Senin, 23 Juni 2014

Di Arung Jeram Cinta





Sementara itu tak henti-hentinya Danar menyalahkan dirinya. Ia merasa dirinya sangat tolol, mengapa sampai lupa kalau istri Banu itu adalah Meyra, wanita yang dulu pernah ia sakiti. Sekarang ia memang merasakan penyesalan yang seolah-olah tidak ada ujung pangkalnya. Penolakan maaf dari Meyra belum berhasil ia dapatkan, ditambah lagi dengan Randy, kakak Meyra yang selalu langsung mematikan ponsel setiap kali ia mencoba menghubungi. 
Ternyata dalam hidup ini, aku begitu sering menyakiti orang, Danar duduk merenungi semua kesalahan yang pernah ia lakukan. Setelah dipikir secara mendalam, memang semua karena ia selalu ingin menguasai orang lain. Karena sesama laki-laki tidak mudah untuk ditaklukkan, ia mencari korban yang lebih mudah, yaitu perempuan. Korban pertama adalah Nada, yang sekarang menjadi istri Tantra. Saat itu ia tidak dapat menerima kenyataan bahwa Nada sangat menjaga kehormatannya sebagai wanita. Ia merasa dihina dan diinjak-injak harga dirinya. Bagaimana tidak? Siapa gadis yang berani menolak keinginan Danar, sang penakluk wanita? Korban berikutnya, Lisa, istrinya sendiri. Lisa. meskipun wanita lemah lembut ternyata Danar tak berhasil memaksanya untuk terlibat dalam program balas dendamnya. Hal ini membuat Danar semakin berang. Korban berikutnya, Meyra, istri Banu. Sebenarnya Danar tidak ada perasaan sedikitpun terhadap gadis itu kecuali terhina karena gadis itu telah mengundurkan diri dari program balas dendamnya. Ia juga merasa rugi besar dan tentu saja jangan sampai rugi semuanya.
Ah, kalau saja bukan karena ingin menolong, ia tidak akan mau menikah lagi.
"Ini teh hangatnya, " seorang wanita bergaun batik ungu meletakkan cangkir di meja beranda.
Danar tersentak, ia pun menoleh, "Terima kasih, "katanya.
"Sore-sore kok melamun?"
"Oh, aku melamun, ya?"

                                                  
                                   ******

Banu menghadang Meyra di depan pintu kamar. Wanita itu sudah siap dengan tas besar di tangannya.
"Meyra...."
"Biarkan aku lewat."
"Jawab dulu pertanyaanku."
Meyra membuang muka.
"Kau mau ke mana?"
"Pulang."
"Pulang? Bukannya rumahmu di sini?" tukas Banu tersenyum.

Meyra masih membuang muka.
"Meyra, aku ingin menyampaikan sesuatu, setelah itu keputusan ada di tanganmu. Aku menurut saja."
"Baiklah."
"Terima kasih, "Banu menghela napas lega.
"Di mana?"
Banu mengambil tas dari tangan istrinya.