Sebenarnya sudah berminggu-minggu Meyra gelisah. Ada sesuatu yang dipendamnya. Tentu saja ia ingin sekali mengungkapkan kegalauannya itu kepada kakak atau kakak iparnya tetapi ia harus berpikir seribu kali untuk melakukannya. Gadis itu menyadari benar bahwa ia akan menyampaikan sesuatu yang dapat saja menimbulkan korban. Bagaimana kalau kakaknya mendapat serangan jantung mendadak? Ia tidak menginginkan kakak iparnya menjadi janda dan ketiga kemenakan menjadi yatim dengan tragis. Tidak, ia tidak mau membuat kakaknya bersedih. Biarlah, ia menanggung semuanya seorang diri. Tidak seorang pun boleh tahu yang telah menimpanya, apalagi kakaknya.
Gadis itu beranjak dari meja belajarnya dengan malas. Pukul 08.00, waktunya ia pergi ke kampus.
Herman mengerutkan kening. Jelas, pria itu tidak memercayai pengakuan dosa laki-laki yang duduk di hadapannya ini. Tetapi, tampaknya Danar tidak main-main, ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Ma...maksudmu kamu...."
"Maafkan aku, aku khilaf...."
Kedua tangan Herman mengepal gemetar menahan amarah yang membara.
"Aku tahu kau marah sekali kepadaku."
"Ya, aku bahkan ingin kau segera membusuk di neraka!"seru Herman menuding Danar dengan geram. "Aku tidak sangka sedikitpun kamu tega melakukannya!"
Danar tidak membalas tatapan tajam dan tudingan temannya. Ia memilih diam karena tahu bahwa ia memang bersalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar