Minggu, 23 November 2008

Kala Senja

Hari masih senja
kala kautaburkan bunga cinta
di sudut hatiku yang telah hampa
karena sang bayu menerbangkannya

Hari belum juga beranjak malam
ketika kausemaikan bunga di tempatnya bersemayam
menyirami gersang cintaku yang terpendam
menyambut hadirnya dewi malam

Dan hari masih belum juga berganti
saat kaubisikkan seribu janji
kurangkai, kutancapkan ke dasar hati,
dan berharap dapat memulainya kembali

Jumat, 03 Oktober 2008

Puisi Cinta untuk Ayah Bunda

Bunda tercinta
Dengan jiwa yang kaupunya
Kau lahirkan kami ke dunia
Lewat kasih tak terhingga

Ayah tersayang
Berbekal senyum yang kausandang
Kau lindungi kami penuh sayang
dengan cinta saat kaumemandang

Seluas samudera kasihmu
Setinggi gunung cintamu
Setiap senyum dan tawa itu
Semua untuk kami, anak-anakmu

Tiada satu detik pun terlewat
Tanpa perjuanganmu yang tak kenal lelah
Hingga tiap tetes peluh yang melekat
Adalah mutiara doa yang tak kan pecah

Waktu berjalan tanpa terasa
Semua yang kauberikan
Tak pernah harapkan balas jasa
Karena kasihmu sepanjang jalan

Lima puluh tahun telah berlalu
Tiba waktunya kami membalas semua jasamu
Walau mungkin tak sebanding dengan pengorbananmu
Meski mungkin semua ini tiada arti bagimu

Ayah, bunda
Terimalah puisi sederhana
Sebagai tanda cinta
Semoga Allah senantiasa limpahkan kasih-Nya


Catatan : Puisi kilat pesanan tanteku atas permintaan temannya sebagai hadiah pesta nikah emas untuk orangtua tersayang.

Minggu, 17 Agustus 2008

Sebatang Pena

Dengan sebatang pena
kugoreskan sebaris kata
yang berasal dari lubuk jiwa

Bersenjatakan sebilah pena
kutumpahkan tetesan makna
yang terhimpun dari berbagai rasa

Senjataku hanyalah pena
bukan tombak yang tancapkan luka
atau senapan yang lenyapkan nyawa

Senjataku adalah pena
curahan rasa sebagai tinta
yang kutuang ke dalam cerita

Jumat, 01 Agustus 2008

Langkah Merak

Merak itu telah berjalan
dari taman ke taman
seraya melempar senyuman

Merak itu melangkah anggun
dengan kepala terayun-ayun
yakin semua kan tertegun

Dengan jalinan bulu penuh warna
ia tebarkan senyum pesona
agar semua kan terpana

Merasa diri yang terhebat
tak dibalasnya sapa katak yang meloncat
dan undangan iringan semut yang lewat

Kepala yang tengadah ke atas
membuat mata kurang awas
pujian datang, hati puas

Kaki tiada menapak tanah
duri-duri telah memanah
menghadirkan tetesan darah

Merak pun menangis pilu
angkuh diri membuatnya tak tahu malu
menganggap diri yang nomor satu

Untaian bulu warna-warni
tak ditunjukkannya lagi
sebab kini tiada seindah pelangi

Kamis, 31 Juli 2008

Tetes Embun

Embun pagi itu telah pergi
yang membasahi jiwaku
berkelana di kisi-kisi kalbu
menelusuri celah diri

Tetes embun penyejuk mata
telah menyirami diri
saat hati terasa hampa
membelai relung hati

Dalam jiwaku embun itu terpendam
sejuknya bagai pelita penerang jiwa
kenangan sejuta kasih yang tergenggam
temani diri lintasi masa




Kamis, 17 Juli 2008

Pesta Telah Usai

Tiada lagi keramaian di remang malam
yang berhias kerlap- kerlip sinar buatan
atau mereka yang berkumpul dan mendekam
mencari hangat dalam tiupan angan-angan

Kini, tak ada lagi botol-botol berserakan
dan musik mengiringi tarian maut
atau gelak canda topeng kemunafikan
menutupi kepalsuan yang lama terpagut

Pesta telah usai, kawan
kabar gembira pun tibalah
tiada lagi pesta arak, anggur, dan kemaksiatan
terkubur gema takbir menjemput hidayah

Selasa, 15 Juli 2008

Pesan Seorang Murid

Aku suka jika Bu Guru tersenyum
Senyumnya manis seperti bunga mawar yang cantik
Kubaca tulisan murid mungilku yang simpatik
Dengan lengkung bibir yang terkulum
Tetapi kalau sedang marah
Terlihat seperti mawar yang layu
Kutarik napas memandang luar cuaca cerah
Saat membaca goresan pena tunas bangsaku
Hanya satu keinginan saya
Aku ingin melihat Bu Guru senyum
Seberkas sinar menembus relung sukma
Berharap diri kan seindah mawar sekuntum

Tersenyumlah

Tersenyumlah kau
saat melihat dunia
sehingga diri dapat terpukau
mengagumi keindahannya

Tersenyumlah kau
meski dunia merana
sebab tak selamanya bintang berkilau
sehingga hati menyadari agungnya Sang Pencipta

Dan tersenyumlah kau
karena masih ada asa
yang dapat menyelami hati penuh galau
nyalakan bara harapmu di dada

Mengais Seberkas Cahaya Diri

Kelam memecah kesunyian
Tangis menghunjam kepedihan
Sendiri merenungi kepahitan

Gelap membentengi pekat diri
Sesal menyelami lautan hati
Hanyalah mendung yang menemani

Dulu....
Saat masa ceria penuh bertalu
Terseret diri tanpa rasa malu

Ketika....
Saat masa sarat gembira bergema
Terbenam diri dalam alunan maya

Sekarang....
Menyesali nasib malang
Terbayang kelam membentang

Kini....
Menangis diri dalam sepi
Mengais kembali seberkas cahaya diri

Minggu, 13 Juli 2008

Berganti Wajah

Saat aku berjalan menuju pasar
tak kutemui senyum dan sapa menebar
hanya wajah-wajah kaku dan senyum beku menyertai
atau sesekali mengiringi seringai

Wajah-wajah itu bagai topeng
anehnya mereka tiada berhenti memandang
melihat ke arahku dan berseru
dari mana kaudapatkan wajah semanis itu?

Kuhentikan langkah
melempar pandang ke penjuru arah
alangkah manis wajahmu
bolehkah aku menukarnya dengan wajahku?

Dalam sekejap mereka telah mengelilingiku
seperti semut-semut mengerumuni gula batu
aku tertegun mencoba berpikir
bagaimana cara melepaskan wajah yang sudah terukir

Kupandang mereka satu-satu
raut muka mereka bagai topeng berwajah beku
kuakui aku mulai menyukai
aku bisa memakainya pada saat yang tepat nanti

Akhirnya kupilih wajah yang paling menyeramkan
aku berdoa semoga yang melihatku tidak pingsan
soalnya aku butuh wajah itu untuk menagih hutang
apalagi aku juga perlu uang

Kamis, 10 Juli 2008

Dalam Bayanganku

Setiap kulihat mentari
tampak tetes embun berjatuhan
yang melayang turun ke bumi
dari genggam para malaikat yang berterbangan

Setiap kutengadahkan wajah ke atas sana
kusaksikan bulan perahu dan bintang sampan
yang melaju di laut angkasa
tanpa nahkoda juga nelayan

Setiap tertunduk kupandangi bumi
terbayang olehku kedamaian sejati
harumnya bunga serta dedaunan merasuk sanubari
sungguh damba diri dari lubuk hati

Selasa, 08 Juli 2008

Semburat Teja di Angkasa

Senja ini...
Kulihat teja merah
Berjajar rapi
Warnai langit megah
Begitu indah

Saat ini...
Teja berbaur biru
Langit bernyanyi
Alam berdendang merdu
Teja pun menari
Ikuti alunan syahdu

Dan kini...
Teja tlah berpencar
Langit seolah tertutupi
Sesaat aku tersadar
Allah, sampai di mana aku kini
Jauh sudah kutempuh safar

Harusnya kuhitung kini
Tlah jauh aku berjalan
Berapa banyak yang kulalui
Adakah yang kudapatkan
Satu asa terpatri di hati
Semoga tak tersiakan amal kebajikan

Minggu, 06 Juli 2008

SINAR MADAH PEKAN INI

Seperti Mawar

Berlakulah seperti mawar yang berduri, menebar harum namun tetap menjaga diri.

Senin, 30 Juni 2008

Puisi Akrostik tentang Empat Kemenakanku

Empat belas lebih beberapa bulan usiamu
Kau pendiam dan kutu buku
Ingin membaca buku setiap waktu

Ragu-ragu dalam soal matematika
Aku tak suka menghitung luas segitiga
Yang kusuka pelajaran IPA
Hari-hari kau lalui tanpa rasa duka
Adakah waktumu terlewat tanpa ceria
Nasihat mama papa kau laksanakan dengan gembira

Pipimu yang kemerahan
Untaian katamu yang menggemaskan
Tampak berseri damaikan perasaan
Riang bercerita habiskan waktu berjalan
Impian indah masa kecil semoga tak kau lepaskan

Alangkah lincah gerakmu
Yang mengikuti irama lagu
Ingin rasa hati mencium pipimu
Karena senyummu sejukkan kalbu

Minggu, 15 Juni 2008

Kisah Seekor Elang

Elang, kaulah saksi yang tak pernah berucap cinta
hanya kepak sayap gagah, tajam tatap mata
memancarkan pedihnya kisah
menegur diri untuk berbenah

Elang, kau terbang melintasi langit serta bukit
memandang tanah kerontang berwarna sangit
tengadah ke angkasa seraya menjerit

Tajam pancar matamu
Tegar kepak sayapmu
Semua berkisah tentang rindu
Dalam kesepian yang terpaku

Jumat, 13 Juni 2008

Antologi Puisi Istimewa (I)


Pelajaran Menggambar


Jam ketiga pelajaran menggambar
Tiba-tiba saja ada yang bergejolak
di dalam perutku
Selalu saja pencernaanku tak beres
jika harus menjalani pelajaran ini
Bagaimana tidak?
Aku memang tak pandai menggambar
selain gunung dan sawah
Dan sekarang Bu Guru menyuruh kami menggambar
sehelai daun
Daun apa? Kalau daun jendela, bolehlah.
Jadi kugambar saja daun jendela
Tapi akibatnya, aku harus berdiri di depan kelas
sampai bel istirahat berbunyi


Handphone Petaka

Aku tidak berani pulang....
Bu Guru yang galak itu merampas hp yang kubawa dan ia simpan di dalam tas
aku pun tak berani memintanya karena beliau pasti akan mengintoregasiku bertubi-tubi
seperti polisi sedang menangkap
maling ayam
Ada juga sebab yang lain,
kemarin temanku mengirimkan gambar seorang bule
sedang berjemur di Pantai Kuta
Ah, dasar nasib sedang sial
Bagaimana ini? Aku tak berani pulang
aku juga tak mungkin menginap di sekolah
Hp itu milik kakakku. Ia pasti akan mengomel panjang lebar
jika tahu hpnya raib
Aku tinggal menunggu nasib
Besok pasti ada surat panggilan untuk orangtuaku
Ah, kenapa tidak kuhapus saja gambar itu


Sebutir Permen dan Kupu-Kupu

Permen kesukaanku
itu hanya tinggal sebutir
Aku menatap bungkus plastik itu tak percaya
Mataku masih terbelalak
Aku ingat benar, aku masih ingat
kemarin permen itu masih utuh sepuluh butir
Aku berusaha menghibur diri
Tak mengapa, toh masih ada satu
Satu dan nol bukankah sepuluh
Kalau nolnya hilang jadi tinggal satu
berarti aku tidak terlalu rugi
mungkin juga aku yang lupa
atau tak sadar menikmati sembilan butir lainnya
saat membaca buku atau menulis tugas
kubuka bungkus permen itu
tiba-tiba....
bungkus permen itu terbang melayang bagai kupu-kupu
aku berlari mengejar
tapi kupu-kupu itu seolah-olah mengejekku
aku tak sanggup menangkapnya
tapi....
aku tak akan menyerah
walaupun aku harus terus berlari
sampai tiba batas waktuku


Catatan: Antologi puisi ini merupakan kumpulan sajak saya yang tidak seperti biasanya. Ada seorang penyair Malaysia yang mengomentari gaya puisi saya yang kebanyakan memang memiliki rima teratur, kadang-kadang terdapat pula efoni, kakofoni, aliterasi, dan asonansi. Ia mengira saya masih mencintai puisi lama semacam syair. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Jujur saja, saya memang merasa lebih mudah mengarang puisi bersajak teratur. Mengarang puisi bersajak bebas atau tidak teratur memaksa saya untuk merenung lebih lama dibanding berkarya dengan puisi bersajak teratur.





Dalam Hening

Dalam hening aku menanti
syair merdu dini hari
yang kan mengajakku bernyanyi
menggapai asa yang tak kan pergi

Dalam sepi aku menanti
sebait puisi jelang fajar hari
kan kulantunkan bersama mentari
raih cita kan datang lagi

Dalam hening ku selalu menanti
sajak indah pagi hari
biarlah kusabar merajut mimpi
hingga nyata mendatangi

Kamis, 12 Juni 2008

Selamat Jalan, Ibu

Kabut masih menyelimuti bumi
embun dedaunan menetes jatuh ke bumi
senyap membayangi diri
kala kau pejamkan mata tinggalkan sepi

Hampa dunia terasa hampa
melayang, jatuh, dan terhempas tiada lagi kurasa
menetes air mata, menahan tangis di dada
berharap ini hanya mimpi belaka

Surya pun datang menyapa
kusambut dengan tatapan tanpa makna
ibu yang kusayang telah tiada
meski sedih membiru aku ikhlaskan jua

Tekad

Berjalan aku dalam rinai hujan
kecipak air temani setiap langkah
gelap angkasa kujadikan kawan
tegarkan hati tentukan arah

Dingin selimuti hangat diri
semilir angin bisikkan kata
basah tanah tekadkan asa
orkestra katak syahdu mengiringi

Berjalan aku di antara tetes hujan
tiada pelangi dalam gelap malam
berpacu arah angin berlawanan
namun bara di diriku tak kan padam

Berita dari Langit Ketujuh

Kisah zaman dahulu
kala akal dan nafsu belum berpadu
kala raga dan sukma belum menyatu
berwadah di dalam tubuh yang satu

Takdir Allah yang menetapkan
segala sesuatu di jagad raya harus berpasangan
atas dengan bawah, belakang dengan depan
sepasang insan dalam bahtera kehidupan

Beberapa hari menurut hitungan Tuhan
anak manusia pun dilahirkan
dari rahim mulia perempuan
akar benih cinta setiap pasangan

Tetapi....
di sudut-sudut sunyi
beberapa insan tampak sendiri
menunggu tiba ketentuan Ilahi

Hanya mereka yang bersabar
merajut harapan dengan benang ikhtiar
mengikat tali asa beserta doa yang terpancar
kepada-Nya segala impian yang berakar

Bahwa mereka percaya
keadilan Allah di atas segala
walau tidak demikian dalam kasat mata
bagi mereka, Allah adalah muara segala

Sebuah kitab dalam genggaman Tuhan
yang berisi berbagai catatan
tentang manusia dan amal perbuatan
membuat mereka yakin menggapai harapan

Lembaran demi lembaran berisi kalam Ilahi
tidak lagi membuat mereka berkecil hati
karena ada keyakinan di sanubari
Allah berikan yang terbaik bagi kami



Jumat, 30 Mei 2008

Elegi Cinta Sang Mentari

Bila tiba saatnya
Sang Rembulan kembali mendamba

Wahai sang Mentari
kuingin lagi teman sejati

Mentari terdiam
menatap Rembulan remuk redam

Mengapa kau lakukan ini
bukankah aku setia menerangi

Rembulan meratap
tatapannya redup penuh harap

Mentari pun tersadar
cahyanya tlah memudar

Sekian lama kita bersama
mengapa kau ingin lupa

Tetapi, Rembulan tak mau mengerti
walau cahyanya dari Mentari

Meski ia tlah purnama
atas sinar Mentari setia

Rembulan tlah jatuh cinta
kala menatap Dewi Surya

Kendati dia tlah purnama
sebab kasih Mentari setia

Sajak Si Kecil

Walau sajakmu bagai bunyi tak berarti
namun bukannya tiada bermakna
Lewat bunda syair itu dimengerti
karena tercipta dari jalinan cinta

Sajak yang kau cipta
penuh selaksa makna
Tak semua dapat memahami
meski ia pujangga sejati

Puisi yang tercetus dari mulut mungilmu
disertai kilat mata bercahya
Bunda pun terharu berkata
Terima kasih, Permataku

Senin, 26 Mei 2008

Pelangi

Pelangi, cepat ulurkan anak tangga
agar bidadari dapat turun ke mayapada
bersalin wajah serupa putri jelita
dan ajarkan kami ilmu berharga

Pelangi, kibaskan selendangmu warna-warni
biarkan bidadari meluncur dari surgawi
bergabung bersama kami manusia di bumi
mendidik dengan mutiara penuh arti

Pelangi, mengapa kau tak kunjung nampak
sedang mentari riang bersajak
menemani rintik hujan dan awan bergerak
apakah yang membuatmu mengelak

Pelangi, marahkah engkau kepada kami
yang jarang bersyukur atas karunia Ilahi
hapuslah marahmu saat ini
tunjukkan selntas warnamu yang berseri

Sekuntum Mawar

Berseri mawar senyum merekah
sambut fajar indah nan memecah
cantik wajahnya disapa mentari
raih semangat yang dinanti

Gembira mawar tebarkan harum
wangi terasa walau sekuntum
mawar manis, wujudkan harapan
di hadapanmu terbentang masa depan

Minggu, 25 Mei 2008

Aku dan Puisi

Aku tak pandai merangkai huruf di depan mata
menjadi untaian kata mutiara berjuta makna
aku pun tak sanggup mengukir sebaris kata
dan memahatnya agar menjelma sebait karya sastra

Sebab bagiku puisi
adalah ungkapan rasa dari dasar sanubari
tiada perlu jalinan kata membumbung tinggi
tak usah pula membaca buku-buku psikologi

Aku hanya ingin menulis puisi
sejujurnya aku tak pandai basa-basi
karena itulah puisiku selalu asal jadi
seperti puisi yang kutulis saat ini