Kertas itu masih terletak di tempat semula. Meyra sengaja menempelkannya di album kenangan. Gadis itu termenung. Mengapa setelah ia menyadari betapa berharga dirinya, ia harus mengalami petaka itu?
Bukan Tantra yang melakukannya. Padahal, kalau ia mau, dengan mudah akan mendapatkan. Bukankah Meyra yang menawarkan hal itu lebih dulu? Meskipun tentu saja hanya main-main, tetapi seandainya bukan Tantra, mungkin akan lain ceritanya.
"Biar kakakmu yang sok alim itu tahu kalau dia bukan apa-apa, juga adiknya ini, "ujar Danar dengan tatapan merendahkan memandang Meyra yang berdiri menunduk. "Aku tahu selama ini kau suka merayu Tantra supaya dia tertarik padamu...."
Meyra mengangkat wajahnya. "Boleh aku pulang?"
"Pulang? Silakan, setelah ada ganti rugi."
Meyra menjerit. Pegangan laki-laki sebaya kakaknya itu bagaikan penjepit besi.
"Mau jenguk kemenakannya, ya Dik?"sapa perawat duplikat Paramitha Rusady saat berpapasan dengan Tantra dan Rafa.
"Iya, Suster, "sahut Tantra ramah.
"Oh ya, sebaiknya Adik segera menghubungi ayah kemenakanmu untuk mengurus surat keterangan lahir."
"Terima kasih, Suster, saya akan urus pagi ini."
"Harus ayah kandungnya, Dik, "tukas perawat itu sotoy.
"Saya ayah kandungnya."
Merah padam seketika wajah Paramitha Rusady gadungan itu. Meskipun demikian, dia berusaha supaya terlihat tenang. "Oh, kalau begitu, sekarang saja, Pak, "ujarnya jaim.
"Terima kasih, Suster."
Rafa tersenyum geli. "Mas Tantra memang cocok jadi mahasiswa, "komentar gadis itu.
"Dik, Mas sudah jadi ayah, "tukas Tantra tersenyum.
"Eh, kemarin ada yang mengira Mas pemuda yang menghamili kekasihnya."
"Memang."
"Di luar nikah."
"Mas juga tahu."
"Kenapa Mas diam saja?"
"Untuk apa? Yang penting sebenarnya tidak."
Rafa mengangkat bahu. Kakaknya ini memang terlalu baik hati. Dia tidak pernah mau ikut campur urusan pribadi atau komentar orang lain tentang dirinya.
Meyra menggeleng kuat-kuat berusaha mengusir bayangan yang sangat mengusik itu supaya pergi jauh-jauh.
Tok, tok, tok.
Meyra tersentak. "I...iya?"
"Ini Bunda, Sayang."
"Bunda?" bisik Meyra seolah-olah mengira pendengarannya salah. Sejak kapan Bunda datang? Apa dari tadi pagi? Mengapa ia baru tahu menjelang siang?
"Bukakan pintunya, Sayang. Bunda kangen."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar