Semua telah terjadi. Herman hanya berharap adiknya tetap tegar dan melupakan kejadian yang merusak masa depannya itu. Apalagi Meyra melarang kakaknya untuk balas dendam sebab gadis itu sudah tak mau lagi melihat Danar.
"Mau Mas antar?"tanya Herman melihat Meyra menghitung uang di dompetnya.
"Mas kan harus jaga depot?"
"Kan bukanya jam delapan, masih satu jam lagi."
"Iya, biar saja masmu yang antar, Dik, "sela Asri yang baru membeli sayuran dari warung sebelah.
Meyra mengangguk. "Iya, Mbak."
Saat mengambil kunci motor dari laci meja di ruang tengah, mendadak Herman teringat sesuatu. Ia berpaling ke arah adiknya. "Meyra..., "panggilnya. Wajah pria itu tampak ragu-ragu.
"Iya, Mas?"
"Mas pikir sebaiknya kamu periksa ke dokter."
Meyra mengerutkan kening. "Untuk apa, Mas?"
"Ya... biar tahu apa kamu...."Herman terdiam. Jelas sekali adiknya menatapnya dengan pandang marah dan sorot terluka.
"Tidak perlu!"jerit gadis itu murka. "Tidak usah ke dokter! Aku tahu, Mas! Aku tahu kalau aku sudah kotor! Apa Mas malu punya adik seperti aku? Mas menyesal kenapa aku tidak bunuh diri saja sekalian waktu itu?!"
Asri meraih tangan iparnya lembut. "Dik, bukan itu maksud Mas Herman."
"Lalu apa, Mbak?"Meyra memasang tampang kacau balau. "Mana ada saudara yang bangga dengan saudaranya yang seperti aku? Bahkan Mas Herman yang selama ini begitu sayang padaku ternyata...."
"Maafkan Mas, Dik, "Herman meraih adiknya ke dalam pelukan. "Maafkan, "bisiknya parau berselimut haru.
Meyra menyandarkan kepalanya ke dada kakaknya dan memejamkan matanya. Ia merasa nyaman di sana.
Herman merasa kemejanya basah oleh air mata. Sementara Asri menyaksikan semuanya dengan air mata berlinang-linang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar