Sebenarnya Meyra dan Rafa menuntut ilmu di universitas yang sama, hanya saja beda fakultas dan angkatan. Meyra mengambil jurusan antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tinggal menyelesaikan skripsi, sedangkan Rafa kuliah di Fakultas Sastra semester lima. Keduanya belum pernah saling mengenal karena memang tempat kuliah mereka berbeda di gedung yang berbeda.
Sore itu, ketika Meyra bosan menunggu kedatangan teman-temannya, ia beranjak dari bangku taman kampus.
Ia bermaksud hendak menuju gerbang ketika ada seseorang menghadang jalannya.
Meyra mundur ketakutan. Sungguh, ia selalu berharap agar tak pernah melihat wajah laki-laki ini sampai mati.
Danar tersenyum. "Apa kabar? Kuharap kau baik-baik saja."
Meyra ingin lari sekencang-kencangnya atau setidak-tidaknya berteriak sekeras-keras. Tetapi, entah mengapa kakinya seperti kaku dan lidahnya terasa kelu.
"Kau tidak perlu takut, aku hanya ingin...aaah!" tiba-tiba laki-laki memegangi pipinya yang lebam biru.
Entah bagaimana mulanya seorang gadis berbusana muslimah sudah berdiri di tengah-tengah Danar dan Meyra. Gadis itu menatap Danar dengan marah sambil menggenggam kotak pensil dengan tangan kanannya.
"Kau tahu, dia tidak mau diganggu, jadi jangan kamu paksa!"
Danar menurunkan tangan dari pipinya. Ia menatap gadis itu dengan pandang ingin mengingat-ingat. "Tunggu, sepertinya aku mengenalmu, "ujarnya.
Gadis itu tidak mengacuhkan kata-kata Danar dan segera mengajak Meyra meninggalkan taman.
"Tunggu, kau adik Tantra? Tantra, yang sekarang jadi suami Nada, mantan tunanganku."
Mendengar itu, gadis yang disebut Rafa, membalikkan tubuh. "Siapa kau?"tanyanya dengan tatapan tajam menyelidik.
"Aku Danar...mantan tunangan kakak iparmu."
Tatapan Nada yang semula menyelidik mendadak berubah jijik. "Oh, aku ingat sekarang, "sahutnya ketus. "Bukankah kau ini laki-laki yang selalu menganggap wanita hanya sebagai pelayan yang bisa kamu perlakukan seenak perutmu?"
Sementara itu Meyra memegang tangan Rafa erat sekali. Wajahnya pucat ketakutan. "Cepat, kita pergi, "bisiknya. "Dia pernah perkosa aku...."
Rafa tersentak mendengar pengakuan gadis yang baru dilihatnya itu. Saat itu hanya satu yang ada di benaknya, yaitu segera meninggalkan tempat untuk menenangkan perasaan teman baru yang ketakutan itu.
Tinggallah Danar terpaku.
Sesampainya di rumah, Rafa menghidangkan jus semangka dan setangkup roti selai.
"Silakan."
"Terima kasih. Maaf, aku jadi merepotkan."
Rafa tersenyum. "Biasa saja, "tukasnya. "Oh ya, kita belum kenalan. "Namaku Rafa."
Meyra balas tersenyum dengan malu. "Ah, harusnya aku dulu, "sahutnya menerima uluran tangan Rafa. "Aku Meyra."
"Namamu bagus dan kamu cantik sekali, "puji Rafa tulus. Rasanya tak bosan ia menatap gadis yang mengenakan blouse merah muda berenda dengan bawahan jingga kotak-kotak coklat muda. Rambutnya dibiarkan terurai dengan dua jepit warna perak di sisi kiri kanan rambut.
Meyra menggeleng sedih. "Semua itu tak ada artinya bagiku, Rafa, "tukasnya.
Rafa mengerutkan kening. "Kenapa begitu?"
"Untuk apa itu semua, kalau tidak akan ada lagi laki-laki yang sudi mencintaiku apa adanya."
"Meyra, jangan berkata seperti itu."
"Apa kamu lupa, Rafa? Bukankah tadi sudah kukatakan, kalau aku ini pernah diperkosa?"
Untuk kedua kalinya Rafa tersentak.
Pagi seusai sarapan. Nada meletakkan segelas es teh di meja ruang tengah.
"Terima kasih, Mbak."
Nada duduk di samping suaminya. "Mas...."
Tantra mengangkat alisnya. "Ya, ada apa?"
"Jangan panggil aku Mbak lagi...."
Tantra menatap istrinya dengan sorot penuh tanya.
"Aku tidak mau Mas memanggilku 'mbak' karena aku lebih tua."
"Lalu kenapa kamu panggil aku 'mas'? Kenapa bukan 'adik' saja seperti sebelum kita menikah?"
"Karena Mas suamiku. Ibu dan bapakku selalu mendidikku untuk menghormati suami dan termasuk dalam sapaan."
Tantra tersenyum. "Kalau begitu selama ini Mbak salah sangka."
"Maksudmu?"
"Aku menyapamu 'mbak' bukan seperti sangkaanmu. Itu panggilan sayangku untukmu."
Walaupun tidak mengerti, Nada memilih membalas senyum suaminya. "Aku senang mendengarnya. Aku janji tidak akan meributkan masalah itu lagi. Tapi... bukan karena aku kelihatan tua, kan?"
Tantra tertawa. "Aku yakin kau tetap cantik, biarpun sudah nenek-nenek."
"Mulai lagi, tukang rayu, "sahut Nada malu campur geli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar