Senin, 20 Juli 2009

Dunia Sejauh Mata Memandang

Menari dalam Bayangan

Sejak mendengar cerita Ibu tentang komentar pedas Irfan, Bapak ikut prihatin. Beliau sangat berharap putra tunggalnya dapat mengikuti jejak kakeknya, seorang pujangga besar pada masanya namun tetap rendah hati.

Malam itu seusai makan malam, tidak seperti biasanya Bapak menemani Irfan yang sibuk di depan komputer.

"Siapa Anggrek Bulan? Puisinya bagus sekali."

"Memang Bapak tahu puisi bagus atau tidak?"

"Irfan, Irfan, jelek-jelek begini, bapakmu dulu pernah beberapa kali menjuarai lomba puisi walaupun cuma tingkat provinsi."

Irfan menoleh. Ia menatap ayahnya tak percaya.

Bapak tersenyum. "Lalu kaupikir dari mana bakatmu itu?"

Irfan terdiam.

"Kakekmu, ayah Bapak malah penyair besar pada zamannya. Namanya terkenak sampai mancanegara. Banyak karyanya yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa."

Bapak tersenyum melihat putranya yang tampak merenung.

"Oh ya, kamu sudah pernah bertemu dengan Anggrek Bulan?" Bapak mengalihkan pembicaraan. "Puisinya mengandung nilai sastra dan estetika yang sangat tinggi."

"Belum, Pak. Paling-paling penyair kagetan."

"Penyair kagetan?"

"Penyair kagetan itu orang yang tiba-tiba ingin menulis puisi."

Bapak membaca puisi yang yerpampang di layar koimputer. "Tapi menurut Bapak, puisi ini bukan karya penyair kagetan."

"Maksud Bapak?"

"Ya, itu tadi, rangkuman baitnya bernilai sastra tingkat tinggi dan rasa estetikanya sangat kental."

Irfan mengerutkan dahi. Ia tampak tak sependapat dengan ayahnya.

"Olahan kata yang dibuat-buat. Seharusnya kamu menulis dengan hati...Ini komentarmu?"

Irfan mengangguk.

Bapak menarik napas. "Seorang penulis jangan sampai terperangkap oleh dunianya sendirinya, sehingga ia menganggap bahwa luas dunia hanyalah sejauh mata memandang."

"Dunia sejauh mata memandang? Maksud Bapak?"

"Seorang yang mengira pengetahuannya sangat luas padahal itu hanyalah perkiraannya belaka. Kalau Bapak membaca komentar-komentarmu...terus terang kamu terperangkap oleh duniamu, terperangkap eforia kebanggaan."

Malam hening hanya terdengar detak jam dinding. Dua insan bertalian darah itu tenggelam dalam diam.


Mawar memperhatikan kemenakannya yang sedang mencoret-coret di atas secarik kertas. Pasti anak itu menemukan inspirasi untuk menulis puisi. Mahasiswi fakultas psikologi itu semakin yakin bahwa Avisha termasuk anak berbakat. Bila ditinjau dari kecerdasan majemuk, mungkin ia memiliki kecerdasan intrapersonal dan lingustik yang luar biasa. Umumnya anak seusia Avisha masih bermain-main dengan dunia khayal, tetapi gadis kecil itu sudah belajar menelaah kekurangan diri. Ia pun memiliki perbendaharaan kata jauh di atas anak sebayanya dan mampu menjalin kata-kata itu dengan struktur yang benar serta dapat menimbulkan kesan mendalam.

"Nulis puisi lagi, ya?"

Avisha mengangguk. Pandangannya tetap tertuju pada selembar kertas itu.

Mawar sudah mengetahui kebiasaan Avisha jika akan menulis puisi. Coretan di atas kertas itu adalah reflleksi puisi dalam bentuk gambar.

"Boleh Tante tahu judulnya?"

"Judulnya...menari dalam bayangan, Tante...."

Mawar bergetar mendengarnya. "Ah, Pisa bisa saja. Ceritanya tentang apa?"

"Kan belum selesai, Tante. Tante sabar dulu, ya."

Mawar tersenyum. Tersenyum, walaupun perasaannya mendadak aneh.




Tidak ada komentar: