Rabu, 15 April 2009

Debur Ombak Kehidupan (5)

Hari ini Anfa terpaksa pulang terlambat. Ia harus bekerja lembur untuk menyelesaikan tugasnya. Setelah menelepon ibunya, ia segera kembali menuju meja kerja.
Seluruh karyawan sudah pulang, hanya dua satpam dan tiga petugas kebersihan yang masih menjalankan tugasnya.Netty pun mengurungkan niatnya untuk pulang begitu mengetahui Anfa akan pulang terlambat.

Netty meletakkan secangkir teh hangat di meja kerja Anfa.
"Silakan, Pak. Mumpung masih hangat."
"Terima kasih."
"Bagaimana keadaan Bu Rana, Pak?"
"Alhamdulillah, baik."
Netty mulai mencari celah kelengahan wakil direktur yang menjadi idolanya itu.

================0000000000000000====================

Afna mengupas mangga gadung dan memotong-motongnya sehingga berbentuk dadu. Ibu yang sudah siap membawa garpu, mengambil sepotong, dan mengunyahnya.
"Manis, Bu?"tanya Afna memandang ibunya yang tampak menikmati potongan mangga itu.
"Manis sekali, seperti Ibu, "sahut Ibu tersenyum.
"Ah, Ibu, "Afna tertawa. "Afna tadi beli di toko buah seberang kampus."
"Bapakmu pasti suka. Mangga gadung kan buah favoritnya."
"Oh ya, jam berapa, Bapak datang, Bu?"
"Mungkin besok pagi. Mbak Rana sudah tidur?"
"Sudah, Bu. Matanya sudah terpejam, berarti sudah tidur."
Afna memasukkan kulit mangga ke keranjang sampah yang diletakkannya di dekat kaki meja.
"Bu, ini sudah tiga bulan, Mbak Rana baru bisa mengangguk dan menggelengkan kepala. Perlu waktu berapa lama ia bisa seperti dulu?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Nak?"
"Sejujurnya, Bu, Afna kaget waktu mengetahui gadis pilihan Mas Anfa. Rasanya aku tidak percaya kalau tambatan hatinya begitu sederhana. Dan sekarang...apa yang menarik dari seorang wanita yang hanya sanggup berbaring?
Bahkan untuk makan saja, ia harus disuapi."
Ibu menarik napas panjang mendengar penuturan putri semata wayangnya. Selama ini perempuan empatpuluhan itu tidak pernah menyangsikan kesetiaan si Sulung Anfa. Beliau mengetahui benar bahwa Rana dengan segala kesederhanaannya, ia mampu membuat suaminya menerima dirinya apa adanya.
Tetapi sekarang ? Sampai berapa lama Anfa mampu bertahan?
Si Kukuk berdendang sepuluh kali. Malam semakin larut.

==================0000000000000======================

Netty menyandarkan punggungnya di dinding. Ia marah dan merasa sangat terhina. Seumur-umur belum pernah ada laki-laki yang berani menolak keinginannya. Selama ini semua pria selalu bertekuk lutut di bawah telapak kakinya setelah terbuai oleh senyum dan kerlingan mautnya.
Tetapi ternyata Anfa adalah laki-laki pertama yang menolak dirinya dengan tegas. Ada satu kalimat yang dilontarkan laki-laki itu yang membuatnya marah bukan kepalang.
"Apakah kau ingin menari di atas penderitaan sesama kaummu, Netty?" ujar Anfa tajam saat wanita itu menawarkan diri untuk mengajak dirinya menikmati suasana di sebuah klub malam.
Bah, sok alim! Wanita meremas-remas saputangan yang digenggamnya dengan gemas.

Sementara itu Anfa sedang berkemas-kemas. Ia telah menyelesaikan pekerjaannya dan tidak mau menunda waktu untuk pulang. Keinginan itu semakin kuat setelah ia menerima ajakan Netty yang terlampau berani itu.
Bayangan Rana yang terbaring lemah tergambar di dalam benaknya. Ia tidak bisa mendustai diri sendiri kalau saat ini ia begitu kesepian. Kesepian itu mulai mendera ketika ia mengetahui bahwa istrinya tak memiliki perasaan apa-apa kepadanya. Sepi dan cemburu sesungguhnya masih membara di dalam dadanya. Cemburu saat melihat Rana bersama laki-laki itu.
"Hujan turun deras, Pak, "tiba-tiba Netty sudah berada di hadapan Anfa. "Tidak mungkin Bapak pulang sekarang. Banjir bisa membuat mesin sedan rusak. Oh ya, mau saya tutup tirai ruangan ini?"
"Tunggu sampai saya keluar dari ruangan ini, "sahut Anfa sambil melangkah menuju pintu.
Netty menghela napas kesal.

Tidak ada komentar: