"Surya, kenalkan Anfa, suamiku, "ujar Rana setelah berhasil menguasai diri.
Surya segera berdiri. Ia ingin bersikap satria. Ia mengangguk ramah dan mengulurkan tangannya pada Anfa.
Tetapi Anfa hanya tersenyum hambar dan tidak membalas uluran tangan Surya. Ia berpaling kepada istrinya yang berdiri terpaku di sampingnya. "Agenda Ayah tertinggal di kamar, "katanya.
Rana bergegas mengikuti suaminya yang menuju kamar.
Tanpa berkata sepatah pun, Anfa membuka laci meja dan mengambil sebuah agenda berwarna biru tua. Ia tidak menghiraukan Rana yang memperhatikannya sejak tadi.
"Ayah, tunggu."
"Ayah harus kembali ke kantor."
Rana menghalangi jalan suaminya. "Tunggu sebentar, Ayah marah?"
Anfa menghentikan langkah. Laki-laki itu menatap istrinya tajam. "Ayah tidak marah, "katanya.
"Tidak seharusnya Ayah bersikap begitu pada teman Ibu."
"Oh ya? Jadi kau membela laki-laki yang bukan apa-apamu itu? Dengar Rana, bukankah tidak seharusnya seorang istri memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah tanpa sepengetahuan suami?" setelah berkata Anfa melangkah cepat meninggalkan Rana yang tampak bersedih.
"Kau marah padaku, Anfa, "desah wanita itu resah.
Surya merasa ikut bertanggung jawab saat ia melihat wajah Anfa yang tampak tegang dan Rana yang hampir menangis. Cepat-cepat ia menghampiri pria yang tengah memakai sepatu itu.
"Anfa, jangan marahi istrimu. Dia tidak bersalah."
Anfa tersenyum tipis mendengar ucapan Surya. "Aku tidak mengenal Anda....dan tolong jangan mencampuri urusan rumah tangga orang lain."
"Tapi, Anfa, istrimu tidak seperti dugaanmu. Percayalah, kami hanya...."
Tetapi Anfa tidak mau mendengar apa-apa lagi. Ia bergegas menuju sedan yang telah menunggunya di depan.
Surya menoleh. Ia melihat air berlinang di pipi Rana.
"Jangan menangis, "Surya hendak menghapus air mata itu.
Rana melangkah mundur.
"Kenapa? Aku tidak bermaksud apa-apa."
Rana menggeleng. "Sebaiknya kau pulang, Surya."
Surya mengehela napas. "Baiklah, "katanya sesaat kemudian.
==========================00000000000000000============================
Anfa mengaduk-aduk segelas jus melon di hadapannya. Tidak sedikit pun ia berselera untuk menikmati sari buah berwarna hijau itu. Peristiwa di rumahnya masih sangat mengganggu pikirannya.
Ia cemburu. Belum pernah ia melihat sorot mata istrinya yang tampak berbinar-binar saat laki-laki itu memandangnya. Sungguh, belum pernah.
"Sudah waktunya kembali bekerja, "Faisal menggamit lengan sahabatnya.
"Kamu dulu, nanti aku menyusul."
"Kau kelihatan murung. Ada yang kaupikirkan?"
Anfa menggeleng.
"Ingat, jangan membawa masalah pribadi ke kantor."
Anfa tersenyum. Ia beranjak dari duduk. "Kau benar, "katanya.
Faisal tertawa. "Kau selalu menjawab setiap perkataan dengan singkat, padat, dan jelas."
"Ya, seperti iklan."
Meledak tertawa keduamya.
Anfa setuju dengan nasihat Faisal. Memang sebaiknya ia harus dapat menahan perasaan pribadinya saat bekerja. Apalagi ini jam kerja.
================0000000000================================
Pukul satu siang. Sebentar lagi Arya pulang. Rana harus menjemput anak sulungnya itu seperti biasa.
"Ibu...," tertatih-tatih si Kecil Shafa menghampiri ibunya yang sedang menuangkan susu ke dalam botol.
"Eh, sudah bangun, Sayang, "Rana berjongkok mencium anaknya. "Shafa ganti baju ya, nanti kita pergi ke rumah Tante Afna."
"Iya, Bu. Nanti Chapa bawa pelmen, boyeh?"
"Boleh, "ujar Rana. "Tapi bawa dua saja, ya. Biar Shafa tidak sakit ...."
"Didi..."Shafa meringis menampakkan deretan gigi geliginya.
Rana tersenyum geli. Kelucuan Shafa membuatnya lupa akan kesedihan dan kekalutan yang tengah melanda dirinya.
===============0000000000=========
Nada ponsel berbunyi. Anfa meraih hp dari atas meja.
"Assalamualaikum. Ya, saya sendiri."
Anfa tampak terkejut. "Apa? Kecelakaan? Di mana? Sebentar, "pria itu membuka agenda dan menulis sesuatu.
"Ya, saya akan segera ke sana. Terima kasih. Waalaikumussalam."
Anfa berusaha mengatur napasnya yang mendadak terasa sesak. Ia harus bergegas menuju rumah sakit Hidup Sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar