Anfa tersentak. Ada tepukan lembut di pundaknya. Ia menoleh. "Afna, kau baru datang?"
"Iya, Mas, "Afna meletakkan tas berisi pakaian di dekat ranjang tempat Rana terbaring.
"Anak-anak?"
"Sama Ibu. Mbak Rana sudah sadar?"
Anfa menggeleng lemah.
"Tapi menurut dokter, bagaimana?"
"Kalau kondisinya stabil, mungkin tiga hari lagi Rana bisa sadar. Hanya saja...,"Anfa terdiam.
"Hanya saja apa, Mas?"
"Kata Dokter kemungkinan besar Mbak Rana akan mengalami kelumpuhan total."
Afna ternganga. "Ya Allah...,"desahnya lirih.
Anfa kembali memandang Rana yang terbaring lemah. Kepala perempuan itu terbalut perban. Laki-laki itu
menggenggam jemari istrinya yang bebas dari luka dan menempelkannya di pipi kanan.
"Makan dulu, Mas. Aku bawakan soto ayam."
"Mas belum lapar."
Afna duduk di samping kakaknya. Ia memperhatikan laki-laki yang masih setia menggenggam tangan istrinya. Gadis itu tidak habis pikir mengapa si kakak begitu mencintai Rana. Perempuan bernama Rana itu tidak memiliki keistimewaan apa-apa. Tetapi Anfa selalu memuji istrinya. "Rana itu seperti bidadari, "begitu katanya.
Mas Anfa ini benar-benar mabuk kepayang, pikir Rana saat itu. Apalagi setelah ia mengetahui ternyata kakak iparnya tidak bisa menjahit. Buru-buru menjahit, memasang kancing saja tidak becus. Menggoreng tahu pun sering hangus. Tetapi Anfa tidak pernah memandang semua itu sebagai kekurangan, ia tetap mencintai dan menerima istrinya apa adanya.
Azan magrib berkumandang.
"Mas salat dulu. Biar Afna yang temani Mbak Rana."
"Baik, "Anfa beranjak dari duduknya.
==================0000==================
Malam itu Anfa tidak dapat memejamkan mata. Sebenarnya ia ingin menginap di rumah sakit dan menjaga istrinya, tetapi ibu dan adiknya melarang.
"Biar adikmu saja, "ujar Ibu. "Kebetulan dia sedang libur semester."
"Iya, Mas, "sela Afna. "Mas urus anak-anak saja."
Jadilah malam itu Anfa menemani Shafa. Sementara Arya sudah terbiasa tidur di kamar terpisah.
"Ibu...,"Shafa mulai merengek-rengek mencari ibunya.
"Ssh...,"Anfa mengusap-usap kepala anaknya.
"Ibu...,"gadis cilik itu mulai membentuk garis bibirnya melengkung ke bawah. "Ibu...hua...hua...!'
Terpaksa sang Ayah menggendong bidadari mungilnya yang menangis dengan mata terpejam itu.
==============*******======================
Saat makan siang, Faisal memperhatikan Anfa yang tampak sangat lelah. Wajah pria itu pucat dan matanya sedikit merah karena kurang tidur.
"Kau tidur jam berapa?"
"Aku tidak bisa tidur. Si Kecil menangis terus, cari ibunya, " jawab Anfa mengaduk-aduk es jeruknya.
"Kau tahu apa yang harus kaulakukan?"
"Sebenarnya aku tahu, tapi aku tidak bisa."
"Memangnya Shafa minta apa?" Faisal mengambil sepotong tempe goreng.
"Ia suka sekali kalau ibunya memasang beberapa jepit aneka warnanya di rambutnya. Kemudian ia akan mengacak-acak rambut ibunya. Masa aku pakai jepit?"
Faisal terbahak. Anfa tersenyum simpul.
Netty melintas di depan mereka. Anfa menggamit lengan Faisal.
"Hei, sudah waktunya kau mengakhiri masa lajangmu, "ujarnya. "Di sini sudah ada yang cocok untukmu."
Faisal berdecak. "Ada-ada saja kau ini, "tukasnya. "Justru sebaliknya, para karyawati di sini banyak yang menaruh hati padamu. Kalau mau dijadikan yang kedua atau ketiga, kelihatannya mereka oke-oke saja."
Giliran Anfa yang terdiam. Ia tampak tidak senang dengan ucapan sahabatnya itu. Kalau bisa, ia lari saja dari gadis-gadis yang mengerikan itu.
"Kita kembali ke kantor, "ujarnya.
Faisal mengangguk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar