Minggu, 16 Oktober 2011

Di Arung Jeram Cinta

Tidak mungkin membujuk seorang yang tercabik-cabik jiwanya. Lisa memahami benar hal itu. Meskipun peristiwa itu telah lama berlalu, tetap saja ada bekas yang mencubit jauh di dasar sana. Lisa pun mengerti bahwa Meyra tidak menyimpan dendam walaupun gadis itu tak mau lagi memandang wajah Danar.
Sementara itu Danar memperhatikan istrinya yang melipat setumpuk pakaian dari keranjang. Laki-laki itu menarik napas perlahan. Berapa lama ia menyakiti wanita pendamping hidupnya ini? Ia teringat, selalu saja mencari-cari kesalahan istrinya yang sebenarnya tidak seberapa.
Masih terbayang jelas dalam ingatannya, teramat sering ia mendaratkan tangannya yang kekar ke wajah atau tubuh wanita yang tak berdaya itu. Kalau marahnya sedang memanas di ubun-ubun, maka bukan tangan lagi yang melayang, melainkan ikat pinggang atau cambuk yang akan menghantam istrinya.
Lisa merapat di sudut. Sekujur tubuhnya sakit bukan main. Danar menarik tangannya kasar membuat wanita semakin kesakitan.
"Sudah setiap hari dihajar, masih bodoh juga!"
"Maafkan, saya, Mas...."
"Gara-gara kamu, nomor temanku itu jadi hilang, tahu?!"
"Maaf, Mas, saya...saya tidak sengaja...."
"Heh, "Danar menarik rambut istrinya, "Apa kamu pikir nomor itu bisa muncul lagi kalau kamu minta maaf?"
"Ti...tidak, Mas...,"Lisa menjawab lirih kesakitan karena rambutnya ditarik kuat oleh suaminya.
"Padahal belum tentu, aku bertemu dia dalam waktu dekat ini, "Danar melepas tarikannya kasar sehingga Lisa nyaris terjatuh.
"Maaf, apa Mas tidak mencatat alamatnya? Mas bisa pergi ke rumahnya...."
Bukannya berterima kasih, Danar malah menampar istrinya, "Tidak usah mengajariku, Bodoh! Berani sekali kamu!"
Kali ini Lisa tidak dapat menahan rasa sakitnya. Cambuk yang besar itu mendarat telak menghantam lengan, punggung, dan kakinya.

"Mas...."
Danar tersentak.
Lisa tersenyum. "Mas melamun, ya?"
Danar balas tersenyum. "Bu Dewi benar, Lisa."
"Maksud Mas?"
"Hatimu sangat mulia, "Danar menatap istrinya penuh sayang, "aku juga heran bagaimana dulu aku bisa begitu kejam kepadamu...."
"Sudahlah, itu masa lalu, "tukas Lisa tulus, "yang penting Mas sudah menyadari kesalahan dan berjanji tidak akan mengulangi lagi."
Lihat, lihat, betapa tulus hati wanita ini, tegur hati Danar. Sampai detik ini, ia tidak marah sedikitpun karena perbuatanmu yang biadab. Bahkan juga ketika kau melampiaskan nafsumu kepada gadis malang itu. Ia tidak marah dan berusaha menerima sepak terjangmu dengan lapang dada.
Danar memandang istrinya. Lisa tidak banyak berubah, ia tetap lemah lembut seperti dulu. Hanya saja ia terlihat jauh lebih tegar dibanding sebelumnya.
"Lisa...."
Lisa mengangkat wajahnya.
"Menurutmu, apa yang harus kulakukan untuk meringankan penderitaan Meyra?"
Lisa menatap suaminya dalam-dalam.


Sudah beberapa minggu ini Banu bekerja di sebuah bank syariah yang terkenal. Setelah dua tahun keluar masuk dan pindah-pindah, akhirnya penuda itu menemukan juga jalan menuju kesuksesannya. Arman dan Tia sangat senang melihat putra bungsu mereka tampak bersemangat setiap kali berangkat kerja.
"Ibu, Bapak mau titip tabungan?"tanya Banu pagi itu setelah menghabiskan sepiring nasi gotreng dan segelas air putih.
"Bapak titip, "sahut Arman.
"Kalau Ibu?" Banu berpaling ke arah ibunya.
Tia menggeleng. "Ibu belum sempat menjenguk kemenakanmu, cucu Bapak sama Ibu.
Kapan, Pak?"
"Minggu ini Bapak belum bisa, Bu."
"Ibu titip saja."
"InsyaAllah, Bu. Mana titipannya?"
Tia beranjak dari ruang makan.

Tidak ada komentar: