Jumat, 13 Juni 2008

Antologi Puisi Istimewa (I)


Pelajaran Menggambar


Jam ketiga pelajaran menggambar
Tiba-tiba saja ada yang bergejolak
di dalam perutku
Selalu saja pencernaanku tak beres
jika harus menjalani pelajaran ini
Bagaimana tidak?
Aku memang tak pandai menggambar
selain gunung dan sawah
Dan sekarang Bu Guru menyuruh kami menggambar
sehelai daun
Daun apa? Kalau daun jendela, bolehlah.
Jadi kugambar saja daun jendela
Tapi akibatnya, aku harus berdiri di depan kelas
sampai bel istirahat berbunyi


Handphone Petaka

Aku tidak berani pulang....
Bu Guru yang galak itu merampas hp yang kubawa dan ia simpan di dalam tas
aku pun tak berani memintanya karena beliau pasti akan mengintoregasiku bertubi-tubi
seperti polisi sedang menangkap
maling ayam
Ada juga sebab yang lain,
kemarin temanku mengirimkan gambar seorang bule
sedang berjemur di Pantai Kuta
Ah, dasar nasib sedang sial
Bagaimana ini? Aku tak berani pulang
aku juga tak mungkin menginap di sekolah
Hp itu milik kakakku. Ia pasti akan mengomel panjang lebar
jika tahu hpnya raib
Aku tinggal menunggu nasib
Besok pasti ada surat panggilan untuk orangtuaku
Ah, kenapa tidak kuhapus saja gambar itu


Sebutir Permen dan Kupu-Kupu

Permen kesukaanku
itu hanya tinggal sebutir
Aku menatap bungkus plastik itu tak percaya
Mataku masih terbelalak
Aku ingat benar, aku masih ingat
kemarin permen itu masih utuh sepuluh butir
Aku berusaha menghibur diri
Tak mengapa, toh masih ada satu
Satu dan nol bukankah sepuluh
Kalau nolnya hilang jadi tinggal satu
berarti aku tidak terlalu rugi
mungkin juga aku yang lupa
atau tak sadar menikmati sembilan butir lainnya
saat membaca buku atau menulis tugas
kubuka bungkus permen itu
tiba-tiba....
bungkus permen itu terbang melayang bagai kupu-kupu
aku berlari mengejar
tapi kupu-kupu itu seolah-olah mengejekku
aku tak sanggup menangkapnya
tapi....
aku tak akan menyerah
walaupun aku harus terus berlari
sampai tiba batas waktuku


Catatan: Antologi puisi ini merupakan kumpulan sajak saya yang tidak seperti biasanya. Ada seorang penyair Malaysia yang mengomentari gaya puisi saya yang kebanyakan memang memiliki rima teratur, kadang-kadang terdapat pula efoni, kakofoni, aliterasi, dan asonansi. Ia mengira saya masih mencintai puisi lama semacam syair. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Jujur saja, saya memang merasa lebih mudah mengarang puisi bersajak teratur. Mengarang puisi bersajak bebas atau tidak teratur memaksa saya untuk merenung lebih lama dibanding berkarya dengan puisi bersajak teratur.





Tidak ada komentar: