Bagi Irfan, sah-sah saja ia melontarkan kritikan pedas untuk karya para pemula itu. Toh, walaupun baru lima tahun berkecimpung di dunia kepenyairan, tetapi sudah ada puluhan penghargaan yang berhasil diraihnya. Dari tingkat antarkeluarga sampai nasional. Ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kualitas karyanya.
Para penyair pemula yang karyanya mendapat kritikan dari Irfan itu umumnya menjawab dengan santun dan menyatakan rasa bangga sekaligus ucapan terimakasih karena seorang penyair sudi membaca dan mengomentari karya mereka. Belum ada yang berani mencela karyanya apalagi membedahnya dari sudut pandang ilmu kritik sastra, sampai akhirnya muncul nama anggrek_bulan.
Satu bulan terakhir ini Anggrek Bulan telah mencantumkan enam karyanya. Irfan ingin sekali dapat menemukan kelemahan yang terdapat dalam keenam karya itu tetapi ternyata hal itu tidak semudah dugaannya.
Ya, ia harus mengakui puisi-puisi karya Anggrek Bulan memang sangat berkualitas. Ia tak sanggup membohongi hati kecilnya.
"Masih penasaran dengan Anggrek Bulan?" tegur Ibu di ruang makan. Malam ini mereka hanya berdua, Ayah mengikuti rapat di Jakarta.
Irfan mengambil dua butir perkedel tahu dari piring kecil berwarna coklat. Hari ini lauk di atas meja perkedel tahu, udang goreng tepung, dan sup makaroni.
"Aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya, Bu."
"Siapa tahu dia penyair sepertimu, tapi pakai nama samaran,"tukas Ibu menyendokkan nasi ke piring.
"Puisinya bagus, tapi masih kelihatan kalau hasil karya pemula."
Ibu menggeleng-gelengkan kepala. Irfan, Irfan, kapan kamu menyadari kesombonganmu, desahnya dalam hati.
============
Satya mengerutkan kening. Ah, mengapa ia baru tahu sekarang. Pantas saja ia sering melihat Avisha berteriak-teriak sendiri di kamarnya. Semula ia mengira Avisha sedang berkhayal atau bercakap-cakap dengan teman khayalannya seperti anak kecil pada umumnya, tetapi setelah Mawar, adiknya memberitahu sesuatu barulah ayah berusia muda itu menyadarinya.
"Kamu lebih tahu tentang Avisha, "ujar Satya mendesah. Entah apa yang berkecamuk di hatinya saat itu.
"Iya, Mas. Aku heran kenapa kalian tidak menyadari bakat Avisha sedikitpun? Dia anak ajaib, Mas. Seharusnya Mas bangga menjadi ayahnya."
Satya tak bisa berkata-kata. Ayah? Dia menjadi ayah karena ketidaksengajaan. Walaupun itu memang kesalahan dia dan Reni, gadis yang sekarang menjadi istrinya, tetapi tetap saja menjadi seorang ayah tanpa rencana yang matang bukanlah pilihannya.
Suasana di teras rumah yang hening itu mendadak pecah oleh suara lantang gadis kecil.
"Padamu Jua! Karya Amir Hamzah!"
Mendadak Satya penasaran. Ia beranjak dari duduknya kemudian menuju kamar si Kecil. Mawar mengikuti.
"Habis Kikis. Segala cintaku hilang terbang. Pulang kembali aku padamu. Seperti dahulu."
Satya terpana. Ia seperti mendengar suara malaikat.
"Kaulah kandil kemerlap. Pelita jendela dimalam gelap. Melambai pulang perlahan. Sabar, setia selalu."
Satya menoleh ke arah Mawar yang berdiri di sampingnya.
"Puisi itu panjang sekali, "bisiknya terheran-heran. "Bagaimana mungkin ia bisa hafal"
Mawar tersenyum. "Itu belum apa-apa, aku bisa menunjukkan yang lebih istimewa yang akan membuat Mas dan Mbak Reni kaget."
"Apa maksudmu, Mawar?"
Mawar tidak menjawab. Ia menunjuk dinding kamar Avisha yang penuh coretan.
Sekali lagi Satya terpana. Itu bukan coretan tak bermakna! Itu lebih dari sekadar coretan!
Sementara gadis kecil yang baru selesai berdeklamasi itu tampak tersipu-sipu mengetahui ada penonton tak diundang.
"Sini, Sayang, "tiba-tiba saja Satya ingin memeluk bidadari kecilnya. Sesuatu yang nyaris tidak pernah dilakukannya.
Avisha tertegun. Tidak biasanya Ayah bersikap seramah itu. Tetapi lihatlah Ayah tersenyum, maka tanpa ragu-ragu ia menghambur menuju dekapannya.
Mawar tersenyum. Rasanya ia juga ikut bahagia, malam itu.
Sayang, Reni belum pulang. Perempuan itu terlalu sibuk dengan organisasinya yang hanya sebagai pelarian.
=================================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar