Menikmati peran baru, itulah Tantra. Sampai menginjak bulan ketiga ini, tetap saja ayah berusia muda itu mengagumi bayi mungilnya. Biasanya, ia akan memandangi istri dan bayinya itu silih berganti.
"Lihat apa, Mas?"tegur Nada sambil mengganti baju Arsya yang basah oleh keringat. Tantra duduk di sisi ranjang.
"Ternyata anak kita ini wajahnya mirip ibunya, ya."
"Oh, ya?"Nada mengangkat kepala dan punggung anaknya untuk memakaikan kaos. "Kok, aku tidak begitu jeli, ya?"
"Karena Mbak percaya ini anak kita, "sela Tantra, "Jadi, tidak perduli lagi wajahnya."
Nada tersenyum. Lembut, ia mengangkat tubuh si kecil dan mengusap-usap punggungnya. "Biarpun mirip ibunya, tapi tetap ganteng, kan?"
Tantra tertawa.
Pertemuan dua hari yang lalu dengan gadis cantik dan lembutr itu benar-benar menyita pikiran Banu. Belum pernah ia merasakan hal ini sebelumnya. Kalaupun pernah, itu adalah cinta monyet alias milik remaja ingusan. Tetapi, kali ini rasanya begitu berbeda, Banu yakin bahwa dirinya telah menemukan cinta sejati.
Arman tertawa mendengar pengakuan jagoannya itu. "Jadi, kamu suka?"
"Bukan, Pak, tapi jatuh cinta."
"Oh, ternyata jagoan Bapak yang satu ini bisa juga jatuh cinta, ya?"
"Memangnya salah?"
"Oh, tidak. Bapak cuma heran, ini kejutan, "tukas Arman meraih secangkir kopi dari meja ruang keluarga.
"Bapak selalu heran, Ibu juga, "tukas Banu, "Dulu waktu Mbak Nada terima lamaran Tantra, semua heboh."
"Itu wajar, "sambut bapaknya. "Masa kakakmu yang mau tiga puluh manggut-manggut saja dilamar pemuda baru lulus kuliah? Ini kamu, katamu tadi kenal juga tidak, kok bisa percaya gadis itu cinta sejatimu?"
Pertanyaan yang mudah namun sulit untuk dijawab. Banu garuk-garuk kepala. "Eh, Ibu mana, Pak?"tanyanya mencoba mengalihkan perhatian.
"Ada pengajian bulanan di tetangga sebelah. Mungkin setengah jam lagi pulang. Kenapa? Mau curhat sama Ibu juga?"
Banu cengegesan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar