Entah darimana keberanian itu timbul. Tanpa pikir panjang, Danar mengikuti
Herman yang menemui Meyra di halaman.
Tampak Meyra berdiri terpekur sambil melipat kedua tangan di dada. Kepalanya tengadah menatap langit purnama. Rambutnya yang dibiarkan tergerai tanpa asesoris apapun tampak melambai tertiup angin.
"Meyra...,"hati-hati Herman menegur adiknya.
Meyra tidak memberikan reaksi apalagi jawaban.
"Ada apa, Dik? Kenapa kamu tiba-tiba keluar?"
Kali ini Meyra menoleh dan menatap kakaknya. "Mas, sampai kapan aku harus menderita seperti ini? Rasanya aku selalu dicekam rasa ketakutan dan rendah diri, apalagi... kalau aku harus melihat laki-laki yang merenggut..., "Meyra terdiam, berusaha menguasai emosinya.
Herman menepuk-nepuk pundak adiknya lembut. "Kenapa masih saja kamu ingat-ingat, Dik? Itu sudah berlalu."
Meyra menggeleng. "Tidak, aku tidak bisa. Mas pikir siapa laki-laki yang mau denganku kalau tahu aku sudah tidak...."
"Meyra,...kau tidak boleh murung terus...."
"Herman, semua memang salahku."
Kakak beradik itu serempak menoleh. Danar menghampiri mereka.
"Aku...aku benar-benar menyesal, "Danar menunduk.
Herman menoleh ke arah adiknya. Gadis itu memalingkan wajahnya ke arah lain.
Meyra memejamkan mata dengan pedih mengiris-iris hati. Bagaimana bisa terhapus bayang-bayang kelam itu?
Bertemu teman lama memang menyenangkan. Feri tidak banyak berubah. Ia tetap iseng dan suka bercanda. Setelah dua jam bercakap-cakap, pemuda itu mohon diri. Tantra berjanji akan membantu acara reuni yang akan diadakan.
Tantra membuka pintu kamar. Ia terpaku melihat Nada mencium kening si kecil dengan lembut dan penuh kasih. Tiba-tiba saja ia teringat saat-saat mendebarkan itu. Nada tampak menahan sakit yang sangat sampai-sampai berjalan pun tak sanggup. Baru saat itu Tantra mengetahui beratnya perjuangan ibu melahirkan anaknya.
"Mbak, belum tidur?"
Nada menoleh. "Aku menunggu Mas, "jawabnya tersenyum. "Mas mau minum lagi?"
Tantra menggeleng. "Sudah waktunya kamu istirahat, "tukasnya, "aku bisa buat minum sendiri."
"Mas juga harus istirahat."
"Biarkan malam ini giliranku menjaga Arsya."
Nada menatap suaminya kagum bercampur tak percaya. "Memang Mas mau?"
Tantra mengangguk. "Kenapa tidak? Arsya kan anakku juga."
Tiba-tiba saja wanita itu, Nada, tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Tanpa berkata sepatahpun, ia menggenggam tangan suaminya lembut.
Tantra terkejut, tak menyangka sedikitpun akan reaksi istrinya. Tetapi, itu hanya sebentar karena sesaat kemudian ia membalas genggaman itu.
"Tidurlah, Mbak."
Nada mengangguk dan melepaskan genggamannya sambil tersenyum.
Tantra memperhatikan istrinya yang mengambil selimut. Tidak, sampai saat ini, Tantra tidak menyesal telah menikahi Nada. Meskipun ada selisih usia yang tidak sedikit terbentang diantara mereka, tetapi Nada sangat menghormati suaminya. Wanita itu selalu bersikap merendah setiap berbicara dengannya. Soal wajah dan penampilan fisik, Tantra mengakui istrinya kalah bersaing dengan gadis-gadis di luar. Tetapi, bagi Tantra, setiap kali menatap istrinya yang begitu lembut dan penuh perhatian, semua itu membuatnya menilai bahwa yang di luar sana tidak berarti apa-apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar