Setelah berusaha mati-matian bahkan hampir saja babak belur, akhirnya Danar berhasil menemui Herman di toko samping rumahnya. Meskipun enggan, demi menghargai niat baik kawan semasa SMP, Herman memutuskan menerima laki-laki itu dan mengajaknya duduk di kursi beranda.
Dengan sangat berhati-hati, Danar mengutarakan maksudnya. Ia memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali memenuhi permintaan istrinya. Permintaan yang sangat aneh, tentu saja.
"Lalu kaupikir adikku sudi?"tanya Herman dengan tatapan tidak suka. Sungguh tak tahu malu! Sudah punya istri, masih juga cicipi yang lain!
"Aku tahu adikmu masih dendam...."
"Salah, "potong Herman. "Adikku tidak pernah menyimpan dendam."
"Tapi dia tak mau melihatku."
"Sudah tentu. Sebenarnya aku juga muak melihatmu."
Danar menunduk.
"Dengar, aku tidak percaya kalau lamaranmu atas permintaan istrimu. Kalaupun benar, jangan-jangan kamu yang mengancamnya. Tega sekali kamu ini memperlakukan istri seperti barang yang tak ada harganya."
Sementara itu ternyata Meyra yang hendak menemui Herman tanpa sengaja mendengar percakapan kakaknya dengan sang Tamu. Alangkah terkejut ketika ia melihat tamu yang berkunjung.
Herman mengetahui kehadiran adiknya. "Aku tidak tahu adikku sudi melihatmu atau tidak, "ujarnya dengan volume suara yang sengaja dinyaringkan.
Meyra menarik napas panjang berusaha menguatkan hatinya. Kemudian ia pun melangkahkan kaki menuju beranda.
"Meyra tidak apa-apa, Mas, "ujarnya.
Herman dan Danar serentak menoleh.
Nada masih menunggu Tantra yang mendadak lembur. Wanita itu memutuskan duduk di karpet ruang tengah sambil membaca buku tentang merawat bayi. Ia berharap suaminya tiba di rumah sebelum jam sembilan.
Wanita itu tersenyum mengenang hari-hari yang berlalu. Tentang kekhawatiran orang tuanya, tentang trauma masa lalu, sampai tentang kecemburuan suaminya.
Malam itu, ketika Nada hendak memejamkan mata, Tantra mencolek lengannya. Nada menoleh memandang suaminya yang duduk di sampingnya. "Ada apa, Mas?"
"Jadi dulu Randy itu idola di SMAmu?"
"Iya, tapi itu dulu."
"Kamu pernah naksir dia?"
"Iya, tapi itu dulu."
"Pasti dulu dia ganteng sekali."
"Iya, tapi itu dulu."
Tantra mengerutkan kening. Nada tersenyum. "Mas, itu masa lalu, "katanya. "Aku sudah tidak ada perasaan apapun apalagi sampai punya hubungan."
Tantra hanya menatap. Nada jadi merasa tidak enak. "Percayalah, tidak ada yang kusembunyikan lagi."
Tantra belum memberikan reaksi.
"Mas...."
Nada tersenyum sendiri. Malam itu ia semakin yakin bahwa sebenarnya suaminya selalu memercayai dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar