Minggu, 25 Agustus 2013

Di Arung Jeram Cinta (Bab XIV)

Tiga tahun kemudian.
Hujan membasahi bumi. Mentari malu-malu menampakkan wajahnya yang merona membiaskan warna-warni pelangi. 
Arsya menikmati sarapannya, nasi dengan sayur bayam dan telur dadar. Anak laki-laki yang bulan depan genap lima tahun itu tampak menyukai masakan ibunya.
Nada tersenyum memperhatikan anaknya makan dengan lahap. "Pelan-pelan makannya, Kakak, ''ujar perempuan itu lembut.
Arsya mengangguk.
"Wah, enak sekali, ''sapa Tantra menghampiri anak dan istrinya yang santai di ruang makan.
"Mas mau sarapan?"
Tantra mengangguk.
Nada mengambil piring dan menyendokkan nasi.
Tantra memperhatikan istrinya yang sibuk mengambilkan sarapan. Istrinya yang selalu mengalah setiap kali terjadi perdebatan.  Nada memilih untuk minta maaf lebih dulu. 
''Lauknya yang mana, Mas?"
''Telur dadar saja, terima kasih, "Tantra menerima piring dari istrinya.
Nada menuangkan air dari botol ke dalam gelas.
''Ibu tidak sarapan?"Tantra baru menyadari kalau istrinya hanya duduk.
"Nanti saja, masih kenyang.''
Sebenarnya Tantra merasa sangat bersalah membiarkan istrinya menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah seorang diri. Nada memang hampir-hampir lupa memikirkan diri sendiri padahal ia baru melahirkan seminggu yang lalu.
"Lagi, ''Arsya menyodorkan piring plastiknya.
''Tambah apa, Kak?"
"Sayur."

Tantra menahan tangan istrinya, ''Biar aku saja, ''bisiknya.
Nada tersenyum.


"Cantiknya putri Ibu, "ujar Nada seusai mengancingkan baju bayi perempuannya. Dengan gemas ia mencium makhluk mungil itu. Bayi itu menggeliat. Nada memandangnya penuh kekaguman.
Sementara itu Tantra terpaku. Apakah memang demikian seorang ibu? Ia langsung melupakan saat-saat menegangkan itu begitu melihat bayinya. 
Tahun-tahun yang berlalu semakin meyakinkan Tantra bahwa Nada memang pilihan yang tepat untuknya. Bukan sekali dua kali atau seorang dua orang yang menyangsikan kelanggengan rumah tangga mereka. Apalagi Tantra yang sering mendapat incaran gadis-gadis bahkan para wanita di tempat kerja atau lainnya. Tetapi, Tantra bukanlah tipe suami yang mudah tergoda.
"Eh, itu Ayah, "Nada menggendong bayinya.
"Ayo, jalan-jalan sama Ayah, "sambut Tantra menghampiri istri dan bayinya.
"Kakak mana, Mas?"
"Di teras, sedang main balok."



Rabu, 21 Agustus 2013

Di Arung Jeram Cinta

Banu tak tahu harus memulai dari mana. Ia tak habis pikir bagaimana mungkin Meyra mempunyai gagasan seperti itu. Apa kata Rima tadi? Benarkah wanita itu melakukannya atas permintaan Meyra? Banu mengakui betapa pandai istrinya mencari wanita cantik dan menarik. Tetapi, menurutnya, istrinya belum tahu bahwa ia menikah karena benar-benar cinta.
Meyra meletakkan secangkir teh hangat di meja tengah. Entah mengapa malam itu ia begitu gugup melihat tatapan suaminya yang tidak seperti biasanya. Dalam hati wanita itu menebak-nebak sejauh mana keberhasilan Rima melaksanakan tugasnya.

"Sirup jahe ini bisa menghangatkan tubuh, "ujar Rima meletakkan dua gelas sirup jahe di meja tepi ranjang. Banu masih duduk terpekur sambil merapatkan jaketnya. Rima tersenyum simpul. "Kenapa? Kau menyesal?"
Banu menggeleng, "Entahlah, "sahutnya lirih.
"Aku tidak tahu kau ini alim atau lugu, "tukas Rima menyodorkan segelas, "tapi kalau kau suka, kau boleh datang lagi. Kapan saja. Oh ya, omong-omong, menurutmu, aku cantik tidak dengan gaun malam ini?'

"Meyra...."
Meyra tersentak. Tanpa sadar ia menurut saja ketika suaminya menuntunnya duduk di sampingnya.
"Aku sudah tahu semuanya, "bisik Banu.
Meyra tercengang, "Maksudmu?"
"Rima, kau yang menyuruhnya?"
Meyra menunduk.
"Kenapa?"
"Aku ingin kau bahagia."

"Lalu bagaimana pendapatmu?"
Meyra tak langsung menjawab. Ia diam sejenak untuk mengendalikan perasaannya. "Aku terpaksa, Banu. Aku masih trauma, peristiwa itu seperti kiamat bagiku. Kalau saja kau tahu hancurnya perasaanku waktu itu. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, sangat tidak ingin, tetapi itulah yang terjadi."
Banu tidak berani menyela.
Meyra menatap suaminya dengan perasaan berkecamuk. "Sebenarnya sejak peristiwa itu, aku tidak lagi percaya pada laki-laki. Kuanggap semuanya sama hanya menjadikan perempuan sebagai mainan. Tapi...kau berhasil membuatku berubah pikiran."
Banu tersenyum.
"Hampir setahun kita menikah, mungkin lebih baik kalau Mbak Rima jadi saudaraku....:
Kali ini Banu tersentak. "Tidak, "tegasnya.
"Kalau Mbak Rima melahirkan, aku akan menganggap bayi kalian seperti anak kandungku sendiri."
Banu tidak tahan lagi. "Tidak ada pernikahan, Meyra. Aku tidak mau menikahi Rima."
"Tapi...."
Banu menggeleng. Ia membisikkan sesuatu yang membuat Meyra tertegun.
"Benarkah?"
Banu mengangguk.
"Maafkan aku...."
"Terus terang aku terkejut sekaligus sedih mendengar pengakuan Rima. Aku merasa bersalah karena selama ini aku tidak tahu betapa dalam trauma yang kaurasakan. Maafkan aku."
Malam itu untuk kali pertama Meyra benar-benar bersyukur memiliki suami yang penuh pengertian. Ia tidak menyangka sedikitpun bahwa suaminya sangat menjaga diri dan tak mau menyakiti istrinya.