Saat kusiram halaman
datang seorang pemuda tampan
namun keadaannya sungguh menyedihkan
sebotol air tergenggam di tangan
Iba hati kusapa dia
Siapakah Ki Sanak kiranya
Adakah kau tersesat rupanya
Mengapa pula kau terlihat berduka
Air matanya berlinang-linang
Akulah si Malin Kundang
Akulah si Pecundang
anak durhaka yang telah lancang
Serasa bumi memaku
Bukankah kau telah menjadi batu
mengapa kau berdiri di halamanku
Pergilah, sebelum kupanggil semua tetanggaku
Janganlah kau mengusirku
aku berkelana mencari Ibu
ingin kubersujud penuh rindu
mohon maaf atas semua salahku
Kutatap wajahnya marah
tak perlu meratap di depanku
percuma kau berjalan tak tentu arah
bukankah semua tlah berlalu
Malin Kundang tertunduk lesu
tatapannya semakin sendu
apakah tiada maaf bagiku
andai aku tak durhaka pada Ibu
Ibumu telah lama tiada
terlalu berat memikul beban lara
hapuslah air matamu
selamanya kau tetaplah batu
Malin Kundang pun tersedu
kulihat ia tampak kaku
kini ia kembali jadi batu
aku pun hanya bisa terpaku
Sejenak aku kebingungan
jika nanti tetangga berdatangan
apa yang harus kuceritakan?
Malin Kundang datang dan menangis di halaman?
Pasti aku dikira sudah gila
Kalau begitu batu ini kuamankan saja
Ini batu bernilai seni luar biasa
Aku bisa menjadi kaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar