Kamis, 16 April 2009

Aku dan Orang-Orang Tercinta

Aku mewarisi sifat pelupa dan keras kepala dari ayahku, sementara sifat nekat dari ibu. Hanya saja bedanya aku lebih parah. Ya, lebih pelupa, lebih bandel, dan lebih nekat. Semua itu semakin lengkap karena kehadiran beberapa helai uban saat aku masih duduk di bangku SD. Persis nenek-nenek!
Bayangkan saja, jika father and his daughter ini bersatu. Selama beberapa tahun ternyata kami mengulangi adegan yang sama.
Semasa SMU (dulu SMA), aku selalu berangkat sekolah bersama ayah. Kebetulan jalan menuju kantor ayah melewati sekolahku, jadi sambil menyelam minum air.
Baru saja aku naik dan menutup pintu FIAT biru, ayah berkata, "Wah, Dik, kacamata Bapak ketinggalan, ambilkan."
"Di mana, Pak?"
"Di atas tivi."
Aku bergegas turun dan mencari di tempat tersebut tetapi tidak ada. Aku juga sempat berputar mencari kacamata ayahku di beberapa tempat tapi hasilnya nihil. Aku segera menemui ayah.
"Tidak ada, Pak."
Ayah berdecak kesal, "Ck, cari kacamata saja tidak bisa, biar Bapak cari sendiri!"ayah pun turun dari mobil.
Tidak lama kemudian, beliau datang sambil membawa kacamata kesayangannya.
"Ketemu di mana, Pak?"
Di meja makan."
Ayahku memang selalu ingat saat beliau meletakkan sebuah barang pertama kali. Jadi, kalau kemudian beliau memindahkan barang itu, beliau tidak akan mengingatnya malah mengira aku dan kakakku yang suka memindah-mindahkan barang.
Bagaimana halnya dengan diriku? Aku jauh lebih parah sebab kadang-kadang aku tidak dapat mengingat secuil pun tempat barang yang kucari, padahal jelas akulah yang menyimpannya.
Ini pengalaman konyol yang tidak pernah kulupa.
"Bu, tanda peserta ini tidak boleh hilang, "ujarku menjelang magrib sambil meletakkan kartu tanda peserta OSPEK di atas lemari es.
"Ya, kalau begitu simpan baik-baik, Mbak, "sahut Ibu tersenyum. Oh ya, ibuku kadng-kadang memang menyapa kami dengan sebutan 'mas' untuk kakakku dan 'mbak' untuk aku.
"Kalau hilang, tidak boleh beli lagi, "kataku lagi sambil meraba saku seragam. Tiba-tiba aku berteriak kaget, "Aduh, kartuku hilang, Bu!"
"Ah, masa? Coba kamu teliti dulu."
Dengan panik aku membongkar isi tasku. Aneh, benda mungil berlaminating dan berbentuk persegi panjang itu mendadak raib. Lemas rasanya sekujur tubuhku.
"Sudahlah, beli lagi saja, "hibur Ibu.
Aku menggeleng. "Mungkin jatuh di jalan, Bu."
"Kalau begitu, ayo kita cari, jangan lupa bawa senter."
Jadilah kami berdua, aku dan ibuku menyusuri jalan yang kulewati tadi. Aku menyalakan senter karena langit mulai gelap dan lampu-lampu kompleks belum menyala. Benar-benar seperti pemulung kehilangan barang yang sudah ia kumpulkan sepanjang hari.
"Lho, Dik Putri cari apa?"Leli, mahasiswi yang juga tetanggaku menyapa. Tampaknya ia baru saja pulang kuliah.
"Kartu tanda pesertaku hilang, Mbak, "jawabku.
"Aduh, mudah-mudahan ketemu, ya, "sahutnya prihatin. "Mari Bu, Dik Putri."
"Iya, Mbak, "jawab kami serempak.
Setengah jam mencari, akhirnya Ibu mengajakku pulang. Sepanjang jalan beliau mencoba menghiburku dan menyarankan sebaiknya aku membeli kartu tanda peserta itu.
Sesampai di rumah, tiba-tiba saja aku ingin menyentuh bagian atas lemari es...dan..."MasyaAllah!"seruku. "Bu, sudah ketemu!"
"Alhamdulillah, di mana?"beliau menghampiri.
"Di atas kulkas."
Perempuan anggun itu menggeleng-gelengkan kepala.

========================

Kupikir aku mulai terpengaruh kata-kata kakakku. Sehabis mandi dan berpakaian, aku selalu bercermin. Masa iya, aku hitam? Memang, kata siapa aku putih? Dari dulu juga tidak ada. Tapi... kalau hitam, ya tidak kok. Cuma, sawo matang begitu....
Tetapi...memang tidak ada salahnya sedikit berdandan. Tujuanku supaya tampak lebih segar dan bukankah saran kakakku memang baik?
Aku tersenyum. Baiklah, besok sepulang mengajar, aku akan mampir ke supermarket membeli bedak dan handbody.
Saran yang membawa kita kepada kebaikan, apa salahnya kita mencobanya? Walaupun cara menyampaikannya memang kadang-kadang menjengkelkan. Aku maklum kakakku merasa bertanggungjawab atas diriku. Sejak ia mempelajari ajaran agama lebih dalam, tampaknya ia menyadari bahwa selain istri dan anak-anaknya, aku juga menjadi tanggung jawabnya.
Pintu kamar diketuk.
"Tante...."
Ah, pasti kedua kemenakannku yang laki-laki itu. Mereka ingin menonton film kartu. Televisinya memang ada di kamarku.
Aku segera membukakan pintu.

Tidak ada komentar: