Selasa, 11 Agustus 2009

Dunia Sejauh Mata Memandang

Pelajaran untuk Irfan

Mawar baru saja tiba di lantai dasar Fakultas Sastra ketika seorang pemuda menyapanya. Ia membawa sepucuk surat.

"Mawar!"

"Eh, Aksa, ada apa?"

"Surat untukmu, "jawab pemuda yang disapa Aksa itu menyerah surat yang dibawanya.

"Terima kasih, "Mawar menerima surat itu.

Aksa memandang gadis bersahaja yang berbalut busana muslim itu. Mawar memang gadis idaman. Ia selalu ramah dan lemah-lembut. Rasanya aku sudah menemukan pilihan, aku yakin aku tidak salah pilih...tapi....tapi apakah ia juga merasakan hal yang sama....?

Sementara itu Mawar yang sedang membaca, tidak menyadari ada seseorang yang terus memandangnya dengan perasaan tak menentu.

=============================================================

Aalangkah terkejutnya Satya ketika sampai di sekolah Avisha. Anaknya itu sudah pulang sejak tadi siang, begitulah laporan beberapa guru yang berada di sana. Dari keterangan seorang guru, Satya dapat menebak bahwa istrinya yang menjemput Avisha.

Di sudut kamar Avisha duduk menekuk lutut. Ia merasa sangat sedih. Sedih, marah, kecewa, sekaligus benci bercampur aduk menjadi satu. Gadis itu tidak mengerti mengapa Ibu selalu marah-marah kepadanya. Tadi sepulang sekolah, Ibu sempat menyeretnya ke kamar mandi dan menguncinya di sana selama dua jam.

"Bagus! Kamu membuat kepala pusing!"seru Reni menarik tangan anaknya kasar.

Avisha menjerit kesakitan. Ibu membuat pergelangan tangan kanannya serasa putus.

Bukannya kasihan, Reni malah mengancam, "Menangis lagi, aku siram kepalamu dengan air seember!"

Avisha tampak pucat seketika. Ia belum lupa selama dua jam Ibu menyekapnya di kamar mandi. Tidak, ia tidak mau dihukum lagi. Ingin selamat, gadis kecil itu cepat-cepat mengusap airmatanya.

Reni berlalu. Sebentar lagi acara pertemuan di rumah teman, ia tak mau terlambat. Perduli amat dengan suaminya. Makan malam, ia bisa menggoreng telur atau membeli lauk di kedai sebelah. Ia bukan bayi.

Avisha sedih sekali karena kehilangan tasnya. Tas yang berisi buku-buku pelajaran dan buku puisi hasil karyanya.

Dengan langkah gontai, ia mengambil pensil dari meja belajar. Sambil bersenandung lirih anak itu menggoreskan sesuatu di dinding kamarnya.

===========================================================

Damar menepuk dahinya. Ia tampak panik. Irfan menatapnya kebingungan.

"Jadi kamu sudah bertemu gadis berjilbab pakai blouse batik?"

"Iya, Mas. Kenapa?"

"Kenapa tidak kamu antar dia ke ruanganku?"

"Saya sudah menyuruhnya titip pesan, Mas kan sibuk."

"Lalu?"

"Dia menolak."

Damar menarik napas panjang ditatapnya Irfan dengan serius. "Kalau begitu kamu harus menghubungi gadis itu."

Irfan tampak terkejut. "Tapi, saya tidak tahu nomor teleponnya, Mas."

"Itu yang harus kamu usahakan, "Damar semakin serius. "Saya harap dalam waktu dua puluh empat jam, kamu berhasil menghubunginya."

Irfan semakin panik. "Bagaimana saya bisa menghubunginya kalau namanya saja saya belum tahu?"

Lagi-lagi Damar menghela napas panjang. "Dik Irfan, ini suatu pelajaran berharga bagimu supaya jangan meremehkan orang lain. Kaupikir siapa gadis itu?"

"Mungkin dia ingin memasukkan karyanya atau ikut lomba cipta puisi yang kita adakan...."

Damar tersenyum simpul. "Kamu belum berubah, Irfan, selalu menganggap mereka yang berpenampilan sederhana sebagai orang yang tak tahu apa-apa.''

"Lalu siapa gadis itu, Mas?"

"Bukankah selama ini kamu penasaran dengan Tiara Mawar."

"Maksud Mas Damar, dia Tiara Mawar ?"

"Ya."

Irfan tercengang.

===========================================================

Hari ini Satya mengambil cuti kerja. Ia bersyukur karena hanya tinggal menyusun skripsi untuk meraih gelar Sarjana Sains.

Badan Avisha panas. Ia demam, itulah yang membuat Satya cemas. Ia tidak mengerti peristiwa yang telah menimpa putri tunggalnya itu.

Reni tidak perduli sedikit pun dengan keadaan anaknya. Wanita malah sibuk merias diri di depan cermin.

Satya benar-benar geram tapi tak ada waktu untuk mengurusi istrinya. Ia lebih mencemaskan anaknya. Ayah belia itu bersiap-siap hendak membawa gadis kecil itu ke rumah sakit.

"Ayah...Avisha mau dibawa ke mana...?"tanya gadis itu lirih saat ayahnya memakaikan jaket merah muda.

"Kita jalan-jalan sebentar, "sahut Satya berbohong karena Avisha paling takut melihat rumah sakit. Dalam hati ia bertekad akan mencari rumah sakit bernuansa menyenangkan. Ia tak perduli berapa pun biaya yang harus ia tebus.

=============================================================


Tentu saja bukan perkara mudah mencari Tiara Mawar karena ternyata nama itu merupakan nama pena. Irfan nyaris menyerah karena sudah tujuh jam mengelilingi fakultas sastra tetapi tak seorang pun mengenal mahasiswi bernama Tiara Mawar. Begitu pula saat ia memasuki kantor administrasi untuk menanyakan data mahasiswi tersebut.

"Jurusan apa, angkatan berapa?"tanya pegawai administrasi itu dengan wajah keruh. Irfan sempat menggerutu padahal waktu melayani gadis yang baru keluar, pegawai ini tampak ramah.

"Saya tidak tahu, "jawab Irfan jujur. "Tapi penyair terkenal."

"Itu bukan urusan saya, "tukas pegawai itu tak acuh.

Irfan berusaha sabar. Kalau bukan perintah atasan, sudah ia permak wajah laki-laki sok penting di hadapannya ini.

=============================================================

Profesor Afan menatap Satya yang tampak murung. Pria setengah baya itu menepuk-nepuk pundak adiknya.

"Istrimu sudah datang?"

Satya menggeleng. "Rasanya aku ingin cerai saja, Mas. Aku tak sanggup lagi."

"Tidak, jangan, "tukas Profesor Afan. "Kamu tidak kasihan dengan anakmu?"

"Tapi Reni tak pernah mau memperhatikan Avisha, Mas. Aku tidak tahu kenapa ia membenci anaknya sendiri."

Profesor Afan tersenyum. "Bukankah kamu dulu juga begitu? Tapi syukurlah, kamu segera menyadari kesalahanmu."

Satya mengangguk.

"Kamu mau Mawar yang menjaga Avisha malam ini?"

Kali ini Satya menggeleng. "Kasihan nanti kuliahnya terganggu."

"Tapi dia mau, Satya, "sela kakak sulungnya itu. "Sebentar lagi, selepas Isya, ia datang.''

"Aku selalu merepotkan kalian."

"Jangan begitu, kita bersaudara kandung."

Satya beranjak membetulkan selimut anaknya yang mulai acak-acakan. Profesor Afan memperhatikan dengan perasaan terharu.

"Kata dokter, kapan Avisha boleh pulang?"

"Tergantung kondisi jiwanya, Mas."

Profesor Afan bangkit dari kursinya dan memandang wajah gadis kecil yang lugu itu. Wajah tunas bangsa yang memiliki bakat luar biasa tetapi bernasib malang.

Tidak ada komentar: