Profesor Doktor Muhammad Afan Maulana
Ingin rasanya Irfan menjelma menjadi Anatsena, tokoh pewayangan yang bisa membenamkan diri ke bumi. Benar-benar jauh di luar dugaannya.
"Pilihan diksi dan majas berantakan, pengaturan tipografi tidak menunjukkan keterkaitan makna....Puisi asal jadi, nyaris tidak dapat disimpulkan maknanya, judul dan isi tak ada hubungan samasekali...Mengapa menulis puisi seperti ini? Kalau hanya seperti ini, saya yakin murid SD akan mengalahkanmu."
Pria jangkung bersahaja yang duduk di hadapannya dengan meja yang membatasi mereka itu tersenyum. "Terima kasih, Saudara Irfan. Komentar-komentar Anda membangkitkan semangat saya untuk terus belajar sehingga bisa menghasilkan karya berkualitas tinggi."
Sekarang Irfan bukan lagi ingin menjadi Antasena, tetapi kalau bisa sekalian memiliki aji halimun yaitu mampu mengubah diri menjadi asap lalu menghilang. Ia merasa dirinya benar-benar bodoh.
"Oh ya, kapan-kapan saya ingin berkunjung lagi. InsyaAllah, saya akan mengajak kemenakan saya. Ia pasti bangga dapat berjumpa dengan penyair terkenal seperti Anda."
"Oh, silakan, Prof, dengan senang hati."
Setelah sang tamu mohon diri, Irfan masih tertegun di depan gerbang. Belum pernah ia merasa malu seperti ini. Kapan-kapan kalau sang tamu berkunjung lagi, dia akan mengenakan topeng.
Pria yang baru saja datang itu bernama Profesor Doktor Muhammad Afan Maulana. Beliau adalah seorang pujangga dan eseis terkenal bahkan sampai lintas benua. Penghargaan yang diterimanya mungkin lebih dari seratus, baik dari dalam dan luar negeri. Tetapi yang paling membuat Irfan malu bukan kepalang adalah karena Profesor Afan merupakan mantan dosen luar biasa untuk matakuliah apresiasi sastra dan kajian cerita rekaan semasa ia menjadi mahasiswa di Universitas Kencana.
Mengapa tidak terlintas sedikit pun di benakku kalau yang menulis amntologi puisi itu Profesor Afan? desah pemuda dalam hati.
Aku menari bersama senja
tapi ia lenyap ditelan malam
oh, duka hatiku
Aku menari dengan bayangan
Aku hanya menari di dalam angan
Oh, resah hatiku!
Merinding bulu roma Satya membaca coretan di atas selembar kertas gambar itu. Ia merasa dibawa ke negeri asing yang belum pernah dilihatnya bahkan dalam dunia khayal sekalipun.
Ayah belia itu menghampiri gadis kecilnya yang sudah terlelap. Betapa murung wajahnya seolah-olah menyandang beban yang sangat berat.
Terdengar langkah kaki. Itu pasti Reni. Istrinya itu selalu pulang larut malam. Satya tak mengerti bagaimana mungkin Reni menitipkan anak kandungnya kepada Mawar, adik iparnya. Ia bahkan tampak tidak merasa bersalah samasekali, sebaliknya malah merasa lega ada yang bersedia mengurus anaknya.
"Baru pulang?" Satya menghadang istrinya yang akan masuk kamar.
"Seperti yang kamu lihat."
"Kapan kamu memberikan perrhatianmu untuk anak kita?"
"Aku lelah, besok saja kita bicara."
Satya terdiam. Reni selalu menghindar dengan berbagai cara jika ada yang mengajak berbicara tentang Avisha. Entah mengapa perempuan itu seperti tak menyayangi darah dagingnya.
Dan seperti biasa, Satya memilih untuk mengalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar