Sabtu, 26 Juni 2010

Dongeng Merpati

Aku melayang di udara, menembus selubung angkasa biru. Wauw, kutarik napas panjang dengan lega, kuhirup napas lega di kalbu. Kini daku bebas merdeka tanpa ada yang membelenggu.

Tidakkah kausadari betapa indahnya awan seputih kapas yang bertebaran di langit? Aku ingin menyentuhnya dengan jemariku agar bisa kugigit. Ah, aku jadi ingat kembang gula kapas yang legit. Kembang gula kapas yang bisa membuat tertawa walaupun semula menangis sampai menjerit-jerit.

Jadi aku hampiri saja awan putih itu. Hm, kelihatannya memang lezat luar biasa. Rasanya aku tak mau lagi menunggu. Cepat-cepat kukepakkan kedua sayapku.

Kedua sayap? Apakah kau heran atau terkejut jika kuberitahu siapa saya? Benar, tak usah mata kauusap-usap! Ya, ya, aku memang seekor burung...mm...maksudku aku sedang menikmati keajaiban yang pernah kubaca dari buku cerita.

Kau pasti tak akan percaya jika kuberitahu satu rahasia. Dulu aku bukanlah seekor burung. Aku dulu manusia. Manusia yang senang melihat burung-burung terbang di angkasa. Jelas manusia, saat itu...ah, kurasa sampai sekarang, aku suka sekali sup jagung buatan Ibu.

Aku menggelengkan kepala. Soal sup jagung bisa ditunda. Mumpung aku masih di angkasa. Kapan lagi aku bisa menikmati kembang gula yang menggoda selera? Eh, maksudku aku ingin menyentuh awan di sebelah sana.

Ups, apa ini?! Air, ada tetes-tetes air berjatuhan menimpa kepalaku! Aku menengadah ingin mengetahui yang terjadi. Oh, pantas langit jadi kelabu! Rupanya hujan datang menghampiri.

Sayang, aku tak membawa payung. Menyesal juga, tadi cepat-cepat pergi. Tetapi bagaimana lagi, Ibu tak mau memasakkan sup jagung. Aku kecewa sekali.

Sempat kudengar beliau memanggilku, "Raf, mau ke mana?!"
Aku tak menoleh sebab kecewa sekali.
"Salat dulu, magrib telah tiba!"
Tetapi aku tak perduli dan terus berlari.

Mana mungkin aku membawa payung! Aku kan seekor burung! Hujan semakin deras, aku harus mencari tempat berlindung! Gugup, kukepakkan kedua sayap dengan perasaan murung. Rasanya aku ingin pulang. Ingin kurasakan pelukan Ayah dan dekapan Ibu yang penuh sayang. Kurindu tawa kedua adikku yang selalu riang.

Oh, terima kasih, Tuhan! Hujan telah berhenti. Kulihat helai-helai daun yang berjatuhan. Basah masih mewarnai bumi. Aku bertengger di sebuah dahan. Ingin kukeringkan bulu-buluku yang basah ini.

Aww, apa ini?!"aku ingin menjerit. Tetapi bukan jerit kesakitan yang terlontar. Sayap kiriku terasa sakit. Kedua kakiku tak sanggup lagi berpijak dan aku terlempar. Sakit...sakit sekali... dan aku tak bisa lagi menjerit....

"Hei, apa yang kamu lakukan!" Kudengar suara seorang anak laki-laki. Ah, suara yang sangat kurindukan. Seperti suara adikku yang gemar lomba lari setiap pagi.
"Eh, mau tahu saja!" Kali ini kudengar suara anak laki-laki yang kutaksir sebaya adikku. "Aku tak suka ada burung di sana! Itu pohon jambu bangkok kesayanganku!"

"Tapi tidak usah pakai memanah! Kasihan, burung ini terluka!"
"Biar saja kena panah. Biar dia tahu rasa!"

Eeit, a...ada apa ini? Kurasakan kedua tangan mengangkat tubuh mungilku. Aku tak sanggup membuka mata, sakit benar sayapku. Aku tak ingat apa-apa lagi.

"Kau sudah bangun, Mungil?"suara gadis kecil yang ramah.
Aku mencoba menajamkan pandangku tetapi hanya samar-samar yang tak jelas
"Ah ya, kau pasti lapar, "lagi-lagi gadis kecil yang ramah.
Aku diam saja. Mana mungkin aku menjawab, lagi pula aku masih lemas.
"Kakak, bawa apa itu?!"
"Ini makanan burung, "ah, suara anak laki-laki yang menolongku.
"Jagung?"
"Iya, jagung."
"Kok jagung, kasihan kan?"
"Lho memangnya harus makan ikan?"
Terdengar suara jemari menggaruk-garuk kepala. "Iya ya, Kak. Kan bukan burung bangau."
Mendengar kata-kata jagung, aku jadi teringat sup jagung yang lezat buatan Ibu. Siapa tahu ini bukan jagung biasa. Maksudku sup jagung yang tersisa. Sup jagung kegemaranku.

"Kak, kok malah makan sendiri?"
"Kan sudah dibagi-bagi?"
"Si Mungil belum makan."
"Kamu suapkan."
"Ah, Kakak, bagaimana caranya?"

Mendadak aku merasa kepalaku sedikit terangkat. Rupanya gadis kecil yang baik hati itu mencoba menyuapiku. Sementara kakaknya memperhatikan dengan dua ibu jari terangkat. Aku harus bersiap-siap menikmati butir-butir sisa sup jagung kegemaranku.

Waa, apa ini?!aku nyaris tercekik. Kejam benar! Aku mengeluarkan suara sebisaku, maksudku memekik. Butiran jagung di tangan gadis kecil pun terlempar. Ah, kurasa ia juga terkejut karena jeritanku keras terdengar.

"Mungkin Mungil tidak suka jagung." Anak laki-laki itu tampak tercenung. Ah, aku terlalu lelah untuk menyimak pembicaraan selanjutnya. Biar, biarlah aku pejamkan mata.

Tidak tahu berapa lama aku tertidur. Jangan-jangan aku mendengkur? Mudah-mudahan aku tidak mengganggu ketentraman penghuni rumah ini. Kubuka mata, ternyata aku berada di dalam sangkar berwarna pelangi.

Sayup-sayup kudengar isak tangis seorang wanita. Ah, rasanya aku mengenalnya! Suara itu seperti suara ibuku! Aku yakin sebab suara beliau sangatlah merdu.

"Raf, aku rindu sekali...."
Aku memasang gendang pendengaranku sebaik-baiknya.
"Mengapa sampai sekarang dia belum pulang juga...."
Sedih aku mendengarnya, andai Ibu tahu aku tak jauh dari sisinya.
"Sudah dua puluh tahun...Raf tak terdengar lagi kabarnya...."
Hampir saja aku terpeleset untung saja aku berhasil mengendalikan diri.
Oh, apa kata ibuku baru saja?! Mungkin sudah saatnya seorang dokter hewan memeriksa kedua lubang telinga yang kupunya!

"Dua puluh tahun...sampai kedua adiknya telah berkeluarga dan Raf belum juga...."
"Sudahlah, Bu." Kali ini terdengar suara seorang pria. Hatiku semakin terluka. Aku mengenal pemilik suara itu.

"Kita harus merelakan Raf, Bu."
"Ibu tahu itu, Ayah, tapi rasanya rindu ini menggebu-gebu."
"Lihatlah kedua cucu kita itu."
"Iya, mereka manis dan lucu."
"Ada sifat Raf yang menurun pada mereka."
"Oh ya, apa itu?"
"Ibu ingat tidak kalau Raf itu penyayang binatang?"
Suara wanita tertawa lembut membuat dadaku berguncang-guncang."Oh, Ayah, tentu Ibu masih ingat dan bukankah ia suka sekali dengan lagu Burung Layang-Layang?"

Aku tertunduk pilu. Rasanya habis sudah riwayatku. Walaupun seandainya aku bisa berwujud kembali menjadi manusia pun, aku tak tahu berapa usiaku. Hitungan usia manusia dengan hewan sangatlah berbeda dalam hitungan waktu.

Aku harus pergi. Aku tak mau tinggal di rumah ini. Hatiku bagai tertusuk duri. Ini bukan judul lagu karena toh aku tak bisa lagi menyanyi, ini adalah ungkapan kesedihan diri.

Mujur benar nasibku. Gadis kecil yang memberiku makan lupa menutup pintu. Aku mencoba sabar sampai malam tiba. Aku tidur dulu untuk menambah stamina.

Kini aku kembali melayang di udara. Dengan sedih aku menatap rumah yang penuh nostalgia. Tetapi belum jauh aku kepakkan sayap, mendadak semuanya gelap. Aku terperangkap dalam gelap.

Aku terbangun. Samar-samar kudengar isak tangis. Aku tertegun. Kenapa aku mendengar lagi suara ibuku menangis? Bukankah aku sudah meninggalkan rumah ini? Lalu siapa yang membawaku kembali?

Kurasakan belaian lembut di keningku. "Kau harus makan dulu."
Makan? tanyaku dalam hati. Pasti butir-butir jagung yang mengerikan itu atau dedak katul yang membuatku serasa mati.

"Ayo, biar Ibu bantu kamu."
Apa maksudnya ini? Apakah Ibu juga berubah seperti diriku? Tetapi belum sempat aku menyadari semuanya, sesuatu kurasakan di lidahku.

Sup jagung! Aku bisa merasakan kembali lezatnya sup jagung! Sup jagung buatan Ibu. Ibuku yang selalu kurindu.

Aku bersyukur ternyata pengalaman ajaib yang buruk itu cuma mimpi. Mimpi selama aku tak sadarkan diri. Menurut cerita Ayah, aku jatuh pingsan di halaman. Aku tersenyum pasti gara-gara aku mogok makan.

"Kau sempat dirawat di rumah sakit."
"Berapa hari, Ayah?"
"Tiga hari."
"Tiga hari? Aku terbelalak. Tak percaya aku bisa pingsan selama itu.
"Tapi ibumu ngotot membawamu pulang, katanya kalau sudah di rumah, kamu pasti sadar...eh, ternyata benar."

Aku memandang seraut wajah yang tersenyum lembut. Maafkan aku, Ibu. Untung saja aku jadi burung cuma dalam mimpi. Kalau dalam nyata, pasti aku cuma makan butiran jagung atau dedak katul.

Aku berjanji tidak akan membantahmu lagi. Apalagi sampai nekad lari lalu jadi burung. Tidak!!! Aku nanti tidak bisa makan sup jagung lagi dan bersenda gurau bersama kedua adikku yang lucu.

Kutelan suapan terakhir dari semangkuk sup jagung. Baru kali ini aku dapat merasakan betapa beruntungnya dilahirkan sebagai manusia. Terima kasih, Allah. Engkau Maha Pemberi sebaik-baiknya pemberi.



Jumat, 25 Juni 2010

Tanaman yang Indah

Tanaman di depan rumah
kini tumbuh dengan indah

Wangi bunganya segarkan rasa
hijau daunnya tenangkan jiwa

Semak dan ilalang di sekitar
tak kan membuat warnanya pudar

Tumbuh, tumbuhlah dengan cinta
genggam semesta penuh asa

Hiasi taman bertabur bintang
tancapkan cita hingga terbentang

Keranda

Ada kereta keranda
berhenti di depan rumahku
sais bertudung hitam gagah berkuda
matanya sorotkan sinar kelabu

Tercium asap tak kasat mata
meliuk-liuk lewati celah dan lubang pintu
sais turun dari kuda tak berpelana
langkahnya tegap getarkan kalbu

Ada jam pasir di tangannya
tatapnya tajam menembus tiap sudut
telunjuk kanan menuding angkasa
lakunya timbulkan rasa takut

Ringkik sang kuda mendepak udara
terasa asap menebal bagai selimut
terlihat jelas kereta berkeranda
sais melambai tanda menjemput

Sekeping Emas dalam Pelita

Kala senja merengkuh hari kutelusuri kembali
jalan setapak liku berbatu yang dulu kulewati
bersama rembulan dan nyala pelita yang mampu berpijar
dalam remang malam yang mulai menyebar

Di manakah sekeping emas yang kucari
meski mungil namun cahayanya sanggup menjelajahi
gelap lorong yang tak pernah dilalui
mereka yang terpuruk amuk diri

Tatkala malam menyapa senja tuk menepi
menaburkan hiasan bintang di langit sepi
nyala pelita di genggaman tak lagi benderang
tapi di sana kulihat kemilau emas bersinar terang

Selasa, 22 Juni 2010

Hasil Percobaan Pelangi

Hasil percobaan? Terus terang saya bingung dengan judul yang tepat untuk tulisanku kali ini. Sebenarnya saya akan menulis tentang kemenakanku yang sulung. Ia merupakan hasil percobaanku yang pertama. Tampaknya kata percobaan kurang manusiawi, tetapi jika diganti penelitian apakah tepat? Penelitian apa? Saya bukan ilmuwan.
Saat kemenakan sulungku lahir, kakakku dan istrinya langsung mempercayakan si mungil kepada Ibu dan Ayah. Itu berarti mereka juga berharap bahwa aku akan menimang-nimang boneka hidup mereka. Kami sama sekali tidak keberatan, malah sebaliknya merasa gembira.
Bagiku seseorang yang mendapat kepercayaan mengasuh anak, tidak boleh sekadar membuat dia kenyang atau tidur nyenyak, tetapi lebih dari itu. Apalagi yang akan kuasuh bukan anak orang lain, tetapi putra kakakku sendiri. Jadi aku tidak mau main-main. Tidak lama setelah aku mendapatkan kepercayaan itu, mulailah aku mencari artikel mengasuh bayi.
Orang tua kemenakanku itu adalah sepasang suami istri yang sibuk bekerja. Bukankah lebih aman, jika nenek atau tante yang mengasuh boneka hidup mereka yang mungil? Gratis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Otakku mulai bekerja. Sudah lama aku menunggu saat yang tepat untuk melakukannya. Rencana itu timbul saat aku membaca artikel tentang menjadikan anak cerdas, jauh sebelum kemenakanku lahir. Aku sangat menyukai isinya dan ingin segera menerapkannya.
“Tante, ayo makan.”
Ah, aku tersenyum melihat kemenakanku yang menyapa saat aku mengambil air putih. Rupanya aku sedang mengenang masa kecilnya yang lucu. Aku menatapnya penuh sayang. Betapa cepat waktu berlalu, ia telah tumbuh remaja dan menuntut ilmu di salah satu SMA Negeri kompleks di Surabaya.
Menggambar manga dan tentu saja membaca buku adalah hobinya yang tidak dapat diganggu gugat. Soal menggambar, mungkin menurun dari ayahnya yang pernah menjuarai lomba menggambar saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Nah, kalau membaca, sudah pasti akibat dari rencana yang kujalankan itu.
Bagaimana tidak kutu buku? Sejak bayi, aku sudah memberinya dongeng sebelum tidur dengan boneka-boneka binatang. Usia tiga tahun, aku mengajaknya berkenalan dengan buku cerita bergambar binatang. Bahkan untuk mengembangkan kecerdasannya, aku tidak pernah membelikannya mainan berupa mobil-mobilan. Sebagian besar mainannya berupa bongkar pasang, buku-buku cerita, pensil warna-warni, dan balok-balok bertuliskan angka dan abjad.
Umur lima tahun ia sudah lancar membaca dan berhitung. Memang bukan hal yang istimewa karena aku tidak mau memaksa dia untuk cepat bisa membaca. Usia balita adalah usia bermain. Aktivitas bermain sudah merupakan kegiatan belajar bagi anak seusia mereka. Belum waktunya menuntut balita untuk bisa membaca.
Kemenakanku bisa membaca karena ia sudah terlatih mengenal huruf dan angka sejak kecil. Ia menjadi suka membaca karena aku yang membiasakannya sejak kecil. Waktu itu aku bertekad membuktikan bahwa anak yang dikenalkan gemar membaca sejak dini akan jadi anak yang cerdas.
Aku sempat melihat daftar nilai UNAS SMP di meja belajarnya. Semuanya berkepala sembilan, hanya angka di belakang koma saja yang berbeda. Nilai terendah ternyata bahasa Indonesia. Pelajaran ini memang membuatnya mengeluh. Aku teringat sempat mengajarinya sehari sebelum ujian atas permintaan kakakku.
“Tante pulang, “ujarku sambil menghampiri keempat kemenakanku yang sedang belajar. Satu persatu mereka mencium tanganku dan kucium kedua pipi mereka bergantian.
“Antarkan Tante sampai ke depan, “kata kakakku kepada si Sulung.
“Iya, Pa, “jawab kemenakanku tanpa banyak bicara sambil mengambil kunci motor yang tergantung di dinding ruang tamu.
Jadi hasil percobaanku itu, eh salah, kemenakanku sekarang sudah bisa membonceng tantenya ini walaupun hanya sampai depan jalan raya (karena belum punya SIM C). Aku suka menggodanya saat turun dari motor. “Cium Tante dulu, “kataku iseng. Sambil tersenyum malu, ia pun mencium kedua pipiku. Biasanya remaja belasan tahun kan malu kalau disuruh mencium ibu atau tantenya di depan umum. He he he.