Senin, 13 April 2009

Debur Ombak Kehidupan (2)

Rana memasukkan kotak bekal ke dalam tas Arya. "Jangan lupa uang SPP berikan Bu Guru, "pesannya sambil
menutup tas anaknya.
"Iya, Bu. Arya berangkat, "jawab Arya mencium tangan kanan ibunya.
"Ayah berangkat, "ujar Anfa mencium kedua pipi istrinya. Kemudian pria tersenyum menatap Shafa yang duduk manis di meja makan. Balita dua tahun itu asyik menikmati sarapan paginya. "Ayah berangkat, Sayang, "katanya
mencium pipi si Kecil.
Shafa kecil mengusap-usap pipi bekas ciuman ayahnya dengan tangan yang masih memegang sendok. Akibatnya ada percikan kecap yang menempel di dasi Anfa.
"Dasi Ayah kan jadi kotor, Sayang, "ujar Rana lembut. "Makannya disuapi Ibu, ya?"
Shafa menggeleng kuat-kuat. "Ndak au! Chapa mau dicuapi cama Chapa!"
Sementara itu Anfa menuju wastafel dan membersihkan dasinya yang terkena percikan kecap.
"Bisa hilang nodanya, Yah?"tanya Rana menghampiri suaminya. "Kalau tidak bisa ganti yang baru saja."
"Bisa, Bu. Ayo, Mas, sudah siap belum?"
"Sudah, Yah."
Rana mengantar suami dan anaknya sampai ke halaman. Beginilah aktivitasnya sehari-hari. Tetapi ia tak pernah merasa menyesal melakukan semua ini. Kendatipun, sesungguhnya ia memang tak pernah mencintai suaminya, namun ia sangat menyayangi anak-anaknya.
Tak lama kemudian Anfa dan Arya telah berada di dalam sedan biru itu. Keduanya melambaikan tangan kepada Rana.
Tiba-tiba....
"Mat Aya!!!"
Anfa yang sudah menjalankan sedannya terpaksa mundur. "Tuh, adikmu, Mas."
"Iya, ada apa, Adik Sayang?" Arya mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil.
"Da da!!" Shafa melambaikan tangan dengan gembira.
"Da da juga!"sahut Arya membalas lambaian adiknya.
Anfa dan Rana tersenyum bahagia melihat kedua anaknya saling menyayangi.

==============================0000000000000=============================

Netty tidak putus asa. Meskipun Anfa sudah menjelaskan bahwa ia telah berkeluarga, tetapi ternyata wanita itu tidak mau tahu. Ia tidak menjadikan status wakil direktur tempatnya bekerja itu sebagai halangan untuk menarik simpati bahkan mungkin cinta. Setiap hari ada saja yang ia lakukan untuk menarik perhatian Anfa.

"Selamat pagi, Pak, "sapa Netty yang tengah merapikan meja kerja Anfa.
"Pagi, "jawab Anfa ramah. Ia meletakkan tasnya di atas meja.
"Maaf, apa benar Bapak sudah berkeluarga?"
"Ya. Kenapa?"
"Tapi Bapak seperti belum berkeluarga? Saya tidak percaya."
"Tidak percaya itu hakmu, Netty, "Anfa tersenyum. "Silakan lanjutkan pekerjaanmu yang lain."
"Baik, Pak, "Netty bergegas meninggalkan ruangan. Tetapi sampai di pintu, ia membalikkan tubuhnya. "Bapak mau saya buatkan secangkir teh hangat?"
"Terima kasih. Tidak usah."
Netty mengangkat bahu.
Anfa menarik napas panjang. Pria itu berusaha melawan gejolak perasaannya. Bagaimana pun juga sikap dan ucapan Netty memang sangat mengganggu dirinya. Benar, pakaian yang dikenakan wanita itu adalah busana muslim tetapi ternyata itu belum juga mengubah sikapnya.
Anfa membuka tas. Ia harus mulai menyelesaikan pekerjaan.

=================================0000000000000000000000====================

Kehadiran Surya, teman semasa SMU cukup mengejutkan Rana. Apalagi ia berterus terang bahwa sebenarnya ia dulu mencintai Rana.
"Bahkan sampai sekarang, aku masih memendam perasaan yang sama."
"Kau ini, Surya? Aku sudah punya suami."
"Iya, aku tahu, "tukas Surya memperhatikan Rana yang tengah meletakkan sepiring roti bakar. "Tapi aku tidak berani karena kamu sangat pendiam."
"Kau sendiri sudah berkeluarga?"
"Belum. Aku menunggumu."
Rana tersentak. Perasaannya jadi tidak enak. Ia memang tidak menaruh rasa apa-apa terhadap Anfa yang saat ini berstatus menjadi suaminya tetapi sungguh bukan alasan untuk mencari orang ketiga dalam kehidupannya. Walaupun sebenarnya ia pun menyimpan perasaan yang sama dengan Surya.

Keheningan yang tercipta melingkupi mereka. Beberapa saat lamanya kedua insan berlainan jenis itu tidak tahu apa yang harus dikatakan. Mereka hanya terdiam dan menunduk seraya menghitung petak lantai ruang tamu.

"Rana...aku...."
"Ya?"
"Aku ingin mengulang masa yang kubuang sia-sia itu. Aku sudah mendapatkan kesempatan itu dan aku tak mau melewatkannya begitu saja."
Rana terdiam. Diamatinya diri dan pakaian yang dikenakan. Ternyata dengan berpakaian serba tertutup seperti ini bukan berarti seseorang telah terjaga dari perasaan yang seharusnya tak boleh dihadirkan untuk orang lain. Perasaan cinta.
"Kau mau bukan?"Surya tampak tak sabar menunggu jawaban Rana. Ia menatap wanita di hadapannya dalam-dalam menelusuri setiap pahatan di wajah sederhana namun menarik itu.
"Aku...."
"Ayolah, aku yakin kau menaruh rasa cinta juga untukku."
Rana menatap Surya terkejut. "Kau...?"
"Aku tahu kau selalu memperhatikan aku. Walaupun diam-diam, aku tahu."
Merah bersemu menghias raut wajah wanita itu.

"Silakan minum tehnya, "ujar Rana berusaha menguasai perasaannya. "Kau bekerja di mana?"
"Aku seorang psikolog. Buka praktik pribadi."
"Sekarang?"
"Buka sore. Kalau pagi sampai siang aku jadi wartawan."
"Wah, dunia yang berbeda."
"Ya, begitulah, "Surya tertawa.
Rana tersenyum geli.
Mendadak keduanya terdiam. Ada sosok lain yang berdiri di tengah-tengah mereka. Anfa, suami Rana.

Tidak ada komentar: