Dokter spesialis kandungan itu ternyata seorang wanita yang lembut dan anggun. Farah, namanya. Lima bulan yang lalu ia baru saja melahirkan seorang bayi perempuan. Netty langsung merasa dekat dengan perempuan yang dikenalnya lewat Linda itu.
Dokter Farah tertarik mendengar masalah Netty yang unik itu. Ia segera mengundang wanita itu untuk berbicara empat mata di ruang praktiknya.
"Jadi Ibu hanya pura-pura hamil?"
Netty mengangguk perlahan. "Benar, Dokter."
"Bukankah Ibu tidak perlu berpura-pura? Ibu tidak perlu berbuat begitu karena Ibu sudah bersuami."
"Saya...saya tidak ingin dia meninggalkan saya, Dokter."
Dokter Farah mengerutkan kening. "Ibu cantik, kenapa takut suami meninggalkan Ibu?"
Netty menunduk.
Dokter Farah meletakkan secangkir teh hangat untuk Netty. "Silakan, "katanya.
"Terima kasih, Dok."
==========***==========
"Kalian bertengkar lagi?"tegur Ibu memperhatikan Anfa yang meninggalkan Rana di kamar. "Anfa, kau harus memahami kondisi istrimu."
"Iya, Bu, "jawab Anfa singkat. Ia tidak ingin menceritakan masalah yang sedang berkecamuk dalam rumah tangganya. Laki-laki itu berusaha bersikap wajar padahal pagi tadi ia nyaris menghajar tamu tak diundang yang lagi-lagi datang itu. Ya, nyaris, kalau saja Arya dan Shafa tak segera datang.
"Istrimu sedang apa?"
"Mendengarkan siaran berita."
"Kau tidak temani?"
"Nanti saja, Bu. Saya harus membersihkan garasi."
Ibu menatap wajah putra sulungnya yang tampak kalut. Sejak pernikahannya dengan Netty, Anfa seperti tidak pernah lagi merasakan ketenangan dan kebahagiaan. Wanita itu tak habis pikir karena memang ia belum mengetahui alasan sebenarnya Anfa menikah lagi.
"Bapak ke mana, Bu?"
"Bapakmu sedang bersih-bersih rumah kita. Oh ya, jam sebelas nanti, Ibu pulang dulu. Kasihan bapakmu, tidak ada
yang membantu."
"Perlu Anfa panggilkan taksi?"
"Tidak usah, Ibu bisa naik mikrolet. Ayo, temui istrimu. Sudah dua hari ini Ibu Bapak melihat kamu dan Rana saling memasang tampang masam. Percuma kamu ambil cuti empat hari, kalau seperti ini. Dengan Netty pun, kamu tidak pernah perduli. Anfa, Ibu kecewa. Seharusnya kau jadi suami yang baik."
Anfa diam saja. Maafkan aku, Bu, ujarnya dalam hati. Aku tidak bisa. Aku marah karena menyadari bahwa sebenarnya Rana dan laki-laki itu memang saling mencintai. Sedangkan aku begitu mencintai Rana. Dan Netty, Ibu belum tahu kalau dia hanya menjebakku. Aku pun tidak tahu siapa laki-laki yang telah menghamilinya.
"Anfa..."
Anfa memandang ibunya. Ia tersenyum.
"Temui istrimu."
"Baik, Bu."
========********=========
Arya dan Shafa gembira karena Tante Afna datang ke rumah kakek. Sayangnya, tanpa suami. Kata Tante Afna, Oom harus bekerja.
"Wah, sudah berapa bulan, Nak?"sambut Bapak mencium kening putrinya.
"Enam bulan, Pak."
"Ayo masuk, "Bapak meraih tangannya. "Tadi Bapak coba masak nasi goreng, mudah-mudahan enak."
"Tante, biar Arya yang bawakan tasnya."
"Oh, ini oleh-oleh. Bawa saja, Arya."
Shafa memperhatikan perut tantenya. "Tante mau melahirkan?"
"Iya, tapi masih lama."
"Lho, kalian tidak sekolah?"
"Arya masuk siang, Tante. Kalau Dik Shafa memang libur."
Shafa mengangguk-angguk.
Bapak mengajak Afna ke ruang makan.
Arya dan Shafa mengikuti.
=========0000=========
Jam praktik sudah tutup sejak tadi. Farah pun bersiap-siap pulang.
Ia teringat Netty pasien yang unik itu. Ia bersedia membantu wanita itu dari kemelut yang sedang dihadapinya.
"Jadi saya harus jujur, Dok?"
"Benar, Ibu harus jujur."
"Suami saya pasti sangat marah."
"Itu resiko yang harus Ibu hadapi."
Netty terdiam. Ia tampak gelisah.
Farah menghela napas. Ia melangkah keluar ruangan dan mengunci pintu.
======00000000===========
Hani menyerahkan setumpuk berkas yang harus ditandatangani Anfa.
"Cepat sekali kamu masuk, Han? Cuti bulan madumu masih seminggu lagi kan?"
Hani tersenyum malu. "Faisal juga masuk, Pak, "jawabnya.
"Jadi ceritanya ikut suami?"
"Sebaiknya kan begitu, Pak."
Anfa tersenyum. "Baiklah, mana yang harus saya tandatangani?"
Hani membuka map berisi berkas-berkas itu.
Hani bergegas meninggalkan ruangan direktur setelah Anfa menandatangani berkas-berkas itu.
Anfa membuka laptop yang tersedia di meja kerjanya. Tetapi ia tidak segera membuka filenya melainkan melihat foto-foto kedua anaknya yang cerdas dan periang itu. Ia tersenyum memandang gambar-gambar yang bersejarah dalam hidupnya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, "Anfa menoleh. Ia terkejut.
"Boleh aku duduk?" tanya Netty menunjuk kursi.
"Ya, duduklah."
Netty memeluk erat tas tangan yang dibawanya. Ia memandang suaminya penuh arti.
"Ada yang ingin kaubicarakan?"
"Iya, Mas. Tapi Mas tidak sibuk kan?"
"Belum, tapi ceritakan saja."
"Aku tadi sempat bertemu Afna. Ia kaget sekali waktu tahu bahwa saya istrimu juga. Kami sempat ribut. Ia marah sekali. Untunglah Ibu berhasil memberinya pengertian."
"Maafkan adikku. Dia memang belum tahu kakaknya menikah lagi."
"Kenapa Mas tidak ceritakan saja?"
"Aku tidak mau mengecewakannya karena tahu ia sedang hamil. Ah, mudah-mudahan dia tidak apa-apa."
"Ya, mudah-mudahan. Sebenarnya sejak kemarin aku ingin menyampaikan satu hal kepadamu...tapi aku takut...."
"Takut?"
"Aku takut kau marah."
=======00000========
Farah meletakkan sepiring pisang goreng di ruang tamu.
"Mas, untuk apa menunggu sesuatu yang tidak pasti? Bukankah itu pekerjaan yang sia-sia."
"Entahlah, Farah. Mas benar-benar mengagumi wanita itu."
"Pasti dia sangat cantik."
"Samasekali tidak. Tapi entahlah, kenapa aku bisa begitu tergila-gila padanya."
"Mas harus ingat, ia sudah berkeluarga."
"Ya, aku tahu, Farah. Tapi Mas tidak bisa menahan diri untuk tidak menemuinya."
"Dan suami wanita itu hampir saja membuatmu babak belur?"tukas Farah menatap kakaknya tajam.
Sang Kakak terdiam.
"Masih banyak gadis atau wanita yang masih sendiri. Mas harus belajar melupakan wanita itu."
"Saat aku tahu dia lumpuh, aku malah gembira. Harapanku suaminya pasti akan menceraikannya. Sayangnya aku salah, ternyata suaminya begitu setia. Aku juga menyadari bahwa suaminya bukan hanya mencintainya tetapi juga sangat menyayanginya."
"Mas memang harus sadar. Jangan merusak rumah tangga orang."
Si Kakak mengangguk-angguk.
Terdengar suara tangis bayi dari kamar.
"Sebentar ya, Mas, "Farah beranjak dari duduknya.'
"Suamimu belum pulang?"
"Belum, dia lembur."
=========))))((((========
Netty duduk di samping Anfa.
"Kau marah, Mas? Maafkan aku."
"Jadi sebenarnya kau tidak hamil?"
Netty menggeleng.
"Kenapa kau lakukan ini?"
"Aku putus asa, aku ingin kau menikahiku."
"Aku tidak menghamilimu, Netty."
"Tapi aku sangat mencintaimu. Keinginan untuk memilikimu begitu besar."
"Sampai-sampai kau rela menyakiti sesama kaummu?"
"Cinta memang buta. Maafkan aku."
Anfa memandang Netty yang menunduk. Sebenarnya perempuan ini jauh lebih cantik dibanding Rana, tetapi tetap saja ia tak merasakan sesuatu yang lain itu. Cinta memang ajaib.
Suasana hening sejenak. Anfa mencium pipi Netty lembut.
Dada wanita itu berdebar keras. Ini kedua kali suami menciumnya, yang pertama setelah akad nikah.
Braaak!
Keduanya tersentak. Mereka langsung melompat menghampiri Rana yang terjatuh dari kursi roda. Anfa memapah istrinya duduk di sofa. Sementara Netty menyiapkan bantal dan segelas air hangat.
Rana tidak menolak saat Netty membantunya untuk meneguk air putih itu.
Anfa mencium keningnya.
"Bagaimana laki-laki bisa mencium dua wanita sekaligus dalam satu ruangan?"tanya Rana lirih tetapi Anfa dapat mendengarnya dengan jelas. Juga Netty.
"Rana...."
"Biarkan aku sendiri."
Anfa dan Netty terdiam.
=============((())))=============
Tujuh tahun kemudian.
"Oom dan Tante harus datang, "ujar Arya sore itu. Ia menyerahkan sepucuk amplop hijau muda.
"Lho, kamu mau menikah, Arya?"
Arya mengangguk "Benar, Tante."
Netty tersenyum. Ia menatap pemuda yang dulu pernah menjadi anak tirinya itu. Ia teringat Arya pernah protes dengan kehadiran dirinya yang tiba-tiba itu. Hanya saja Arya adalah anak yang sopan sehingga memutuskan untuk tidak ikut campur urusan orang tua.
"Kita ada acara apa tidak, Ma?"tanya pria yang duduk di samping Netty.
Arya memandang laki-laki itu. Ia adalah teman ibunya yang beberapa kali datang bertamu.
"Mudah-mudahan tidak, "jawab Netty.
"Kalau begitu, saya pulang, "Arya berdiri. "Permisi, Oom, Tante."
Sepasang suami istri itu mengiringi kepulangan Arya yang mengendarai Supra X dengan pandangan mata.
"Dia anak...."
Netty tertawa. "Ya, dia anak dari perempuan yang suaminya nyaris menghajar Papa, kan?"
Suaminya terbahak. "Papa perlu belajar banyak dari suami yang setia itu."
"Dia memang sangat setia."
"Bagaimana dengan Papa? Apa Papa kurang setia sampai anak kita tiga?"
"Ih, Papa asal, "Netty gemas. "Apa hubungannya?"
Si Suami tersenyum. "Lalu bagaimana dengan Rana, istrinya itu?"
"Kabarnya Mbak Rana sudah bisa berjalan lagi."
"Aku senang mendengarnya. Kapan?"
"Mama tidak tahu. Tapi Mama pernah melihat dia dan Mas Anfa belanja di supermarket bersama dua balita laki dan perempuan."
"Wah, pasti itu anak-anak mereka."
Benar. Pada saat yang sama Anfa dan Rana sedang kewalahan melerai si Kembar yang berebut mainan.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar