Rabu, 15 April 2009

Debur Ombak Kehidupan (6)

Pagi itu ada keributan di halaman kantor. Orang-orang berkerumun bahkan beberapa wartawan dan repoter dari berbagai media massa dan elektronik juga datang. Mereka sudah bersiap-siap dengan kamera dan alat rekam.
Ada wanita cantik nekat akan terjun dari lantai tiga. Ia tampak putus asa dan tak memilliki lagi harapan untuk hidup lebih lama di dunia ini.
Faisal selaku kepala personalia tentu saja kalang kabut. Ia harus mengatasi masalah mendadak itu seorang diri. Direktur sedang menghadiri undangan di Jakarta sedangkan wakil direktur belum datang karena harus mengantar istrinya rawat jalan.
"Ada apa ini ribut-ribut?"
Faisal menoleh. Ia menarik napas lega.
"Syukurlah, Bapak sudah datang. Netty, Pak."
"Netty, ada apa dengan dia?"
"Coba Bapak lihat ke atas."
Anfa mengikuti arah telunjuk Faisal. Alangkah terkejut laki-laki itu. Ia melihat sekretaris direktur itu berdiri di jendela lantai tiga.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Faisal?"
"Saya tidak tahu, Pak. Kemarin dia biasa-biasa saja."
"Sudah ada tindakan?"
"Sudah. Tapi dia malah mengancam akan loncat."
Seorang wanita berjilbab coklat muda menghampiri keduanya. "Saya tadi juga sudah naik dan berusaha membujuk.Tapi saya hanya berhasil mengetahui sebab dia nekat seperti itu."
"Apa?"
"Maaf, katanya dia nekat karena Bapak telah melukai hatinya."
Anfa tersentak. "Saya?"
Wanita itu mengangguk.
Faisal menatap atasan sekaligus sahabatnya itu.

==================88888===============

Bapak mengupas rambutan dan memberikannya kepada Shafa. Gadis kelas II itu tampak gembira duduk di dekat kakeknya.
"Sudah makan belum?"
"Sudah, Kek."
"Oh ya, kemarin kan ulangan matematika, dapat nilai berapa?"
"Belum Shafa lihat."
"Lho, kenapa?''
"Takut kalau dapat jelek."
Kakek mengambil tas merah muda dari pangkuan cucunya. "Coba Kakek lihat."
Ibu mendorong kursi roda yang diduduki Rana, menantunya. "Kita berkumpul di ruang tengah saja, ya."
"Iya, Bu."
"Aduh, asyik sekali. Manis ya rambutan aceh dari Tante Afna?"
"Eh, Ibu, "Bapak tersenyum. "Iya, manis sekali. Kapan Afna dan suaminya mampir ke sini lagi, ya?''
"Bapak ini, "tukas Ibu. "Belum sehari berpisah, sudah mau ketemu lagi."
"Entahlah, Bu. Sejak Afna menggenapkan setengah dien setahun yang lalu, mendadak Bapak merasa kesepian.
Lebih-lebih setelah itu Bapak pensiun."
"Bapak, post power syndromenya jangan lama-lama, "Ibu duduk di kursi plastik dekat Bapak.
Bapak tersenyum. Ia membuka kertas di tangannya. "Lho, bagus kok."
"Berapa, Kek?"
"Seratus."
"Ah, yang benar, Kek?" Shafa terbelalak riang.
"Ini Shafa lihat sendiri."
Sementara itu Rana hanya memandang suasana riang itu dengan tatapan hampa. Tetapi bukan berarti ia tidak dapat memahami semua yang didengarnya.

==============*********===============

Akhirnya Anfa terpaksa menuju lantai tiga. Sementara itu Netty tetap bertengger di jendela.
Khawatir akan terjadi sesuatu pada keduanya, Faisal mengajak Hani wanita berjilbab itu menyusul.
"Jangan mendekat!"seru Netty saat melihat Anfa mendekatinya.
"Saya tidak akan mendekat, "Anfa langsung menghentikan langkahnya. "Tapi tolong, kau harus turun."
"Aku tidak mau!"
"Netty, jangan nekat, "ternyata Hani sudah tiba di lantai tiga bersama Faisal.
"Kau tidak usah ikut campur!"
"Tapi..." Hani berjalan mendekat.
"Jangan mendekat, atau aku akan loncat!"
"Baiklah, "sela Anfa dengan kepala pening. "Apa maumu?"
Tiba-tiba Netty tersenyum, ditatapnya pria tampan dan gagah itu penuh arti.
Anfa dan yang lain menunggu dengan tegang.
"Saya ingin Bapak menikahi saya."
"Itu tidak mungkin...."
"Atau Bapak lebih suka melihat saya terjun bebas?"
Anfa terdiam.
"Satu...," Netty bersiap-siap berdiri sambil berpegangan pada sisi jendela. "Dua..., " wanita itu sudah berdiri sambil bersandar. "Ti...."
"Baiklah, "jawab Anfa. "Sekarang turunlah."
Netty tersenyum simpul.
Hani bergegas menolong Netty.
Faisal menepuk pundak Anfa. "Bapak sungguh-sungguh akan menikahi dia?"
Anfa terdiam. Ia menyadari bahwa ia telah mengucapkan satu kata yang fatal akibatnya jika sampai mengingkari.

============****=============

Anfa terkejut. Ia memegang pipinya yang terasa panas. Laki-laki itu menunduk. Ia tak berani menatap ibunya yang tampak sangat marah.
"Terlalu kamu, Anfa, "suara wanita yang masih tampak cantik diusia senja itu terdengar geram. "Kenapa kau tega menyakiti istrimu?"
Anfa hanya menunduk.
"Jawab, Anfa! Kenapa kau menghamili gadis itu?!"
Kali ini Anfa terkejut luar biasa. Ia memandang ibunya.
"Ibu, saya tidak...."
"Tidak apa? Tidak menghamili gadis malang itu? Tetapi kamu telah merusak masa depannya, kau...,"Ibu tidak melanjutkan kata-katanya. Beliau menyadari bahwa Rana berada di ruang tengah itu.
Anfa cepat-cepat menghampiri istrinya.
"Rana...."
"Aku mau sendiri."
Anfa terpaku.

=============8888=================

Netty merasa sangat bahagia. Hari ini adalah adalah hari yang paling bersejarah baginya. Dengan hati berbunga- bunga ia duduk di ranjang pengantin bertabur bunga melati itu.
"Akhirnya aku berhasil mendapatkanmu, "bisik wanita kepada dirinya sendiri.
Pintu terbuka. Melihat Anfa masuk, Netty segera berdiri.
"Mau kuambilkan minum?"
"Saya harus pergi ke kantor, "sahut Anfa meraih kunci sedan di atas meja kecil di dekat ranjang.
Netty tampak kesal. Jadi kau mau menghindari aku, Anfa? Baiklah, tunggu saja nanti, siapa yang menang.

===========0000==========

Tidak ada komentar: