Senin, 13 April 2009

Debur Ombak Kehidupan (1)

Anfa menutup buku harian bersampul biru itu. Ah, debar sesal menghantam dadanya. Seharusnya ia tidak lancang membaca buku harian orang lain meskipun milik istrinya sendiri. Tetapi ia tidak dapat mencegah dirinya untuk tidak membaca sesuatu yang bukan haknya itu.
Dan ia harus menerima akibatnya. Coretan-coretan yang merangkai huruf demi huruf menjadi kata-kata yang menjalin kalimat itu kembali terbayang di benaknya. Kalimat-kalimat itu sangat mengganggu pikirannya. Bagaimana tidak, tak terlintas sedikitpun hal itu olehnya. Sedikitpun tidak, sampai akhirnya ia tanpa sengaja mendapati buku harian sang istri dan membacanya.

...Anfa suami yang baik, bahkan terlalu baik. Tapi, Diary...aku tak pernah bisa mencintainya. Aku telah berusaha tapi aku tetap tak bisa....

Anfa menghela napas. Jadi Rana tak pernah mencintainya. Itulah sesungguhnya yang terjadi. Wanita itu telah memendam perasaannya selama tujuh tahun dan itu bukan waktu yang pendek untuk perjalanan sebuah bahtera rumah tangga.

Padahal ada dua manusia mungil telah menghiasi kehidupan mereka. Arya dan Shafa, dua malaikat mungil tak bersayap yang menjadi cahaya mata dan pelipur lara.

Pintu kamar terbuka. Anfa cepat-cepat mengembalikan buku harian itu ke dalam laci dan berpura-pura merapikan
buku-buku yang berserakan.

"Makan malam sudah siap, Ayah, "Rana menyapa suaminya lembut. Seulas senyum manis menghiasi wajahnya yang bersahaja.
"Ya, terima kasih, "jawab Anfa menganggukkan kepala.
"Ayah mau makan malam Ibu antar ke sini? Tapi anak-anak sudah menunggu, mereka ingin makan bersama ayahnya."
"Tidak perlu,Bu. Lebih enak kita berkumpul di ruang makan."

Tetapi malam itu, Anfa tidak bisa menikmati tumis ikan peda kegemarannya. Ia hanya terdiam memandangi istri dan kedua anaknya yang tampak bahagia.

"Ayah tidak makan?" rupanya Arya si Sulung memperhatikan ayahnya yang tampak murung. "Tumis ikan peda masakan Ibu, enak lho."
"Iya, " si Kecil Shafa menyela. "Chapa cenang, coalnya enak. Ya, Mat?" ia menatap kakaknya minta persetujuan.
"Iya, Dik. Cicipi dulu, Pa."

"Ayah masih kenyang, "Anfa bangkit dari duduknya. "Ayah mau ke kamar dulu."
Arya tampak kecewa tetapi ia tidak berani bertanya-tanya, begitu juga dengan Shafa. Karena melihat kakaknya diam, ia pun ikut menunduk. Sementara Rana terdiam melihat sikap suaminya yang tidak seperti biasanya.

Ingin rasanya Anfa menyimpan gejolak hatinya rapat-rapat untuk selamanya. Ingin sekali ia pandai bersandiwara seperti istrinya itu. Tetapi sekali lagi, sejak rahasia hati Rana terkuak, ia tak lagi merasa tenang. Selintas curiga terbesit di hatinya.

"Siapa laki-laki itu?"entah apa yang mendorong dirinya mengucapkan pertanyaan itu.
Rana tercengang menatap suaminya."Maksud Ayah?"
"Tidak ada. Aku hanya ingin bertanya."
Suasana kamar hening sejenak. Rana menengadah menatap langit-langit kamar lalu berganti memandang suaminya yang masih menunggu jawabannya.
"Tidak seharusnya Ayah bersikap seperti itu di depan anak-anak, "Rana mengalihkan perhatian. Ia mengancingkan sarung bantal yang terbuka.
"Tidak usah mengalihkan pembicaraan. Tolong jawab pertanyaanku, "tukas Anfa dengan nada sunggguh-sungguh.
"Kau mencurigaiku?"
"Apakah aku terlihat seperti itu?"
Rana, wanita itu tersenyum hambar. "Sejujurnya tidak ada laki-laki lain selain dirimu dalam kehidupanku."
Anfa tersenyum lega. Ia meraih tangan istrinya. "Aku percaya, "bisiknya.
"Kau harus percaya, "jawab Rana, "Karena aku juga selalu percaya padamu."

Anfa tetap tersenyum saat melihat istrinya mulai berbaring seraya menghamparkan selimut ke tubuhnya. Istrinya memang tampak lelah.

======0000======


Karyawati baru di perusahaan tempat Anfa bekerja itu memang cantik. Selain cantik, ia pun pandai berdandan.
Bukan hanya cantik dan pandai berdandan, ia juga mampu bekerja secara profesional. Baru seminggu bekerja, karyawati itu sudah berhasil membuat direktur memujinya berkali-kali.

Tetapi Anfa tidak terlalu menyukai wanita itu. Netty, begitu sapaannya tampak selalu kehabisan bahan pakaian. Rok bawah tidak pernah mencapai di bawah lutut. Ataupun jika rok itu panjang, selalu saja robek pada bagian
betis. Sebagai wakil direktur, Anfa pernah mengingatkan Netty supaya mengenakan pakaian kerja yang santun.
Netty hanya mengangguk-angguk dan kembali dengan model yang tak jauh berbeda pada keesokan harinya.

Tetapi tidak untuk hari ini. Rupanya Netty cemas juga dengan ultimatum wakil direktur itu. Meskipun wakil direktur, tetapi Anfa adalah orang terpercaya direktur. Maka jadilah hari itu, Netty datang dengan berpakaian ala busana muslim. Karena tidak terbiasa mengenakan busana muslim, beberapa kali ia nyaris terjungkal karena terinjak kain bagian bawah.

"Permisi, Pak, "Netty membawa setumpuk berkas untuk diperiksa Anfa. "Ini ada berkas yang harus Bapak teliti."
"Ya, terima kasih, "jawab Anfa menerima berkas itu.
Tetapi Netty masih berdiri di ruangan itu.
"Silakan, kau bisa meneruskan pekerjaanmu."
Tetapi Netty belum juga beranjak dari tempatnya. Bahkan ia tersenyum menatap Anfa penuh arti. Tentu saja Anfa jadi tidak enak.
"Masih ada yang harus saya baca, Netty?"
"TIdak, Pak...tapi...,"Netty tampak tersipu-sipu.
"Ya, ada apa?"
"Kau tampan sekali, Anfa, "bisik Netty membuat wajah Anfa merah padam seketika.
"Lebih baik kamu keluar dari ruangan ini sekarang juga."
"Bagaimana kalau nanti kita keluar makan malam?"
"Terima kasih, maaf, saya sudah punya istri."
Netty terkikik. "Oh, maaf, Pak, "katanya genit, "Saya salah alamat, permisi."
Anfa geleng-geleng kepala ketika Netty meninggalkan ruangan. Tampaknya ia harus ekstra hati-hati menghadapi sekretaris baru itu.

Ia mulai membuka berkas yang disodorkan Netty. Tetapi sungguh, ia tidak membaca sedikit pun huruf-huruf yang tertera di sana. Ia teringat Rana, istrinya. Alangkah jauh berbeda Netty dan Rana. Netty wanita yang selalu ceria dan senang menebar pesona. Sebaliknya Rana, seorang istri yang pendiam dan cenderung menerima apa adanya. Jujur, belum pernah Anfa berpikir seperti ini. Apalagi buku harian Rana masih mengusik hatinya meskipun ia percaya tak ada yang lain dalam kehidupan mereka.
Kenapa kau tak bisa mencintaiku, Rana? keluh pria itu dalam hati. Padahal kau tahu aku sangat mencintaimu. Apa yang harus kulakukan supaya aku bisa meraih cintamu?

Tidak ada komentar: