Selasa, 28 Juni 2011

Di Arung Jeram Cinta (Bab XI)

Bayi itu begitu mungil dan menggemaskan. Tidak bosan-bosannya Tantra mengamati buah hatinya. Ia tidak habis pikir bagaimana caranya bayi itu bersemayam di rahim istrinya lalu sekarang....
Tantra menoleh. Nada mencolek lengannya. Ayah muda itu menghela napas perlahan saat istrinya memberi kode supaya keluar kamar.
"Mas...."
Tantra menoleh.
"Makan dulu saja, ajak Ibu dan Dik Rafa."
Tantra tersenyum.

"Tidak temani istrimu?"tanya Afna melihat si Sulung menghampiri.
"Sedang sensor, "sahut Tantra asal sambil menghempaskan tubuhnya ke kursi empuk di ruang tengah.
"Sensor apa, Mas?"Rafa mengerutkan kening.
"Iya, kamu ini ada-ada saja, Tantra."
"Arsya minum asi, Bu."
"Kamu tidak temani istrimu?"
Tantra menggeleng.
"Kenapa?"
Tantra menatap ibunya serius. "Bu, Nada sangat pemalu. Ganti baju saja, aku disuruh berbalik atau keluar kamar."
Rafa teringat peristiwa handuk itu. "Iya, Bu, "sela gadis itu. "Pernah Mas Tantra menitipkan handuk supaya aku berikan pada Mbak Nada yang sedang mandi."
Afna mengerutkan kening. "Kamu tidak mengasari istrimu, kan?"tanya wanita setengah baya itu dengan nada menyelidik.
"Ya Allah, Ibu, masa aku begitu?"
Wanita itu kembali mengerutkan kening. "Jadi benar, tidak ada apa-apa?"
"Tidak, Bu. Mbak Nada memang seperti itu."
Rafa mendehem. "Maksud Ibu, kok bisa Mbak Nada hamil padahal dia pemalu seka...auuw!" belum selesai bicara, kakinya langsung diinjak kakaknya.
"Rafa, jangan goda kakakmu, "Afna tersenyum simpul.
Tantra berusaha bersikap biasa. "Kita makan dulu atau...."
"Kita tunggu Mbak Nada, "tukas Afna.


Bagai disambar petir Danar mendengarkan penuturan Ratih. Ternyata selama ini Lisa telah begitu banyak menderita, menderita jiwa dan raga. Tetapi, tidak sedikitpun istrinya itu mengeluh. Ia selalu sabar menghadapi perlakuan kejam suaminya.

"Kamu ini bisa masak apa tidak?!" bentak Danar melempar sebasi sup makaroni.
Lisa memekik kaget campur takut. Ia lupa membeli kentang kesukaan suaminya dan baru teringat setelah sup itu dihidangkannya di meja makan.
"Ma..maaf, Mas, saya lupa...."
"Begitu, ya, "sahut Danar mencengkeram lengan istrinya. "Kalau dandan, kamu tidak lupa? Begitu?"
Padahal mana sempat Lisa mengurusi dirinya sendiri. Melihat istrinya diam saja, Danar semakin marah. Seperti biasa tangannya yang kekar terayun menebas tubuh istrinya yang tinggi dan besarnya tak sepadan dengan dirinya.

"Selama ini Mbak Lisa mengikuti terapi."
"Kenapa Dokter tidak menceritakannya kepada saya?"
"Maafkan saya, Pak Danar, "sahut Ratih dengan nada menyesal. "Mbak Lisa yang melarang saya. Ia tidak ingin Anda khawatir."
Danar terdiam. Ada rasa takut mengusik perasaannya. Tetapi, ia harus mengetahui penyebabnya. "Maaf, Dokter, sebenarnya apa penyebab penyakit yang diderita istri saya?"

Tidak ada komentar: