Kehilangan orang tua atau anak adalah hal yang paling menyakitkan. Tidak jarang seseorang bisa menghujat Tuhan bahkan kehilangan iman karena masalah yang satu itu. Alhamdulilllah, Allah memberiku kekuatan dan tetap menjagaku. Walaupun bukan hal yang mudah untuk melewati masa-masa itu, tetapi syukurlah aku cukup tegar menghadapinya.
Putri tersenyum. Ditutupnya buku harian bersampul biru laut, warna kesayangannya. Buku harian yang menyimpan kenangan sarat warna.
Sekarang ia bukan Putri yang dulu lagi. Meskipun ia masih sering lupa tempat menyimpan barang, paling tidak dia tidak lupa kalau dirinya....
"Ibu...!"
Terdengar teriakan Intan, anaknya yang paling kecil. Tergopoh-gopoh Putri bangkit dari kamar menuju ruang tengah.
Alangkah terbelalaknya Putri melihat keadaan ruang tengah yang porak poranda bagai diserang badai. Bola-bola plastik menggelinding dari berbagai arah sehingga nyaris ia terpeleset. Boneka-boneka, mobil-mobilan berserakan di lantai. Sementara lantai yang semula bersih mengkilap kini berubah menjadi lautan pelangi. Barulah Putri menyadari ada beberapa botol pewarna kue di sana. Entah bagaimana caranya benda-benda itu berpindah dari lemari gantung di dapur ke ruang ini.
Kepala Putri berdenyut-denyut seketika.
Ketiga anaknya terpaku ketakutan melihat wajah ibunya yang tampak marah.
Putri menghela napas panjang. Sebenarnya ia ingin sekali mencubit anak-anaknya yang memang tidak bisa diam kecuali saat tidur. Heran juga padahal dia dulu tidak seperti ini. Pasti keturunan dari bapaknya.
"Aksan, "panggil Putri setelah berhasil menata emosinya.
"Iya, Bu, "sahut si Sulung kelas V SD itu.
"Ambil kain pel di samping kamar mandi."
"Baik, Bu."
"Damar, Intan, ayo bantu Ibu memasukkan mainan kalian ke kotak."
Tepat pukul dua siang.
==================================
"Intan! Ayo turun!" seru Putri panik melihat anaknya yang empat tahun itu berusaha mengambil spidol berwarna di atas meja. Meja itu cukup tinggi sehingga Intan harus naik kursi untuk mencapainya
"Ambil pidol, Bu!"sahut Intan.
Putri menghampiri anaknya. "Ayo turun, masa anak perempuan naik-naik begitu."
"Mirip ibunya," mendadak terdengar bisikan.
Putri menoleh. Ada Haydar, suaminya yang telah berdiri di sampingnya.
"Mana pernah Ibu naik-naik seperti ini?"tukas Putri tidak terima.
"Mungkin tidak, "Haydar tersenyum. "Tapi rasanya Ibu lebih parah. Siapa yang pernah nekat memanjat pintu gerbang sekolah gara-gara terlambat? Lalu siapa yang menendang pintu kantor sampai jebol gara-gara terkunci dari luar? Lalu siapa yang...."
"Ssst....,"potong Putri dengan wajah khawatir. Ia melihat sekeliling kamar.
"Rahasia Ibu aman, "bisik Haydar. "Aksan dan Damar main sepak bola di halaman."
Putri menarik napas lega. Syukurlah, bisa jatuh martabat keibuannnya kalau sampai kedua anaknya tahu yang satu ini. Kalau Intan, tak apalah. Masih kecil jadi pasti belum mengerti.
Tetapi....
"Jadi waktu kecil Ibu suka naik-naik pagal ya?"
Putri menatap suaminya kesal. "Ayaah..."ia nyaris menjerit.
Haydar buru-buru lari menyelamatkan diri sebelum istrinya sempat mencubit lengannya.
Sambil menahan kesal bercampur geli, Putri membantu anaknya turun dari kursi.
"Ayo bantu Ibu masak. Intan kan suka petik kecambah?"
"Iya, mau, mau!"
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar