Berbeda dengan istrinya, Tantra bukannya minder bin malu, ia malah tanpa ragu-ragu sedikit jua menggandeng Nada bahkan mendekap pinggang istrinya setiap kali mereka melewati ibu-ibu anggota IWAPI itu. Menurut pemuda itu, tidak sepantasnya malu sampai-sampai menyembunyikan kenyataan bahwa ia sudah menikah, dan Nada adalah istri pilihannya sendiri.
"Lepas, "bisik Nada kepada suaminya yang memeluk pundaknya, padahal beberapa meter lagi mereka akan melewati daerah IWAPI.
"Memang kenapa?"
"Malu, nanti dikira pacaran."
"Memang iya."
Nada terpaksa pasrah. Tidak mungkin ia berontak, bisa-bisa orang-orang menyangka ia dan suaminya sedang ribut-ribut. Nanti malah IWAPI dapat berita baru yang seru menurut mereka.
"Kok diam?"
Nada menghentikan langkah. "Kita lewat jalan lain saja, "ujarnya.
"Kenapa?" tiba-tiba Tantra tersenyum iseng. "Ah, pasti kamu cemburu ya, kalau ibu-ibu itu sampai melihatku?"
"Maunya, "Nada mencibir geli.
Tantra tersenyum. Ia melepaskan pelukannya.
Danar, laki-laki berambut ikal dan bertubuh kekar itu bukan saja menaruh dendam kepada Nada, tentu juga suaminya. Padahal peristiwa itu sudah berlalu lebih tiga tahun yang lalu, tetapi ia masih saja merasa sakit hati.
"Lepaskan!"desis Nada gusar.
Danar tetap menahan langkah gadis itu dengan menarik tas tangannya. "Tunggu, kita harus bicara!"
"Tidak ada yang harus dibicarakan lagi, "tegas Nada membalikkan tubuh sehingga mereka berhadap-hadapan. "Semua sudah selesai."
"Berani kau membantahku?"
"Tidak ada kewajiban untuk takut kepadamu. Dasar banci."
Mata Danar langsung menyipit. "Apa katamu? Coba ulangi."
"Dasar banci, jelas?" Nada malah menantang.
Sekarang mata Danar bukan lagi menyipit, tetapi menyorotkan nyala api. Ia tersenyum licik. "Aku bisa membuktikan kalau aku bukan banci, "ujarnya sambil mendekat.
Gugup Nada melangkah mundur. Ia tahu jalan yang dilaluinya begitu sepi, walaupun hari masih siang. Menyesal juga ia karena nekat melintasi jalan ini gara-gara ingin cepat sampai tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar