Minggu, 12 Desember 2010

Di Arung Jeram Cinta

Tia menatap putri sulungnya dengan wajah memelas. Begitu pula Arman, yang memasang tampang tidak kalah gelisah dengan istrinya. Sampai-sampai tak tahan Nada melihat kedua orang tuanya yang sebentar lagi pasti mengiba-iba supaya ia tidak memutuskan pertunangannya dengan Danar.
"Sudahlah, Nak, maafkan saja Danar, "ujar Tia melontarkan senyum lembutnya. "Mungkin dia cuma khilaf."
Hah? Nada melongo. Khilaf kok sampai dua belas kali? Khilaf apa ketagihan?
"Ibumu benar, Nada, "kali ini Arman menimpali. "Hitung-hitung latihan kalau nanti suamimu selingkuh, kamu sudah tahan banting..., "kata-kata pria empat puluh tujuh tahun itu terhenti demi melihat istrinya yang membelalak gusar ke arahnya.
"Eh, apa katamu, Pak? Ayo, ulangi!"
"Ah, Ibu, "Arman salah tingkah. "Bukan begitu maksud Bapak...."
"Bukan begitu apanya?"Tia melotot sewot. "Jadi Bapak senang ya kalau punya menantu hobi selingkuh?!"
Arman memandang anak gadisnya, minta pertolongan pertama pada kecelakaan! Gawat, gawat! Nada menggeleng. Arman pasrah menunggu nasib.
"Aaah, jangan-jangan Bapak sendiri yang suka selingkuh!" tiba-tiba saja Tia yang semula duduk manis di tempatnya kini telah berdiri di hadapan suaminya. Sambil bertolak pinggang.
"Lho, Bu, kok topiknya jadi ganti, sih?"Arman berusaha mengalihkan perhatian istrinya. "Kita tadi bicara soal apa?"
"Bapak juga yang mulai."
"Lho kok jadi Bapak yang disalahkan?"
Nada menghela napas panjang. "Sudahlah, Ibu, Bapak, "ujarnya. "Tidak usah ribut-ribut. Ini sudah jam delapan malam, nanti tetangga jadi terganggu. Pokoknya keputusan saya sudah mantap, bulat, dan tidak dapat diganggu gugat."
Tia cepat-cepat meraih tangan putrinya lembut. "Apa kamu tidak malu, Nak? Kalau kalian putus, apa kata tetangga nanti? Belum lagi mereka yang tukang gosip."
Nada balas menatap ibunya dalam-dalam. "Bu, "katanya lembut. "Jadi Ibu lebih memikirkan malu daripada kebahagiaan saya? Ibu lebih suka saya mendapat suami bekas piala bergilir daripada harus menanggung malu?"
Bukan hanya Tia yang tercengang mendengar uraian Nada, Arman juga. "Tunggu, "sela Arman. "Piala bergilir katamu? Apa maksudmu?"
Nada mengatur napas lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan ayahnya. "Selama ini saya sudah menghitung berapa kali Danar berkencan dengan banyak wanita lain di belakangku. Dikiranya aku ini bodoh, jadi gampang saja dibohongi."
"Mungkin cuma teman bisnis."
"Bapak masih saja membela dia?"dengan geram Nada mengeluarkan ponsel dari saku gaunnya. "Silakan Bapak lihat, "katanya setelah mengutak-atik ponselnya sejenak.
Dengan rasa penasaran Arman menerima ponsel yang disodorkan putrinya.


"Sejak itu aku trauma menjalin hubungan serius dengan laki-laki. Aku takut luka hatiku yang belum sembuh benar kembali berdarah."
Tantra belum menyahut sepatah kata pun.
"Aku menganggap mereka cuma cari enaknya saja sampai...."
"Sampai?"Tantra tampak tak sabar.
"Sampai aku bertemu denganmu dan akhirnya menyadari bahwa aku juga menaruh perasaan yang sama sepertimu...."
Tantra tertegun. Ia tidak habis mengerti kalau memang Nada memiliki perasaan yang sama, bahkan bersedia menjadi istrinya, seharusnya guling pembatas di tengah-tengah ranjang itu bisa berpindah tempat.

Tidak ada komentar: