Kamis, 17 November 2011

Di Arung Jeram Cinta

Kalau saja tidak menyadari keadaan dirinya, mungkin Meyra sudah jatuh hati. Pemuda itu memang bertampang biasa saja tetapi keramahan dan sorot matanya yang berkilat jenaka sudah cukup membuat gadis-gadis terpesona. Termasuk Meyra.
"Kamu jatuh cinta, "begitu kata Dewi setelah mendengar penuturan putri bungsunya.
"Ya, Bunda..."
Dewi tersenyum, mengusap kepala gadis itu lembut. "Ternyata putriku ini tidak takut jatuh cinta, "sahutnya, "syukurlah, Bunda senang dan ikut bahagia."
"Bunda, aku bukannya tidak takut jatuh cinta, "tukas Meyra murung, "tapi...."
"Tapi apa, Nak?"
"Aku tidak bisa menghindari perasaan itu, "gadis itu tertunduk.
"Menurutmu, dia sendiri bagaimana? Maksud Bunda, apa kelihatannya dia juga punya perasaan yang sama denganmu?"
"Kelihatannya begitu...."
"Bagus itu."
"Ya, karena dia belum tahu tentang aku, Bunda. Kalau saja dia tahu, mana mungkin...."
Dewi memeluk pundak putrinya. Sebagai sesama kaum hawa, lebih-lebih lagi sebagai ibu, ia mampu merasakan betapa hancur perasaan Meyra. Kehilangan satu-satunya identitas penanda yang begitu berharga bagi makhluk berspesies perempuan sebelum waktunya. "Anakku sayang, percayalah Allah itu Maha Pengasih, Maha Penyayang, suatu saat Bunda yakin kamu akan meraih kebahagiaan."
"Mungkinkah, Bunda? Laki-laki mana yang mau jadi suamiku? Bahkan, yang paling bejat sekalipun mungkin tidak akan sudi menerima gadis seperti aku...gadis tapi bukan gadis lagi... I was a girl...."
"Hentikan itu, Meyra, "getas terdengar ucapan Dewi sehingga Meyra tersentak. Ia mengangkat wajah menatap ibunya. "Berhentilah merendahkan dirimu, Nak, "suara Dewi melembut. "Percayalah, semua ada hikmahnya."
"Maafkan Meyra, Bunda...maafkan...."
Dewi berusaha agar air mata yang sudah merebak di kedua kelopak matanya tidak jatuh. Tanpa sepatahpun ia mengusap air mata yang berderai menganak sungai di pipi putrinya.
Pukul sembilan malam. Meyra tertidur di pangkuan ibunya. Dewi membiarkan anaknya, ia tak ingin mengusik gadis yang belum sembuh dari luka jiwanya itu.
"Bunda...."
Dewi menoleh. Ia memberi isyarat agar sosok yang menghampirinya di kamar itu tidak mengeluarkan suara yang mampu membangunkan Meyra.
Herman mengangguk. Ia tersenyum dan berbalik meninggalkan keduanya.


Tidak ada komentar: