Senin, 12 Desember 2011

Di Arung Jeram Cinta

Nada diam dengan perasaan kikuk. Ibu menatapnya dengan sorot mata yang mengatakan, 'Nah, apa kata Ibu dulu?' Tetapi mungkin hanya perasaannya saja sebab ternyata ibunya tak mengungkit-ungkit lagi masalah yang satu itu.
"Menurutmu, Tantra itu bagaimana?"
Entah mengapa tiba-tiba Nada merasa malu dengan pertanyaan itu. Ia memahami arah pertanyaan ibunya. "Maksud Ibu?"
Tia tersenyum geli. "Ah, pura-pura tidak tahu, ya? Kamu tahu maksud Ibu, kan?"
"Tantra selalu baik, Bu."
"Juga romantis?"Tia mengerling.
Pipi Nada bersemu merah seketika. Kalau yang satu itu jangan ditanya! Tantra sering memberinya kejutan yang tak disangka-sangka. Termasuk kejutan ketika dirinya dilanda curiga.
Tia menyimpan tawa dalam hati. Ia tak mau lagi menyalahkan putri sulungnya karena menikah dengan pemuda kemarin sore. Walaupun jujur, ia penasaran dengan cara suami belia, menantunya itu merayu sehingga Nada menyerah tanpa syarat.
Sebaliknya Nada, setiap teringat kembali malam penyebab lahirnya Arsya membuatnya malu bukan kepalang.


"Cobalah pahami posisi istrimu, "kali ini giliran Cakra menemani sulungnya.
"Ayah, aku sudah mencoba, "tukas Tantra, "tapi aku belum siap dengan semua ini."
Cakra mengerutkan kening. "Belum siap katamu? Kalau begitu, mengapa kamu hamili istrimu kalau belum mau punya anak?"
"Ayah, mana aku tahu kalau akhirnya Nada hamil?"
Mendengar jawaban Tantra, mengertilah Cakra bahwa sebenarnya putranya itu masih ingin berbulan madu lebih lama. Dasar masih muda. Diam-diam laki-laki empat puluh tujuh tahun itu jatuh iba kepada menantunya. Pastilah Nada banyak mengalah dan membujuk-bujuk suami yang lebih pantas menjadi adiknya itu kalau sedang uring-uringan.

Tidak ada komentar: