Benar-benar kehidupan rumah tangga sarat sandiwara. Begitulah keadaan rumah tangga Satya dan Reni. Tinggal di dalam satu atap, tetapi nyaris tidak pernah bertemu. Kalaupun bertemu, tak pernah bertegur sapa kecuali merasa perlu.
Reni selalu menyiapkan sarapan dengan wajah masam dan Satya menyerahkan uang belanja tanpa sudi memandang istrinya. Mereka baru saling memandang jika bertengkar.
Tetapi kali ini Satya merasa tak sanggup berdiam diri. Ia teringat Avisha yang menangis dalam tidurnya.
"Apa salah Avisha?"tegur Satya sebelum berangkat ke kampus. Ia bersiap-siap mengenakan jaket. "Kenapa kamu tak pernah mau menemaninya sebentar saja?"
"Sudah aku katakan sebenarnya aku tak mau melahirkan anak pembawa sial itu, Satya, "sahut Reni meraih tas tangan di atas meja rias. "Tiga kali aku mencoba aborsi tapi selalu gagal."
Satya terbelalak. Aborsi? Ya, Allah, ia baru tahu kalau Reni pernah berniat sekejam itu!
"Itu kesalahan kita, Ren. Anak kita tidak tahu apa-apa."
"Kesalahan yang hanya sekali kita lakukan, "tukas Reni, "Tapi kamu lihat akibatnya? Penderitaan seumur hidup bagi kita."
"Kamu sebut punya anak itu penderitaan? Apa kamu tidak tahu begitu banyak pasangan yang menikah bertahun-tahun tapi belum juga dikaruniai anak?"
Reni mengibaskan tangannya dengan gaya orang sedang bosan.
Satya berjalan keluar kamar. Ia tidak mau bertengkar lagi. Ia mulai cemas jangan-jangan istrinya mengalami gangguan jiwa. Lagipula Avisha yang sudah memakai seragam dan sepatu siap menunggunya di teras.
===============================
"Sudah ada perubahan, Pak?" tanya Ibu menuangkan air putih dari teko ke dalam gelas.
"Ada, Bu. Tapi...masih versi anak kita, "jawab Bapak mengambil sepotong tempe goreng.
"Versi anak kita bagaimana maksud Bapak?" Ibu menarik kursi dan duduk.
"Salah satunya seperti ini, "Bapak menunjukkan secarik kertas dan membacanya, "Kamu masih harus banyak belajar menulis puisi. Untuk menambah wawasan, kamu bisa membaca antologi puisi saya yang memenangkan anugerah Karya Gemilang tahun lalu."
Ibu tercengang. Benar kata suaminya, komentar itu asli versi Irfan. "Heran, sudah kena batunya masih belum sadar juga."
"Memangnya pingsan? Tapi jangan khawatir, Bapak masih punya rencana lain. Bapak yakin kali ini pasti berhasil."
"Lho kok sekarang jadi Bapak yang sombong?"
"Siapa dulu istrinya?"
"Lho kok?"
Bapak tertawa sambil menerima piring yang disodorkan istrinya.
==========================================================
'Ah, mengapa kamu malu mengakui kalau puisiku ini memang bagus?'
Benar-benar menjengkelkan.
Tetapi Irfan terpaksa mengabaikan masalah itu untuk sementara waktu, Damar memanggilnya ke ruangan.
"Ini daftar juri yang harus kamu hubungi, "ujar Damar sambil menyodorkan selembar kertas.
Irfan menerimanya dan langsung membaca daftar nama yang tertera di sana. Tiba-tiba ia menemukan nama yang asing. "Tiara Mawar? Siapa dia, Mas?"
Karena tak segera mendengar jawaban, Irfan mengangkat kepala. Ia terkejut melihat pria yang lebih tua sepuluh tahun itu tampak keheranan.
"Kamu belum pernah mendengar nama Tiara Mawar?"
"Belum, Mas."
"Aneh. Padahal ketua penyair pusat yang menunjuk Mawar langsung."
Irfan tertegun. Ah, Anggrek Bulan masih misteri, sekarang muncul pula Tiara Mawar.
=========================================================
Merah padam wajah Reni. Ia benar-benar malu, malu bercampur marah. Belum pernah ada orang yang berani menasihatinya panjang lebar seperti walikelas Avisha yang berlagak banyak makan asam garam itu.
Tanpa mengucap salam maupun mohon diri, perempuan muda itu langsung menarik tangan Avisha yang sedang bermain lompat tali di halaman.
"Tas Pisa, Bu!"
"Tidak usah! Kamu tidak perlu tas itu lagi!"
"Tapi, Bu...!"
"Diam! Ayo, pulang!"
Pak Hafiz terpaku. Ia ingin menolong muridnya itu tetapi khawatir sang Ibu akan semakin marah dan melukai anaknya.
==========================================================
Aktivitas Satya sehari-hari memang luar biasa padat. Pagi sampai sore ia kuliah dan selepas asar sampai pukul delapan malam menjadi tutor di salah satu lembaga bimbingan belajar murid SMP. Akhir-akhir ini Ayah Avisha itu semakin bersemangat karena teringat kesalahannya pada masa lalu. Ia merasa sangat berdosa.
Avisha memang lahir karena kesalahan kedua orang tuanya. Pergaulan yang melewati batas dan norma agama membuat Satya dan Reni yang saat itu baru lulus SMP terjerumus. Mereka sulit menerima akibat kesalahan sendiri. Kalau Reni pernah mencoba menggugurkan kandungannya, maka Satya pernah mencoba tidak mengakui anaknya itu.
Peristiwa itu terjadi ketika Avisha masih berusia dua tahun. Satya terpaksa mengajak ke sekolah. Biasanya ibunya, Mawar adiknya,atau salah satu dari keluarga pihak Reni yang mengulurkan jasa menjaga, tetapi entah mengapa hari itu mereka sibuk. Reni? Jangan harap, sejak melahirkan Avisha sampai detik ini, belum pernah sekali pun ia menyentuh anaknya, kecuali terpaksa.
Bayangkan, remaja berseragam putih abu-abu menggendong balita ke sekolahnya? Pasti heboh jadinya. Ya, itulah yang dibayangkan Satya. Tetapi, ia tak punya pilihan dan tidak mungkin meninggalkan balita sendiri di rumah. Itulah sebabnya ia berangkat lebih awal dari biasanya. Hal itu dilakukannya supaya jati dirinya tidak terbongkar. Mana pantas murid SMA sudah menikah dan menggendong anak?
Sesampainya di taman sekolah, Satya mendudukkan Avisha di sana. Sebelum meninggalkan anaknya, ia berpesan agar si Kecil duduk manis di sana. Padahal Satya bermaksud meninggalkan anaknya itu dan bergegas menuju kelas.
Seperti tak terjadi apa-apa, remaja tujuh belas tahun itu meletakkan tas di laci dan duduk tenang.
"Siap ulangan fisika?"tanya Doni yang datang lebih dulu.
Satya menggeleng lesu. Mana mungkin ia bisa belajar kalau setiap hari selalu ada gencatan senjata?
Doni menatap teman sebangkunya itu serius. "Kulihat kamu banyak berubah."
"Berubah?"Satya terkejut. "Maksudmu?"
Doni menarik napas panjang, "Kita sudah berteman sejak SMP dan kamu tidak seperti dulu."
Satya menunduk. Ia merasa belum saatnya menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ia agak lega karena Reni tidak satu sekolah dengannya.
"Maaf, kalau aku salah bicara."
Satya tersenyum. "Ah, tidak apa-apa, "sahutnya.
Baru selesai Satya menutup mulut, tiba-tiba terdengar anak kecil menangis, "Hu...hu...Ayah....."
Satya terkesiap. Ternyata menelantarkan anak, tidak semudah dugaannya. Avisha bukan balita yang tidak tahu ke mana harus mencari ayah yang telah meninggalkannya di tempat yang asing ini. Untunglah baru satpam dan mereka bertiga yang datang.
Doni tercengang melihat seorang anak kecil bergaun ungu tertatih-tatih memasuki kelas sambil menangis. "Anak siapa. Satya?"
"Aku tidak tahu, "sahut Satya cepat.
"Tapi dia jalan ke arahmu?" Doni keheranan.
Belum sempat Satya mencari alasan, gadis kecil itu sudah menarik-narik tangannya. "Pulang, Yah...pulang...."
Sekarang Doni benar-benar terbelalak. "Dia anakmu, Satya? Kamu sudah punya anak?"
Satya tak mampu lagi mengelak. Ingin sekali ia membungkan mulut anaknya yang terus merengek-rengek minta pulang.
Untunglah Doni teman yang baik, ia berjanji akan menyimpan rahasia Satya.
"Pulang, Yah..., "Avisha merengek-rengek lagi.
Satya yang sedang menulis surat izin pulang menoleh kepada anaknya dengan kesal. "Sst, diam. Mau dipukul?"
Avisha menggeleng kuat-kuat. Wajahnya tampak ketakutan.
......................................
Ah, setiap teringat peristiwa itu, Satya benar-benar merasa berdosa. Ia merasa menjadi ayah paling kejam di dunia. Untuk apa malu mengakui darah daging sendiri? Bukankah ia lahir karena perbuatan orang tuanya?
Pernikahan Satya dan Reni memang sekadar menutupi aib. Meskipun demikian, bukan alasan yang dapat dibenarkan jika Avisha yang menjadi korban.
Satya menoleh jam yang tergantung di dinding. Pukul empat sore. Ia teringat harus menjemput anaknya yang mengikuti latihan deklamasi untuk lomba bulan depan.
"Mau jemput Avisha, Dik?"tegur Pak Asdi pemilik Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) Sukses tempatnya bekerja.
Satya menoleh. "Iya, Pak."
"Baik, besok jadwalmu padat, siap?"
"Insya Allah, Pak."
Pak Asdi tersenyum. "Selamat jalan, hati-hati."
"Terima kasih Pak."
===========================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar