Secara fisik, aku memang lebih mirip ayah dibanding ibu. Hanya saja untuk sifat aku dapatkan secara rata dari keduanya. Ya, walaupun sifat yang menurun itu menurut orang adalah sifat yang kurang baik (sifat-sifat yang baik itu menurun pada kakakku). Aku sendiri tidak pernah menampik apalagi menyesali kenyataan itu. Bagiku setiap manusia dikaruniai Allah dua sisi yang berbeda. Orang-orang hanya melihat tampak luar, kasat mata. Masih banyak dari kita yang menaruh prasangka hanya karena melihat seseorang yang tidak pernah tersenyum. Sebaliknya sering pula kita terjebak oleh senyum dan kata-kata manis dari orang yang baru kita kenal.
Justru, dalam kepribadianku yang sering mendapat cela dari para manusia di sekitarku inilah, aku mendapatkan pelajaran yang berharga. Pelajaran bahwa Allah tidak pernah berbuat tidak adil kepada hamba-Nya. Sebab ternyata teman-teman dekatku justru menyukai sifatku yang unik. Entahlah, aku juga tidak habis pikir, tetapi itulah pengakuan mereka.
Bicara soal kepribadian, dari sudut empat tipe kepribadian (menurut siapa, saya lupa) mungkin saya merupakan perpaduan tipe koleris melankolis (yang terakhir lebih menonjol). Tidak mau mengubah pendirian sampai menemukan sesuatu yang dapat mengubahnya dan selalu menanyakan sesuatu hal secara detail. Walaupun pembawaanku tidak terlalu feminin (terkesan semaunya), tetapi sebenarnya hatiku mudah tersentuh.
Sayangnya, aku sulit jatuh cinta.
=================
Aku takut durhaka kepada orang tua jauh sebelum mengetahui ada hadist Nabi Muhammad saw tentang surga di bawah telapak kaki ibu.
Aku mengetahui dari cerita ibu bahwa walaupun proses kelahiranku lancar tetapi ada kelainan dan ibuku merngalami pendarahan hebat (sampai-sampai dokter sendiri yang mendonorkan darahnya. Terima kasih, Oom dokter). Cerita itu selalu kuingat sampai sekarang. Bukan untuk membayangkan bagaimana nanti kalau aku melahirkan, bukan itu. Aku ingin mengingat bahwa ibuku (juga ibu kita semua) telah melahirkan anak-anaknya dengan taruhan nyawa. Memang benar, Allah memberikan keistimewaan pada kaum hawa untuk memiliki kekuatan menahan sakit saat melahirkan. Tetapi kalau taruhannya nyawa, dengan apa kita membalas jasa wanita yang telah mengeluarkan kita dari rahimnya dan membesarkan kita tanpa pamrih?
===============
Akhirnya aku berhasil juga meraih gelar sarjana. Semua itu karena jasa kedua orang tuaku. Ibuku tidak pernah berhenti mendorong semangat supaya aku tidak patah di tengah jalan. Ayah selalu membisikkan padaku bahwa beliau ingin aku menjadi seorang yang ahli dalam jurusan yang kuambil ini.
Sungguh perjalanan yang tidak mudah. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.
Kukira semua telah selesai dan tinggal melanjutkan kehidupan ini seperti air sungai yang mengalir dari hulu ke hilir. Arus sungai yang tenang. Tetapi aku salah, justru mulai saat itulah badai kehidupan seakan-akan menghempaskan diriku.
==================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar