Minggu, 25 Maret 2012

Di Arung Jeram Cinta


Hari ini Arsya genap sembilan bulan. Alangkah menggemaskan. Ia sudah mulai belajar berjalan. Tampaknya anak itu mewarisi bakat ayahnya yang tidak suka basa-basi. Lihat saja, caranya berjalan. Entah berapa kali anak itu dan nyaris menabrak meja atau kursi. Karena ngeri, Nada meminta Tantra membeli kereta jalan. Hasilnya pun tidak menggembirakan sedikitpun karena yang terjadi justru Arsya jatuh bersama keretanya.
"Makannya pakai tangan kanan, Sayang, "ujar Nada lembut sambil mendekatkan piring berisi biskuit bayi ke pangkuan anaknya.
Arsya mencomot sepotong dan membuka mulutnya lebar-lebar.
"Eh, makannya yang bagus, "Nada berkata lagi dengan sabar, "Gigit dulu sedikit. Nah, pintar."
Tantra memperhatikan istrinya yang mengajari si Kecil dengan begitu sabar dan penuh perhatian. "Mbak...."
Nada menoleh.
"Kalau mau, aku carikan pembantu supaya kamu tidak terlalu repot."
Nada menggeleng. "Terima kasih, Mas, "jawabnya, "Aku masih bisa kok mengurus semuanya."
Tantra membersihkan remah-remah biskuit yang menempel di baju anaknya. Sementara Arsya dengan lagak tak acuh mengambil lagi biskuit dari piring.
"Yang di mulut belum habis, sudah ambil lagi, "ujar Tantra mengambil biskuit dari tangan anaknya. Apa yang terjadi? Tiba-tiba saja Arsya menangis sekencang-kencangnya. Air matanya berlinang-linang sambil menoleh ke arah ibunya seakan-akan minta pembelaan.
"Ayah tidak marah kok, Sayang, "Nada menggendong lalu menepuk-nepuk punggung anaknya lembut. "Cup, cup, cup, tadi Ayah cuma takut kalau Arsya muntah karena makannya cepat-cepat."
Tantra bengong.
"Tuh, lihat, Ayah tidak marah, "Nada membalik tubuh Arsya untuk melihat wajah Tantra. "Ayo, makan lagi ya, sama Ayah."
Arsya menatap ayahnya dengan pandangan bimbang. Bagaimana rasanya dipangku Ayah, mungkin begitu pikirnya. Ayah tidak bisa melakukannya! Jangan-jangan dia malah tertidur! Lagipula Ayah ini bau apa, sih? Gak jelas aromanya!
Tantra tersenyum masam melihat si Kecil hanya menatapnya dengan tak berkedip. "Dia tidak mau kupangku."
Memang, sahut Arsya dalam hati. Enak sama Ibu, Ibu kan wangi terus. Kalau Ayah, kapan ya mandinya?
Nada beranjak sambil menggendong Arsya. "Mas, aku tidurkan Arsya dulu, ya, "katanya, "Mas langsung istirahat saja, biar aku yang bereskan ruangan ini."
Arsya menatap kedua orang tuanya silih berganti. Ih, kok mau ya Ibu dicium pipinya sama Ayah? Padahal Ayah, baunya aneh!


Pertemuan itu tidak terduga sedikitpun. Tetapi, itulah jalan hidup manusia yang penuh liku-liku.
Awalnya Ara merasa tidak pantas untuk menerima uluran perkenalan dari laki-laki itu. Wanita itu berpikir apakah pantas perempuan seusiaku masih juga berharap? Tetapi pria itu dengan sabar dan santun mengajaknya berkenalan.
"Mas sudah tahu, "sambut Cakra mengejutkan.
"Sudah tahu?"
"Iya, Hasta kan teman kerjaku, cuma dia di bagian dalam."
Ara mengangguk-angguk.
"Dia memang menyenangkan. Kukira kalian akan jadi pasangan yang cocok."
"Tapi...apa dia mau? Aku kan...."
Cakra memeluk pundak adiknya, "Ara, jangan merasa tua untuk memulai, Dik. Kau tidak perlu khawatir, Hasta itu belum menikah dan kalian sebaya."
"Benarkah?"
"InsyaAllah, kalau tidak salah dia lahir bulan Februari."
Aku bulan September, sambung Ara dalam hati. Tanpa sadar bibirnya membentuk seulas senyum.
"Ada pesan untukmu."
"Dari siapa, Mas?"
"Hasta. Katanya, Mas, tolong sampaikan apa adikmu mau jadi istriku?" Ketika menatap wajah adiknya yang tampak bercahaya, Cakra merasa ia telah mengetahui jawabannya bahkan sebelum Ara membuka mulut untuk mengatakannya.
Pria itu belum juga melepaskan pelukan di pundak adik yang begitu ia sayangi sampai ia menyadari hari telah beranjak malam. Cepat-cepat ia meraih ponsel yang berdering dari saku celananya. "Assalamualaikum. Iya, Bu, Ayah ada di kosan Ara. Iya, dia baik-baik saja. Sudah, ya, sebentar lagi Ayah pulang. Waalaikumussalam."
"Mas, aku bawakan sayur kacang merah,ya? Kalian kan suka."
Cakra tersenyum dan mengangguk.


Senin, 19 Maret 2012

Di Arung Jeram Cinta

Banu memperhatikan kakak dan suaminya. Dalam hati pemuda itu masih tak habis pikir. Sudah jelas, kakaknya terlihat memang lebih tua. Tantra benar-benar lebih pantas menjadi adiknya, adik bungsu.Lihat saja tampaknya kakak iparnya itu betah bermanja-manja dengan istrinya. Untung saja anak mereka sudah pulas di kamar. Kalau tidak, wah, pasti saingan sama ayahnya.
"Tehnya manis, Mas?"Nada memperhatikan suaminya meneguk teh hangat.
Tantra meletakkan cangkir itu di meja beranda baru menjawab, "Manis, seperti yang membuat."
Banu menahan geli. Ya ampun, rayuan seperti itu saja sudah membuat wajah Mbak Nada merah merona, pikirnya terheran-heran. Sebenarnya, Tantra itu punya keistimewaan apa, ya, selain kebagusan fisik?
Nada sudah akan beranjak untuk menyiapkan makan malam ketika Tantra meraih tangannya. Banu tercengang, apa-apaan ini? Masa aku jadi obat nyamuk begini? Tetapi tampaknya Tantra tidak peduli dengan penilaian adik ipar.
"Mas, aku mau siapkan makan malam."
"Memang tidak boleh kalau sambil gandengan begini?"
"Ya, boleh, tapi makan malamnya jadi terlambat."
Tantra tersenyum kemudian menoleh ke arah Banu yang juga tersenyum tetapi masam. "Banu, tidak apa-apa kan kalau makan malamnya terlambat?"tanyanya iseng.
Nada menggeleng-gelengkan kepala. "Mas...."
"Iya, Mbak, "sahutnya sambil melepas gandengannya.
Nada tersenyum. "Silakan kalian omong-omong dulu, "ujarnya.


Malam ini tidak seperti biasanya terasa begitu lambat. Banu tidak sabar menunggu ayam berkokok menandai terbitnya fajar.
"Meyra?"
"Iya, kamu mengenal dia? Kenapa kaget begitu?"
"Dia adik mantan atasanku."
"Jadi kalian pernah saling mengenal?"
Tantra mengangguk. "Hanya sebatas kenal sepintas."
Banu mengangguk-angguk.
"Kamu tertarik kepadanya?"
"Dulu."
"Dulu? Maksudmu?"
"Ya, dulu, sebelum aku tahu dia sebenarnya."
"Aku tidak mengerti."
"Dengar, Tantra, siapa yang mau dengan perempuan seperti dia? Siapa yang sudi dengan perempuan yang sudah menyerahkan dirinya kepada setiap laki-laki yang mengumbar kata cinta untuknya?"
Tantra tercengang. "Kata siapa? Meyra tidak seperti itu."
"Itu pengakuannya sendiri. Bagiku itu sudah lebih dari cukup untuk mengurungkan niatku melamarnya."
"Mungkin dia punya alasan yang kuat."
"Alasan apa?"
Tantra menatap adik iparnya dalam-dalam. "Banu, jadi kau memang belum tahu?"
"Belum tahu apa?"
"Meyra itu korban perkosaan."
"Apa?!"Banu tak percaya dan menatap suami kakaknya dengan mengerutkan dahi. Tetapi, jelas, Tantra mengangguk.
"Cerita yang kudengar, ia bahkan sempat pingsan karena matian-matian mempertahankan kehormatannya. Seandainya, Rafa tidak cerita, aku juga tidak tahu."
Banu terdiam. Kabar yang baru ia dengar ini benar-benar jauh dari dugaannya.

Kenapa Meyra tidak jujur saja? Banu bertanya dalam hati sambil membalik bantal di kepalanya yang mulai membuatnya gerah. Kenapa ia tidak jujur saja, jadi aku tidak harus menyakiti hatinya?

Minggu, 18 Maret 2012

Di Arung Jeram Cinta



Perubahan sikap Banu yang mendadak ternyata menarik perhatian Nada. Kakak Banu semata wayang itu heran melihat adiknya yang tampak murung beberapa hari terakhir. Memang pemuda itu sering mampir ke rumah untuk numpang salat asar atau magrib sepulang kerja.
Jadi, tidak aneh, kalau Nada mengetahui benar perubahan yang terjadi pada diri sang Adik.
"Mbak masak pepes ikan mas, mau?"tanya Nada sambil meletakkan segelas teh hangat di meja ruang tamu.
Banu menggeleng lesu. "Masih kenyang, "sahutnya.
Nada duduk di samping adiknya. "Kenapa? Masih bingung soal Meyra?"
"Sudahlah, Mbak, jangan sebut lagi nama itu di depanku."
Nada mengerutkan kening mendengar jawaban adiknya. "Eh, ada apa? Kalian bertengkar?"
"Mbak ini bagaimana? Bagaimana bisa bertengkar? Aku tidak ada hubungan apa-apa den gan dia."
"Ooh, "Nada mengangguk-angguk, "Tapi, kenapa pikiranmu bisa berubah begini?"
Banu menggeleng, ia tak ingin membahasnya.
"Terserah kamu, tapi sebentar lagi kakak iparmu pulang."
"Maksud Mbak?"
"Siapa tahu kamu bisa curhat lebih bebas."
Banu tersenyum tanda terima kasih.
"Oaaa! Oaaa.....!"
Nada melompat dari duduknya. "Arsya bangun, "katanya, "Sebentar, ya."
"Aku ingin lihat keponakanku, "tukas Banu mengikuti kakaknya.

Melihat ibunya datang, Arsya menghentikan tangisnya yang membahana dan menggantinya dengan isakan sedu sedan. Nada memeriksa celana bayinya. "Ganti dulu, ya, "ujarnya sambil melepas celana bayi sembilan bulan itu.
"Sudah bisa duduk, Mbak?" Banu memperhatikan wajah kemenakannya yang mirip ibunya.
"Bisa, malah sedang belajar jalan, "jawab Nada merapikan pakaian anaknya. "Eh, Oom mau lihat Arsya duduk."
"Na...na..., "ujar Arsya tertawa seraya bertepuk tangan. Banu tertawa geli karena kedua telapak tangan itu sama sekali tidak bertemu.
Nada memegang tangan anaknya. "Begini, lho caranya tepuk tangan...nah, bisa kan?"
"Naa..ta...ta...."
"Lucu sekali, Mbak."
"Iya, waktu lihat Arsya lahir, Mbak jadi lupa rasa sakitnya waktu melahirkan."
"Memang sakit sekali, ya?"
"Pokoknya belum pernah yang rasanya seperti itu."
"Padahal prosesnya nggak sakit, ya, Mbak?"
Nada membelalak pura-pura marah. Banu tertawa.
"Mbak. boleh aku tanya?" kali ini pemuda itu memasang tampang serius.
"Selama ini...maaf, apa pernah Tantra menyakitimu...misalnya, menampar atau memukul...?"
Nada menggeleng. "Tidak, kalau ia melakukannya, pasti Mbak langsung masuk rumah sakit. Kamu lihat badan Mbak kecil begini."
"Padahal dulu dia jago berkelahi."
"Mbak merasa suami Mbak itu lebih banyak mengalah. Ia sering minta maaf lebih dulu kalau kami bertengkar."
"Pasti dia juga suka memandikan Arsya, ya?"
"Iya, kalau pas libur."
Sebenarnya Banu ingin menanyakan yang satu lagi tetapi khawatir kakaknya tersinggung.



Semua jelas sudah. Ternyata itulah alasan Lisa rela bahkan mendesak suaminya untuk menikah lagi. Danar menutup wajah dengan kedua tangannya seraya menghela napas. Betapa tak dapat ia menghapus penyesalannya tak peduli bagaimanapun kerasnya ia berusaha. Sebab, memang terlalu banyak kesalahan yang kulakukan pada Lisa, keluhnya dalam hati.

"Jadi....?"
Lisa mengangguk pelan.
"Tapi... dokter Ratih...."
"Aku yang memintanya untuk tidak menyinggung hal ini. Dia samasekali tidak berbohong."
"Memang tidak. Tapi dia menyembunyikan kebenaran."
"Jangan salahkan dia, Mas, aku yang memaksanya."
"Dia jujur tentang satu hal."
"Apa itu?"
"Dia sedang melakukan terapi untuk memulihkan kondisimu."
Lisa tersenyum, "Dia benar, "tukasnya.
"Tapi, apa gunanya terapi itu kalau...."
"Sudahlah, "Lisa tersenyum lembut, "Kalau Mas menikah lagi dan kalian punya anak-anak, pasti aku juga akan menganggap mereka seperti anak kandung sendiri."

Danar menggeleng keras. Demi Tuhan! Ya, Allah! Apa yang telah ia lakukan?! Lisa, istrinya terpaksa menjalani operasi pengangkatan rahim akibat kebiadabannya. Wanita itu bahkan mengurus semuanya seorang diri tanpa sepengetahuan suaminya. Tunggu dulu, bukan tanpa sepengetahuan, tetapi karena memang ia tak peduli. Bukankah dulu tim dokter pernah menyodorkan tanda tangan persetujuan operasi? Operasi apa itu, ia tak mau tahu. Bahkan, seandainya nyawa istrinya melayang di tengah-tengah operasi sekalipun.
Pantas, pantas saja adik Tantra itu begitu membenciku, pikir laki-laki itu getir. Sampai saat ini jika mereka berpapasan, Rafa segera menunduk alias pura-pura tidak melihat. Kalaupun terpaksa, maka gadis itu akan bersikap kuda-kuda siaga seolah-olah akan melakukan penyerangan.

Apa ada operasi pencangkokan rahim? Kalaupun ada, adakah wanita yang sukarela menyerahkan milik yang begitu didambakan semua kaum hawa itu? Tiba-tiba saja Danar, laki-laki yang selama ini tak mau diributkan oleh tangisan bayi, merasa hidupnya begitu sepi. Seandainya dulu ia tidak....
"Mas...." Pagi itu Lisa tampak ceria menghampiri suaminya yang sedang merokok santai di beranda.
"Hm?"
"Aku positif, Mas."
Mendengar jawaban istrinya, Danar langsung bereaksi, mematikan rokoknya, "Apa?!"
"Aku hamil, Mas. Ini baru saja...."
"Sialan!"
Lisa tersentak.
"Siapa suruh kamu hamil, hah?!"
Lisa gemetar. Danar mencengkeram lengannya kasar.
"Aku tidak mau rumah ini jadi bau ompol!"
"Biar aku yang membersihkannya, Mas. Asalkan aku bisa jadi ibu....aaah!" tiba-tiba Lisa menjerit karena Danar menjambak rambutnya.
"Gugurkan! Atau kalau bayi itu lahir akan kubuang ke sungai!"

Berapa kali Lisa hamil? Mungkin tiga, empat, atau mungkin lebih. Selama itu pula Danar tak pernah mau menerima kenyataan. Bahkan dua diantaranya ia sendiri penyebab keguguran janin yang dikandung istrinya itu.

Menikah lagi? Tidak! Sudah cukup aku menyakiti istriku yang begitu baik. Mengapa aku harus bersenang-senang di atas penderitaannya? Lagipula kalau aku menikah lagi, belum tentu mendapatkan istri sebaik dan sesabar Lisa. Lisa bukan cuma sabar tetapi juga sangat tabah!
"Lisa...."
Lisa yang sedang mengupas mangga menoleh.
"Bagaimana kalau kita adopsi anak?"
Lisa tercengang.



Jumat, 02 Maret 2012

Di Arung Jeram Cinta

Tanpa pikir panjang, Rafa langsung menerima lamaran Meyra. Masalah surat lamaran berserta berkas-berkasnya menyusul setelah gadis itu lulus. Untunglah, hal itu tinggal menunggu dua bulan lagi. Tentu saja Rafa serius dengan keputusannya. Ia memang tidak ingin menyakiti perasaan teman baiknya itu, tetapi sebenarnya ada alasan lain yang membuatnya yakin.
"Kurasa kau tepat kalau mendampingi aku, "ujarnya, setelah Meyra menyampaikan maksudnya malam itu.
Meyra tercengang, "Apa kau tidak salah?"
"Tentu saja tidak, "tukas Rafa tersenyum.
"Kau hanya ingin menghiburku."
"Kalau benar begitu, aku pasti sudah menyanyikan lagu untukmu."
Meyra memandang gadis di hadapannya dengan perasaan kagum. Rafa begitu baik dan penuh perhatian. Ia sangat pandai membesarkan hati orang yang berduka. Seperti kakaknya, Tantra....Ah, setiap teringat nama itu, Meyra jadi ingin menghilang saja. Bukankah dia dulu pernah merayu pemuda yang sudah menikah itu? Menggodanya untuk sejenak melupakan istri yang menunggu di rumah dengan sabar. Tetapi justru Tantra memilih untuk pergi dari neraka dunia lewat jendela kamar mandi. Gadis itu hanya menemukan secarik kertas bertuliskan pesan yang ditempel di dinding.
Meyra,
Jujur, aku sempat tergoda melihat kecantikan dan nyaris terbuai ajakanmu. Tetapi, aku masih punya hati untuk tidak menghianati ketulusan dan kasih sayang istriku. Dia terlalu baik untuk kusakiti. Selain itu, aku juga punya ibu dan adik perempuan. Aku tidak dapat membayangkan betapa sakitnya kalau mereka tersakiti. Aku sangat mencintai mereka.
Meyra,
Kecantikan luar dapat berkurang seiring perjalanan waktu, tetapi kecantikan batin bergantung pada isi hati dan tutur kata yang terucap. Karena itu jagalah dirimu baik-baik dan jangan menyerahkannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya.

Tantra.



"Silakan diminum jeruk hangatnya, "ujar Rafa meletakkan dua gelas jeruk nipis hangat dan setoples keripik kentang.
Meyra tersentak. Rupanya ia melamun. "Oh, iya, terima kasih."


Musuh bebuyutan yang menjadi saudara. Itulah Banu dan Tantra. Bahkan Tantra sempat koma berhari-hari akibat serangan belasan remaja atas perintah Banu. Sampai sekarang beberapa bagian tubuh Tantra terdapat bekas luka dan jahitan. Untung saja ia menikahi Nada kakak Banu yang perawat sehingga terbiasa melihat berbagai macam tanda. Kalau gadis lain, pasti sudah histeris. Apalagi luka yang paling terlihat justru pada lengan kiri.
Banu sendiri sering tak habis pikir bagaimana dulu ia bisa begitu membenci Tantra. Padahal remaja itu sangat baik dan setia kawan. Tantra pun bukan pendendam. Ia tidak pernah membalas perlakuan Banu atas dirinya.