"tukas gadis itu seraya bangkit dari duduknya.
"Kau ingin aku menyerahkan diri ke polisi?"
"Danar, "Meyra menatap Danar dengan mata berapi-api. "Satu hal yang kuinginkan sejak peristiwa itu adalah tak akan pernah lagi mendengar suara atau melihat wajahmu."
"Tapi...."
"Jadi, tolong jangan ganggu aku lagi."
"Meyra...."
Jangan kaukira aku gembira dengan niat baikmu itu. Lebih baik, berikan saja pada gadis yang mau."
Sebenarnya Danar tidak ingin memaksa, tetapi dia sendiri tak mengerti mengapa tiba-tiba saja ia mencoba meraih tangan Meyra. Tentu saja gadis itu cepat menghindar sambil berteriak kaget.
Herman dan Asri yang mendengar jeritan adiknya segera muncul di tempat kejadian. Meyra segera memeluk kakaknya.
"Cepat, pergi dari sini!"seru Herman gusar sambil memegangi adiknya. "Kenapa kausakiti adikku lagi?"
"Herman, aku hanya...."
"Dia mau memaksaku lagi, Mas...."
Mendengar itu, Herman semakin gusar. " Dengar, aku tidak mau lagi melihatmu! Pergilah!"
Asri meraih Meyra dari pelukan Herman. "Kamu minum dulu, Dik, "ujarnya lembut. Meyra menurut.
Sementara itu Herman melanjutkan urusannya dengan Danar. "Pertemanan kita berakhir sampai di sini."
"Herman, beri aku kesempatan...."
"Kalau adikku menginginkannya. Tapi lihat sendiri tadi, jelas-jelas dia menolakmu. Aku sangat menyayangi adikku dan aku tahu benar yang telah kaulakukan itu sangat mengoyak jiwanya. Perasaan itu bisa jadi akan menghantuinya seumur hidup."
Danar menunduk. "Adikmu sempat melakukan perlawanan...."
Herman tertawa sinis. "Kau memang laki-laki sejati. Selama ini lawanmu cuma perempuan. Istrimu yang sering kauperlakukan seperti maling tertangkap basah dan adikku yang terpaksa harus kehilangan miliknya yang paling berharga."
Danar menyadari meskipun Herman mengucapkan kalimat itu dengan tenang, tetapi ia tahu bahwa sebenarnya kemarahan temannya itu belumlah pudar.
Melihat Meyra diam saja, Danar memberanikan diri bersuara. "Aku tidak akan memaksamu kalau kau tidak mau." Selesai mengucapkan kalimat itu, alangkah terkejutnya ia melihat gadis itu balas menatapnya dengan tajam.
"Benar, kau tidak akan memaksaku? Lalu apa yang kaulakukan dulu itu? Apa namanya?"
"Ma...maafkan aku, Meyra. Aku mengaku salah, aku berdosa padamu."
"Apa dengan mengaku dosa, kamu bisa mengembalikan semuanya seperti semula?"tukas gadis itu seraya bangkit dari duduknya.
"Kau ingin aku menyerahkan diri ke polisi?"
"Danar, "Meyra menatap Danar dengan mata berapi-api. "Satu hal yang kuinginkan sejak peristiwa itu adalah tak akan pernah lagi mendengar suara atau melihat wajahmu."
"Tapi...."
"Jadi, tolong jangan ganggu aku lagi."
"Meyra...."
Jangan kaukira aku gembira dengan niat baikmu itu. Lebih baik, berikan saja pada gadis yang mau."
Sebenarnya Danar tidak ingin memaksa, tetapi dia sendiri tak mengerti mengapa tiba-tiba saja ia mencoba meraih tangan Meyra. Tentu saja gadis itu cepat menghindar sambil berteriak kaget.
Herman dan Asri yang mendengar jeritan adiknya segera muncul di tempat kejadian. Meyra segera memeluk kakaknya.
"Cepat, pergi dari sini!"seru Herman gusar sambil memegangi adiknya. "Kenapa kausakiti adikku lagi?"
"Herman, aku hanya...."
"Dia mau memaksaku lagi, Mas...."
Mendengar itu, Herman semakin gusar. " Dengar, aku tidak mau lagi melihatmu! Pergilah!"
Asri meraih Meyra dari pelukan Herman. "Kamu minum dulu, Dik, "ujarnya lembut. Meyra menurut.
Sementara itu Herman melanjutkan urusannya dengan Danar. "Pertemanan kita berakhir sampai di sini."
"Herman, beri aku kesempatan...."
"Kalau adikku menginginkannya. Tapi lihat sendiri tadi, jelas-jelas dia menolakmu. Aku sangat menyayangi adikku dan aku tahu benar yang telah kaulakukan itu sangat mengoyak jiwanya. Perasaan itu bisa jadi akan menghantuinya seumur hidup."
Danar menunduk. "Adikmu sempat melakukan perlawanan...."
Herman tertawa sinis. "Kau memang laki-laki sejati. Selama ini lawanmu cuma perempuan. Istrimu yang sering kauperlakukan seperti maling tertangkap basah dan adikku yang terpaksa harus kehilangan miliknya yang paling berharga."
Danar menyadari meskipun Herman mengucapkan kalimat itu dengan tenang, tetapi ia tahu bahwa sebenarnya kemarahan temannya itu belumlah pudar.
Senin, 30 Mei 2011
Di Arung Jeram Cinta
Herman sengaja meninggalkan Meyra berdua dengan Danar. Pria itu yakin adiknya sudah mampu menguasai emosinya. Meskipun demikian, ia tetap mengawasi keduanya.
"Kata Mas Herman, kau ada perlu, "ujar Meyra membuka percakapan dengan tenang. "Katakanlah."
Danar tertegun. Gadis di hadapannya yang dulu begitu lemah tak berdaya, kini benar-benar berubah. Meyra tampil penuh percaya diri.
"Kedatanganku ini hanya untuk menyampaikan pesan istriku, "ujar laki-laki itu setelah berhasil menguasai perasaannya. "Dia ingin aku menikahimu."
"Apa?!"
"Asalamualaikum."
Nada menoleh sambil menjawab, "Waalaikumussalam. Eh, sudah pulang, "wanita itu berusaha berdiri sambil berpegangan pada sisi meja.
Tantra bergegas menghampiri dan membantu istrinya berdiri. "Terima kasih, Mas, "Nada tersenyum.
"Kelihatannya sedang melamun?"
Nada menggeleng. "Tidak, aku cuma teringat waktu kita menginap di rumah Ayah."
"Bagian yang mana, Mbak?"
Nada menyadari suaminya mulai iseng. "Ya, semuanya...."
"Jadi, termasuk yang ..., "Tantra meringis kesakitan karena mendadak kakinya diinjak sesuatu yang keras.
"Mau lagi?"
Tantra melihat ke arah kakinya yang malang. Ternyata istrinya mengenakan sandal kesehatan. "Maksudmu mau lagi apanya?" Pemuda yang sebentar lagi menjadi ayah itu masih saja menggoda istrinya.
Nada melotot. "Mau diinjak...."
Tantra cepat-cepat melesat ke kamar mandi untuk menyelamatkan diri.
"Kata Mas Herman, kau ada perlu, "ujar Meyra membuka percakapan dengan tenang. "Katakanlah."
Danar tertegun. Gadis di hadapannya yang dulu begitu lemah tak berdaya, kini benar-benar berubah. Meyra tampil penuh percaya diri.
"Kedatanganku ini hanya untuk menyampaikan pesan istriku, "ujar laki-laki itu setelah berhasil menguasai perasaannya. "Dia ingin aku menikahimu."
"Apa?!"
"Asalamualaikum."
Nada menoleh sambil menjawab, "Waalaikumussalam. Eh, sudah pulang, "wanita itu berusaha berdiri sambil berpegangan pada sisi meja.
Tantra bergegas menghampiri dan membantu istrinya berdiri. "Terima kasih, Mas, "Nada tersenyum.
"Kelihatannya sedang melamun?"
Nada menggeleng. "Tidak, aku cuma teringat waktu kita menginap di rumah Ayah."
"Bagian yang mana, Mbak?"
Nada menyadari suaminya mulai iseng. "Ya, semuanya...."
"Jadi, termasuk yang ..., "Tantra meringis kesakitan karena mendadak kakinya diinjak sesuatu yang keras.
"Mau lagi?"
Tantra melihat ke arah kakinya yang malang. Ternyata istrinya mengenakan sandal kesehatan. "Maksudmu mau lagi apanya?" Pemuda yang sebentar lagi menjadi ayah itu masih saja menggoda istrinya.
Nada melotot. "Mau diinjak...."
Tantra cepat-cepat melesat ke kamar mandi untuk menyelamatkan diri.
Sabtu, 28 Mei 2011
Di Arung Jeram Cinta
Setelah berusaha mati-matian bahkan hampir saja babak belur, akhirnya Danar berhasil menemui Herman di toko samping rumahnya. Meskipun enggan, demi menghargai niat baik kawan semasa SMP, Herman memutuskan menerima laki-laki itu dan mengajaknya duduk di kursi beranda.
Dengan sangat berhati-hati, Danar mengutarakan maksudnya. Ia memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali memenuhi permintaan istrinya. Permintaan yang sangat aneh, tentu saja.
"Lalu kaupikir adikku sudi?"tanya Herman dengan tatapan tidak suka. Sungguh tak tahu malu! Sudah punya istri, masih juga cicipi yang lain!
"Aku tahu adikmu masih dendam...."
"Salah, "potong Herman. "Adikku tidak pernah menyimpan dendam."
"Tapi dia tak mau melihatku."
"Sudah tentu. Sebenarnya aku juga muak melihatmu."
Danar menunduk.
"Dengar, aku tidak percaya kalau lamaranmu atas permintaan istrimu. Kalaupun benar, jangan-jangan kamu yang mengancamnya. Tega sekali kamu ini memperlakukan istri seperti barang yang tak ada harganya."
Sementara itu ternyata Meyra yang hendak menemui Herman tanpa sengaja mendengar percakapan kakaknya dengan sang Tamu. Alangkah terkejut ketika ia melihat tamu yang berkunjung.
Herman mengetahui kehadiran adiknya. "Aku tidak tahu adikku sudi melihatmu atau tidak, "ujarnya dengan volume suara yang sengaja dinyaringkan.
Meyra menarik napas panjang berusaha menguatkan hatinya. Kemudian ia pun melangkahkan kaki menuju beranda.
"Meyra tidak apa-apa, Mas, "ujarnya.
Herman dan Danar serentak menoleh.
Nada masih menunggu Tantra yang mendadak lembur. Wanita itu memutuskan duduk di karpet ruang tengah sambil membaca buku tentang merawat bayi. Ia berharap suaminya tiba di rumah sebelum jam sembilan.
Wanita itu tersenyum mengenang hari-hari yang berlalu. Tentang kekhawatiran orang tuanya, tentang trauma masa lalu, sampai tentang kecemburuan suaminya.
Malam itu, ketika Nada hendak memejamkan mata, Tantra mencolek lengannya. Nada menoleh memandang suaminya yang duduk di sampingnya. "Ada apa, Mas?"
"Jadi dulu Randy itu idola di SMAmu?"
"Iya, tapi itu dulu."
"Kamu pernah naksir dia?"
"Iya, tapi itu dulu."
"Pasti dulu dia ganteng sekali."
"Iya, tapi itu dulu."
Tantra mengerutkan kening. Nada tersenyum. "Mas, itu masa lalu, "katanya. "Aku sudah tidak ada perasaan apapun apalagi sampai punya hubungan."
Tantra hanya menatap. Nada jadi merasa tidak enak. "Percayalah, tidak ada yang kusembunyikan lagi."
Tantra belum memberikan reaksi.
"Mas...."
Nada tersenyum sendiri. Malam itu ia semakin yakin bahwa sebenarnya suaminya selalu memercayai dirinya.
Dengan sangat berhati-hati, Danar mengutarakan maksudnya. Ia memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali memenuhi permintaan istrinya. Permintaan yang sangat aneh, tentu saja.
"Lalu kaupikir adikku sudi?"tanya Herman dengan tatapan tidak suka. Sungguh tak tahu malu! Sudah punya istri, masih juga cicipi yang lain!
"Aku tahu adikmu masih dendam...."
"Salah, "potong Herman. "Adikku tidak pernah menyimpan dendam."
"Tapi dia tak mau melihatku."
"Sudah tentu. Sebenarnya aku juga muak melihatmu."
Danar menunduk.
"Dengar, aku tidak percaya kalau lamaranmu atas permintaan istrimu. Kalaupun benar, jangan-jangan kamu yang mengancamnya. Tega sekali kamu ini memperlakukan istri seperti barang yang tak ada harganya."
Sementara itu ternyata Meyra yang hendak menemui Herman tanpa sengaja mendengar percakapan kakaknya dengan sang Tamu. Alangkah terkejut ketika ia melihat tamu yang berkunjung.
Herman mengetahui kehadiran adiknya. "Aku tidak tahu adikku sudi melihatmu atau tidak, "ujarnya dengan volume suara yang sengaja dinyaringkan.
Meyra menarik napas panjang berusaha menguatkan hatinya. Kemudian ia pun melangkahkan kaki menuju beranda.
"Meyra tidak apa-apa, Mas, "ujarnya.
Herman dan Danar serentak menoleh.
Nada masih menunggu Tantra yang mendadak lembur. Wanita itu memutuskan duduk di karpet ruang tengah sambil membaca buku tentang merawat bayi. Ia berharap suaminya tiba di rumah sebelum jam sembilan.
Wanita itu tersenyum mengenang hari-hari yang berlalu. Tentang kekhawatiran orang tuanya, tentang trauma masa lalu, sampai tentang kecemburuan suaminya.
Malam itu, ketika Nada hendak memejamkan mata, Tantra mencolek lengannya. Nada menoleh memandang suaminya yang duduk di sampingnya. "Ada apa, Mas?"
"Jadi dulu Randy itu idola di SMAmu?"
"Iya, tapi itu dulu."
"Kamu pernah naksir dia?"
"Iya, tapi itu dulu."
"Pasti dulu dia ganteng sekali."
"Iya, tapi itu dulu."
Tantra mengerutkan kening. Nada tersenyum. "Mas, itu masa lalu, "katanya. "Aku sudah tidak ada perasaan apapun apalagi sampai punya hubungan."
Tantra hanya menatap. Nada jadi merasa tidak enak. "Percayalah, tidak ada yang kusembunyikan lagi."
Tantra belum memberikan reaksi.
"Mas...."
Nada tersenyum sendiri. Malam itu ia semakin yakin bahwa sebenarnya suaminya selalu memercayai dirinya.
Rabu, 25 Mei 2011
Di Arung Jeram Cinta
Randy menggeleng. Ia tidak setuju dengan keputusan adiknya. Sampai sekarang pria itu tidak habis pikir apa jenis ilmu pelet yang digunakan Danar sampai Lisa mau berkorban jiwa dan raga. Tetapi ia berusaha untuk bersabar karena tahu adiknya sudah terlalu banyak menderita.
"Aku tidak setuju keputusanmu."
"Mas, dia harus bertanggung jawab. Aku tidak mau Mas Danar jadi pengecut."
"Ya, dan pasti dia menerima permintaanmu dengan lapang dada."
Kali ini Lisa yang menggeleng. "Dia sudah berubah."
Randy mendengus. "Dia hanya menunggu saat yang tepat untuk menunjukkan keberingasannya seperti dulu."
Lisa memilih diam. Ia mengerti kakaknya masih belum dapat memaafkan suaminya. Tetapi ia juga tidak bisa menyalahkan Randy. Ia tahu Randy melakukannya karena sayang kepadanya, adik satu-satunya.
Pintu paviliyun terbuka.
"Asalamualaikum."
"Waalaikumsalam, "sahut kedua kakak beradik serentak.
"Maaf, sudah waktunya periksa, "ujar seorang perawat wanita dengan ramah. Di belakang perawat itu berdiri dokter yang selalu siap membantu. Dokter Ratih.
Randy beranjak dari kursi. " Baik, Suster. Silakan, Dokter."
"Terima kasih, Pak Randy, "sahut Ratih tersenyum.
Menurut perhitungan dokter, minggu depan Nada melahirkan. Wanita itu bersyukur karena kandungannya baik-baik saja. Dulu memang sempat ada masalah ketika terjadi penyerangan Danar, tetapi untunglah ia sangat tabah sehingga dapat mempertahankan bayi dalam rahimnya. Selain itu, Tantra tidak pernah bosan membantu dan mendorong semangatnya.
Tantra memperhatikan istrinya yang menyapu lantai beranda. Terus terang ia ngeri melihat Nada yang sesekali memegangi perutnya seolah-olah khawatir bayi di dalam perut itu akan meluncur jatuh. Ia juga takut kalau tiba-tiba istrinya terjatuh.
"Mbak, biar aku yang menyapu."
"Mas duduk saja. Nanti aku buatkan teh."
Tantra beranjak dari duduk. "Lantainya sudah bersih, duduklah."
Nada menurut. Meskipun ia merasa belum lelah, tetapi ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Ia pun menerima uluran tangan Tantra yang meminta sapu.
"Aku tidak setuju keputusanmu."
"Mas, dia harus bertanggung jawab. Aku tidak mau Mas Danar jadi pengecut."
"Ya, dan pasti dia menerima permintaanmu dengan lapang dada."
Kali ini Lisa yang menggeleng. "Dia sudah berubah."
Randy mendengus. "Dia hanya menunggu saat yang tepat untuk menunjukkan keberingasannya seperti dulu."
Lisa memilih diam. Ia mengerti kakaknya masih belum dapat memaafkan suaminya. Tetapi ia juga tidak bisa menyalahkan Randy. Ia tahu Randy melakukannya karena sayang kepadanya, adik satu-satunya.
Pintu paviliyun terbuka.
"Asalamualaikum."
"Waalaikumsalam, "sahut kedua kakak beradik serentak.
"Maaf, sudah waktunya periksa, "ujar seorang perawat wanita dengan ramah. Di belakang perawat itu berdiri dokter yang selalu siap membantu. Dokter Ratih.
Randy beranjak dari kursi. " Baik, Suster. Silakan, Dokter."
"Terima kasih, Pak Randy, "sahut Ratih tersenyum.
Menurut perhitungan dokter, minggu depan Nada melahirkan. Wanita itu bersyukur karena kandungannya baik-baik saja. Dulu memang sempat ada masalah ketika terjadi penyerangan Danar, tetapi untunglah ia sangat tabah sehingga dapat mempertahankan bayi dalam rahimnya. Selain itu, Tantra tidak pernah bosan membantu dan mendorong semangatnya.
Tantra memperhatikan istrinya yang menyapu lantai beranda. Terus terang ia ngeri melihat Nada yang sesekali memegangi perutnya seolah-olah khawatir bayi di dalam perut itu akan meluncur jatuh. Ia juga takut kalau tiba-tiba istrinya terjatuh.
"Mbak, biar aku yang menyapu."
"Mas duduk saja. Nanti aku buatkan teh."
Tantra beranjak dari duduk. "Lantainya sudah bersih, duduklah."
Nada menurut. Meskipun ia merasa belum lelah, tetapi ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Ia pun menerima uluran tangan Tantra yang meminta sapu.
Senin, 16 Mei 2011
Kucumbu Rindu
Aku telah lelah bercumbu
mengecupi tiada habis pecahan rindu
yang telah berpencar seiring waktu
Serakan rindu di peraduan jiwaku
mungkin bukanlah bagianku
Aku tak mau lagi tangisi pilu
memunguti resah kepingan rindu
padahal tak satu pun menjadi milikku
Serakan rindu tiada lagi kucumbu
kubiarkan terbang mengembara ke langit biru
Kutangkap satu
bercinta daku sampai habis waktu berlalu
mengukir rindu yang satu biar terpahat di kalbu
mengecupi tiada habis pecahan rindu
yang telah berpencar seiring waktu
Serakan rindu di peraduan jiwaku
mungkin bukanlah bagianku
Aku tak mau lagi tangisi pilu
memunguti resah kepingan rindu
padahal tak satu pun menjadi milikku
Serakan rindu tiada lagi kucumbu
kubiarkan terbang mengembara ke langit biru
Kutangkap satu
bercinta daku sampai habis waktu berlalu
mengukir rindu yang satu biar terpahat di kalbu
Minggu, 15 Mei 2011
Di Arung Jeram Cinta
Malam itu Randy tidak bisa tidur. Ia benar-benar tak menyangka bahwa Tantra adalah suami Nada. Selama ini ia mengira pemuda itu masih bebas alias sendiri saja, ternyata ia bahkan akan mempunyai seorang anak. Maklumlah, sebab Tantra memang tergolong muda untuk mendapat predikat 'ayah'.
"Kalian menikah sudah berapa lama?" tanya Randy di ruang tamu.
"Hampir satu setengah tahun, "jawab Tantra tersenyum. "Silakan diminum tehnya."
"Terima kasih."
"Jadi kalian dulu satu sekolah?"
"Benar, Tantra, "sahut Randy sambil meletakkan cangkir tehnya. "Tapi, Nada adik kelasku. Kalian sendiri?"
Tantra menoleh ke arah istrinya sambil tersenyum. "Waktu itu...aku masih SMA."
Randy tercengang. "SMA?"
Tantra mengangguk. "Tapi aku mencintai Nada dengan tulus. Aku tidak perduli berapa usianya. Banyak yang menuduhku main-main, tapi aku berusaha membuktikan kalau mereka semua salah."
"Tadinya aku juga ragu-ragu, "Nada menambahkan. "Bayangkan saja Mas Tantra ini idola gadis-gadis. Kalau dibandingkan fansnya, aku jelas tidak ada apa-apanya, bagaimana aku tidak krisis pede?"
"Yang krisis pede bukan Mbak Nada, tapi aku, "sela Tantra. "Terus terang sampai sekarang pun aku takut kalau harus berpisah darinya."
Randy terpaksa menahan perasaannya. Ia tidak berhak cemburu walaupun ingin sekali. Apalagi dengan mesra Tantra menggenggam tangan istrinya.
Randy ingin segera menikah. Tapi dengan siapa? Ia menarik napas panjang lalu mencoba memejamkan matanya seraya merebahkan diri di tempat tidurnya.
Malam yang hening tidak membuat Danar menjadi tenang. Ia sering gelisah teringat dosa-dosanya selama ini.
"Lisa!" dengan geram Danar mengobrak-abrik isi lemari pakaian.
Tak lama kemudian yang dipanggil menghampiri dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa, Mas?"
"Mana dasi putih garis hitam hadiah sahabatku?"
Lisa tampak ragu-ragu.
"Mana? Cepat, bawa ke sini."
"Ma...maaf, Mas, dasinya...."
"Kenapa?"
"Luntur...."
"Apa?!"
"Lu...luntur...."
Danar menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Terbayang semua kekejamannya pagi itu.
"Bagusnya kamu yang kubuat luntur!" Danar mengambil segelas teh dari meja dekat tempat tidur dan menuangkannya ke kepala istrinya.
Lisa memejamkan mata sambil gemetar ketakutan. Ia pasrah menunggu hukuman selanjutnya.
"Cepat kembalikan dasi itu seperti baru!" ujar Danar setelah puas memukuli istrinya dengan ikat pinggang sambil berlalu keluar kamar.
Lisa mencoba berdiri sambil berpegangan pada sisi tempat tidur. Walaupun tidak bisa melihat, tapi ia tahu seperti apa punggungnya. Perlahan diusapnya air mata. Ia tidak berani menangis karena Danar benci dengan tangisan perempuan.
Danar mengamati warna dasinya. Sementara Lisa menunggu dengan ketakutan.
"Percuma jadi istri! Cuci dasi saja tidak becus!"maki Danar melotot.
"Maaf, Mas...nanti saya belikan dasi yang seperti itu...."
Danar mendorong istrinya kasar sampai wanita itu jatuh terduduk. "Dari mana uangnya, Sialan? Pasti dariku juga, kan?"
"Sa...saya masih ada sedikit tabungan, Mas?"
Mendengar jawaban istrinya, mata lelaki itu tampak bagai singa kelaparan. "Berapa?"
"Li...lima juta...."
"Bagus, kamu tak perlu beli dasi. Berapa pin ATMmu?"
"Jangan, Mas. Itu tabungan saya...."
"Berapa pin ATMmu?"ulang Danar mencengkeram lengan istrinya.
"Aduuh, jangan, Mas...."
"Sebutkan, cepat! Atau mau kupukuli lagi seperti tadi?"
Betapa kejam! Alangkah biadab diriku! Aku merampas hak istriku! Sejak saat itu Lisa tak pernah memegang uang sepeser pun karena kartu ATM dan buku tabungannya sudah ada di tanganku.
"Mas, uang belanja habis...."
"Dasar pemboros! Kamu kemanakan saja uang pemberianku?! Tidak ada uang!"
"Tapi beras tinggal untuk besok pagi, Mas."
"Beli!"
"Uangnya belum ada, Mas."
Danar mematikan nyala rokok dengan kasar. "Sekali lagi kamu merengek-rengek, aku bungkam mulutmu!"
Danar menoleh memandang istrinya yang lelap. Ia teringat malam itu Lisa menjual anting-antingnya untuk membeli sembako. "Maafkan aku, Lisa...."
"Kalian menikah sudah berapa lama?" tanya Randy di ruang tamu.
"Hampir satu setengah tahun, "jawab Tantra tersenyum. "Silakan diminum tehnya."
"Terima kasih."
"Jadi kalian dulu satu sekolah?"
"Benar, Tantra, "sahut Randy sambil meletakkan cangkir tehnya. "Tapi, Nada adik kelasku. Kalian sendiri?"
Tantra menoleh ke arah istrinya sambil tersenyum. "Waktu itu...aku masih SMA."
Randy tercengang. "SMA?"
Tantra mengangguk. "Tapi aku mencintai Nada dengan tulus. Aku tidak perduli berapa usianya. Banyak yang menuduhku main-main, tapi aku berusaha membuktikan kalau mereka semua salah."
"Tadinya aku juga ragu-ragu, "Nada menambahkan. "Bayangkan saja Mas Tantra ini idola gadis-gadis. Kalau dibandingkan fansnya, aku jelas tidak ada apa-apanya, bagaimana aku tidak krisis pede?"
"Yang krisis pede bukan Mbak Nada, tapi aku, "sela Tantra. "Terus terang sampai sekarang pun aku takut kalau harus berpisah darinya."
Randy terpaksa menahan perasaannya. Ia tidak berhak cemburu walaupun ingin sekali. Apalagi dengan mesra Tantra menggenggam tangan istrinya.
Randy ingin segera menikah. Tapi dengan siapa? Ia menarik napas panjang lalu mencoba memejamkan matanya seraya merebahkan diri di tempat tidurnya.
Malam yang hening tidak membuat Danar menjadi tenang. Ia sering gelisah teringat dosa-dosanya selama ini.
"Lisa!" dengan geram Danar mengobrak-abrik isi lemari pakaian.
Tak lama kemudian yang dipanggil menghampiri dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa, Mas?"
"Mana dasi putih garis hitam hadiah sahabatku?"
Lisa tampak ragu-ragu.
"Mana? Cepat, bawa ke sini."
"Ma...maaf, Mas, dasinya...."
"Kenapa?"
"Luntur...."
"Apa?!"
"Lu...luntur...."
Danar menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Terbayang semua kekejamannya pagi itu.
"Bagusnya kamu yang kubuat luntur!" Danar mengambil segelas teh dari meja dekat tempat tidur dan menuangkannya ke kepala istrinya.
Lisa memejamkan mata sambil gemetar ketakutan. Ia pasrah menunggu hukuman selanjutnya.
"Cepat kembalikan dasi itu seperti baru!" ujar Danar setelah puas memukuli istrinya dengan ikat pinggang sambil berlalu keluar kamar.
Lisa mencoba berdiri sambil berpegangan pada sisi tempat tidur. Walaupun tidak bisa melihat, tapi ia tahu seperti apa punggungnya. Perlahan diusapnya air mata. Ia tidak berani menangis karena Danar benci dengan tangisan perempuan.
Danar mengamati warna dasinya. Sementara Lisa menunggu dengan ketakutan.
"Percuma jadi istri! Cuci dasi saja tidak becus!"maki Danar melotot.
"Maaf, Mas...nanti saya belikan dasi yang seperti itu...."
Danar mendorong istrinya kasar sampai wanita itu jatuh terduduk. "Dari mana uangnya, Sialan? Pasti dariku juga, kan?"
"Sa...saya masih ada sedikit tabungan, Mas?"
Mendengar jawaban istrinya, mata lelaki itu tampak bagai singa kelaparan. "Berapa?"
"Li...lima juta...."
"Bagus, kamu tak perlu beli dasi. Berapa pin ATMmu?"
"Jangan, Mas. Itu tabungan saya...."
"Berapa pin ATMmu?"ulang Danar mencengkeram lengan istrinya.
"Aduuh, jangan, Mas...."
"Sebutkan, cepat! Atau mau kupukuli lagi seperti tadi?"
Betapa kejam! Alangkah biadab diriku! Aku merampas hak istriku! Sejak saat itu Lisa tak pernah memegang uang sepeser pun karena kartu ATM dan buku tabungannya sudah ada di tanganku.
"Mas, uang belanja habis...."
"Dasar pemboros! Kamu kemanakan saja uang pemberianku?! Tidak ada uang!"
"Tapi beras tinggal untuk besok pagi, Mas."
"Beli!"
"Uangnya belum ada, Mas."
Danar mematikan nyala rokok dengan kasar. "Sekali lagi kamu merengek-rengek, aku bungkam mulutmu!"
Danar menoleh memandang istrinya yang lelap. Ia teringat malam itu Lisa menjual anting-antingnya untuk membeli sembako. "Maafkan aku, Lisa...."
Kamis, 12 Mei 2011
Di Arung Jeram Cinta
"Kau tidak mengajakku masuk?"tanya Randy menyadari bahwa sudah lima menit Nada membiarkannya berdiri di halaman.
"Maaf, Randy, tapi sebaiknya kamu pulang."
"Kenapa?"
"Tidak baik kalau tetangga melihat, lagipula ini sudah malam."
"Kalau begitu, boleh aku masuk?"
"Sebentar, "sahut Nada mengeluarkan ponsel dari saku gaunnya.
Tentu saja Randy tercengang. Ia menatap wanita di hadapannya penuh tanda tanya. "Telepon siapa?"
"Suamiku, "jawab Nada memasukkan ponsel ke saku gaunnya. "Insya Allah, sebentar lagi dia pulang."
Randy terdiam. Dalam hati ia kesal bukan kepalang. Tapi, tak apalah, pikirnya kemudian. Aku penasaran juga seperti apa suaminya. Hm...kenapa ya aku dulu menganggap Nada biasa-biasa saja. Mungkin karena secara fisik dia terlalu biasa dan dia memang tidak punya bakat menarik perhatian laki-laki. Tapi, setelah bertemu lagi, aku baru tahu keistimewaannya yang membuatku jatuh cinta....
Sementara itu Nada mengambil kursi dari beranda dan meletakkannya di halaman. "Silakan duduk, "katanya.
Randy mengerutkan kening. "Kelihatannya kamu takut sekali. Apa suamimu suka memukulimu?"
Nada tampak tersinggung. "Apa maksudmu bertanya seperti itu?"
Sebelum Randy sempat menjawab, terdengar deru sepeda motor memasuki halaman.
"Itu suamiku, "ujar Nada.
Randy menoleh. Ia memperhatikan laki-laki yang menuntun sepeda motornya itu. Rasanya bukan orang yang asing baginya. Mungkin mereka pernah bertemu tetapi entah kapan dan di mana.
Tantra membuka helmnya. Randy tersentak.
"Maaf, Randy, tapi sebaiknya kamu pulang."
"Kenapa?"
"Tidak baik kalau tetangga melihat, lagipula ini sudah malam."
"Kalau begitu, boleh aku masuk?"
"Sebentar, "sahut Nada mengeluarkan ponsel dari saku gaunnya.
Tentu saja Randy tercengang. Ia menatap wanita di hadapannya penuh tanda tanya. "Telepon siapa?"
"Suamiku, "jawab Nada memasukkan ponsel ke saku gaunnya. "Insya Allah, sebentar lagi dia pulang."
Randy terdiam. Dalam hati ia kesal bukan kepalang. Tapi, tak apalah, pikirnya kemudian. Aku penasaran juga seperti apa suaminya. Hm...kenapa ya aku dulu menganggap Nada biasa-biasa saja. Mungkin karena secara fisik dia terlalu biasa dan dia memang tidak punya bakat menarik perhatian laki-laki. Tapi, setelah bertemu lagi, aku baru tahu keistimewaannya yang membuatku jatuh cinta....
Sementara itu Nada mengambil kursi dari beranda dan meletakkannya di halaman. "Silakan duduk, "katanya.
Randy mengerutkan kening. "Kelihatannya kamu takut sekali. Apa suamimu suka memukulimu?"
Nada tampak tersinggung. "Apa maksudmu bertanya seperti itu?"
Sebelum Randy sempat menjawab, terdengar deru sepeda motor memasuki halaman.
"Itu suamiku, "ujar Nada.
Randy menoleh. Ia memperhatikan laki-laki yang menuntun sepeda motornya itu. Rasanya bukan orang yang asing baginya. Mungkin mereka pernah bertemu tetapi entah kapan dan di mana.
Tantra membuka helmnya. Randy tersentak.
Rabu, 11 Mei 2011
Senja di Tepi Pantai
Temaram senja melingkup jingga
di biru langit raya
kulihat semburat nila
menyiratkan warnanya
Purnama perak pancarkan cahaya
gelombang samudra melambai angkasa
kapal-kapal rapatkan tubuhnya di dermaga
pada hamparan pasir sebagai kawan setia
Menyusuri sepanjang pantai
bermain-main gembira hingga hati lalai
ayun nyiur bersambut debur berderai
pulanglah daku walau belum sampai
di biru langit raya
kulihat semburat nila
menyiratkan warnanya
Purnama perak pancarkan cahaya
gelombang samudra melambai angkasa
kapal-kapal rapatkan tubuhnya di dermaga
pada hamparan pasir sebagai kawan setia
Menyusuri sepanjang pantai
bermain-main gembira hingga hati lalai
ayun nyiur bersambut debur berderai
pulanglah daku walau belum sampai
Minggu, 08 Mei 2011
Di Arung Jeram Cinta
Alangkah tercengangnya Lisa sore itu ketika melihat pipi Danar yang lebam. Ada masalah apalagi?pikir wanita itu gelisah. Meskipun ia mengetahui sifat buruk suaminya, tetapi wanita itu tetap berharap supaya Danar tidak lagi mencari-cari masalah dengan siapapun juga.
"Kenapa pipimu?"
Danar mencegah tangan istrinya yang hendak menyentuh pipinya. "Tidak apa-apa, "jawabnya.
"Tidak apa-apa, bagaimana? Jelas-jelas pipimu biru?"
"Lupakan, "sahut Danar. "Sudah minum obat?"tanyanya mencoba mengalihkan perhatian.
Lisa mengangguk. "Mas, aku serius."
Danar menghela napas. "Ini memang salahku, Lis."
"Maksudmu?"
Danar memberi tanda agar istrinya tetap berbaring. "Baiklah, aku akan ceritakan sebab pipiku jadi seperti ini, "katanya.
Lisa menarik napas panjang begitu Danar menyudahi kejadian yang dialaminya. Ia tidak habis pikir mengapa suaminya mengikuti Meyra sampai ke kampus hanya untuk minta maaf.
"Kalau aku datang ke rumahnya, kakaknya pasti sudah menendangku sebelum sempat menginjak halaman rumahnya, "ujar Danar seperti dapat membaca pikiran istrinya.
"Lain kali Mas harus dapat menentukan sikap dengan benar. Pantas saja pipimu sampai lebam begitu, soalnya caramu memang mencurigakan."
Danar tersenyum masam. "Kalau cuma ada Meyra mungkin aku tidak akan babak belur seperti ini, "tukasnya. "Tapi, adik Tantra itu ganasnya bukan main."
Lisa tersenyum. "Sebenarnya dia baik, cuma tidak suka kalau ada laki-laki yang mengganggu atau kasar sama perempuan."
Danar menatap istrinya penuh cinta. "Lisa, aku benar-benar menyesal atas perbuatanku selama ini, "ujarnya. "Aku...aku cuma bisa menyakiti dirimu, perasaanmu...."
Lisa tersenyum lembut.
"Maukah kamu maafkan aku?"
"Nikahi Meyra, aku akan memaafkanmu."
Mungkin suami lain akan bersuka cita mendapat permintaan semacam ini yang keluar dari mulut istri sendiri. Tetapi tidak demikian halnya dengan Danar. Ia memang merasa sangat berdosa kepada gadis itu, namun ia samasekali tidak mencintai gadis malang itu. Dulu ia melakukannya karena kemarahan yang sangat. Ia melakukannya karena gadis itu juga kakaknya tidak mau lagi membantunya menghancurkan kehidupan Tantra dan Nada.
Sementara itu Lisa memejamkan mata, menahan pedih yang menghunjam dadanya. Ia merasa terpukul oleh perbuatan suaminya melebihi yang selama ini, tetapi ia juga menaruh iba kepada Meyra, gadis yang belum pernah dikenalnya. Selain itu, ia merasa memang suaminya harus menikahi gadis itu karena...Lisa belum berani menyampaikan alasan yang sebenarnya.
"Kenapa pipimu?"
Danar mencegah tangan istrinya yang hendak menyentuh pipinya. "Tidak apa-apa, "jawabnya.
"Tidak apa-apa, bagaimana? Jelas-jelas pipimu biru?"
"Lupakan, "sahut Danar. "Sudah minum obat?"tanyanya mencoba mengalihkan perhatian.
Lisa mengangguk. "Mas, aku serius."
Danar menghela napas. "Ini memang salahku, Lis."
"Maksudmu?"
Danar memberi tanda agar istrinya tetap berbaring. "Baiklah, aku akan ceritakan sebab pipiku jadi seperti ini, "katanya.
Lisa menarik napas panjang begitu Danar menyudahi kejadian yang dialaminya. Ia tidak habis pikir mengapa suaminya mengikuti Meyra sampai ke kampus hanya untuk minta maaf.
"Kalau aku datang ke rumahnya, kakaknya pasti sudah menendangku sebelum sempat menginjak halaman rumahnya, "ujar Danar seperti dapat membaca pikiran istrinya.
"Lain kali Mas harus dapat menentukan sikap dengan benar. Pantas saja pipimu sampai lebam begitu, soalnya caramu memang mencurigakan."
Danar tersenyum masam. "Kalau cuma ada Meyra mungkin aku tidak akan babak belur seperti ini, "tukasnya. "Tapi, adik Tantra itu ganasnya bukan main."
Lisa tersenyum. "Sebenarnya dia baik, cuma tidak suka kalau ada laki-laki yang mengganggu atau kasar sama perempuan."
Danar menatap istrinya penuh cinta. "Lisa, aku benar-benar menyesal atas perbuatanku selama ini, "ujarnya. "Aku...aku cuma bisa menyakiti dirimu, perasaanmu...."
Lisa tersenyum lembut.
"Maukah kamu maafkan aku?"
"Nikahi Meyra, aku akan memaafkanmu."
Mungkin suami lain akan bersuka cita mendapat permintaan semacam ini yang keluar dari mulut istri sendiri. Tetapi tidak demikian halnya dengan Danar. Ia memang merasa sangat berdosa kepada gadis itu, namun ia samasekali tidak mencintai gadis malang itu. Dulu ia melakukannya karena kemarahan yang sangat. Ia melakukannya karena gadis itu juga kakaknya tidak mau lagi membantunya menghancurkan kehidupan Tantra dan Nada.
Sementara itu Lisa memejamkan mata, menahan pedih yang menghunjam dadanya. Ia merasa terpukul oleh perbuatan suaminya melebihi yang selama ini, tetapi ia juga menaruh iba kepada Meyra, gadis yang belum pernah dikenalnya. Selain itu, ia merasa memang suaminya harus menikahi gadis itu karena...Lisa belum berani menyampaikan alasan yang sebenarnya.
Selasa, 03 Mei 2011
Di Arung Jeram Cinta
Meyra tak pernah mengerti mengapa ia begitu menaruh kepercayaan kepada Rafa, gadis yang dua tahun lebih muda dibanding dirinya dan baru dikenalnya pula! Bagaimana mungkin ia tidak merasa ragu-ragu atau canggung sedikitpun menceritakan kembali peristiwa tragis yang menimpanya.
Mungkin ketulusan Rafa yang menyebabkan munculnya perasaan itu. Bahkan hati Meyra sangat nyaman ketika gadis itu mengajak mampir ke rumah.
"Dia baik sekali, "ujar Meyra mengakhiri ceritanya.
"Siapa namanya?"tanya Herman sambil mengambil segenggam kacang bawang dari toples di meja makan.
"Rafa."
"Rafa?"
"Mas kenal? Kok sepertinya kaget?"
"Iya, Papa kenal gadis itu?" sang Istri ikut penasaran.
"Dia adik mantan pegawai Papa, Mas Tantra. Dulu Rafa pernah mampir ke kantor mencari kakaknya."
Meyra tertunduk. Tiba-tiba saja ia merasa dirinya begitu kotor. Apalagi teringat dulu pernah mencoba merayu kakak gadis yang baik hati itu. Kalau saja Rafa mengetahui hal itu pasti ia tidak akan sudi bersusah payah menolong orang yang telah mengganggu kakaknya.
"Kalian sempat bertemu Mas Tantra atau istrinya?"
"Tidak, Mbak. Rafa tinggal bersama ayah ibunya. Tapi aku juga tidak sempat ketemu, soalnya ayahnya belum pulang kerja, ibunya juga ada acara di luar."
Herman menatap adiknya yang tampak lebih berseri dibanding hari-hari sebelumnya. Dalam hati laki-laki itu bersyukur.
Mungkin ketulusan Rafa yang menyebabkan munculnya perasaan itu. Bahkan hati Meyra sangat nyaman ketika gadis itu mengajak mampir ke rumah.
"Dia baik sekali, "ujar Meyra mengakhiri ceritanya.
"Siapa namanya?"tanya Herman sambil mengambil segenggam kacang bawang dari toples di meja makan.
"Rafa."
"Rafa?"
"Mas kenal? Kok sepertinya kaget?"
"Iya, Papa kenal gadis itu?" sang Istri ikut penasaran.
"Dia adik mantan pegawai Papa, Mas Tantra. Dulu Rafa pernah mampir ke kantor mencari kakaknya."
Meyra tertunduk. Tiba-tiba saja ia merasa dirinya begitu kotor. Apalagi teringat dulu pernah mencoba merayu kakak gadis yang baik hati itu. Kalau saja Rafa mengetahui hal itu pasti ia tidak akan sudi bersusah payah menolong orang yang telah mengganggu kakaknya.
"Kalian sempat bertemu Mas Tantra atau istrinya?"
"Tidak, Mbak. Rafa tinggal bersama ayah ibunya. Tapi aku juga tidak sempat ketemu, soalnya ayahnya belum pulang kerja, ibunya juga ada acara di luar."
Herman menatap adiknya yang tampak lebih berseri dibanding hari-hari sebelumnya. Dalam hati laki-laki itu bersyukur.
Minggu, 01 Mei 2011
Di Arung Jeram Cinta
Sebenarnya Meyra dan Rafa menuntut ilmu di universitas yang sama, hanya saja beda fakultas dan angkatan. Meyra mengambil jurusan antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tinggal menyelesaikan skripsi, sedangkan Rafa kuliah di Fakultas Sastra semester lima. Keduanya belum pernah saling mengenal karena memang tempat kuliah mereka berbeda di gedung yang berbeda.
Sore itu, ketika Meyra bosan menunggu kedatangan teman-temannya, ia beranjak dari bangku taman kampus.
Ia bermaksud hendak menuju gerbang ketika ada seseorang menghadang jalannya.
Meyra mundur ketakutan. Sungguh, ia selalu berharap agar tak pernah melihat wajah laki-laki ini sampai mati.
Danar tersenyum. "Apa kabar? Kuharap kau baik-baik saja."
Meyra ingin lari sekencang-kencangnya atau setidak-tidaknya berteriak sekeras-keras. Tetapi, entah mengapa kakinya seperti kaku dan lidahnya terasa kelu.
"Kau tidak perlu takut, aku hanya ingin...aaah!" tiba-tiba laki-laki memegangi pipinya yang lebam biru.
Entah bagaimana mulanya seorang gadis berbusana muslimah sudah berdiri di tengah-tengah Danar dan Meyra. Gadis itu menatap Danar dengan marah sambil menggenggam kotak pensil dengan tangan kanannya.
"Kau tahu, dia tidak mau diganggu, jadi jangan kamu paksa!"
Danar menurunkan tangan dari pipinya. Ia menatap gadis itu dengan pandang ingin mengingat-ingat. "Tunggu, sepertinya aku mengenalmu, "ujarnya.
Gadis itu tidak mengacuhkan kata-kata Danar dan segera mengajak Meyra meninggalkan taman.
"Tunggu, kau adik Tantra? Tantra, yang sekarang jadi suami Nada, mantan tunanganku."
Mendengar itu, gadis yang disebut Rafa, membalikkan tubuh. "Siapa kau?"tanyanya dengan tatapan tajam menyelidik.
"Aku Danar...mantan tunangan kakak iparmu."
Tatapan Nada yang semula menyelidik mendadak berubah jijik. "Oh, aku ingat sekarang, "sahutnya ketus. "Bukankah kau ini laki-laki yang selalu menganggap wanita hanya sebagai pelayan yang bisa kamu perlakukan seenak perutmu?"
Sementara itu Meyra memegang tangan Rafa erat sekali. Wajahnya pucat ketakutan. "Cepat, kita pergi, "bisiknya. "Dia pernah perkosa aku...."
Rafa tersentak mendengar pengakuan gadis yang baru dilihatnya itu. Saat itu hanya satu yang ada di benaknya, yaitu segera meninggalkan tempat untuk menenangkan perasaan teman baru yang ketakutan itu.
Tinggallah Danar terpaku.
Sesampainya di rumah, Rafa menghidangkan jus semangka dan setangkup roti selai.
"Silakan."
"Terima kasih. Maaf, aku jadi merepotkan."
Rafa tersenyum. "Biasa saja, "tukasnya. "Oh ya, kita belum kenalan. "Namaku Rafa."
Meyra balas tersenyum dengan malu. "Ah, harusnya aku dulu, "sahutnya menerima uluran tangan Rafa. "Aku Meyra."
"Namamu bagus dan kamu cantik sekali, "puji Rafa tulus. Rasanya tak bosan ia menatap gadis yang mengenakan blouse merah muda berenda dengan bawahan jingga kotak-kotak coklat muda. Rambutnya dibiarkan terurai dengan dua jepit warna perak di sisi kiri kanan rambut.
Meyra menggeleng sedih. "Semua itu tak ada artinya bagiku, Rafa, "tukasnya.
Rafa mengerutkan kening. "Kenapa begitu?"
"Untuk apa itu semua, kalau tidak akan ada lagi laki-laki yang sudi mencintaiku apa adanya."
"Meyra, jangan berkata seperti itu."
"Apa kamu lupa, Rafa? Bukankah tadi sudah kukatakan, kalau aku ini pernah diperkosa?"
Untuk kedua kalinya Rafa tersentak.
Pagi seusai sarapan. Nada meletakkan segelas es teh di meja ruang tengah.
"Terima kasih, Mbak."
Nada duduk di samping suaminya. "Mas...."
Tantra mengangkat alisnya. "Ya, ada apa?"
"Jangan panggil aku Mbak lagi...."
Tantra menatap istrinya dengan sorot penuh tanya.
"Aku tidak mau Mas memanggilku 'mbak' karena aku lebih tua."
"Lalu kenapa kamu panggil aku 'mas'? Kenapa bukan 'adik' saja seperti sebelum kita menikah?"
"Karena Mas suamiku. Ibu dan bapakku selalu mendidikku untuk menghormati suami dan termasuk dalam sapaan."
Tantra tersenyum. "Kalau begitu selama ini Mbak salah sangka."
"Maksudmu?"
"Aku menyapamu 'mbak' bukan seperti sangkaanmu. Itu panggilan sayangku untukmu."
Walaupun tidak mengerti, Nada memilih membalas senyum suaminya. "Aku senang mendengarnya. Aku janji tidak akan meributkan masalah itu lagi. Tapi... bukan karena aku kelihatan tua, kan?"
Tantra tertawa. "Aku yakin kau tetap cantik, biarpun sudah nenek-nenek."
"Mulai lagi, tukang rayu, "sahut Nada malu campur geli.
Sore itu, ketika Meyra bosan menunggu kedatangan teman-temannya, ia beranjak dari bangku taman kampus.
Ia bermaksud hendak menuju gerbang ketika ada seseorang menghadang jalannya.
Meyra mundur ketakutan. Sungguh, ia selalu berharap agar tak pernah melihat wajah laki-laki ini sampai mati.
Danar tersenyum. "Apa kabar? Kuharap kau baik-baik saja."
Meyra ingin lari sekencang-kencangnya atau setidak-tidaknya berteriak sekeras-keras. Tetapi, entah mengapa kakinya seperti kaku dan lidahnya terasa kelu.
"Kau tidak perlu takut, aku hanya ingin...aaah!" tiba-tiba laki-laki memegangi pipinya yang lebam biru.
Entah bagaimana mulanya seorang gadis berbusana muslimah sudah berdiri di tengah-tengah Danar dan Meyra. Gadis itu menatap Danar dengan marah sambil menggenggam kotak pensil dengan tangan kanannya.
"Kau tahu, dia tidak mau diganggu, jadi jangan kamu paksa!"
Danar menurunkan tangan dari pipinya. Ia menatap gadis itu dengan pandang ingin mengingat-ingat. "Tunggu, sepertinya aku mengenalmu, "ujarnya.
Gadis itu tidak mengacuhkan kata-kata Danar dan segera mengajak Meyra meninggalkan taman.
"Tunggu, kau adik Tantra? Tantra, yang sekarang jadi suami Nada, mantan tunanganku."
Mendengar itu, gadis yang disebut Rafa, membalikkan tubuh. "Siapa kau?"tanyanya dengan tatapan tajam menyelidik.
"Aku Danar...mantan tunangan kakak iparmu."
Tatapan Nada yang semula menyelidik mendadak berubah jijik. "Oh, aku ingat sekarang, "sahutnya ketus. "Bukankah kau ini laki-laki yang selalu menganggap wanita hanya sebagai pelayan yang bisa kamu perlakukan seenak perutmu?"
Sementara itu Meyra memegang tangan Rafa erat sekali. Wajahnya pucat ketakutan. "Cepat, kita pergi, "bisiknya. "Dia pernah perkosa aku...."
Rafa tersentak mendengar pengakuan gadis yang baru dilihatnya itu. Saat itu hanya satu yang ada di benaknya, yaitu segera meninggalkan tempat untuk menenangkan perasaan teman baru yang ketakutan itu.
Tinggallah Danar terpaku.
Sesampainya di rumah, Rafa menghidangkan jus semangka dan setangkup roti selai.
"Silakan."
"Terima kasih. Maaf, aku jadi merepotkan."
Rafa tersenyum. "Biasa saja, "tukasnya. "Oh ya, kita belum kenalan. "Namaku Rafa."
Meyra balas tersenyum dengan malu. "Ah, harusnya aku dulu, "sahutnya menerima uluran tangan Rafa. "Aku Meyra."
"Namamu bagus dan kamu cantik sekali, "puji Rafa tulus. Rasanya tak bosan ia menatap gadis yang mengenakan blouse merah muda berenda dengan bawahan jingga kotak-kotak coklat muda. Rambutnya dibiarkan terurai dengan dua jepit warna perak di sisi kiri kanan rambut.
Meyra menggeleng sedih. "Semua itu tak ada artinya bagiku, Rafa, "tukasnya.
Rafa mengerutkan kening. "Kenapa begitu?"
"Untuk apa itu semua, kalau tidak akan ada lagi laki-laki yang sudi mencintaiku apa adanya."
"Meyra, jangan berkata seperti itu."
"Apa kamu lupa, Rafa? Bukankah tadi sudah kukatakan, kalau aku ini pernah diperkosa?"
Untuk kedua kalinya Rafa tersentak.
Pagi seusai sarapan. Nada meletakkan segelas es teh di meja ruang tengah.
"Terima kasih, Mbak."
Nada duduk di samping suaminya. "Mas...."
Tantra mengangkat alisnya. "Ya, ada apa?"
"Jangan panggil aku Mbak lagi...."
Tantra menatap istrinya dengan sorot penuh tanya.
"Aku tidak mau Mas memanggilku 'mbak' karena aku lebih tua."
"Lalu kenapa kamu panggil aku 'mas'? Kenapa bukan 'adik' saja seperti sebelum kita menikah?"
"Karena Mas suamiku. Ibu dan bapakku selalu mendidikku untuk menghormati suami dan termasuk dalam sapaan."
Tantra tersenyum. "Kalau begitu selama ini Mbak salah sangka."
"Maksudmu?"
"Aku menyapamu 'mbak' bukan seperti sangkaanmu. Itu panggilan sayangku untukmu."
Walaupun tidak mengerti, Nada memilih membalas senyum suaminya. "Aku senang mendengarnya. Aku janji tidak akan meributkan masalah itu lagi. Tapi... bukan karena aku kelihatan tua, kan?"
Tantra tertawa. "Aku yakin kau tetap cantik, biarpun sudah nenek-nenek."
"Mulai lagi, tukang rayu, "sahut Nada malu campur geli.
Sabtu, 30 April 2011
Arak Memabukkan
Arak ini begitu memabukkan
belum setengah gelas kuhabiskan
aku tlah terbuai rayuan
bahkan malam pun berpesta kegirangan
Basahi kerongkongan
tenggak bersloki-sloki kegelapan
menumpahkannya ke dalam gelas kebimbangan
Aku dan malam berdekapan
selimut malu sudah dicampakkan
malam bisikkan hitam memabukkan
aku pun terhanyut oleh kepekatan
Limbung diri di perjalanan
melambai-lambai pelita dari kejauhan
belum terlepas dari segala kepenatan
Malam tawarkan arak memabukkan
namun pelita hadir bersinaran
gelas kebimbangan pun kulemparkan
hancur sudah belenggu kepekatan
belum setengah gelas kuhabiskan
aku tlah terbuai rayuan
bahkan malam pun berpesta kegirangan
Basahi kerongkongan
tenggak bersloki-sloki kegelapan
menumpahkannya ke dalam gelas kebimbangan
Aku dan malam berdekapan
selimut malu sudah dicampakkan
malam bisikkan hitam memabukkan
aku pun terhanyut oleh kepekatan
Limbung diri di perjalanan
melambai-lambai pelita dari kejauhan
belum terlepas dari segala kepenatan
Malam tawarkan arak memabukkan
namun pelita hadir bersinaran
gelas kebimbangan pun kulemparkan
hancur sudah belenggu kepekatan
Rabu, 27 April 2011
Di Arung Jeram Cinta
Malam semakin larut. Tetapi, baik Tantra maupun Nada belum terserang kantuk. Keduanya malah melanjutkan curhat di sofa ruang tengah.
"Janji, aku tidak akan berbicara dengan Randy, atau siapa pun sebelum Mas izinkan, "ujar Nada setelah Tantra benar-benar reda kemarahannya.
Tantra tak menjawab. Ia hanya menatap istrinya tanpa berkedip. Tadi ia sempat melihat tampaknya Nada sudah mulai sulit berjalan karena perutnya yang besar. Tetapi belum pernah sekalipun ia mendengar istrinya mengeluh. Malah dulu yang ngidam, dirinya sendiri. Nada selalu mengalah. Bahkan, bersusah payah menemui suami yang sedang uring-uringan di rumah orang tua. Lalu siapa yang minta maaf lebih dulu? Ah, seharusnya aku yang minta maaf, ujarnya dalam hati.
"Mas, masih marah, ya?"
Tetapi Tantra tidak mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba ia teringat semuanya. Nada yang sangat pemalu sampai-sampai menolak setiap kali digandeng atau dipeluk di depan umum. Waktu itu Tantra heran, menurutnya mengapa harus malu, bukankah kami sudah sepasang suami istri? Yang belum menikah saja tidak malu. Tetapi, sampai detik ini Nada masih pemalu.
Nada menghela napas perlahan. Tampak jelas suaminya sedang memikirkan sesuatu. Wanita itu melambai-lambaikan tangannya di depan mata laki-laki muda itu.
Tantra tersentak.
"Mas melamun?"
"Tidak, "Tantra mengelak. "Lho, kok ada nasi goreng, Mbak? Kapan masaknya?"
"Waktu Mas melamun."
Tantra tersenyum. "Terima kasih, Mbak, "ujarnya lembut.
Nada balas tersenyum.
Apakah kita selalu menyadari bahwa jatuh cinta itu selalu muncul tanpa direncanakan sebelumnya? Mungkin dulu saat remaja, kita yakin akan mengalami perasaan itu. Tetapi setelah kita dewasa, barulah kita mengerti arti cinta yang sebenarnya.
Begitu pula dengan Randy. Sampai usianya yang ketiga puluh tiga ini, ia masih betah melajang. Bukan apa-apa, karena dia adalah salah seorang yang tidak percaya pada perasaan jatuh cinta saat remaja.
Laki-laki itu berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar. Ya, ia telah jatuh cinta. Seharusnya ia bersyukur akan hal itu. Tetapi, sayang kali ini panah Dewa Amor tidak menancap pada sasaran yang tepat.
"Janji, aku tidak akan berbicara dengan Randy, atau siapa pun sebelum Mas izinkan, "ujar Nada setelah Tantra benar-benar reda kemarahannya.
Tantra tak menjawab. Ia hanya menatap istrinya tanpa berkedip. Tadi ia sempat melihat tampaknya Nada sudah mulai sulit berjalan karena perutnya yang besar. Tetapi belum pernah sekalipun ia mendengar istrinya mengeluh. Malah dulu yang ngidam, dirinya sendiri. Nada selalu mengalah. Bahkan, bersusah payah menemui suami yang sedang uring-uringan di rumah orang tua. Lalu siapa yang minta maaf lebih dulu? Ah, seharusnya aku yang minta maaf, ujarnya dalam hati.
"Mas, masih marah, ya?"
Tetapi Tantra tidak mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba ia teringat semuanya. Nada yang sangat pemalu sampai-sampai menolak setiap kali digandeng atau dipeluk di depan umum. Waktu itu Tantra heran, menurutnya mengapa harus malu, bukankah kami sudah sepasang suami istri? Yang belum menikah saja tidak malu. Tetapi, sampai detik ini Nada masih pemalu.
Nada menghela napas perlahan. Tampak jelas suaminya sedang memikirkan sesuatu. Wanita itu melambai-lambaikan tangannya di depan mata laki-laki muda itu.
Tantra tersentak.
"Mas melamun?"
"Tidak, "Tantra mengelak. "Lho, kok ada nasi goreng, Mbak? Kapan masaknya?"
"Waktu Mas melamun."
Tantra tersenyum. "Terima kasih, Mbak, "ujarnya lembut.
Nada balas tersenyum.
Apakah kita selalu menyadari bahwa jatuh cinta itu selalu muncul tanpa direncanakan sebelumnya? Mungkin dulu saat remaja, kita yakin akan mengalami perasaan itu. Tetapi setelah kita dewasa, barulah kita mengerti arti cinta yang sebenarnya.
Begitu pula dengan Randy. Sampai usianya yang ketiga puluh tiga ini, ia masih betah melajang. Bukan apa-apa, karena dia adalah salah seorang yang tidak percaya pada perasaan jatuh cinta saat remaja.
Laki-laki itu berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar. Ya, ia telah jatuh cinta. Seharusnya ia bersyukur akan hal itu. Tetapi, sayang kali ini panah Dewa Amor tidak menancap pada sasaran yang tepat.
Selasa, 26 April 2011
Di Arung Jeram Cinta
Nada memutuskan pulang malam itu juga. Ibu selalu emosional akibatnya masalah menjadi semakin runyam. Nada tidak mungkin mengharapkan bantuan ayahnya. Beliau sibuk mengurus bisnis di luar kota. Banu? Apalagi dia. Adik satu-satunya itu paling-paling akan berkata, "Sabar, Mbak. Tantra kan masih muda." Membayangkan hal itu, Nada menyerah, lebih ia pulang.
"Aku pulang saja, Bu."
"Besok saja, Nada, sekarang sudah malam."
Nada menggeleng. "Mestinya aku tetap di rumah, Bu, menunggu suami pulang."
Tia melotot. "Eh, apa-apaan kamu ini? Kalau dia boleh seenaknya keluar rumah, masa kamu tidak? Suami macam apa itu?"
"Bu, Nada yakin sebenarnya Ibu juga tidak mau kalau aku sampai jadi janda...."
"Tunggu, "Tia mengerutkan dahi. "Maksudmu, dia mau ceraikan kamu?"
Lagi-lagi Nada mendesah.
Cakra dan Afan berpandangan. Si Sulung memang keras kepala. Tantra menolak untuk menjemput istrinya.
"Yang kamu lihat itu belum tentu benar, "ujar Afna. "Ibu yakin istrimu hanya gembira bertemu teman lamanya."
Ya, dan kelihatannya itu cinta pertamanya, tukas Tantra dalam hati. Lihat saja, sampai pegang tangan segala!
"Kamu harus jemput istrimu lalu ajak dia pulang, "Cakra menimpali.
"Memang dia belum tahu jalan pulang?"tukas Tantra.
Afna menarik napas panjang. "Kamu suaminya. Sudah seharusnya kamu melindungi istrimu dan menjaga perasaannya. Bukan malah sebaliknya. Apalagi istrimu sedang hamil tua."
"Ibumu benar, Tantra. Sebentar lagi kamu akan jadi ayah. Apa kamu tidak merasa sayang dan kasihan membayangkan istrimu berdiri di tepi jalan menghentikan angkot, sementara berjalan saja sudah kepayahan karena perutnya yang besar?"
"Kan dia yang hamil, kenapa aku harus ikut susah?"
Afna melotot. Cakra menghela napas.
"Yang hamil memang istrimu, "sahut Cakra menahan jengkel. "Tapi siapa penanam sahamnya?"
"Sudahlah, Ayah, Ibu, "tukas Tantra. "Kalau Nada sampai hamil itu maunya sendiri. Dulu dia tidak menolak. Jadi, kenapa Ayah juga Ibu malah salahkan aku?"
Untuk kesekian kalinya sepasang orang tua itu berpandangan.
Tantra tidak mau ambil pusing. Ia beranjak dari sofa.
Tetapi....
"Mas, ada Mbak Nada, "ujar Rafa yang muncul sambil menggandeng kakak iparnya.
"Do...yang mau kangen-kangenan, "celetuk Cakra iseng. "Rafa, cepat masuk kamar! Bu, ayo kita tidur. Besok Ayah kan harus ke kantor pagi-pagi."
Afna beranjak sambil menerima uluran tangan suaminya. "Iya, Yah, kebetulan Ibu juga mau cepat-cepat istirahat."
Tantra menatap jengkel kedua orang tua dan adiknya yang meninggalkannya berdua dengan Nada di ruang tamu secara serentak.
"Mas...."
Tantra menoleh. Nada berdiri di hadapannya sambil melempar senyum. "Kita pulang, Mas, "ujarnya.
"Laki-laki itu yang mengantarmu?" Tantra malah balik bertanya. "Mana dia sekarang?"
"Randy maksud Mas?" Nada masih tersenyum. "Kami tidak ada hubungan apa-apa, percayalah."
Tantra tidak menjawab. Ia malah membalikkan badan hendak menuju kamar tidur.
Nada meraih tangannya. "Mas, maafkan aku karena sudah membuatmu marah dan kecewa. Mungkin Randy punya perasaan lain, aku tidak tahu. Tapi, yang jelas aku tidak."
"Tapi, kalian saling pegang tangan."
"Dia yang memegang tanganku ...tapi lalu kulepaskan."
Tantra hanya membisu.
"Baiklah, "Nada mencoba bersabar. "Tidak apa-apa kalau masih marah, tapi kita pulang sekarang, ya?"
"Kamu pulang saja sendiri, "Tantra melepaskan tangan istrinya.
"Tunggu sebentar!"
Tantra mematung.
"Aku tidak akan pulang sebelum Mas mau pulang. Kita harus pulang sama-sama, "ujar wanita itu kembali meraih tangan suaminya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu marah...."
Tiba-tiba Tantra merasakan genggaman Nada begitu hangat. Ia memutar tubuhnya dan melihat air mata menetes satu-satu di wajah wanita itu.
"Mbak, maafkan aku, "bisik pemuda itu balas menggenggam tangan istrinya.
"Alhamdulillah..., "bisik Nada lirih dengan perasaan lega bercampur bahagia.
Langganan:
Postingan (Atom)