Ara tersenyum geli mendengar cerita Tantra dan Nada tentang dua gadis remaja yang salah menduga itu. Wanita itu tidak heran sedikit pun kalau banyak orang yang salah menerka status sepasang suami istri itu.
"Aneh juga, kenapa mereka kira kamu janda, Mbak?"Tantra memandang Nada dengan wajah terheran-heran. Malam itu istrinya mengenakan daster putih tulang berhias sulaman berbentuk rerumputan di bagian dada. Rambutnya yang sepundak diikat satu dengan jepit berwarna keemasan.
"Tentu saja, "sahut Nada. Wajahku kan kelihatan jauh lebih tua, ditambah lagi perutku yang besar ini."
"Anak seusia mereka memang masih punya pikiran kalau jodoh itu usianya pasti sebaya, "sela Ara. "Oh ya, omong-omong kapan kamu melahirkan, Nada?"
"InsyaAllah, bulan depan, Tante."
"Sudah beli keperluan untuk bayi kalian?"
"Sudah, Tante, "kali ini Tantra yang menjawab. "Menurut Tante, kelambu boksnya warna apa, ya?"
Ara tersenyum. "Kamu menyindir, ya?"tukasnya dengan nada bercanda. "Tante kan belum pernah punya anak."
Tantra jadi merasa tidak enak. Ia meraih tangan bibinya. "Maaf, Tantra tidak bermaksud menyindir apalagi menyinggung perasaan Tante, "katanya.
"Benar, Tante, "Nada menimpali. "Mas Tantra percaya kalau Tante bisa memilihkan warna kelambu boks yang tepat."
"Sudahlah, Tante tidak apa-apa, "Ara menepuk punggung tangan kemenakannya. "Tante cuma bercanda." Wanita itu menghela napas perlahan. "Selama ini Tante selalu berusaha mensyukuri apapun yang Allah berikan."
Rupanya benar kata-kata Ayah dulu, ujar Tantra dalam hati. Tante Ara adik Ayah yang paling berat cobaannya, tetapi justru paling tabah di antara saudara-saudaranya.
Nada membuka tutup saji kecil. Tampak sepiring lumpia semarang lengkap dengan saus dan daun bawang berjejer di piring bundar putih di atas meja ruang tengah itu. "Mas, ini buatan Tante, lho. Lumpia semarang kan kesukaan Mas."
"Kenapa bukan buatan Mbak?"Tantra pura-pura merajuk. "Kalau buatan Tante sudah pasti enak."
"Sabar, yang ini buatanku, "Nada membuka tisu yang menutupi piring kecil. Ternyata isinya lima potong lumpia dan para pendampingnya. Hanya saja bentuknya terlihat lain.
"Kok beda?"Tantra tercengang melihat bentuk lima sekawan lumpia imut yang persegi.
"Aku salah ambil, itu kulit pangsit."
"Ha? Kenapa digoreng juga?"
"Kan baru coba-coba. Ayo, dimakan, kalau tidak aku marah."
"Lho, kok jadinya ngancam?"
Kembali Ara mengulum senyum geli melihat canda suami istri itu. Sayang, besok ia sudah harus pulang padahal sebenarnya ia masih betah berlama-lama dengan kemenakan dan istrinya.
"Kau benar-benar tidak memikirkan perasaan orang, "geram Randy menahan marah. Saat itu keduanya duduk di depan paviliyun tempat Lisa dirawat. "Rupanya tidak cukup kamu sakiti adikku, istrimu sendiri, lalu masih juga cari korban lain."
Danar menunduk. "Waktu itu aku memang dikuasai nafsu amarah yang luar biasa, "ujarnya lirih. "Aku menyesal."
"Aku yakin kau tidak segera menyesal setelah melakukannya, "tukas Randy sinis. "Bahkan bisa jadi kau punya pikiran akan mengulanginya lagi."
"Tapi aku tidak melakukannya."
"Ya, karena kamu kaget dengan kemunculan istrimu yang tiba-tiba. Jadi, kamu tak sempat lagi mengurusi gadis itu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar