Selasa, 18 Maret 2014

Di Arung Jeram Cinta

Banu tampak kalut. Tidak ada yang dapat ia lakukan kecuali duduk termenung di ruang tengah tanpa Meyra. Ya, tanpa Meyra. Sebab, sejak pertengkaran enam jam yang lalu itu, istrinya belum menampakkan batang hidungnya. Banu juga tidak mau mengalah karena ia masih marah dengan sikap istrinya yang tidak menyenangkan kepada Danar. Malah ia masih teringat pertengkaran dengan istrinya beberapa jam yang lalu.
"Meyra, kau ini kenapa?"
"Tidak apa-apa."

"Tapi, sikapmu kepada tamu kita, kau tahu itu tidak pantas."
Meyra menatap Banu kesal.
"Apa alasanmu, Meyra?"
"Aku tidak punya alasan apa-apa."
"Kau pasti bohong!"
"Aku tidak bohong."
"Ya, kau bohong."
"Tidak!"
"Ya!"
"Tidak!"
"Ya!"
Banu terperangah. Belum pernah ia melihat Meyra begitu marah. Selama ini begitu lemah lembut bahkan cenderung rapuh. Sambil bertolak pinggang, wanita berdiri tegak, menatap suaminya tepat pada pupil matanya yang coklat muda.
"Baiklah, aku akan jujur. Aku benci orang itu! Benci sampai ke urat darah dan nadi, juga setiap detak jantungku! Puas?!"
Banu menahan diri untuk tidak menampar apalagi memukul istrinya. "Kau terlalu!"hardiknya, "Danar sudah banyak membantu kita."
"Kalau begitu kembalikan semuanya! Aku tidak pernah memintanya!"
"Kau sombong, Meyra!"
"Kenapa kau lebih membela orang itu daripada aku, istrimu sendiri, Banu? Lalu apa artinya aku untukmu?"
Banu menyipitkan matanya. "Kau tanyakan itu padaku? Kenapa tidak kamu jawab sendiri? Apa artinya aku bagi dirimu? Apa selama kauanggap aku ini suamimu? Atau cuma anak kos?"
"Kk...kau ti..tidak ta...tahu..., "terbata-bata Meyra tetapi Banu tak mau mendengar lagi, ia keluar kamar sambil membanting pintu.



Di Arung Jeram Cinta

Suasana pagi itu benar-benar menegangkan. Semula Banu berharap kedatangan Danar, rekan kerjanya akan membawa keberuntungan bagi usahanya tetapi hanya karena sikap Meyar yang ketus semuanya menjadi  sia-sia.
Banu benar-benar tidak dapat memahami sikap istrinya yang tidak seperti biasanya. Meyra melihat Danar seperti sedang menghadapi musuh nomor satu. Aneh sekali, padahal seingat Banu, Meyra belum pernah bertemu apalagi mengenal Danar.
Tentu saja Banu tidak tahu atau tepatnya belum tahu. Tidak ada yang menceritakan kejadian tragis yang menimpa Meyra beberapa tahun yang lalu itu karena gadis itu sendiri yang melarangnya. Banu tentu sudah tahu kejadian itu tetapi tidak tahu orang yang melakukannya.
"Meyra!"
Danar memberi isyarat agar Banu tidak mengejar istrinya yang berjalan cepat menuju kamar.
Banu terduduk. "Maaf, "katanya.
Danar tersenyum tipis.

Sementara itu Meyra duduk di tepi tempat tidur dengan pikiran kalut. Kenapa aku harus melihatnya lagi? Padahal aku sudah berusaha keras supaya bisa melupakan peristiwa itu. Bahkan karena peristiwa itu, aku takut menikah. Meskipun suamiku begitu baik dan mencintaiku, aku masih trauma. Wanita itu menekuri petak-petak lantai.


Meyra tersentak.Pintu kamar terbuka. Tidak seperti biasanya Banu, suaminya tampak menahan marah.