Selasa, 19 Juni 2012

Di Arung Jeram Cinta





 Tidak ada salahnya ikut suami ke kantor, pikir Nada sambil mengancingkan baju anaknya. Toh, aku kan diajak. "Nah, sudah ganteng, "ujarnya tersenyum sambil menggendong si Kecil, "Eh, lupa, celana Arsya belum Ibu masukkan."
"Ta...ba..ba  ta..., "sahut Arsya sambil menyandarkan kepala di pundak ibunya.
Nada mencium anaknya gemas. "Ayo, Ayah sudah siap, "katanya.


Keberanian Rafa untuk menentang ketidakadilan apalagi kekejaman yang berlangsung di depan matanya memang terlalu berani untuk ukuran kaum hawa pada umumnya. Bayangkan saja, gadis itu bahkan tidak segan-segan menegur pelaku kekerasan secara terang-terangan. Ia tidak perduli akan risiko yang terjadi. Baginya manusia hanya harus takut kepada Allah yang telah menciptakan alam semesta.
Beberapa hari yang lalu, gadis itu malah memilih dikeluarkan karena telah berani melawan atasannya yang telah melakukan pelecehan terhadap teman kerjanya.
Sebenarnya, Rafa pun tak sengaja melihat kejadian itu. Tetapi, jujur, sejak awal ia memang sudah gerah menyaksikan kepala personalia yang kerap mengerling bahkan mengedipkan mata setiap kali melihat wanita yang manis menurutnya. Untuk sementara Rafa memilih untuk tidak ikut campur selama atasannya itu tidak terang-terangan.
Siang itu di dalam lift yang akan menuju lantai dasar.
"Ayolah, kamu mau kan?"
Gadis manis berambut sepunggung itu menggeleng perlahan sambil tetap menunduk.
"Kenapa? Kamu menolak saya?"
"Maaf, Pak."
Sementara itu Rafa yang berada di dekat mereka lebih memilih diam.
"Oh, begitu? Ingat, aku ini atasanmu."
"Maaf, Pak, tapi itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan."
Pintu lift terbuka. Mereka sudah tiba di lantai dasar.
"Kata siapa itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan?"geram laki-laki itu.
Rafa membalikkan tubuh karena mendengar gadis itu terpekik lirih. Alangkah terkejutnya ia melihat laki-laki itu mendorong si gadis ke dinding.
"Aku bisa menendangmu dari sini, masa menemaniku ke Puncak saja tidak mau?" sebelum sempat ia melampiaskan niatnya mencabuli korbannya (karena tidak ada yang berani melawan Kepala Personalia ini), tiba-tiba saja ada bentakan yang menyentakkan jiwa raganya sehingga cengkeramannya terlepas.
"Lepaskan!"
Kepala Personalia itu menoleh. Ia menatap Rafa dengan gusar. "Kau ini karyawati baru, ya?" tegurnya ketus, "Berani sekali."
Rafa tidak menjawab. Dengan sigap ia menarik gadis yang masih gemetar itu untuk menjauh dari si pemangsa.
Tiba-tiba muncul pikiran laki-laki itu untuk ganti melecehkan Rafa. Pikirnya, seberani apapun, Rafa tetaplah perempuan, jadi..., tangannya terulur hendak mencolek pipi gadis itu.
Braak!
Rafa tersenyum melihat laki-laki itu terbanting menabrak tumpukan kardus. "Kaupikir semua perempuan bisa diganggu, ya?"setelah bderkata demikian, ia menoleh kepada gadis yang berdiri di sampingnya, "sudahlah, ayo, kuantar kau pulang."
"Te..terima kasih..., "ujar gadis itu lirih.
Sementara itu si Kepala Personalia menendang kardus yang menimpa lututnya dengan geram.


Itulah Rafa. Direktur sangat tercengang mendengar penuturan gadis yang menguasai tiga bahasa asing selain Inggris dan Arab ini.
"Jangankan dia yang menjabat kepala personalia, andaikan Bapak yang melakukannya, jangan pikir saya akan diam saja, "begitu kata gadis itu.
"Kalau saja anakku seperti kamu, "ujar pria lima puluhan itu dengan kagum.
"Maaf?"
"Kau tidak takut dipecat karena telah membanting atasanmu?"
"Saya bisa balik menuntut bahwa atasan saya telah melakukan pelecehan."
Direktur tersenyum arif. Ia menekan salah satu tombol telepon, "Saya tunggu Pak Roy di ruangan." 


Nada baru mengetahui bahwa sebagian besar rekan kerja Tantra tidak percaya bahwa pria muda itu telah berkeluarga. Selama ini mereka mengira ia hanya bercanda.
"Eh, lucunya, ini anakmu, Tantra?"
Tantra menjawab pertanyaan serentak itu dengan mengangguk.
"Maaf, Mbak ini siapa?"tanya seorang gadis muda yang berdiri di samping Nada.
"Saya istri Mas Tantra, "jawab Nada tersenyum.
Gadis itu tampak kaget tetapi  langsung berhasil menguasai diri. "Maaf, sudah berapa tahun rumah tangga sama Tantra?"
"Kira-kira...hampir tiga tahun ini."
"Saya baru tahu kalau dia sudah menikah."
Nada tersenyum. Dalam hati ia menjawab, jelas saja! Setelah punya anak, bukannya kelihatan tambah tua, malah seperti masih mahasiswa. Tetapi, ah, bukankah umur suaminya itu memang sebaya anak kuliah?
"Mbak, kita ke kafe, "Tantra menarik tangannya.
Gadis yang berdiri di samping Nada mengerutkan dahi. "Mbak?"ulangnya lirih.








Rabu, 06 Juni 2012

Di Arung Jeram Cinta

Seandainya dapat, Danar akan melakukan apa saja untuk mengembalikan waktu yang telah berlalu. Tetapi, saat ini ia menyadari bahwa hal itu tidak mungkin. Bahkan, kalau ia bersedia menukar dengan nyawanya sekalipun.Terbayang semua dalam ingatannya, Lisa yang tampak bahagia saat menerima pernyataan cinta darinya, hanya seminggu setelah pertemuan mereka. Lisa memang menaruh simpati kepada Danar yang dalam kondisi 'patah hati'. Gadis itu tidak tahu bahwa sebenarnya laki-laki yang tengah membuat hatinya berbunga-bunga itu hanya sedang mencari alat untuk membalaskan dendamnya.
Setelah tiga bulan menjalankan peran sandiwaranya sebagai suami yang protagonis, Danar merasa harus beralih peran menjadi tokoh antagonis. Ia melakukannya setelah berkali-laki gagal membujuk istrinya untuk menjadi rekannya dalam  program pembalasan dendam.
Sementara itu, Lisa tetap Lisa. Wanita itu tidak beranjak sedikitpun dari perannya semula. Peran istri yang benar-benar berada di bawah kekuasaan suami, apalagi sejak Danar melarangnya bekerja. "Biar tidak banyak tingkah, "begitu alasan Danar. Sebenarnya Lisa masih ingin bekerja meskipun paruh waktu, tetapi sejak menerima perlakuan kasar suaminya, wanita menahan keinginannya.


Danar menoleh. Randy dan Nila, istrinya mendekat. Laki-laki itu pun berdiri menyambut.
"Apa yang terjadi?Bagaimana keadaan Lisa? Apa kata dokter?" Randy memberondong dengan pertanyaan bertubi-tubi.
Danar tidak menjawab. Pandangannya terpaku pada perut Nila, istri kakak iparnya yang membuncit. Ah, apakah ia akan kehilangan kesempatan menjadi seorang ayah?






"Pa...pa...ma...ma..ha..ta  ta!"celoteh Arsya bertepuk tangan melihat adegan ayahnya mencium pipi ibu. Tantra tersenyum dan mencium kening anaknya.
Nada menghela napas lega. Lega karena suaminya tidak membuat ulah yang membuatnya malu bukan kepalang. 
"Mbak, ganti bajumu."
Nada mengerutkan dahi, "Untuk apa?"
"Ikut aku ke kantor."
"Untuk apa, Mas? Biar aku di rumah saja."
"Pokoknya ikut aku, ajak anak kita juga."
Sebelum Nada sempat bertanya lagi, suaminya telah melangkah menuju sepeda motor.