Kamis, 16 Juli 2009

Dunia Sejauh Mata Memandang

Semua Masih Misteri

Adalah Reni, ibu muda yang menyesal telah melahirkan anak. Kehadiran Avisha telah mendatangkan setumpuk kesialan yang menimpanya bertubi-tubi. Ya, Reni memang sangat membenci Avisha, anak sematang wayangnya itu. Ada saja baginya alasan untuk memarahi bahkan mencaci maki gadis kecil tak berdosa itu.

Sore itu sepulang bekerja, Satya mendapatkan anaknya duduk meringkuk di sudut kamar. Rambutnya yang tergerai sampai pundak begitu kusam dan acak-acakan. Sepasang bola mata basah menyiratkan kepedihan yang menancap di lubuk hati.

Satya berjongkok di depan putrinya itu. Mereka berhadap-hadapan.

"Jangan menangis, Sayang, "Satya mengusap airmata di pipi gadis kecil itu penuh kasih.

Avisha ikut mengusap airmata dengan kedua tangannya.

Satya tersenyum. "Nah, sekarang Pisa harus senyum, "katanya. "Ayo, Ayah ingin lihat senyum Pisa yang paling manis sedunia."

Avisha tersenyum malu-malu. Satya menarik tangan anaknya lembut dan mengajaknya duduk di tempat tidur.

===========

Irfan tertegun di meja kerjanya. Ia benar-benar terganggu dengan komentar Anggrek Bulan itu. Komentar yang terlalu berani dilontarkan oleh seorang pemula terhadap seniornya. Bukan main lancang Anggrek Bulan itu. Sementara para penyair pemula yang lain begitu terkesima dan memuji-muji karyanya, sebaliknya Anggrek Bulan malah menulis komentar : Saya heran mengapa semua yang mengomentari puisi di atas mengatakan kalau puisi ini sangat istimewa, ajaib, dan menakjubkan? Menurut saya, biasa-biasa saja, sebab kemenakan saya belum tujuh tahun sudah mampu menulis puisi macam begini.

Nah, dapat dibayangkan bagaimana perasaannya penyair terkenal seperti dirinya membaca komentar yang tak berperasaan itu?

Ketika Irfan menyampaikan hal itu kepada ibunya, beliau malah tertawa, "Ya, sekali-sekali menerima komentar pedas kan tidak apa-apa, Fan? Memang cuma kamu saja yang bisa berkomentar pedas?"

"Tapi, Bu....."

"Tapi apa, Fan? Kemarin Ibu sempat membaca komentar-komentarmu di situs. Sepertinya belum pernah sekalipun kamu memuji atau paling tidak mencoba membangkitkan semangat supaya para pemula itu terus berkarya. Caramu berkomentar bisa mematahkan semangat."

"Justru maksud saya, supaya mereka lebih bersemangat, Bu."

"Ibu heran kau selalu menyebut puisi bertema kebaikan, agama dengan ceramah dan bertema semangat, kepahlawanan, atau tanah air dengan pidato?"

Irfan terdiam. Ia memang belum pernah memuji karya seorang pemula. Memang tangannya bisa parkinson jika tidak menuliskan kritikan berkategori celaan. Heran juga, padahal semasa kuliah ia sempat mendapat matakuliah Kritik Sastra selama dua semester.

Irfan tersentak. Seseorang menepuk pundaknya.

"Ada tugas untukmu, "ternyata Damar pemimpin redaksi majalah Kutub Sastra tempatnya bekerja. Ia menyerahkan sebuah antologi puisi yang dijilid sederhana dengan warna sampul hijau daun.

"Dari siapa, Mas?"

"Aku tidak tahu. Nayla yang menyampaikannya kepadaku."

Irfan mengangguk-angguk.

"Kata Nayla, pengarangnya berpesan supaya kamu mengomentari semua karyanya. Mungkin dua minggu lagi dia akan datang."

"Baik, Mas."

===============================

Tidak ada komentar: