Selasa, 31 Mei 2011

Di Arung Jeram Cinta

Meyra tidak sanggup berkata-kata. Ia hanya menatap laki-laki di hadapannya dengan perasaan berkecamuk. Terus terang tidak ada rasa bangga apalagi bahagia saat medengar pernyataan Danar itu. Malah sebaliknya, ia semakin merasa yakin bahwa selama ini dirinya telah salah menilai.
Melihat Meyra diam saja, Danar memberanikan diri bersuara. "Aku tidak akan memaksamu kalau kau tidak mau." Selesai mengucapkan kalimat itu, alangkah terkejutnya ia melihat gadis itu balas menatapnya dengan tajam.
"Benar, kau tidak akan memaksaku? Lalu apa yang kaulakukan dulu itu? Apa namanya?"
"Ma...maafkan aku, Meyra. Aku mengaku salah, aku berdosa padamu."
"Apa dengan mengaku dosa, kamu bisa mengembalikan semuanya seperti semula?"tukas gadis itu seraya bangkit dari duduknya.
"Kau ingin aku menyerahkan diri ke polisi?"
"Danar, "Meyra menatap Danar dengan mata berapi-api. "Satu hal yang kuinginkan sejak peristiwa itu adalah tak akan pernah lagi mendengar suara atau melihat wajahmu."
"Tapi...."
"Jadi, tolong jangan ganggu aku lagi."
"Meyra...."
Jangan kaukira aku gembira dengan niat baikmu itu. Lebih baik, berikan saja pada gadis yang mau."
Sebenarnya Danar tidak ingin memaksa, tetapi dia sendiri tak mengerti mengapa tiba-tiba saja ia mencoba meraih tangan Meyra. Tentu saja gadis itu cepat menghindar sambil berteriak kaget.
Herman dan Asri yang mendengar jeritan adiknya segera muncul di tempat kejadian. Meyra segera memeluk kakaknya.
"Cepat, pergi dari sini!"seru Herman gusar sambil memegangi adiknya. "Kenapa kausakiti adikku lagi?"
"Herman, aku hanya...."
"Dia mau memaksaku lagi, Mas...."
Mendengar itu, Herman semakin gusar. " Dengar, aku tidak mau lagi melihatmu! Pergilah!"
Asri meraih Meyra dari pelukan Herman. "Kamu minum dulu, Dik, "ujarnya lembut. Meyra menurut.
Sementara itu Herman melanjutkan urusannya dengan Danar. "Pertemanan kita berakhir sampai di sini."
"Herman, beri aku kesempatan...."
"Kalau adikku menginginkannya. Tapi lihat sendiri tadi, jelas-jelas dia menolakmu. Aku sangat menyayangi adikku dan aku tahu benar yang telah kaulakukan itu sangat mengoyak jiwanya. Perasaan itu bisa jadi akan menghantuinya seumur hidup."
Danar menunduk. "Adikmu sempat melakukan perlawanan...."
Herman tertawa sinis. "Kau memang laki-laki sejati. Selama ini lawanmu cuma perempuan. Istrimu yang sering kauperlakukan seperti maling tertangkap basah dan adikku yang terpaksa harus kehilangan miliknya yang paling berharga."
Danar menyadari meskipun Herman mengucapkan kalimat itu dengan tenang, tetapi ia tahu bahwa sebenarnya kemarahan temannya itu belumlah pudar.

Senin, 30 Mei 2011

Di Arung Jeram Cinta

Herman sengaja meninggalkan Meyra berdua dengan Danar. Pria itu yakin adiknya sudah mampu menguasai emosinya. Meskipun demikian, ia tetap mengawasi keduanya.
"Kata Mas Herman, kau ada perlu, "ujar Meyra membuka percakapan dengan tenang. "Katakanlah."
Danar tertegun. Gadis di hadapannya yang dulu begitu lemah tak berdaya, kini benar-benar berubah. Meyra tampil penuh percaya diri.
"Kedatanganku ini hanya untuk menyampaikan pesan istriku, "ujar laki-laki itu setelah berhasil menguasai perasaannya. "Dia ingin aku menikahimu."
"Apa?!"


"Asalamualaikum."
Nada menoleh sambil menjawab, "Waalaikumussalam. Eh, sudah pulang, "wanita itu berusaha berdiri sambil berpegangan pada sisi meja.
Tantra bergegas menghampiri dan membantu istrinya berdiri. "Terima kasih, Mas, "Nada tersenyum.
"Kelihatannya sedang melamun?"
Nada menggeleng. "Tidak, aku cuma teringat waktu kita menginap di rumah Ayah."
"Bagian yang mana, Mbak?"
Nada menyadari suaminya mulai iseng. "Ya, semuanya...."
"Jadi, termasuk yang ..., "Tantra meringis kesakitan karena mendadak kakinya diinjak sesuatu yang keras.
"Mau lagi?"
Tantra melihat ke arah kakinya yang malang. Ternyata istrinya mengenakan sandal kesehatan. "Maksudmu mau lagi apanya?" Pemuda yang sebentar lagi menjadi ayah itu masih saja menggoda istrinya.
Nada melotot. "Mau diinjak...."
Tantra cepat-cepat melesat ke kamar mandi untuk menyelamatkan diri.


Sabtu, 28 Mei 2011

Di Arung Jeram Cinta

Setelah berusaha mati-matian bahkan hampir saja babak belur, akhirnya Danar berhasil menemui Herman di toko samping rumahnya. Meskipun enggan, demi menghargai niat baik kawan semasa SMP, Herman memutuskan menerima laki-laki itu dan mengajaknya duduk di kursi beranda.
Dengan sangat berhati-hati, Danar mengutarakan maksudnya. Ia memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali memenuhi permintaan istrinya. Permintaan yang sangat aneh, tentu saja.
"Lalu kaupikir adikku sudi?"tanya Herman dengan tatapan tidak suka. Sungguh tak tahu malu! Sudah punya istri, masih juga cicipi yang lain!
"Aku tahu adikmu masih dendam...."
"Salah, "potong Herman. "Adikku tidak pernah menyimpan dendam."
"Tapi dia tak mau melihatku."
"Sudah tentu. Sebenarnya aku juga muak melihatmu."
Danar menunduk.
"Dengar, aku tidak percaya kalau lamaranmu atas permintaan istrimu. Kalaupun benar, jangan-jangan kamu yang mengancamnya. Tega sekali kamu ini memperlakukan istri seperti barang yang tak ada harganya."
Sementara itu ternyata Meyra yang hendak menemui Herman tanpa sengaja mendengar percakapan kakaknya dengan sang Tamu. Alangkah terkejut ketika ia melihat tamu yang berkunjung.
Herman mengetahui kehadiran adiknya. "Aku tidak tahu adikku sudi melihatmu atau tidak, "ujarnya dengan volume suara yang sengaja dinyaringkan.
Meyra menarik napas panjang berusaha menguatkan hatinya. Kemudian ia pun melangkahkan kaki menuju beranda.
"Meyra tidak apa-apa, Mas, "ujarnya.
Herman dan Danar serentak menoleh.

Nada masih menunggu Tantra yang mendadak lembur. Wanita itu memutuskan duduk di karpet ruang tengah sambil membaca buku tentang merawat bayi. Ia berharap suaminya tiba di rumah sebelum jam sembilan.
Wanita itu tersenyum mengenang hari-hari yang berlalu. Tentang kekhawatiran orang tuanya, tentang trauma masa lalu, sampai tentang kecemburuan suaminya.
Malam itu, ketika Nada hendak memejamkan mata, Tantra mencolek lengannya. Nada menoleh memandang suaminya yang duduk di sampingnya. "Ada apa, Mas?"
"Jadi dulu Randy itu idola di SMAmu?"
"Iya, tapi itu dulu."
"Kamu pernah naksir dia?"
"Iya, tapi itu dulu."
"Pasti dulu dia ganteng sekali."
"Iya, tapi itu dulu."
Tantra mengerutkan kening. Nada tersenyum. "Mas, itu masa lalu, "katanya. "Aku sudah tidak ada perasaan apapun apalagi sampai punya hubungan."
Tantra hanya menatap. Nada jadi merasa tidak enak. "Percayalah, tidak ada yang kusembunyikan lagi."
Tantra belum memberikan reaksi.
"Mas...."
Nada tersenyum sendiri. Malam itu ia semakin yakin bahwa sebenarnya suaminya selalu memercayai dirinya.

Rabu, 25 Mei 2011

Di Arung Jeram Cinta

Randy menggeleng. Ia tidak setuju dengan keputusan adiknya. Sampai sekarang pria itu tidak habis pikir apa jenis ilmu pelet yang digunakan Danar sampai Lisa mau berkorban jiwa dan raga. Tetapi ia berusaha untuk bersabar karena tahu adiknya sudah terlalu banyak menderita.
"Aku tidak setuju keputusanmu."
"Mas, dia harus bertanggung jawab. Aku tidak mau Mas Danar jadi pengecut."
"Ya, dan pasti dia menerima permintaanmu dengan lapang dada."
Kali ini Lisa yang menggeleng. "Dia sudah berubah."
Randy mendengus. "Dia hanya menunggu saat yang tepat untuk menunjukkan keberingasannya seperti dulu."
Lisa memilih diam. Ia mengerti kakaknya masih belum dapat memaafkan suaminya. Tetapi ia juga tidak bisa menyalahkan Randy. Ia tahu Randy melakukannya karena sayang kepadanya, adik satu-satunya.
Pintu paviliyun terbuka.
"Asalamualaikum."
"Waalaikumsalam, "sahut kedua kakak beradik serentak.
"Maaf, sudah waktunya periksa, "ujar seorang perawat wanita dengan ramah. Di belakang perawat itu berdiri dokter yang selalu siap membantu. Dokter Ratih.
Randy beranjak dari kursi. " Baik, Suster. Silakan, Dokter."
"Terima kasih, Pak Randy, "sahut Ratih tersenyum.


Menurut perhitungan dokter, minggu depan Nada melahirkan. Wanita itu bersyukur karena kandungannya baik-baik saja. Dulu memang sempat ada masalah ketika terjadi penyerangan Danar, tetapi untunglah ia sangat tabah sehingga dapat mempertahankan bayi dalam rahimnya. Selain itu, Tantra tidak pernah bosan membantu dan mendorong semangatnya.
Tantra memperhatikan istrinya yang menyapu lantai beranda. Terus terang ia ngeri melihat Nada yang sesekali memegangi perutnya seolah-olah khawatir bayi di dalam perut itu akan meluncur jatuh. Ia juga takut kalau tiba-tiba istrinya terjatuh.
"Mbak, biar aku yang menyapu."
"Mas duduk saja. Nanti aku buatkan teh."
Tantra beranjak dari duduk. "Lantainya sudah bersih, duduklah."
Nada menurut. Meskipun ia merasa belum lelah, tetapi ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Ia pun menerima uluran tangan Tantra yang meminta sapu.

Senin, 16 Mei 2011

Kucumbu Rindu

Aku telah lelah bercumbu
mengecupi tiada habis pecahan rindu
yang telah berpencar seiring waktu

Serakan rindu di peraduan jiwaku
mungkin bukanlah bagianku

Aku tak mau lagi tangisi pilu
memunguti resah kepingan rindu
padahal tak satu pun menjadi milikku

Serakan rindu tiada lagi kucumbu
kubiarkan terbang mengembara ke langit biru

Kutangkap satu
bercinta daku sampai habis waktu berlalu
mengukir rindu yang satu biar terpahat di kalbu

Minggu, 15 Mei 2011

Di Arung Jeram Cinta

Malam itu Randy tidak bisa tidur. Ia benar-benar tak menyangka bahwa Tantra adalah suami Nada. Selama ini ia mengira pemuda itu masih bebas alias sendiri saja, ternyata ia bahkan akan mempunyai seorang anak. Maklumlah, sebab Tantra memang tergolong muda untuk mendapat predikat 'ayah'.

"Kalian menikah sudah berapa lama?" tanya Randy di ruang tamu.
"Hampir satu setengah tahun, "jawab Tantra tersenyum. "Silakan diminum tehnya."
"Terima kasih."
"Jadi kalian dulu satu sekolah?"
"Benar, Tantra, "sahut Randy sambil meletakkan cangkir tehnya. "Tapi, Nada adik kelasku. Kalian sendiri?"
Tantra menoleh ke arah istrinya sambil tersenyum. "Waktu itu...aku masih SMA."
Randy tercengang. "SMA?"
Tantra mengangguk. "Tapi aku mencintai Nada dengan tulus. Aku tidak perduli berapa usianya. Banyak yang menuduhku main-main, tapi aku berusaha membuktikan kalau mereka semua salah."
"Tadinya aku juga ragu-ragu, "Nada menambahkan. "Bayangkan saja Mas Tantra ini idola gadis-gadis. Kalau dibandingkan fansnya, aku jelas tidak ada apa-apanya, bagaimana aku tidak krisis pede?"
"Yang krisis pede bukan Mbak Nada, tapi aku, "sela Tantra. "Terus terang sampai sekarang pun aku takut kalau harus berpisah darinya."
Randy terpaksa menahan perasaannya. Ia tidak berhak cemburu walaupun ingin sekali. Apalagi dengan mesra Tantra menggenggam tangan istrinya.

Randy ingin segera menikah. Tapi dengan siapa? Ia menarik napas panjang lalu mencoba memejamkan matanya seraya merebahkan diri di tempat tidurnya.


Malam yang hening tidak membuat Danar menjadi tenang. Ia sering gelisah teringat dosa-dosanya selama ini.

"Lisa!" dengan geram Danar mengobrak-abrik isi lemari pakaian.
Tak lama kemudian yang dipanggil menghampiri dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa, Mas?"
"Mana dasi putih garis hitam hadiah sahabatku?"
Lisa tampak ragu-ragu.
"Mana? Cepat, bawa ke sini."
"Ma...maaf, Mas, dasinya...."
"Kenapa?"
"Luntur...."
"Apa?!"
"Lu...luntur...."

Danar menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Terbayang semua kekejamannya pagi itu.

"Bagusnya kamu yang kubuat luntur!" Danar mengambil segelas teh dari meja dekat tempat tidur dan menuangkannya ke kepala istrinya.
Lisa memejamkan mata sambil gemetar ketakutan. Ia pasrah menunggu hukuman selanjutnya.
"Cepat kembalikan dasi itu seperti baru!" ujar Danar setelah puas memukuli istrinya dengan ikat pinggang sambil berlalu keluar kamar.
Lisa mencoba berdiri sambil berpegangan pada sisi tempat tidur. Walaupun tidak bisa melihat, tapi ia tahu seperti apa punggungnya. Perlahan diusapnya air mata. Ia tidak berani menangis karena Danar benci dengan tangisan perempuan.

Danar mengamati warna dasinya. Sementara Lisa menunggu dengan ketakutan.
"Percuma jadi istri! Cuci dasi saja tidak becus!"maki Danar melotot.
"Maaf, Mas...nanti saya belikan dasi yang seperti itu...."
Danar mendorong istrinya kasar sampai wanita itu jatuh terduduk. "Dari mana uangnya, Sialan? Pasti dariku juga, kan?"
"Sa...saya masih ada sedikit tabungan, Mas?"
Mendengar jawaban istrinya, mata lelaki itu tampak bagai singa kelaparan. "Berapa?"
"Li...lima juta...."
"Bagus, kamu tak perlu beli dasi. Berapa pin ATMmu?"
"Jangan, Mas. Itu tabungan saya...."
"Berapa pin ATMmu?"ulang Danar mencengkeram lengan istrinya.
"Aduuh, jangan, Mas...."
"Sebutkan, cepat! Atau mau kupukuli lagi seperti tadi?"

Betapa kejam! Alangkah biadab diriku! Aku merampas hak istriku! Sejak saat itu Lisa tak pernah memegang uang sepeser pun karena kartu ATM dan buku tabungannya sudah ada di tanganku.

"Mas, uang belanja habis...."
"Dasar pemboros! Kamu kemanakan saja uang pemberianku?! Tidak ada uang!"
"Tapi beras tinggal untuk besok pagi, Mas."
"Beli!"
"Uangnya belum ada, Mas."
Danar mematikan nyala rokok dengan kasar. "Sekali lagi kamu merengek-rengek, aku bungkam mulutmu!"

Danar menoleh memandang istrinya yang lelap. Ia teringat malam itu Lisa menjual anting-antingnya untuk membeli sembako. "Maafkan aku, Lisa...."

Kamis, 12 Mei 2011

Di Arung Jeram Cinta

"Kau tidak mengajakku masuk?"tanya Randy menyadari bahwa sudah lima menit Nada membiarkannya berdiri di halaman.
"Maaf, Randy, tapi sebaiknya kamu pulang."
"Kenapa?"
"Tidak baik kalau tetangga melihat, lagipula ini sudah malam."
"Kalau begitu, boleh aku masuk?"
"Sebentar, "sahut Nada mengeluarkan ponsel dari saku gaunnya.
Tentu saja Randy tercengang. Ia menatap wanita di hadapannya penuh tanda tanya. "Telepon siapa?"
"Suamiku, "jawab Nada memasukkan ponsel ke saku gaunnya. "Insya Allah, sebentar lagi dia pulang."
Randy terdiam. Dalam hati ia kesal bukan kepalang. Tapi, tak apalah, pikirnya kemudian. Aku penasaran juga seperti apa suaminya. Hm...kenapa ya aku dulu menganggap Nada biasa-biasa saja. Mungkin karena secara fisik dia terlalu biasa dan dia memang tidak punya bakat menarik perhatian laki-laki. Tapi, setelah bertemu lagi, aku baru tahu keistimewaannya yang membuatku jatuh cinta....
Sementara itu Nada mengambil kursi dari beranda dan meletakkannya di halaman. "Silakan duduk, "katanya.
Randy mengerutkan kening. "Kelihatannya kamu takut sekali. Apa suamimu suka memukulimu?"
Nada tampak tersinggung. "Apa maksudmu bertanya seperti itu?"
Sebelum Randy sempat menjawab, terdengar deru sepeda motor memasuki halaman.
"Itu suamiku, "ujar Nada.
Randy menoleh. Ia memperhatikan laki-laki yang menuntun sepeda motornya itu. Rasanya bukan orang yang asing baginya. Mungkin mereka pernah bertemu tetapi entah kapan dan di mana.
Tantra membuka helmnya. Randy tersentak.


Rabu, 11 Mei 2011

Senja di Tepi Pantai

Temaram senja melingkup jingga
di biru langit raya
kulihat semburat nila
menyiratkan warnanya

Purnama perak pancarkan cahaya
gelombang samudra melambai angkasa
kapal-kapal rapatkan tubuhnya di dermaga
pada hamparan pasir sebagai kawan setia

Menyusuri sepanjang pantai
bermain-main gembira hingga hati lalai
ayun nyiur bersambut debur berderai
pulanglah daku walau belum sampai

Minggu, 08 Mei 2011

Di Arung Jeram Cinta

Alangkah tercengangnya Lisa sore itu ketika melihat pipi Danar yang lebam. Ada masalah apalagi?pikir wanita itu gelisah. Meskipun ia mengetahui sifat buruk suaminya, tetapi wanita itu tetap berharap supaya Danar tidak lagi mencari-cari masalah dengan siapapun juga.
"Kenapa pipimu?"
Danar mencegah tangan istrinya yang hendak menyentuh pipinya. "Tidak apa-apa, "jawabnya.
"Tidak apa-apa, bagaimana? Jelas-jelas pipimu biru?"
"Lupakan, "sahut Danar. "Sudah minum obat?"tanyanya mencoba mengalihkan perhatian.
Lisa mengangguk. "Mas, aku serius."
Danar menghela napas. "Ini memang salahku, Lis."
"Maksudmu?"
Danar memberi tanda agar istrinya tetap berbaring. "Baiklah, aku akan ceritakan sebab pipiku jadi seperti ini, "katanya.

Lisa menarik napas panjang begitu Danar menyudahi kejadian yang dialaminya. Ia tidak habis pikir mengapa suaminya mengikuti Meyra sampai ke kampus hanya untuk minta maaf.
"Kalau aku datang ke rumahnya, kakaknya pasti sudah menendangku sebelum sempat menginjak halaman rumahnya, "ujar Danar seperti dapat membaca pikiran istrinya.
"Lain kali Mas harus dapat menentukan sikap dengan benar. Pantas saja pipimu sampai lebam begitu, soalnya caramu memang mencurigakan."
Danar tersenyum masam. "Kalau cuma ada Meyra mungkin aku tidak akan babak belur seperti ini, "tukasnya. "Tapi, adik Tantra itu ganasnya bukan main."
Lisa tersenyum. "Sebenarnya dia baik, cuma tidak suka kalau ada laki-laki yang mengganggu atau kasar sama perempuan."
Danar menatap istrinya penuh cinta. "Lisa, aku benar-benar menyesal atas perbuatanku selama ini, "ujarnya. "Aku...aku cuma bisa menyakiti dirimu, perasaanmu...."
Lisa tersenyum lembut.
"Maukah kamu maafkan aku?"
"Nikahi Meyra, aku akan memaafkanmu."
Mungkin suami lain akan bersuka cita mendapat permintaan semacam ini yang keluar dari mulut istri sendiri. Tetapi tidak demikian halnya dengan Danar. Ia memang merasa sangat berdosa kepada gadis itu, namun ia samasekali tidak mencintai gadis malang itu. Dulu ia melakukannya karena kemarahan yang sangat. Ia melakukannya karena gadis itu juga kakaknya tidak mau lagi membantunya menghancurkan kehidupan Tantra dan Nada.
Sementara itu Lisa memejamkan mata, menahan pedih yang menghunjam dadanya. Ia merasa terpukul oleh perbuatan suaminya melebihi yang selama ini, tetapi ia juga menaruh iba kepada Meyra, gadis yang belum pernah dikenalnya. Selain itu, ia merasa memang suaminya harus menikahi gadis itu karena...Lisa belum berani menyampaikan alasan yang sebenarnya.

Selasa, 03 Mei 2011

Di Arung Jeram Cinta

Meyra tak pernah mengerti mengapa ia begitu menaruh kepercayaan kepada Rafa, gadis yang dua tahun lebih muda dibanding dirinya dan baru dikenalnya pula! Bagaimana mungkin ia tidak merasa ragu-ragu atau canggung sedikitpun menceritakan kembali peristiwa tragis yang menimpanya.
Mungkin ketulusan Rafa yang menyebabkan munculnya perasaan itu. Bahkan hati Meyra sangat nyaman ketika gadis itu mengajak mampir ke rumah.
"Dia baik sekali, "ujar Meyra mengakhiri ceritanya.
"Siapa namanya?"tanya Herman sambil mengambil segenggam kacang bawang dari toples di meja makan.
"Rafa."
"Rafa?"
"Mas kenal? Kok sepertinya kaget?"
"Iya, Papa kenal gadis itu?" sang Istri ikut penasaran.
"Dia adik mantan pegawai Papa, Mas Tantra. Dulu Rafa pernah mampir ke kantor mencari kakaknya."
Meyra tertunduk. Tiba-tiba saja ia merasa dirinya begitu kotor. Apalagi teringat dulu pernah mencoba merayu kakak gadis yang baik hati itu. Kalau saja Rafa mengetahui hal itu pasti ia tidak akan sudi bersusah payah menolong orang yang telah mengganggu kakaknya.
"Kalian sempat bertemu Mas Tantra atau istrinya?"
"Tidak, Mbak. Rafa tinggal bersama ayah ibunya. Tapi aku juga tidak sempat ketemu, soalnya ayahnya belum pulang kerja, ibunya juga ada acara di luar."
Herman menatap adiknya yang tampak lebih berseri dibanding hari-hari sebelumnya. Dalam hati laki-laki itu bersyukur.

Minggu, 01 Mei 2011

Di Arung Jeram Cinta

Sebenarnya Meyra dan Rafa menuntut ilmu di universitas yang sama, hanya saja beda fakultas dan angkatan. Meyra mengambil jurusan antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tinggal menyelesaikan skripsi, sedangkan Rafa kuliah di Fakultas Sastra semester lima. Keduanya belum pernah saling mengenal karena memang tempat kuliah mereka berbeda di gedung yang berbeda.

Sore itu, ketika Meyra bosan menunggu kedatangan teman-temannya, ia beranjak dari bangku taman kampus.
Ia bermaksud hendak menuju gerbang ketika ada seseorang menghadang jalannya.

Meyra mundur ketakutan. Sungguh, ia selalu berharap agar tak pernah melihat wajah laki-laki ini sampai mati.
Danar tersenyum. "Apa kabar? Kuharap kau baik-baik saja."
Meyra ingin lari sekencang-kencangnya atau setidak-tidaknya berteriak sekeras-keras. Tetapi, entah mengapa kakinya seperti kaku dan lidahnya terasa kelu.
"Kau tidak perlu takut, aku hanya ingin...aaah!" tiba-tiba laki-laki memegangi pipinya yang lebam biru.
Entah bagaimana mulanya seorang gadis berbusana muslimah sudah berdiri di tengah-tengah Danar dan Meyra. Gadis itu menatap Danar dengan marah sambil menggenggam kotak pensil dengan tangan kanannya.
"Kau tahu, dia tidak mau diganggu, jadi jangan kamu paksa!"
Danar menurunkan tangan dari pipinya. Ia menatap gadis itu dengan pandang ingin mengingat-ingat. "Tunggu, sepertinya aku mengenalmu, "ujarnya.
Gadis itu tidak mengacuhkan kata-kata Danar dan segera mengajak Meyra meninggalkan taman.
"Tunggu, kau adik Tantra? Tantra, yang sekarang jadi suami Nada, mantan tunanganku."
Mendengar itu, gadis yang disebut Rafa, membalikkan tubuh. "Siapa kau?"tanyanya dengan tatapan tajam menyelidik.
"Aku Danar...mantan tunangan kakak iparmu."
Tatapan Nada yang semula menyelidik mendadak berubah jijik. "Oh, aku ingat sekarang, "sahutnya ketus. "Bukankah kau ini laki-laki yang selalu menganggap wanita hanya sebagai pelayan yang bisa kamu perlakukan seenak perutmu?"
Sementara itu Meyra memegang tangan Rafa erat sekali. Wajahnya pucat ketakutan. "Cepat, kita pergi, "bisiknya. "Dia pernah perkosa aku...."
Rafa tersentak mendengar pengakuan gadis yang baru dilihatnya itu. Saat itu hanya satu yang ada di benaknya, yaitu segera meninggalkan tempat untuk menenangkan perasaan teman baru yang ketakutan itu.
Tinggallah Danar terpaku.


Sesampainya di rumah, Rafa menghidangkan jus semangka dan setangkup roti selai.
"Silakan."
"Terima kasih. Maaf, aku jadi merepotkan."
Rafa tersenyum. "Biasa saja, "tukasnya. "Oh ya, kita belum kenalan. "Namaku Rafa."
Meyra balas tersenyum dengan malu. "Ah, harusnya aku dulu, "sahutnya menerima uluran tangan Rafa. "Aku Meyra."
"Namamu bagus dan kamu cantik sekali, "puji Rafa tulus. Rasanya tak bosan ia menatap gadis yang mengenakan blouse merah muda berenda dengan bawahan jingga kotak-kotak coklat muda. Rambutnya dibiarkan terurai dengan dua jepit warna perak di sisi kiri kanan rambut.
Meyra menggeleng sedih. "Semua itu tak ada artinya bagiku, Rafa, "tukasnya.
Rafa mengerutkan kening. "Kenapa begitu?"
"Untuk apa itu semua, kalau tidak akan ada lagi laki-laki yang sudi mencintaiku apa adanya."
"Meyra, jangan berkata seperti itu."
"Apa kamu lupa, Rafa? Bukankah tadi sudah kukatakan, kalau aku ini pernah diperkosa?"
Untuk kedua kalinya Rafa tersentak.


Pagi seusai sarapan. Nada meletakkan segelas es teh di meja ruang tengah.
"Terima kasih, Mbak."
Nada duduk di samping suaminya. "Mas...."
Tantra mengangkat alisnya. "Ya, ada apa?"
"Jangan panggil aku Mbak lagi...."
Tantra menatap istrinya dengan sorot penuh tanya.
"Aku tidak mau Mas memanggilku 'mbak' karena aku lebih tua."
"Lalu kenapa kamu panggil aku 'mas'? Kenapa bukan 'adik' saja seperti sebelum kita menikah?"
"Karena Mas suamiku. Ibu dan bapakku selalu mendidikku untuk menghormati suami dan termasuk dalam sapaan."
Tantra tersenyum. "Kalau begitu selama ini Mbak salah sangka."
"Maksudmu?"
"Aku menyapamu 'mbak' bukan seperti sangkaanmu. Itu panggilan sayangku untukmu."
Walaupun tidak mengerti, Nada memilih membalas senyum suaminya. "Aku senang mendengarnya. Aku janji tidak akan meributkan masalah itu lagi. Tapi... bukan karena aku kelihatan tua, kan?"
Tantra tertawa. "Aku yakin kau tetap cantik, biarpun sudah nenek-nenek."
"Mulai lagi, tukang rayu, "sahut Nada malu campur geli.