Rabu, 03 Oktober 2012

Renungan Bayang Pelangi

 Hari ini adalah hari kelahiran kakakku semata wayang. Aku selalu teringat masa-masa kami tumbuh bersama. Mulai dari senyum, tawa, canda, pertengkaran, bahkan baku hantam ala kanak-kanak semuanya masih terbayang di pelupuk mataku. Kini semuanya menjelma menjadi kenangan indah.
Kami tak lagi bersama. Maklumlah kami sudah sama-sama dewasa dengan pilihan kehidupan yang berbeda.
Semoga kakakku selalu sehat, sukses, dan bahagia selalu. Semoga menjadi suami dan ayah yang penuh tanggung jawab, menyayangi dan disayangi keluarga. Amin.

Di Arung Jeram Cinta

Sekilas kepahitan yang terjadi pada masa lalu ternyata dapat membuat seseorang menjadi tertutup. Mungkin saja sekilas bagi orang lain, tetapi tidak bagi penderita. Tak perduli kejadian itu telah lama berlalu dan hampir semua orang melupakannya.
Banu berusaha memahami perasaan Meyra. Sudah hampir sebulan mereka resmi dalam ikatan pernikahan, tetapi istrinya itu cenderung diam. Diam dalam banyak arti. Meyra tidak akan tersenyum apalagi tertawa kalau Banu tidak mencandainya lebih dulu. Meyra tidak akan memulai percakapan sebelum suaminya itu mengajaknya berbicara lebih dulu. Meyra tidak akan....
Ah! Banu menghela napas panjang. Ia memperhatikan istrinya yang sedang memasang sprei. Meyra begitu cantik dalam balutan gaun tidur jingga berpita ungu bagian lengan. Rambutnya yang mencapai pundak dibiarkan tergerai.
"Meyra...."
Meyra menghentikan aktivitasnya dan menoleh.



Wanita itu tiba-tiba datang. Danar tak pernah melihatnya apalagi mengenalnya. Sungguh, ia tak menyangka kedatangan wanita itu akan membuatnya semakin terpuruk dalam penyesalan yang tak kunjung sirna. Betapa ia dulu sering menyakiti istrinya lahir batin.
Masih terbayang jelas di pelupuk matanya, ketika Lisa berusaha membuatnya tidak marah dengan memasak nasi goreng hongkong favoritnya. Tetapi tetap saja ia tidak mau tahu dan mencari-cari alasan agar dapat menyalahkan istrinya.
"Bagaimana rasanya, Mas?"tanya Lisa memandang suaminya harap-harap cemas.
Danar memasang tampang tak acuh. Ia kembali menyuap sesendok nasi ke dalam mulutnya.
Lisa menunggu dengan sabar. Wanita itu bersyukur dalam hati karena suaminya tampak sangat menikmati masakannya hari ini.
Praang!
Keduanya sama-sama terkejut. Lebih-lebih Lisa. Wajahnya memucat dan tubuhnya gemetar ketakutan. Gelas kristal yang baru dibeli  Danar telah berkeping-keping.
Danar langsung bangkit dari singgasana bagai harimau murka. Tanpa belas kasihan ia melayangkan tangan kekarnya ke wajah istrinya.
"Apa kamu mau ganti gelas ini, hah? Kamu tahu berapa harganya?!"
Lisa menunduk. "Maafkan saya, Mas...."
"Selalu cuma itu yang kamu bisa! Dasar tidak berguna!"
"Mungkin saya bisa ambil dari tabungan...."
Belum selesai Lisa berbicara, Danar sudah melotot. "Apa katamu? Tabungan?"
"Iya, Mas...."
"Jadi diam-diam kamu sudah bohong, ya?"Danar mencengkeram lengan istrinya kasar.
....
"Lisa menitipkan surat ini lewat saya, "wanita itu membuyarkan Danar dari lamunan masa lalu. 
"Apa ini?" tanya Danar sambil menerima bungkusan mungil hijau pastel berbentuk persegi.
Aaargh! Ingin rasanya Danar berteriak sekeras-kerasnya untuk dapat menghapus bayangan itu.