Kamis, 29 Desember 2011

Di Arung Jeram Cinta

Tantra menatap istrinya dalam-dalam. Nada langsung menunduk. Pemuda itu menghela napas perlahan. "Mbak, boleh kusimpan lagi sendok ini?"
Nada hanya mengangguk. Tantra tersenyum dan meletakkan sendok itu ke habitatnya. Setelah itu, ia kembali menemui istrinya.
"Aku tidak pernah lupa, "ujarnya sambil meraih tangan Nada dan mengajaknya duduk di kursi dapur, "Belum pernah aku melihat perawat yang begitu lembut dan penuh perhatian kepada pasien, sepertimu."
Nada mengangkat wajahnya. Ia pun tersenyum. "Pasien kan orang sakit, Mas, "tukasnya lembut, "tidak sepantasnya kita tidak memberi perhatian dan kasar terhadap mereka."
"Itu yang membuatku kagum. Kamu yang paling sabar menghadapi mereka."
"Biasa saja. Memang seharusnya begitu."
"Tapi...."
"Tapi apa?"
"Setelah kita menikah, aku baru tahu kalau istriku ini pemalu luar biasa. Ini sudah berapa bulan?"
Nada menggeleng. "Tolong, jangan tanyakan itu."
Tantra memilih untuk mengalah.

Terdengar azan Magrib dari mesjid perusahaan. Tantra bergegas melepas kaos kakinya untuk mengambil air wudhu. Setelah salat Magrib, ia berniat pulang.



Keputusan Banu sudah mantap. Ia ingin melamar Meyra. Betapa memesona gadis itu. Belun pernah Banu melihat gadis secantik Meyra. Tetapi lebih dari itu, ia jatuh hati pada sosok yang lembut dan bersahaja itu.
Tentu saja kedua orang tua menyambut gembira dan bahagia dengan keputusan anak laki-laki mereka. Selama ini, Banu hampir tidak mempunyai teman perempuan lantaran gadis-gadis itu sudah ketakutan lebih dulu karena mendengar kisah masa lalunya.
Tetapi sayangnya, justru Meyra yang tampak ragu-ragu ketika Banu menyampaikan hal itu.
"Serius?"
Banu mengerutkan kening, "Apa aku kelihatan main-main?"tukasnya balik bertanya.
"Maaf, tapi kau belum tahu tentang diriku."
"Meyra, aku tahu kau gadis yang baik. Bagiku itu sudah cukup."
Meyra menunduk. Bukan itu, Banu! Bukan itu!jeritnya tetapi hanya dalam hati. Seandainya kau tahu kejadian yang menimpaku, apa kau masih mau melamarku?! Apa kau sudi datang ke rumahku dan menyatakan niatmu itu seperti baru saja?!
Banu kebingungan. Meyra beranjak meninggalkannya di ruang tamu.


Sesampai di rumah, Tantra tertegun mendapati Nada sedang berkutat dengan majalah dan surat kabar di ruang tengah. "Asalamualaikum, "sapanya.
"Waalaikumussalam, "Nada cepat berdiri dan mengambil tas kerja suaminya.
"Mbak, kamu sedang apa?"
Nada meletakkan tas suaminya di meja.
Tantra duduk di karpet mengamati halaman yang terbuka. Ia pun tercengang. Apa-apaan ini?

Rabu, 28 Desember 2011

Di Arung Jeram Cinta

Suami lebih muda dan pantas dijadikan adik. Hm, Nada tersenyum geli teringat betapa ia dulu terpikat kepada remaja yang belum lulus SMA beberapa tahun yang lalu. Cinta tak mengenal usia sehingga mereka pun menikah.
Tetapi, jujur sering Nada tidak percaya diri karena perbedaan usia itu. Sebaliknya Tantra biasa-biasa saja (atau laki-laki memang ditakdirkan memiliki kepercayaan diri lebih tinggi dibanding perempuan?) dan kadang-kadang seenaknya saja mendekap pinggangnya padahal mereka berada di tempat yang bisa terlihat orang banyak.
Dua hari ini hubungannya dengan Tantra sedikit menegang. Nada sangat lelah mengurus bayi dan rumah tangga mereka. Tetapi tampaknya Tantra tak mau mengerti dan kecewa karena ketika pulang melihat istrinya awut-awutan.
"Mbak, kenapa bajumu kusut?"
"Baju yang tadi kena ompol Arsya, jadi aku ganti."
"Lalu kenapa kusut?"
"Aku belum setrika baju satupun."
Tantra mengerutkan kening. "Lalu seragamku besok?"
"Belum, aku belum sempat."
"Mbak...."
"Mas, aku repot."
Tantra tak berkata-kata lagi.
"Mas, perlu apa lagi? Biar kuambilkan."
Tantra menggeleng. "Aku tidur saja, "sahutnya beranjak dari duduk. Kecewa.

Nada menarik napas panjang. Jadi, ternyata laki-laki memang ditakdirkan egois dan mau menang sendiri. Kalau dihitung-hitung, berapa kali Tantra membantunya memandikan atau sekadar mengganti popok si Kecil? Rasanya hanya sampai hitungan lima jari. Itu pun hanya dua bulan awal kelahiran anaknya itu. Heran, bagaimana mungkin laki-laki bisa seegois itu? Padahal dia sendiri yang mulai dan menyebabkan...Nada menoleh ke arah bayinya yang asyik bermain-main dengan jari tangannya.


Hampir magrib tetapi Tantra masih duduk di ruang kerjanya. Di hadapannya laptop masih menyala. Laki-laki muda itu menatap gambar di layar yang menampakkan langit dan awan berarak.

Malas pulang. Begitulah perasaan Tantra. Untuk apa, toh Nada lebih memerhatikan si Kecil. Ah, diam-diam pemuda itu menyesal telah menjadi ayah.

Ponsel berdering. Dengan malas Tantra mengangkatnya. "Asalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Mas, kok belum pulang?"
Itu suara Nada. Tantra terdiam, tak tahu yang harus dijawabnya.
"Mas, masih marah, ya? Maafkan aku, aku memang salah, tidak seharusnya aku mengabaikanmu. Aku...maaf, sudah lama aku merasa kalau aku tidak pantas jadi istrimu...."
Tantra tersentak. Ia tak menyangka sedikitpun istrinya akan mengucapkan kata-kata seperti itu. "Mbak, kenapa kau berkata seperti itu?"
Tapi istrinya telah memutuskan hubungan.
Tantra tertegun. Tiba-tiba ia teringat semuanya. Malam penyebab kehadiran Arsya.
Semua bermula saat ia menyadari betapa menawan istrinya malam itu. Ketika itu Nada mengenakan gaun tidur kuning muda bermotif bunga-bunga jingga. Gaun tidur itu biasa saja, tetapi entah mengapa ia terpesona, ingin mencium istrinya, dan terjadilah apa yang terjadi.
Tantra menyimpan senyum di hatinya setiap teringat Nada yang sangat pemalu. Keesokan harinya istrinya itu melakukan pekerjaan rumah tangga dengan membisu. Tantra yang iseng tak kuat didiamkan begitu rupa. Tanpa permisi, ia mengambil sendok dari tangan istrinya.
Nada terpaku.

Senin, 12 Desember 2011

Di Arung Jeram Cinta

Nada diam dengan perasaan kikuk. Ibu menatapnya dengan sorot mata yang mengatakan, 'Nah, apa kata Ibu dulu?' Tetapi mungkin hanya perasaannya saja sebab ternyata ibunya tak mengungkit-ungkit lagi masalah yang satu itu.
"Menurutmu, Tantra itu bagaimana?"
Entah mengapa tiba-tiba Nada merasa malu dengan pertanyaan itu. Ia memahami arah pertanyaan ibunya. "Maksud Ibu?"
Tia tersenyum geli. "Ah, pura-pura tidak tahu, ya? Kamu tahu maksud Ibu, kan?"
"Tantra selalu baik, Bu."
"Juga romantis?"Tia mengerling.
Pipi Nada bersemu merah seketika. Kalau yang satu itu jangan ditanya! Tantra sering memberinya kejutan yang tak disangka-sangka. Termasuk kejutan ketika dirinya dilanda curiga.
Tia menyimpan tawa dalam hati. Ia tak mau lagi menyalahkan putri sulungnya karena menikah dengan pemuda kemarin sore. Walaupun jujur, ia penasaran dengan cara suami belia, menantunya itu merayu sehingga Nada menyerah tanpa syarat.
Sebaliknya Nada, setiap teringat kembali malam penyebab lahirnya Arsya membuatnya malu bukan kepalang.


"Cobalah pahami posisi istrimu, "kali ini giliran Cakra menemani sulungnya.
"Ayah, aku sudah mencoba, "tukas Tantra, "tapi aku belum siap dengan semua ini."
Cakra mengerutkan kening. "Belum siap katamu? Kalau begitu, mengapa kamu hamili istrimu kalau belum mau punya anak?"
"Ayah, mana aku tahu kalau akhirnya Nada hamil?"
Mendengar jawaban Tantra, mengertilah Cakra bahwa sebenarnya putranya itu masih ingin berbulan madu lebih lama. Dasar masih muda. Diam-diam laki-laki empat puluh tujuh tahun itu jatuh iba kepada menantunya. Pastilah Nada banyak mengalah dan membujuk-bujuk suami yang lebih pantas menjadi adiknya itu kalau sedang uring-uringan.

Sabtu, 10 Desember 2011

Di Arung Jeram Cinta

Mungkin benar kata orang bahwa sebaiknya perempuan menikah dengan laki-laki yang berusia lebih tua dan bukan sebaliknya. Alasannya, biar bagaimanapun dewasanya seorang laki-laki, dia tetap saja mau menangnya sendiri. Yang lebih tua, seumuran bapak mertuanya saja kadang-kadang tukang ngotot, enggan mengalah, apalagi yang ini.
Nada menghela napas perlahan. Benar, kata orang tuanya dulu, tujuh tahun bukan selisih yang sedikit.
Wanita itu merasa Tantra telah berubah. Ia heran padahal dulu suaminya tidak seperti itu. Sekarang Tantra seolah-olah tak mau tahu bahwa istrinya sudah kepayahan mengurus anak dan segala tetek bengek urusan rumah tangga. Tantra, suaminya mau menangnya sendiri.


Randy memang nekat. Belum lama ia mengenal Nila tetapi sudah bertekad bulat menikahi gadis itu. Gayung pun bersambut karena kebetulan Nila tipe gadis yang tidak suka berpacaran (takut kebablasan, begitu katanya).
Pasangan serasi. Mereka sebaya dan untungnya Randy lahir dua bulan lebih awal.
Randy tahu seharusnya ia bersyukur mendapatkan istri yang begitu taat. Ia tahu sangat tidak pantas kalau ia membanding-bandingkan istrinya yang berpostur pendek dan kurang pandai berdandan itu dengan gadis-gadis dan para wanita yang berpapasan bahkan satu ruangan di kantor.
Tetapi... Nila memang benar-benar membosankan.

Minggu, 04 Desember 2011

Di Arung Jeram Cinta

Kesibukan mengurus bayi dan rumah tangga membuat Nada nyaris tak sempat memperhatikan penampilannya lagi. Akhir-akhir ini wanita itu semakin tampak awut-awutan, setidak-tidaknya begitulah dalam pandangan Tantra.
Malam itu, dengan mata stengah terpejam, Nada mengambilkan segelas air putih dan sepiring kacang goreng yang diminta suaminya. Hari ini seharian Arsya rewel dan ia belum beristirahat sedetik pun.
"Arsya sudah tidur?"
Nada mengangguk. "Mas mau makan malam? Biar sayurnya aku panaskan dulu."
Tantra menggeleng. "Tidak, tapi aku ingin kita bicara, duduklah, "laki-laki muda itu menepuk sebelah tempat duduknya.
Meskipun heran, Nada menurut.

Afna menarik napas panjang mendengar cerita anak sulungnya. Wanita setengah baya itu sudah dapat menangkap kejenuhan dalam diri putranya. Dulu, beberapa hari sebelum pernikahan, Cakra pernah menyatakan keraguan itu.
"Bu, anak kita umurnya berapa dan calon istrinya berapa?"
Afna yang sedang memasang taplak meja ruang tamu menghentikan kegiatannya dan menoleh. "Kenapa, Yah? Apa karena calon menantu kita lebih tua usianya dibanding anak kita?"
Cakra mengangguk. "Tujuh tahun itu bukan selisih yang sedikit, Bu."
"Memang, Pak, tapi Ibu yakin kalau Tantra bisa jadi imam yang baik."
"Kalau istrinya tidak bisa jadi makmum yang baik?"
"Ah, Ayah terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti."


"Bu...."
Afna tersentak. Ah, rupanya ia melamun.
"Kalau aku perhatikan Nada tidak seperti dulu lagi."
"Tidak seperti dulu lagi bagaimana maksudmu, Nak?"
"Dia terlalu sibuk mengurus Arsya sampai-sampai waktu giliranku, dia tinggal mengantuknya saja."
"Lalu maumu apa, Tantra? Mengurus anak itu tidak mudah dan memang melelahkan. Belum lagi urusan pekerjaan rumah tangga yang seperti tidak habis-habisnya...atau jangan-jangan...."
"Jangan-jangan apa, Bu?"Tantra terkejut melihat tatapan ibunya yang penuh selidik.
"Jangan-jangan kamu menyesal sudah menikahinya."
"Menyesal?"
"Ya, sekarang baru kamu sadar kalau ternyata Nada terlalu tua untukmu. Mungkin kamu merasa kalian tidak sezaman karena itu Nada berubah. Tapi itu hanya perasaanmu."
"Perasaanku? Ibu, aku tidak mengerti."
"Nada tidak berubah, ia statis. Kamulah yang berubah apalagi kamu banyak menghabiskan waktu di luar rumah."
Mendengar penuturan ibunya yang panjang lebar itu, Tantra terpekur.

Di Arung Jeram Cinta

Ternyata Rafa, gadis yang nekat dan suka mencampuri urusan dapur orang lain itu kembali datang. Tetapi, kali ini ia tidak sendiri. Ada yang menemaninya dan hal itu membuat Danar semakin gusar.
Bagaimana mungkin ia bisa melupakan kakak beradik pembawa naas bagi hidupnya ini? Sampai saat ini ia masih memendam kesumat karena Rafa pernah menendang bisulnya sampai pecah dan Tantra yang menendang dadanya sampai dua hari dua malam sesak napasnya. Tetapi kesumat itu lebih-lebih terhadap Tantra yang nyata-nyata telah memperistri mantan tunangannya.
"Ada apa lagi?"Danar berdiri di depan rumah sambil bertolak pinggang. "Kalian ini mengganggu jam istirahat orang. Apa, kalian tidak tahu sekarang jam berapa?"
"Mana ada orang tidur jam tujuh malam, kalau bukan bayi, "sahut Rafa sinis. "Memangnya kamu bayi, bayi raksasa?"
Bagi Tantra, ucapan adiknya sungguh lucu dan ia pun tertawa. Rafa mencubit lengan kakaknya perlahan memberi kode.
Tantra mengentikan tawanya dan segera memasang tampang serius. "Danar, kalau kau belum becus jadi suami, sebaiknya ikut pelatihan dulu."
"Sialan! Jangan menghinaku! Kamu cuma anak bau kencur yang sok tua!" Danar tampak sangat geram.
Tantra mengangkat bahu. "Terserah, "katanya, "tapi yang jelas, sampai detik ini aku belum pernah menjadikan istriku sansak tinju."
"Istri harus menurut suami. Kalau tidak menurut atau bersalah, dia layak dapat hukuman."
"Sampai seperti itu?"Tantra menunjuk Lisa yang duduk didampingi Rafa. "Kami akan membawanya ke dokter sekarang juga."
"Aku tidak akan mengizinkan kalian. Dia istriku."
"Siapa yang minta izinmu?" selesai berkata, Tantra berpaling ke arah adiknya, "Antar Mbak Lisa naik ke taksi."
"Iya, Mas. Ayo, Mbak, pelan-pelan saja."
"Tapi...,"Lisa memandang takut ke arah suaminya yang jelas-jelas melontarkan tatapan penuh ancaman. "Aku tidak mau merepotkan. Lagipula lukaku ini tidak seberapa, cuma memar kecil."
Tantra menghampiri wanita sebaya istrinya itu. "Mbak, kau tidak boleh terus begini. Jangan menyerah pada keadaan. Sekarang, kau harus mau untuk sembuh."
Lisa tampak ragu-ragu.
"Jangan takut, percayalah pada kami."
Perlahan wanita itu pun mengangguk. "Terima kasih, Dik."
Tanpa berkata-kata lagi, Rafa memapah Lisa. Tantra pun mengikuti.
"Tunggu!" Danar hendak menarik tangan istrinya tetapi Tantra lebih cepat. Ia sudah lebih dulu mengait kaki Danar sehingga laki-laki itu jatuh dan terjengkang tepat di bantalan sofa yang belum dipasang.


Masih terngiang-ngiang diagnosis dokter Ratih. Diagnosis yang sangat mengerikan dan seolah-olah melempar Danar ke jurang yang curam, pekat, dan sepi.
" Mas, belum tidur?"
Danar tersentak. Ia pun menoleh."Kau sudah bangun? Mau minum?"
Lisa menggeleng sambil tak lupa menghidangkan seulas senyum. "Mas, maafkan aku, sudah membuatmu sedih dan kecewa."
Danar tercengang. Demi Allah! Bicara apa istrinya ini?! "Kenapa kauberkata seperti itu?"
"Sebenarnya sudah lama aku merasa kalau pada akhirnya dokter akan mengatakan hal itu. Tapi aku diam saja, aku tidak mau menyusahkan Mas."
Danar tertegun. Teringat hari-hari yang dilewatinya bersama Lisa. Seingatnya belum pernah sekalipun ia memperlakukan istrinya itu dengan tutur kata dan sikap lemah lembut.
Lisa terkejut. Tiba-tiba Danar menutupi wajahnya dengan bahu terguncang-guncang.

Jumat, 02 Desember 2011

Noda

Jerat cinta menguak malu di remang sunyi
Kala kegelapan mengaitkan warnanya pada sepi
Hanya sekilas bimbang mendekati
Lalu semuanya hilang terbang bagai tak berarti

Cinta menjala kisi-kisi hati
Melumatnya habis menggelepar dalam diri
Ribuan bintang serentak bersembunyi
Sementara rembulan pun bergegas pergi

Malam percikkan noda di remang sunyi
Mencabik-cabik jiwa yang tiada lagi berseri
Tinggallah kegelapan berteman sepi
Memandangi sekeping hati menangis sesali diri