Nada memutuskan pulang malam itu juga. Ibu selalu emosional akibatnya masalah menjadi semakin runyam. Nada tidak mungkin mengharapkan bantuan ayahnya. Beliau sibuk mengurus bisnis di luar kota. Banu? Apalagi dia. Adik satu-satunya itu paling-paling akan berkata, "Sabar, Mbak. Tantra kan masih muda." Membayangkan hal itu, Nada menyerah, lebih ia pulang.
"Aku pulang saja, Bu."
"Besok saja, Nada, sekarang sudah malam."
Nada menggeleng. "Mestinya aku tetap di rumah, Bu, menunggu suami pulang."
Tia melotot. "Eh, apa-apaan kamu ini? Kalau dia boleh seenaknya keluar rumah, masa kamu tidak? Suami macam apa itu?"
"Bu, Nada yakin sebenarnya Ibu juga tidak mau kalau aku sampai jadi janda...."
"Tunggu, "Tia mengerutkan dahi. "Maksudmu, dia mau ceraikan kamu?"
Lagi-lagi Nada mendesah.
Cakra dan Afan berpandangan. Si Sulung memang keras kepala. Tantra menolak untuk menjemput istrinya.
"Yang kamu lihat itu belum tentu benar, "ujar Afna. "Ibu yakin istrimu hanya gembira bertemu teman lamanya."
Ya, dan kelihatannya itu cinta pertamanya, tukas Tantra dalam hati. Lihat saja, sampai pegang tangan segala!
"Kamu harus jemput istrimu lalu ajak dia pulang, "Cakra menimpali.
"Memang dia belum tahu jalan pulang?"tukas Tantra.
Afna menarik napas panjang. "Kamu suaminya. Sudah seharusnya kamu melindungi istrimu dan menjaga perasaannya. Bukan malah sebaliknya. Apalagi istrimu sedang hamil tua."
"Ibumu benar, Tantra. Sebentar lagi kamu akan jadi ayah. Apa kamu tidak merasa sayang dan kasihan membayangkan istrimu berdiri di tepi jalan menghentikan angkot, sementara berjalan saja sudah kepayahan karena perutnya yang besar?"
"Kan dia yang hamil, kenapa aku harus ikut susah?"
Afna melotot. Cakra menghela napas.
"Yang hamil memang istrimu, "sahut Cakra menahan jengkel. "Tapi siapa penanam sahamnya?"
"Sudahlah, Ayah, Ibu, "tukas Tantra. "Kalau Nada sampai hamil itu maunya sendiri. Dulu dia tidak menolak. Jadi, kenapa Ayah juga Ibu malah salahkan aku?"
Untuk kesekian kalinya sepasang orang tua itu berpandangan.
Tantra tidak mau ambil pusing. Ia beranjak dari sofa.
Tetapi....
"Mas, ada Mbak Nada, "ujar Rafa yang muncul sambil menggandeng kakak iparnya.
"Do...yang mau kangen-kangenan, "celetuk Cakra iseng. "Rafa, cepat masuk kamar! Bu, ayo kita tidur. Besok Ayah kan harus ke kantor pagi-pagi."
Afna beranjak sambil menerima uluran tangan suaminya. "Iya, Yah, kebetulan Ibu juga mau cepat-cepat istirahat."
Tantra menatap jengkel kedua orang tua dan adiknya yang meninggalkannya berdua dengan Nada di ruang tamu secara serentak.
"Mas...."
Tantra menoleh. Nada berdiri di hadapannya sambil melempar senyum. "Kita pulang, Mas, "ujarnya.
"Laki-laki itu yang mengantarmu?" Tantra malah balik bertanya. "Mana dia sekarang?"
"Randy maksud Mas?" Nada masih tersenyum. "Kami tidak ada hubungan apa-apa, percayalah."
Tantra tidak menjawab. Ia malah membalikkan badan hendak menuju kamar tidur.
Nada meraih tangannya. "Mas, maafkan aku karena sudah membuatmu marah dan kecewa. Mungkin Randy punya perasaan lain, aku tidak tahu. Tapi, yang jelas aku tidak."
"Tapi, kalian saling pegang tangan."
"Dia yang memegang tanganku ...tapi lalu kulepaskan."
Tantra hanya membisu.
"Baiklah, "Nada mencoba bersabar. "Tidak apa-apa kalau masih marah, tapi kita pulang sekarang, ya?"
"Kamu pulang saja sendiri, "Tantra melepaskan tangan istrinya.
"Tunggu sebentar!"
Tantra mematung.
"Aku tidak akan pulang sebelum Mas mau pulang. Kita harus pulang sama-sama, "ujar wanita itu kembali meraih tangan suaminya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu marah...."
Tiba-tiba Tantra merasakan genggaman Nada begitu hangat. Ia memutar tubuhnya dan melihat air mata menetes satu-satu di wajah wanita itu.
"Mbak, maafkan aku, "bisik pemuda itu balas menggenggam tangan istrinya.
"Alhamdulillah..., "bisik Nada lirih dengan perasaan lega bercampur bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar