Sabtu, 02 April 2011

Di Arung Jeram Cinta

Ara wanita anggun namun cekatan. Beberapa tahun lagi usianya genap empat puluh. Cakra benar-benar prihatin akan nasib adiknya yang satu ini. Bagaimana tidak, dari enam bersaudara, empat sudah menikah, tinggal Ara dan si Bungsu yang baru diwisuda dua bulan yang lalu. Sebagai kakak sulung, laki-laki pula, ia bertanggung jawab atas adik-adiknya, terutama yang perempuan dan belum berkeluarga.
Sudah dua hari Ara bermalam di rumah kakaknya. Maklum sudah hampir setahun tidak bertemu, tentu saja kakak beradik itu ingin melepas rindu.
"Mas, ini roti kukus buatanku, "ujar Ara meletakkan sepiring roti kukus yang masih hangat di meja ruang tengah.
"Dik Ara ternyata jago masak, "sela Afna yang mengikuti di belakangnya. Ia membawa nampan berisi tiga cangkir kopi susu panas.
"Wah, kemajuan kalau begitu. Dulu bisanya cuma buat telur mata sapi. Itu juga sering gosong, "Cakra menimpali dengan iseng.
Ara pura-pura membelalak marah. Afna tersenyum simpul.


Pagi, pukul 07.00 di depan kamar.
Tantra terdiam. Ia memaklumi istrinya yang sedang marah.
"Kau tidak pernah menceritakannya kepadaku."
"Apakah itu perlu?"
Nada menatap suaminya tajam. "Jadi kauanggap itu tidak perlu?"
"Apa yang harus kuceritakan? Tentang aku yang nyaris berciuman dengan seorang gadis, sementara istriku tercinta menunggu di rumah dengan setia? Begitu?"
"Maaf..., "suara Nada melunak.
"Mbak, aku tak ingin menyakiti hatimu."
Nada mendongak berusaha mengamati wajah suaminya dengan saksama. Sampai detik ini ia masih tak habis pikir mengapa Tantra lebih memilih dirinya dibanding puluhan gadis cantik dan seksi yang mengantri untuk mendapatkan cintanya. Jujur, tak jarang pula ada rasa takut menyelimuti hatinya.
"Meyra cantik."
Tantra terkejut. Apa maksud istrinya berkata seperti itu?
"Dia juga baik, "Nada melanjutkan ucapannya. "Aku tidak keberatan kalau dia jadi teman kita dan tinggal bersama ki...."
"Cukup!"
Nada terlonjak. Terkejut bukan kepalang dengan hardikan suaminya yang menggelegar. Tubuhnya yang mungil nyaris terlempar.
Tantra meraih istrinya dengan perasaan bersalah. "Maafkan aku, Mbak."
"Mas, kalau...."
Tantra meletakkan telunjuknya di bibir istrinya. Wanita itu mengurungkan niatnya untuk berkata-kata lagi.

Tidak ada komentar: