Baik Herman maupun Meyra tak berdaya menghalang-halangi ibu mereka yang sedang murka. Begitu pintu terbuka dan melihat seorang laki-laki, Dewi langsung bertanya tanpa tedeng aling-aling, "Kamu yang bernama Danar?"
"Benar, Bu, ada...." Plak! Belum selesai Danar menjawab, tiba-tiba salah satu pipinya terasa pedih.
"Bunda!"seru Herman dan Meyra serentak.
"Maaf, ada apa?"Danar berusaha sabar sambil mengusap pipinya yang terkena sasaran.
"Haah, tidak usah pura-pura, anak muda!"seru Dewi sambil menuding laki-laki sebaya sulungnya itu. "Kaupikir, aku akan tinggal diam setelah tahu perbuatan bejatmu!"
Meyra cepat-cepat meraih tangan ibunya. "Bunda, sudahlah, "bisiknya.
Dewi melotot. "Apa katamu? Sudah? Tidak ada kata sudah untuk laki-laki mesum semacam dia!"
"Ibu, maafkan saya, "Danar menyela santun. Benar-benar bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dibanding Danar yang dulu, sampai-sampai Herman pun tercengang. "Silakan masuk dulu...."
Untuk kesekian kalinya wanita setengah baya itu melotot. Jadi, laki-laki bejat yang merusak masa depan anak gadisku ini tidak merasa berdosa sedikitpun? Ini tidak boleh dibiarkan!
Cakra tertawa mendengar penuturan istrinya. Afna melirik kesal. "Kok tertawa?"
"Kenapa heran, Bu? tukas suaminya. "Itu kan karena mereka tidak hanya berdua, coba kalau berdua...."
Afna mencibir melihat bola mata suaminya berputar nakal. "Sok tahu, memangnya kenapa kalau berdua?"
"Mereka masih terhitung pengantin baru, kan? Jadi...."
"Ayah jorok!"
"Lho, bukan jorok, tapi romantis..., "Cakra tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Afna sudah beranjak dari sofa ruang keluarga dengan sewot. "Bu, kok jadi marah?!"
Afna tak menjawab. Ia menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar