Minggu, 15 Mei 2011

Di Arung Jeram Cinta

Malam itu Randy tidak bisa tidur. Ia benar-benar tak menyangka bahwa Tantra adalah suami Nada. Selama ini ia mengira pemuda itu masih bebas alias sendiri saja, ternyata ia bahkan akan mempunyai seorang anak. Maklumlah, sebab Tantra memang tergolong muda untuk mendapat predikat 'ayah'.

"Kalian menikah sudah berapa lama?" tanya Randy di ruang tamu.
"Hampir satu setengah tahun, "jawab Tantra tersenyum. "Silakan diminum tehnya."
"Terima kasih."
"Jadi kalian dulu satu sekolah?"
"Benar, Tantra, "sahut Randy sambil meletakkan cangkir tehnya. "Tapi, Nada adik kelasku. Kalian sendiri?"
Tantra menoleh ke arah istrinya sambil tersenyum. "Waktu itu...aku masih SMA."
Randy tercengang. "SMA?"
Tantra mengangguk. "Tapi aku mencintai Nada dengan tulus. Aku tidak perduli berapa usianya. Banyak yang menuduhku main-main, tapi aku berusaha membuktikan kalau mereka semua salah."
"Tadinya aku juga ragu-ragu, "Nada menambahkan. "Bayangkan saja Mas Tantra ini idola gadis-gadis. Kalau dibandingkan fansnya, aku jelas tidak ada apa-apanya, bagaimana aku tidak krisis pede?"
"Yang krisis pede bukan Mbak Nada, tapi aku, "sela Tantra. "Terus terang sampai sekarang pun aku takut kalau harus berpisah darinya."
Randy terpaksa menahan perasaannya. Ia tidak berhak cemburu walaupun ingin sekali. Apalagi dengan mesra Tantra menggenggam tangan istrinya.

Randy ingin segera menikah. Tapi dengan siapa? Ia menarik napas panjang lalu mencoba memejamkan matanya seraya merebahkan diri di tempat tidurnya.


Malam yang hening tidak membuat Danar menjadi tenang. Ia sering gelisah teringat dosa-dosanya selama ini.

"Lisa!" dengan geram Danar mengobrak-abrik isi lemari pakaian.
Tak lama kemudian yang dipanggil menghampiri dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa, Mas?"
"Mana dasi putih garis hitam hadiah sahabatku?"
Lisa tampak ragu-ragu.
"Mana? Cepat, bawa ke sini."
"Ma...maaf, Mas, dasinya...."
"Kenapa?"
"Luntur...."
"Apa?!"
"Lu...luntur...."

Danar menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Terbayang semua kekejamannya pagi itu.

"Bagusnya kamu yang kubuat luntur!" Danar mengambil segelas teh dari meja dekat tempat tidur dan menuangkannya ke kepala istrinya.
Lisa memejamkan mata sambil gemetar ketakutan. Ia pasrah menunggu hukuman selanjutnya.
"Cepat kembalikan dasi itu seperti baru!" ujar Danar setelah puas memukuli istrinya dengan ikat pinggang sambil berlalu keluar kamar.
Lisa mencoba berdiri sambil berpegangan pada sisi tempat tidur. Walaupun tidak bisa melihat, tapi ia tahu seperti apa punggungnya. Perlahan diusapnya air mata. Ia tidak berani menangis karena Danar benci dengan tangisan perempuan.

Danar mengamati warna dasinya. Sementara Lisa menunggu dengan ketakutan.
"Percuma jadi istri! Cuci dasi saja tidak becus!"maki Danar melotot.
"Maaf, Mas...nanti saya belikan dasi yang seperti itu...."
Danar mendorong istrinya kasar sampai wanita itu jatuh terduduk. "Dari mana uangnya, Sialan? Pasti dariku juga, kan?"
"Sa...saya masih ada sedikit tabungan, Mas?"
Mendengar jawaban istrinya, mata lelaki itu tampak bagai singa kelaparan. "Berapa?"
"Li...lima juta...."
"Bagus, kamu tak perlu beli dasi. Berapa pin ATMmu?"
"Jangan, Mas. Itu tabungan saya...."
"Berapa pin ATMmu?"ulang Danar mencengkeram lengan istrinya.
"Aduuh, jangan, Mas...."
"Sebutkan, cepat! Atau mau kupukuli lagi seperti tadi?"

Betapa kejam! Alangkah biadab diriku! Aku merampas hak istriku! Sejak saat itu Lisa tak pernah memegang uang sepeser pun karena kartu ATM dan buku tabungannya sudah ada di tanganku.

"Mas, uang belanja habis...."
"Dasar pemboros! Kamu kemanakan saja uang pemberianku?! Tidak ada uang!"
"Tapi beras tinggal untuk besok pagi, Mas."
"Beli!"
"Uangnya belum ada, Mas."
Danar mematikan nyala rokok dengan kasar. "Sekali lagi kamu merengek-rengek, aku bungkam mulutmu!"

Danar menoleh memandang istrinya yang lelap. Ia teringat malam itu Lisa menjual anting-antingnya untuk membeli sembako. "Maafkan aku, Lisa...."

Tidak ada komentar: