Minggu, 21 November 2010

Di Arung Jeram Cinta

Tia menggeleng-gelengkan kepala. Wanita menjelang setengah abad itu menatap anak sulungnya dalam-dalam, seolah-olah tidak percaya bahwa anak gadisnya memilih pemuda ingusan untuk menjadi pendamping hidupnya. Anak gadisnya yang nyaris merayakan hari lahirnya yang ketiga puluh!
"Pernikahan bukan barang mainan, Nada, "ujar Tia sambil menoleh ke arah suaminya."Bukan waktunya bercanda."
"Ibumu benar, "sela Arman, sang ayah. "Anak itu pasti masih suka pacaran sana-sini, berapa umurnya tadi katamu?"
"Dua puluh dua, itu pun masih lima bulan lagi, "sahut Tia, "Masya Allah, bahkan dua puluh lima saja belum."
Nada diam saja. Ia sudah mengira bahwa seperti inilah reaksi ayah ibunya. Ia mengerti benar kekhawatiran keduanya, mereka tidak mau anak gadis mereka cuma menjadi bahan mainan pemuda yang belum becus mengusap ingusnya sendiri itu.
Tetapi, jujur, Nada sendiri tidak mengerti mengapa ia mengangguk saja ketika ayah Tantra menyampaikan lamaran atas nama putra sulungnya itu. Benarkah ia sungguh-sungguh mencintai pemuda yang lebih pantas menjadi adiknya itu? Apakah bukan karena mengejar umur, kemudian dirinya asal saja menerima pinangan yang datang lebih dulu?
"Ibu tahu, hatimu masih terluka atas kejadian dua tahun yang lalu itu, "ujar Tia lembut, "Tapi bukan begini caranya."
"Banyak gadis yang menikah di atas tiga puluh, "Arman menyambung, "Kamu tidak usah tergesa-gesa, Nada."
Nada menegakkan tubuhnya dan memandang ayah ibunya silih berganti. "Bu, saya menerima lamaran Tantra bukan karena mencari pelarian...."
"Lalu?"ayah dan ibunya bertanya serentak.
"Saya memang mencintainya. Dia memang jauh lebih muda, tetapi...."
"Tetapi apa, Nak?"Tia benar-benar penasaran. Ia tidak habis pikir bagaimana mungkin putri sematawayangnya berganti selera. Bukankah sebelumnya Nada lebih memilih pria dewasa yang sudah mapan?
"Saya melihat ada sesuatu yang lain di dalam dirinya. Mungkin itu yang membuatku yakin menikah dengannya."
Tetapi baik Tia maupun Arman belum putus asa. Mereka masih berusaha supaya Nada membatalkan penerimaan lamaran itu. Kali ini Arman yang maju lebih dulu. "Nada, bagaimana kalau Tantra hanya baik pada awal pernikahan kalian saja? Setelah ia menyadari kalau kau lebih pantas jadi kakaknya, dia akan mencari gadis yang lebih muda...."
"Atau kamu memang sudah siap dimadu?"Tia bertanya dengan nada tajam.
Tentu saja Nada tercengang. Kok jadi masalah madu?
"Ibu tidak sudi anak gadis Ibu disia-siakan, "Tia melanjutkan dengan suara berapi-api. Lalu menatap suaminya tajam, "Bapak juga jangan coba-coba bertingkah! Ingat umur, Pak!"
Arman sampai menggeser duduknya karena wajahnya ditunjuk-tunjuk sang istri dengan sengit. "Lho, Bu, kok marahnya pindah ke Bapak?"
Tia menurunkan tangannya. Meskipun tampak malu, ia masih berlagak marah, "Pokoknya jangan sampai ada madu-maduan dalam keluarga kita, titik!"
"Kalau madu asli, boleh?"
Ketiga manusia itu langsung menoleh ke sumber suara.
Banu meringis dan langsung mendapat kiriman rudal guling dari ibunya.Pemuda itu tersenyum menghampiri orang tua dan kakaknya. Sebenarnya sudah sepuluh menit ia berdiri di depan pintu kamar kakaknya yang terbuka.
Besok lusa, undangan akan dicetak. Banu melirik kakaknya yang tampak murung. Ada apa? Apakah Mbak Nada berubah pikiran? tanya hatinya.

Tidak ada komentar: