Minggu, 27 Desember 2009
Masa Ceria
makhluk mungil berdiri di ruang tamu
menatap nyalang gelas-gelas terpajang
sembari tertawa riang
Buku cerita tergenggam di tangan
sebelum akhirnya terlelap di buaian
jemari mungil lincah menari di atas gambar
sambil berceloteh riang matanya berbinar-binar
Waktu berlalu tak dirasa
menyambut indah masa remaja
kini makhluk mungil itu
mulai mengenal arti sebuah rindu
Catatan : Hari ini tanggal 27 Desember 2009 adalah hari kelahiran kemenakan sulungku tersayang Rizki Pratama Syahputra yang keenam belas. Berbeda dengan adiknya, Rayhan, Eki lebih tertarik menggambar manga (kartun Jepang) dan sangat kutu buku. Saking kutu buku mania, menonton acara televisi malah sambil membaca buku. Caranya: televisi tetap menyala, sementara ia tetap membaca buku. Kalau mama atau papanya hendak mematikan televisi, ia pasti protes, katanya ia juga menonton.
Selamat ulang tahun, Aa Eki, semoga kelak menjadi orang yang berhasil dalam segala bidang, sukses di dunia dan akhirat. Amin ya Robbal Alamin.
Senin, 21 Desember 2009
Hari yang Indah
si Kecil duduk manis di depan televisi
serius ia memerhatikan
menu yang disajikan hari ini
Mama siapkan sepiring nasi dan sepotong ikan
si Mungil tersenyum berseri
bahan dan cara memasak ia sebutkan
yang didapatkan dari tayangan media pagi tadi
Waktu terus berjalan
si Mungil beranjak remaja kini
ia berkata kepada Papa penuh keyakinan
aku ingin punya restoran sendiri
Catatan : Senin, 21 Desember 2009, tepat tiga belas tahun usia kemenakanku yang tersayang: Muhammad Rayhan Akbar. Meskipun anak laki-laki, tetapi sejak kecil Rayhan senang menyimak acara memasak. Sering ia menggoreng tahu atau tempe untuk mama dan papanya atau memasak mi goreng untuk kedua adiknya. Ia tidak terlalu suka membaca. Jangan coba-coba mengajaknya untuk menonton film sebelum ia membaca cerita aslinya. Dijamin ia tidak akan mau membaca buku itu. Alasan, "Kan sudah tahu ceritanya."
Selamat ulang tahun Aa Rayhan. Semoga panjang umur, taat beribadah, berbakti kepada Mama dan Papa, rajin belajar, dan sukses selalu. Amin ya Robbal Alamin.
Rabu, 02 Desember 2009
Sang Idola
Meski tongkat tergenggam di tangannya
Namun lentik jemari berkuku jingga
Coba sibakkan helai rambut yang memutih
Tubuhnya yang bungkuk tampak letih
Walau keriput kulit membungkus raganya
Tetapi kerling mata menggoda, bibir merah menyala
Ingin tutupi suara yang bergetar lirih
Nenek yang renta dimakan usia
Namun senantiasa merasa belia
Sekujur tubuhnya penuh permata
Masih bergaya bak gadis remaja
Tetap berhasrat menjadi idola
Semakin ramai manusia memujanya
Rinduku Kian Berlapis
yang telah menyusup ke sudut-sudut sanubari
Cintaku begitu menggelora
hingga malam tiba daku pun terjaga
Kutahu tiada obat yang ampuh
agar rindu ini mampu kubunuh
Semakin lama malah bermekaran di kalbu
mendesak-desak rasa ingin bertemu
Kekasih, selalu kudamba masa bersama
menumpahkan keluh kesah, segala rasa
Bagaimana cara melepas rindu yang kian berlapis
sebab kutahu rinduku pada-Mu tak kan pernah habis
Bidadari Kalbu
belajar dan bermain dengan segala riang yang ada
sampai suatu ketika Tuhan menurunkanku ke persada
dalam wujud bayi mungil tanpa dosa
Sejenak kebimbangan menyergapku
tak ingin kutinggalkan firdaus yang kurindu
belum siap jika tak lagi bertemu Tuhanku
sejuta tanya bermunculan di kalbu
Siapakah yang akan menjagaku nanti
Siapakah yang akan membimbingku seperti selama ini
Sungguh tak rela hati melupakan kehidupan surgawi
aku takut tak kan bisa kembali
Janganlah kau takut atau ragu
akan ada seseorang yang selalu menyayangimu
bahkan dia rela bertarung nyawa demi keselamatanmu
kudengar suara Yang Mahakuasa menghibur daku
Siapakah dia, Tuhan
aku bertanya tak kuat menyimpan penasaran
walau kutahu Tuhan dapat menemukan apa pun yang kusembunyikan
Dialah bidadari dalam kehidupan
di telapak kakinya terukir surga dambaan
Maka turunlah aku ke bumi
berwujud bayi mungil menyejukkan hati
kurasakan tangan lembut menyentuh jemari
kasihnya meresap ke dasar sanubari
Kuakui selama beberapa waktu
aku tak habis menggerutu
karena bidadari tak bersayap itu
hampir setiap hari memarahiku
Malam ini aku sendiri
tiada lagi bidadari itu di sisi
aku pun bertanya dalam sepi
Tuhan, dapatkah kuraih firdaus dambaan insani
Karena saat ini baru kusadari
mengapa Tuhan memilih seorang bidadari
untuk menemaniku dalam hidup tak abadi
sebab dialah pembuka pintu surgawi
Senin, 09 November 2009
Duniamu, Gadis Kecil
adalah warna-warni indah merayu
penuh kemilau sinar menari
yang kaudekap erat di hati
Semesta dalam bola matamu
bagai kilau intan berserakan
yang kaupungut sambil senyum kegirangan
dan tersisip di celah-celah kalbu
Lorong waktu laksana taman di surga
dalam jiwamu selalu lapang
menyanyi, menari engkau dengan riang
iringi simponi melaju masa
Sebuah Catatan
menguncang senja mengurai senyum sekilas
Seperti siang berbinar mentari
yang berlalu saat senja menghampiri
Dan juga fajar yang basah oleh tetesan embun
lalu mengering saat siang bersama panas menghimpun
Seperti kelam yang datang dalam diri
sedikit demi sedikit menghapus senja berseri
Dan sebelumnya surya pun berlalu
ketika sambur senja datang tersipu-sipu
Ingatlah pula dini yang menyentuh hari
lalu ia pun terbang berganti baskara yang berapi-api
Fajar, siang, senja, dan malam
semua ada di diri kita tergenggam
Embun, surya, limbur, dan kelam
FirmanNya terangkum dalam catatan kalam
Ingin Kulukis
tak lagi pancarkan warna-warni kilaunya
rajutan gunung, sawah, dan lautan menghilang
berserak terempas seiring tangis duka
Selaksa dongeng masa silam
tinggal cerita lewat buah tutur
sementara dongeng kian terbenam
sisakan dedaunan melayang gugur
Untaian bunga yang semerbak
kini wanginya bak kamboja
meratap pilu di dada menyeruak
tiada lagi indah membuai mata
Ingin kulukis engkau
agar dapat anak cucuku terpana
cantik bagai nirwana dikau
kan menyulam kembali indahmu, tanah pusaka
Minggu, 20 September 2009
Syair Satu Syawal
setelah satu bulan dinanti
meresap ke dasar sanubari
harap hati kembali suci
Sinar itu kembali hadir
menebas segala dusta di bibir
bergumpal-gumpal dosa pun menyingkir
terbanglah sudah jiwa yang kikir
Tataplah angkasa raya
tirai pelangi membentang di semesta
meluncur warnai sukma bahagia
kemenangan yang fitri telah tiba
Sabtu, 15 Agustus 2009
Pertiwi
ibarat gelas ia berkeping-keping
serpihan kacanya menancap tepat
di sela-sela daging yang terluka
percikkan warna semerah darah
Paras bundaku semakin layu
senyum getir penuh duka menyungging
dari bibir yang terkatup rapat
sesakkan dada hempaskan rasa
menitik air mata dari hati bernanah parah
Keris pusakaku kini hanya benalu
terseret jerit badai yang senantiasa melengking
tersapu ombak yang tak henti melompat
ganas menerjang diri tiada berdaya
menerpa tubuh terkapar lemah
Tak ingin menangis lagi ibuku
namun fajar setia yang menyingsing
hanya mampu menyimpan niat
sebab anak-anak yang durhaka
telah menentang lurusnya arah
Apakah Engkau murka, Tuhanku
pertiwiku berseru hingga iba memancing
menggugah pasukan gagah dan kuat
datang hentikan ratap yang menggema
takut Tuhan semakin marah
Tuhan, kembalikan bundaku yang dulu
laksana embun tatapnya bening
yang sanggup bangkitkan semangat
hingga kami tak lagi bermanja-manja
menghalau segala rintang menjamah
Musim dan Masa
hingga tumbuhkan lagi
kelopak serta daun yang gugur
mencium tanah terbujur
Masa yang telah berlalu
tak kan kembali seperti dulu
sebab dia bukanlah surya
yang setia bersama pijarnya
Hidup hanyalah persinggahan
sambil menunggu tiba giliran
bagai rembulan mengintai malam
berdebar dada terasa menghunjam
Berlalulah barisan musim beriring
temani masa telusuri curam tebing
mengantar kita pada yang satu
bersujud diri di hadapan Sang Pemilik Waktu
Kamis, 13 Agustus 2009
Aktor dan Naskahnya
sebuah buku bersampul kelabu
warnanya nyaris pudar dimakan waktu
seperti tak mau lagi menunggu
Bukankah kita telah ditakdirkan untuk bersama
mengapa masih harus lewati masa dengan jeda
serta keraguan yang menyelimuti jiwa
sedangkan semua telah tercatat sejak dahulu
Tahukah kau buku yang baru kubuka
belum ada setetes huruf yang kutulis
singkirkan keraguan yang menepis
sebab kisah kita tercantum di sana
Lembar-lembar itu berkisah tentang kita
walaupun baru saja melangkah
mungkin setiap manusia harus bisa memilah
bagi lakon yang akan dijalaninya
Baiklah , hapus saja coretan yang tak perlu
tulisan itu hanyalah naskah sandiwara
kita telah ditunjuk memeriahkan pentas dunia
improvisasi akan hasilkan karya spektakuler yang bermutu
Marilah, mari kita mainkan
peran kita layaknya bintang terkenal
siapakah yang berani menyangkal
kitalah aktor tanpa tandingan
Selasa, 11 Agustus 2009
Dunia Sejauh Mata Memandang
Mawar baru saja tiba di lantai dasar Fakultas Sastra ketika seorang pemuda menyapanya. Ia membawa sepucuk surat.
"Mawar!"
"Eh, Aksa, ada apa?"
"Surat untukmu, "jawab pemuda yang disapa Aksa itu menyerah surat yang dibawanya.
"Terima kasih, "Mawar menerima surat itu.
Aksa memandang gadis bersahaja yang berbalut busana muslim itu. Mawar memang gadis idaman. Ia selalu ramah dan lemah-lembut. Rasanya aku sudah menemukan pilihan, aku yakin aku tidak salah pilih...tapi....tapi apakah ia juga merasakan hal yang sama....?
Sementara itu Mawar yang sedang membaca, tidak menyadari ada seseorang yang terus memandangnya dengan perasaan tak menentu.
=============================================================
Aalangkah terkejutnya Satya ketika sampai di sekolah Avisha. Anaknya itu sudah pulang sejak tadi siang, begitulah laporan beberapa guru yang berada di sana. Dari keterangan seorang guru, Satya dapat menebak bahwa istrinya yang menjemput Avisha.
Di sudut kamar Avisha duduk menekuk lutut. Ia merasa sangat sedih. Sedih, marah, kecewa, sekaligus benci bercampur aduk menjadi satu. Gadis itu tidak mengerti mengapa Ibu selalu marah-marah kepadanya. Tadi sepulang sekolah, Ibu sempat menyeretnya ke kamar mandi dan menguncinya di sana selama dua jam.
"Bagus! Kamu membuat kepala pusing!"seru Reni menarik tangan anaknya kasar.
Avisha menjerit kesakitan. Ibu membuat pergelangan tangan kanannya serasa putus.
Bukannya kasihan, Reni malah mengancam, "Menangis lagi, aku siram kepalamu dengan air seember!"
Avisha tampak pucat seketika. Ia belum lupa selama dua jam Ibu menyekapnya di kamar mandi. Tidak, ia tidak mau dihukum lagi. Ingin selamat, gadis kecil itu cepat-cepat mengusap airmatanya.
Reni berlalu. Sebentar lagi acara pertemuan di rumah teman, ia tak mau terlambat. Perduli amat dengan suaminya. Makan malam, ia bisa menggoreng telur atau membeli lauk di kedai sebelah. Ia bukan bayi.
Avisha sedih sekali karena kehilangan tasnya. Tas yang berisi buku-buku pelajaran dan buku puisi hasil karyanya.
Dengan langkah gontai, ia mengambil pensil dari meja belajar. Sambil bersenandung lirih anak itu menggoreskan sesuatu di dinding kamarnya.
===========================================================
Damar menepuk dahinya. Ia tampak panik. Irfan menatapnya kebingungan.
"Jadi kamu sudah bertemu gadis berjilbab pakai blouse batik?"
"Iya, Mas. Kenapa?"
"Kenapa tidak kamu antar dia ke ruanganku?"
"Saya sudah menyuruhnya titip pesan, Mas kan sibuk."
"Lalu?"
"Dia menolak."
Damar menarik napas panjang ditatapnya Irfan dengan serius. "Kalau begitu kamu harus menghubungi gadis itu."
Irfan tampak terkejut. "Tapi, saya tidak tahu nomor teleponnya, Mas."
"Itu yang harus kamu usahakan, "Damar semakin serius. "Saya harap dalam waktu dua puluh empat jam, kamu berhasil menghubunginya."
Irfan semakin panik. "Bagaimana saya bisa menghubunginya kalau namanya saja saya belum tahu?"
Lagi-lagi Damar menghela napas panjang. "Dik Irfan, ini suatu pelajaran berharga bagimu supaya jangan meremehkan orang lain. Kaupikir siapa gadis itu?"
"Mungkin dia ingin memasukkan karyanya atau ikut lomba cipta puisi yang kita adakan...."
Damar tersenyum simpul. "Kamu belum berubah, Irfan, selalu menganggap mereka yang berpenampilan sederhana sebagai orang yang tak tahu apa-apa.''
"Lalu siapa gadis itu, Mas?"
"Bukankah selama ini kamu penasaran dengan Tiara Mawar."
"Maksud Mas Damar, dia Tiara Mawar ?"
"Ya."
Irfan tercengang.
===========================================================
Hari ini Satya mengambil cuti kerja. Ia bersyukur karena hanya tinggal menyusun skripsi untuk meraih gelar Sarjana Sains.
Badan Avisha panas. Ia demam, itulah yang membuat Satya cemas. Ia tidak mengerti peristiwa yang telah menimpa putri tunggalnya itu.
Reni tidak perduli sedikit pun dengan keadaan anaknya. Wanita malah sibuk merias diri di depan cermin.
Satya benar-benar geram tapi tak ada waktu untuk mengurusi istrinya. Ia lebih mencemaskan anaknya. Ayah belia itu bersiap-siap hendak membawa gadis kecil itu ke rumah sakit.
"Ayah...Avisha mau dibawa ke mana...?"tanya gadis itu lirih saat ayahnya memakaikan jaket merah muda.
"Kita jalan-jalan sebentar, "sahut Satya berbohong karena Avisha paling takut melihat rumah sakit. Dalam hati ia bertekad akan mencari rumah sakit bernuansa menyenangkan. Ia tak perduli berapa pun biaya yang harus ia tebus.
=============================================================
Tentu saja bukan perkara mudah mencari Tiara Mawar karena ternyata nama itu merupakan nama pena. Irfan nyaris menyerah karena sudah tujuh jam mengelilingi fakultas sastra tetapi tak seorang pun mengenal mahasiswi bernama Tiara Mawar. Begitu pula saat ia memasuki kantor administrasi untuk menanyakan data mahasiswi tersebut.
"Jurusan apa, angkatan berapa?"tanya pegawai administrasi itu dengan wajah keruh. Irfan sempat menggerutu padahal waktu melayani gadis yang baru keluar, pegawai ini tampak ramah.
"Saya tidak tahu, "jawab Irfan jujur. "Tapi penyair terkenal."
"Itu bukan urusan saya, "tukas pegawai itu tak acuh.
Irfan berusaha sabar. Kalau bukan perintah atasan, sudah ia permak wajah laki-laki sok penting di hadapannya ini.
=============================================================
Profesor Afan menatap Satya yang tampak murung. Pria setengah baya itu menepuk-nepuk pundak adiknya.
"Istrimu sudah datang?"
Satya menggeleng. "Rasanya aku ingin cerai saja, Mas. Aku tak sanggup lagi."
"Tidak, jangan, "tukas Profesor Afan. "Kamu tidak kasihan dengan anakmu?"
"Tapi Reni tak pernah mau memperhatikan Avisha, Mas. Aku tidak tahu kenapa ia membenci anaknya sendiri."
Profesor Afan tersenyum. "Bukankah kamu dulu juga begitu? Tapi syukurlah, kamu segera menyadari kesalahanmu."
Satya mengangguk.
"Kamu mau Mawar yang menjaga Avisha malam ini?"
Kali ini Satya menggeleng. "Kasihan nanti kuliahnya terganggu."
"Tapi dia mau, Satya, "sela kakak sulungnya itu. "Sebentar lagi, selepas Isya, ia datang.''
"Aku selalu merepotkan kalian."
"Jangan begitu, kita bersaudara kandung."
Satya beranjak membetulkan selimut anaknya yang mulai acak-acakan. Profesor Afan memperhatikan dengan perasaan terharu.
"Kata dokter, kapan Avisha boleh pulang?"
"Tergantung kondisi jiwanya, Mas."
Profesor Afan bangkit dari kursinya dan memandang wajah gadis kecil yang lugu itu. Wajah tunas bangsa yang memiliki bakat luar biasa tetapi bernasib malang.
Senin, 10 Agustus 2009
Dunia Sejauh Mata Memandang
Benar-benar kehidupan rumah tangga sarat sandiwara. Begitulah keadaan rumah tangga Satya dan Reni. Tinggal di dalam satu atap, tetapi nyaris tidak pernah bertemu. Kalaupun bertemu, tak pernah bertegur sapa kecuali merasa perlu.
Reni selalu menyiapkan sarapan dengan wajah masam dan Satya menyerahkan uang belanja tanpa sudi memandang istrinya. Mereka baru saling memandang jika bertengkar.
Tetapi kali ini Satya merasa tak sanggup berdiam diri. Ia teringat Avisha yang menangis dalam tidurnya.
"Apa salah Avisha?"tegur Satya sebelum berangkat ke kampus. Ia bersiap-siap mengenakan jaket. "Kenapa kamu tak pernah mau menemaninya sebentar saja?"
"Sudah aku katakan sebenarnya aku tak mau melahirkan anak pembawa sial itu, Satya, "sahut Reni meraih tas tangan di atas meja rias. "Tiga kali aku mencoba aborsi tapi selalu gagal."
Satya terbelalak. Aborsi? Ya, Allah, ia baru tahu kalau Reni pernah berniat sekejam itu!
"Itu kesalahan kita, Ren. Anak kita tidak tahu apa-apa."
"Kesalahan yang hanya sekali kita lakukan, "tukas Reni, "Tapi kamu lihat akibatnya? Penderitaan seumur hidup bagi kita."
"Kamu sebut punya anak itu penderitaan? Apa kamu tidak tahu begitu banyak pasangan yang menikah bertahun-tahun tapi belum juga dikaruniai anak?"
Reni mengibaskan tangannya dengan gaya orang sedang bosan.
Satya berjalan keluar kamar. Ia tidak mau bertengkar lagi. Ia mulai cemas jangan-jangan istrinya mengalami gangguan jiwa. Lagipula Avisha yang sudah memakai seragam dan sepatu siap menunggunya di teras.
===============================
"Sudah ada perubahan, Pak?" tanya Ibu menuangkan air putih dari teko ke dalam gelas.
"Ada, Bu. Tapi...masih versi anak kita, "jawab Bapak mengambil sepotong tempe goreng.
"Versi anak kita bagaimana maksud Bapak?" Ibu menarik kursi dan duduk.
"Salah satunya seperti ini, "Bapak menunjukkan secarik kertas dan membacanya, "Kamu masih harus banyak belajar menulis puisi. Untuk menambah wawasan, kamu bisa membaca antologi puisi saya yang memenangkan anugerah Karya Gemilang tahun lalu."
Ibu tercengang. Benar kata suaminya, komentar itu asli versi Irfan. "Heran, sudah kena batunya masih belum sadar juga."
"Memangnya pingsan? Tapi jangan khawatir, Bapak masih punya rencana lain. Bapak yakin kali ini pasti berhasil."
"Lho kok sekarang jadi Bapak yang sombong?"
"Siapa dulu istrinya?"
"Lho kok?"
Bapak tertawa sambil menerima piring yang disodorkan istrinya.
==========================================================
'Ah, mengapa kamu malu mengakui kalau puisiku ini memang bagus?'
Benar-benar menjengkelkan.
Tetapi Irfan terpaksa mengabaikan masalah itu untuk sementara waktu, Damar memanggilnya ke ruangan.
"Ini daftar juri yang harus kamu hubungi, "ujar Damar sambil menyodorkan selembar kertas.
Irfan menerimanya dan langsung membaca daftar nama yang tertera di sana. Tiba-tiba ia menemukan nama yang asing. "Tiara Mawar? Siapa dia, Mas?"
Karena tak segera mendengar jawaban, Irfan mengangkat kepala. Ia terkejut melihat pria yang lebih tua sepuluh tahun itu tampak keheranan.
"Kamu belum pernah mendengar nama Tiara Mawar?"
"Belum, Mas."
"Aneh. Padahal ketua penyair pusat yang menunjuk Mawar langsung."
Irfan tertegun. Ah, Anggrek Bulan masih misteri, sekarang muncul pula Tiara Mawar.
=========================================================
Merah padam wajah Reni. Ia benar-benar malu, malu bercampur marah. Belum pernah ada orang yang berani menasihatinya panjang lebar seperti walikelas Avisha yang berlagak banyak makan asam garam itu.
Tanpa mengucap salam maupun mohon diri, perempuan muda itu langsung menarik tangan Avisha yang sedang bermain lompat tali di halaman.
"Tas Pisa, Bu!"
"Tidak usah! Kamu tidak perlu tas itu lagi!"
"Tapi, Bu...!"
"Diam! Ayo, pulang!"
Pak Hafiz terpaku. Ia ingin menolong muridnya itu tetapi khawatir sang Ibu akan semakin marah dan melukai anaknya.
==========================================================
Aktivitas Satya sehari-hari memang luar biasa padat. Pagi sampai sore ia kuliah dan selepas asar sampai pukul delapan malam menjadi tutor di salah satu lembaga bimbingan belajar murid SMP. Akhir-akhir ini Ayah Avisha itu semakin bersemangat karena teringat kesalahannya pada masa lalu. Ia merasa sangat berdosa.
Avisha memang lahir karena kesalahan kedua orang tuanya. Pergaulan yang melewati batas dan norma agama membuat Satya dan Reni yang saat itu baru lulus SMP terjerumus. Mereka sulit menerima akibat kesalahan sendiri. Kalau Reni pernah mencoba menggugurkan kandungannya, maka Satya pernah mencoba tidak mengakui anaknya itu.
Peristiwa itu terjadi ketika Avisha masih berusia dua tahun. Satya terpaksa mengajak ke sekolah. Biasanya ibunya, Mawar adiknya,atau salah satu dari keluarga pihak Reni yang mengulurkan jasa menjaga, tetapi entah mengapa hari itu mereka sibuk. Reni? Jangan harap, sejak melahirkan Avisha sampai detik ini, belum pernah sekali pun ia menyentuh anaknya, kecuali terpaksa.
Bayangkan, remaja berseragam putih abu-abu menggendong balita ke sekolahnya? Pasti heboh jadinya. Ya, itulah yang dibayangkan Satya. Tetapi, ia tak punya pilihan dan tidak mungkin meninggalkan balita sendiri di rumah. Itulah sebabnya ia berangkat lebih awal dari biasanya. Hal itu dilakukannya supaya jati dirinya tidak terbongkar. Mana pantas murid SMA sudah menikah dan menggendong anak?
Sesampainya di taman sekolah, Satya mendudukkan Avisha di sana. Sebelum meninggalkan anaknya, ia berpesan agar si Kecil duduk manis di sana. Padahal Satya bermaksud meninggalkan anaknya itu dan bergegas menuju kelas.
Seperti tak terjadi apa-apa, remaja tujuh belas tahun itu meletakkan tas di laci dan duduk tenang.
"Siap ulangan fisika?"tanya Doni yang datang lebih dulu.
Satya menggeleng lesu. Mana mungkin ia bisa belajar kalau setiap hari selalu ada gencatan senjata?
Doni menatap teman sebangkunya itu serius. "Kulihat kamu banyak berubah."
"Berubah?"Satya terkejut. "Maksudmu?"
Doni menarik napas panjang, "Kita sudah berteman sejak SMP dan kamu tidak seperti dulu."
Satya menunduk. Ia merasa belum saatnya menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ia agak lega karena Reni tidak satu sekolah dengannya.
"Maaf, kalau aku salah bicara."
Satya tersenyum. "Ah, tidak apa-apa, "sahutnya.
Baru selesai Satya menutup mulut, tiba-tiba terdengar anak kecil menangis, "Hu...hu...Ayah....."
Satya terkesiap. Ternyata menelantarkan anak, tidak semudah dugaannya. Avisha bukan balita yang tidak tahu ke mana harus mencari ayah yang telah meninggalkannya di tempat yang asing ini. Untunglah baru satpam dan mereka bertiga yang datang.
Doni tercengang melihat seorang anak kecil bergaun ungu tertatih-tatih memasuki kelas sambil menangis. "Anak siapa. Satya?"
"Aku tidak tahu, "sahut Satya cepat.
"Tapi dia jalan ke arahmu?" Doni keheranan.
Belum sempat Satya mencari alasan, gadis kecil itu sudah menarik-narik tangannya. "Pulang, Yah...pulang...."
Sekarang Doni benar-benar terbelalak. "Dia anakmu, Satya? Kamu sudah punya anak?"
Satya tak mampu lagi mengelak. Ingin sekali ia membungkan mulut anaknya yang terus merengek-rengek minta pulang.
Untunglah Doni teman yang baik, ia berjanji akan menyimpan rahasia Satya.
"Pulang, Yah..., "Avisha merengek-rengek lagi.
Satya yang sedang menulis surat izin pulang menoleh kepada anaknya dengan kesal. "Sst, diam. Mau dipukul?"
Avisha menggeleng kuat-kuat. Wajahnya tampak ketakutan.
......................................
Ah, setiap teringat peristiwa itu, Satya benar-benar merasa berdosa. Ia merasa menjadi ayah paling kejam di dunia. Untuk apa malu mengakui darah daging sendiri? Bukankah ia lahir karena perbuatan orang tuanya?
Pernikahan Satya dan Reni memang sekadar menutupi aib. Meskipun demikian, bukan alasan yang dapat dibenarkan jika Avisha yang menjadi korban.
Satya menoleh jam yang tergantung di dinding. Pukul empat sore. Ia teringat harus menjemput anaknya yang mengikuti latihan deklamasi untuk lomba bulan depan.
"Mau jemput Avisha, Dik?"tegur Pak Asdi pemilik Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) Sukses tempatnya bekerja.
Satya menoleh. "Iya, Pak."
"Baik, besok jadwalmu padat, siap?"
"Insya Allah, Pak."
Pak Asdi tersenyum. "Selamat jalan, hati-hati."
"Terima kasih Pak."
===========================================================
Senin, 20 Juli 2009
Dunia Sejauh Mata Memandang
Profesor Doktor Muhammad Afan Maulana
Ingin rasanya Irfan menjelma menjadi Anatsena, tokoh pewayangan yang bisa membenamkan diri ke bumi. Benar-benar jauh di luar dugaannya.
"Pilihan diksi dan majas berantakan, pengaturan tipografi tidak menunjukkan keterkaitan makna....Puisi asal jadi, nyaris tidak dapat disimpulkan maknanya, judul dan isi tak ada hubungan samasekali...Mengapa menulis puisi seperti ini? Kalau hanya seperti ini, saya yakin murid SD akan mengalahkanmu."
Pria jangkung bersahaja yang duduk di hadapannya dengan meja yang membatasi mereka itu tersenyum. "Terima kasih, Saudara Irfan. Komentar-komentar Anda membangkitkan semangat saya untuk terus belajar sehingga bisa menghasilkan karya berkualitas tinggi."
Sekarang Irfan bukan lagi ingin menjadi Antasena, tetapi kalau bisa sekalian memiliki aji halimun yaitu mampu mengubah diri menjadi asap lalu menghilang. Ia merasa dirinya benar-benar bodoh.
"Oh ya, kapan-kapan saya ingin berkunjung lagi. InsyaAllah, saya akan mengajak kemenakan saya. Ia pasti bangga dapat berjumpa dengan penyair terkenal seperti Anda."
"Oh, silakan, Prof, dengan senang hati."
Setelah sang tamu mohon diri, Irfan masih tertegun di depan gerbang. Belum pernah ia merasa malu seperti ini. Kapan-kapan kalau sang tamu berkunjung lagi, dia akan mengenakan topeng.
Pria yang baru saja datang itu bernama Profesor Doktor Muhammad Afan Maulana. Beliau adalah seorang pujangga dan eseis terkenal bahkan sampai lintas benua. Penghargaan yang diterimanya mungkin lebih dari seratus, baik dari dalam dan luar negeri. Tetapi yang paling membuat Irfan malu bukan kepalang adalah karena Profesor Afan merupakan mantan dosen luar biasa untuk matakuliah apresiasi sastra dan kajian cerita rekaan semasa ia menjadi mahasiswa di Universitas Kencana.
Mengapa tidak terlintas sedikit pun di benakku kalau yang menulis amntologi puisi itu Profesor Afan? desah pemuda dalam hati.
Aku menari bersama senja
tapi ia lenyap ditelan malam
oh, duka hatiku
Aku menari dengan bayangan
Aku hanya menari di dalam angan
Oh, resah hatiku!
Merinding bulu roma Satya membaca coretan di atas selembar kertas gambar itu. Ia merasa dibawa ke negeri asing yang belum pernah dilihatnya bahkan dalam dunia khayal sekalipun.
Ayah belia itu menghampiri gadis kecilnya yang sudah terlelap. Betapa murung wajahnya seolah-olah menyandang beban yang sangat berat.
Terdengar langkah kaki. Itu pasti Reni. Istrinya itu selalu pulang larut malam. Satya tak mengerti bagaimana mungkin Reni menitipkan anak kandungnya kepada Mawar, adik iparnya. Ia bahkan tampak tidak merasa bersalah samasekali, sebaliknya malah merasa lega ada yang bersedia mengurus anaknya.
"Baru pulang?" Satya menghadang istrinya yang akan masuk kamar.
"Seperti yang kamu lihat."
"Kapan kamu memberikan perrhatianmu untuk anak kita?"
"Aku lelah, besok saja kita bicara."
Satya terdiam. Reni selalu menghindar dengan berbagai cara jika ada yang mengajak berbicara tentang Avisha. Entah mengapa perempuan itu seperti tak menyayangi darah dagingnya.
Dan seperti biasa, Satya memilih untuk mengalah.
Dunia Sejauh Mata Memandang
Menari dalam Bayangan
Malam itu seusai makan malam, tidak seperti biasanya Bapak menemani Irfan yang sibuk di depan komputer.
"Siapa Anggrek Bulan? Puisinya bagus sekali."
"Memang Bapak tahu puisi bagus atau tidak?"
"Irfan, Irfan, jelek-jelek begini, bapakmu dulu pernah beberapa kali menjuarai lomba puisi walaupun cuma tingkat provinsi."
Irfan menoleh. Ia menatap ayahnya tak percaya.
Bapak tersenyum. "Lalu kaupikir dari mana bakatmu itu?"
Irfan terdiam.
"Kakekmu, ayah Bapak malah penyair besar pada zamannya. Namanya terkenak sampai mancanegara. Banyak karyanya yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa."
Bapak tersenyum melihat putranya yang tampak merenung.
"Oh ya, kamu sudah pernah bertemu dengan Anggrek Bulan?" Bapak mengalihkan pembicaraan. "Puisinya mengandung nilai sastra dan estetika yang sangat tinggi."
"Belum, Pak. Paling-paling penyair kagetan."
"Penyair kagetan?"
"Penyair kagetan itu orang yang tiba-tiba ingin menulis puisi."
Bapak membaca puisi yang yerpampang di layar koimputer. "Tapi menurut Bapak, puisi ini bukan karya penyair kagetan."
"Maksud Bapak?"
"Ya, itu tadi, rangkuman baitnya bernilai sastra tingkat tinggi dan rasa estetikanya sangat kental."
Irfan mengerutkan dahi. Ia tampak tak sependapat dengan ayahnya.
"Olahan kata yang dibuat-buat. Seharusnya kamu menulis dengan hati...Ini komentarmu?"
Irfan mengangguk.
Bapak menarik napas. "Seorang penulis jangan sampai terperangkap oleh dunianya sendirinya, sehingga ia menganggap bahwa luas dunia hanyalah sejauh mata memandang."
"Dunia sejauh mata memandang? Maksud Bapak?"
"Seorang yang mengira pengetahuannya sangat luas padahal itu hanyalah perkiraannya belaka. Kalau Bapak membaca komentar-komentarmu...terus terang kamu terperangkap oleh duniamu, terperangkap eforia kebanggaan."
Malam hening hanya terdengar detak jam dinding. Dua insan bertalian darah itu tenggelam dalam diam.
Mawar memperhatikan kemenakannya yang sedang mencoret-coret di atas secarik kertas. Pasti anak itu menemukan inspirasi untuk menulis puisi. Mahasiswi fakultas psikologi itu semakin yakin bahwa Avisha termasuk anak berbakat. Bila ditinjau dari kecerdasan majemuk, mungkin ia memiliki kecerdasan intrapersonal dan lingustik yang luar biasa. Umumnya anak seusia Avisha masih bermain-main dengan dunia khayal, tetapi gadis kecil itu sudah belajar menelaah kekurangan diri. Ia pun memiliki perbendaharaan kata jauh di atas anak sebayanya dan mampu menjalin kata-kata itu dengan struktur yang benar serta dapat menimbulkan kesan mendalam.
"Nulis puisi lagi, ya?"
Avisha mengangguk. Pandangannya tetap tertuju pada selembar kertas itu.
Mawar sudah mengetahui kebiasaan Avisha jika akan menulis puisi. Coretan di atas kertas itu adalah reflleksi puisi dalam bentuk gambar.
"Boleh Tante tahu judulnya?"
"Judulnya...menari dalam bayangan, Tante...."
Mawar bergetar mendengarnya. "Ah, Pisa bisa saja. Ceritanya tentang apa?"
"Kan belum selesai, Tante. Tante sabar dulu, ya."
Mawar tersenyum. Tersenyum, walaupun perasaannya mendadak aneh.
Kamis, 16 Juli 2009
Dunia Sejauh Mata Memandang
Adalah Reni, ibu muda yang menyesal telah melahirkan anak. Kehadiran Avisha telah mendatangkan setumpuk kesialan yang menimpanya bertubi-tubi. Ya, Reni memang sangat membenci Avisha, anak sematang wayangnya itu. Ada saja baginya alasan untuk memarahi bahkan mencaci maki gadis kecil tak berdosa itu.
Sore itu sepulang bekerja, Satya mendapatkan anaknya duduk meringkuk di sudut kamar. Rambutnya yang tergerai sampai pundak begitu kusam dan acak-acakan. Sepasang bola mata basah menyiratkan kepedihan yang menancap di lubuk hati.
Satya berjongkok di depan putrinya itu. Mereka berhadap-hadapan.
"Jangan menangis, Sayang, "Satya mengusap airmata di pipi gadis kecil itu penuh kasih.
Avisha ikut mengusap airmata dengan kedua tangannya.
Satya tersenyum. "Nah, sekarang Pisa harus senyum, "katanya. "Ayo, Ayah ingin lihat senyum Pisa yang paling manis sedunia."
Avisha tersenyum malu-malu. Satya menarik tangan anaknya lembut dan mengajaknya duduk di tempat tidur.
===========
Irfan tertegun di meja kerjanya. Ia benar-benar terganggu dengan komentar Anggrek Bulan itu. Komentar yang terlalu berani dilontarkan oleh seorang pemula terhadap seniornya. Bukan main lancang Anggrek Bulan itu. Sementara para penyair pemula yang lain begitu terkesima dan memuji-muji karyanya, sebaliknya Anggrek Bulan malah menulis komentar : Saya heran mengapa semua yang mengomentari puisi di atas mengatakan kalau puisi ini sangat istimewa, ajaib, dan menakjubkan? Menurut saya, biasa-biasa saja, sebab kemenakan saya belum tujuh tahun sudah mampu menulis puisi macam begini.
Nah, dapat dibayangkan bagaimana perasaannya penyair terkenal seperti dirinya membaca komentar yang tak berperasaan itu?
Ketika Irfan menyampaikan hal itu kepada ibunya, beliau malah tertawa, "Ya, sekali-sekali menerima komentar pedas kan tidak apa-apa, Fan? Memang cuma kamu saja yang bisa berkomentar pedas?"
"Tapi, Bu....."
"Tapi apa, Fan? Kemarin Ibu sempat membaca komentar-komentarmu di situs. Sepertinya belum pernah sekalipun kamu memuji atau paling tidak mencoba membangkitkan semangat supaya para pemula itu terus berkarya. Caramu berkomentar bisa mematahkan semangat."
"Justru maksud saya, supaya mereka lebih bersemangat, Bu."
"Ibu heran kau selalu menyebut puisi bertema kebaikan, agama dengan ceramah dan bertema semangat, kepahlawanan, atau tanah air dengan pidato?"
Irfan terdiam. Ia memang belum pernah memuji karya seorang pemula. Memang tangannya bisa parkinson jika tidak menuliskan kritikan berkategori celaan. Heran juga, padahal semasa kuliah ia sempat mendapat matakuliah Kritik Sastra selama dua semester.
Irfan tersentak. Seseorang menepuk pundaknya.
"Ada tugas untukmu, "ternyata Damar pemimpin redaksi majalah Kutub Sastra tempatnya bekerja. Ia menyerahkan sebuah antologi puisi yang dijilid sederhana dengan warna sampul hijau daun.
"Dari siapa, Mas?"
"Aku tidak tahu. Nayla yang menyampaikannya kepadaku."
Irfan mengangguk-angguk.
"Kata Nayla, pengarangnya berpesan supaya kamu mengomentari semua karyanya. Mungkin dua minggu lagi dia akan datang."
"Baik, Mas."
===============================Rabu, 15 Juli 2009
Dunia Sejauh Mata Memandang
Bagi Irfan, sah-sah saja ia melontarkan kritikan pedas untuk karya para pemula itu. Toh, walaupun baru lima tahun berkecimpung di dunia kepenyairan, tetapi sudah ada puluhan penghargaan yang berhasil diraihnya. Dari tingkat antarkeluarga sampai nasional. Ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kualitas karyanya.
Para penyair pemula yang karyanya mendapat kritikan dari Irfan itu umumnya menjawab dengan santun dan menyatakan rasa bangga sekaligus ucapan terimakasih karena seorang penyair sudi membaca dan mengomentari karya mereka. Belum ada yang berani mencela karyanya apalagi membedahnya dari sudut pandang ilmu kritik sastra, sampai akhirnya muncul nama anggrek_bulan.
Satu bulan terakhir ini Anggrek Bulan telah mencantumkan enam karyanya. Irfan ingin sekali dapat menemukan kelemahan yang terdapat dalam keenam karya itu tetapi ternyata hal itu tidak semudah dugaannya.
Ya, ia harus mengakui puisi-puisi karya Anggrek Bulan memang sangat berkualitas. Ia tak sanggup membohongi hati kecilnya.
"Masih penasaran dengan Anggrek Bulan?" tegur Ibu di ruang makan. Malam ini mereka hanya berdua, Ayah mengikuti rapat di Jakarta.
Irfan mengambil dua butir perkedel tahu dari piring kecil berwarna coklat. Hari ini lauk di atas meja perkedel tahu, udang goreng tepung, dan sup makaroni.
"Aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya, Bu."
"Siapa tahu dia penyair sepertimu, tapi pakai nama samaran,"tukas Ibu menyendokkan nasi ke piring.
"Puisinya bagus, tapi masih kelihatan kalau hasil karya pemula."
Ibu menggeleng-gelengkan kepala. Irfan, Irfan, kapan kamu menyadari kesombonganmu, desahnya dalam hati.
============
Satya mengerutkan kening. Ah, mengapa ia baru tahu sekarang. Pantas saja ia sering melihat Avisha berteriak-teriak sendiri di kamarnya. Semula ia mengira Avisha sedang berkhayal atau bercakap-cakap dengan teman khayalannya seperti anak kecil pada umumnya, tetapi setelah Mawar, adiknya memberitahu sesuatu barulah ayah berusia muda itu menyadarinya.
"Kamu lebih tahu tentang Avisha, "ujar Satya mendesah. Entah apa yang berkecamuk di hatinya saat itu.
"Iya, Mas. Aku heran kenapa kalian tidak menyadari bakat Avisha sedikitpun? Dia anak ajaib, Mas. Seharusnya Mas bangga menjadi ayahnya."
Satya tak bisa berkata-kata. Ayah? Dia menjadi ayah karena ketidaksengajaan. Walaupun itu memang kesalahan dia dan Reni, gadis yang sekarang menjadi istrinya, tetapi tetap saja menjadi seorang ayah tanpa rencana yang matang bukanlah pilihannya.
Suasana di teras rumah yang hening itu mendadak pecah oleh suara lantang gadis kecil.
"Padamu Jua! Karya Amir Hamzah!"
Mendadak Satya penasaran. Ia beranjak dari duduknya kemudian menuju kamar si Kecil. Mawar mengikuti.
"Habis Kikis. Segala cintaku hilang terbang. Pulang kembali aku padamu. Seperti dahulu."
Satya terpana. Ia seperti mendengar suara malaikat.
"Kaulah kandil kemerlap. Pelita jendela dimalam gelap. Melambai pulang perlahan. Sabar, setia selalu."
Satya menoleh ke arah Mawar yang berdiri di sampingnya.
"Puisi itu panjang sekali, "bisiknya terheran-heran. "Bagaimana mungkin ia bisa hafal"
Mawar tersenyum. "Itu belum apa-apa, aku bisa menunjukkan yang lebih istimewa yang akan membuat Mas dan Mbak Reni kaget."
"Apa maksudmu, Mawar?"
Mawar tidak menjawab. Ia menunjuk dinding kamar Avisha yang penuh coretan.
Sekali lagi Satya terpana. Itu bukan coretan tak bermakna! Itu lebih dari sekadar coretan!
Sementara gadis kecil yang baru selesai berdeklamasi itu tampak tersipu-sipu mengetahui ada penonton tak diundang.
"Sini, Sayang, "tiba-tiba saja Satya ingin memeluk bidadari kecilnya. Sesuatu yang nyaris tidak pernah dilakukannya.
Avisha tertegun. Tidak biasanya Ayah bersikap seramah itu. Tetapi lihatlah Ayah tersenyum, maka tanpa ragu-ragu ia menghambur menuju dekapannya.
Mawar tersenyum. Rasanya ia juga ikut bahagia, malam itu.
Sayang, Reni belum pulang. Perempuan itu terlalu sibuk dengan organisasinya yang hanya sebagai pelarian.
=================================================================Sabtu, 11 Juli 2009
El Maut
walau selalu dihindari
namun ia terus menghampiri
Semakin dekat dari hari kehari
sebelum diri sempat menyadari
dia telah mengajak pergi
Saat itu tiada waktu lagi
buat kita tuk merias diri,
mengumpulkan emas permata, dan intan baiduri
Begitu dekat di sisi
kokohnya benteng baginya tak berarti
dan tiada pula tempat tuk sembunyi
Rabu, 08 Juli 2009
Puisi Malam
bentangkan sayap menyelimuti cakrawala
dan senja pun perlahan berlalu
Sayup terdengar desah dalam sunyi
dari ranting dan dedaunan yang menyapa
menyambut malam datang bertamu
Dari angin sahabat sejati
ia bersenandung penuh cinta
dan kelamnya malam tak selalu bermakna sendu
Selalu saja ada yang mau berbagi
tiada hiraukan pekat yang tercipta
alunkan dendang puisi penuh rindu
Angin menabur benih dalam sepi
bumi hanyut terlena rayuan angin menerpa
terlahir dari rahimnya sebait syair merdu merayu
Rembulan Menangis
Malam kelam
bertabur berjuta bintang
namun Rembulan terdiam
masa lalu yang terkenang
Langit tak sungguh hitam
tetapi Rembulan enggan memandang
dari tempatnya bersemayam
harap Mentari kan menjelang
Malam seakan hitam
beribu tanya pun hadir memancing
kala Dewi Surya melempar senyum masam
tinggalkan diri untuk berpaling
Tak jua terdengar kokok ayam
seolah pagi tak sudi datang
mengganti malam yang muram
Rembulan sedih dan meradang
Malam kian mencekam
kapan tiba cahya benderang
Rembulan terpekur dalam diam
dari balik kelam memandang
Simpanlah Permata
Matamu ceria terpejam rapat
Nyaman engkau kudekap
Mimpi indah hadirlah walau sesaat
Senyumlah engkau tersenyum
Mulutmu mungil terkatup rapat
Ada dendang lirih dari yang terangkum
Genggaman kecilmu begitu erat
Lari kau berlari
Sepasang kaki lincah melompat-lompat
Tiada lelah lewati hari-hari
Bahagia bagimu begitu dekat
Waktu terus berlalu
Begitu cepat
Masa terus melaju
Hingga menoleh pun tak sempat
Petiklah butiran kilau permata
Hasil usaha telah kau dapat
Pancaran sinar mata penuh bangga
Tergambar di sana tekad yang kuat
Simpan permata itu simpanlah
Kunci dalam hatimu rapat-rapat
Jadikan semangat saat melangkah
Pastikan indah harapmu terpahat
Selasa, 19 Mei 2009
Asal Mula BLog Pelangi Sastra
Semula aku tidak memiliki keinginan membuat blog apalagi menunjukkan hasil karyaku kepada khalayak ramai. Aku bukanlah orang yang cukup percaya diri untuk melakukan hal itu. Tetapi saat aku mengamalkan ilmuku pada sebuah lembaga pendidikan di kota kecil, ternyata Direktur mengharuskan seluruh anak buahnya memiliki blog pribadi. Dengan jadwal kerja terpadat, jelas aku tidak punya banyak waktu untuk menulis apalagi mencari artikel. Jadi daripada bersusah payah dan membiarkan blog kosong, aku memasang kumpulan puisiku saat masih kuliah.
Malu juga, sebab jelas banyak isinya yang tidak sesuai dengan usiaku sekarang. Walaupun memang, ada beberapa puisi yang baru setahun kutulis sengaja dengan tema dongeng (misalnya Langkah Merak). Puisi tersebut kutujukan kepada kemenakanku Abil dan Fajrin.
Dalam menulis puisi sejujurnya aku masih terpengaruh oleh ilmu yang kudapat selama kuliah. Tetapi bukan berarti aku menulis puisi dengan kepala pening, sebaliknya aku menikmatinya karena dapat mengasah ilmuku. Terus belajar membaca dan menulis memang harus kulakukan sesuai dengan dunia yang kutekuni.
Usiaku tidak lagi muda. Masih muda kalau dibandingkan dengan pamanku yang sudah 50-an dan sudah tua kalau dibandingkan dengan mahasiswa usia 20-an. Aku sudah lolos dari bangku kuliah bertahun-tahun yang lalu, tetapi masih banyak yang harus kupelajari dan aku tidak akan pernah berhenti untuk belajar.
Senin, 18 Mei 2009
Kemenakanku Tersayang (2)
Bulan Maret lalu, tepat hari ulang tahunnya, ia diwisuda. Ah, betapa bangganya aku. Bagaimana tidak bangga, aku melihat sejak bayi, melihat pertumbuhannya dari waktu ke waktu (saat itu rumah paman hanya dua ratus meter dari rumah kami), dan aku pun melihat kesuksesannya. Dia pun tidak pernah melupakan bahwa aku pernah mengasuhnya. Setiap aku datang berkunjung ke rumahnya, dia selalu melayaniku layaknya tamu agung. Bahkan bila ia membeli sesuatu, dia membaginya denganku.
Tian, itulah namanya.
Jadi mengasuh Eki, bukan tugas baru bagiku. Tetapi sejak mendapat tugas mengasuh anak itulah, aku berusaha untuk tidak menjadi anak durhaka kepada orang tua, terutama ibuku. Bagiku mengasuh, berarti menjaga, merawat, dan mendidik.
Hm, berlagak benar aku. Seperti sudah pengalaman saja.
***
Eki benar-benar kutu buku walaupun setahun terakhir ini, ia mempunyai hobi baru (mungkin bakat yang menurun dari ayahnya). Ia senang menggambar kartun Jepang (kalau tidak salah disebut manga). Dinding kamarnya bukan penuh dengan poster selebritis tetapi hasil karyanya yang berupa gambar manga. Tentang hobi membacanya, dia tetap kutu buku.
***
"Dik, Eki senang kalau disuruh mengantar kamu sampai ke depan jalan raya, "ujar kakakku suatu hari saat aku hendak pulang ke kosan.
Aku mengerti sebenarnya Kakak mengharapkan bahwa tidak ada salahnya aku meminta tolong kemenakanku itu. Ia sudah bisa mengendarai sepeda motor (tentu saja belum bisa ke jalan raya sebab belum punya SIM). Bukan apa-apa kalau aku tidak meminta tolong Eki, toh aku bisa melakukannya sendiri. Lagipula aku tidak serumah lagi dengan kakakku.
***
Sampai usia enam tahun, Eki hanya mengenal dua tante (dari keluarga ayahnya), yaitu aku dan adik misanku. Jadi dia memanggil bibi atau tante-tantenya yang lain (dari keluarga ayahnya) dengan sebutan yang sama dengan bila ia menyapa adik misanku itu. Hal ini gara-gara ia lebih sering diajak berlibur ke tempat saudara-saudara dari keluarga ibunya.
Menyaksikan pertumbuhan anak adalah sesuatu yang ajaib. Aku telah mengalami hal itu. Memang kita dapat melihat anak-anak tetangga sejak mereka bayi sampai remaja, tetapi alangkah berbeda rasanya jika mereka adalah keluarga kita sendiri, bagian dari diri kita.
***
Eki kini telah remaja. Suatu tahapan kehidupan yang rawan untuk dilalui. Apabila seseorang selamat pada tahapan ini maka hampir dapat dipastikan bahwa hidupnya akan sukses. Sebaliknya seseorang yang pernah tergelincir sekali saja, kesalahan itu akan menjadi noda dalam hidupnya kecuali jika ia mampu menghapus jejak itu sehingga tidak ada lagi yang dapat mengingat apalagi melihatnya.
Aku selalu berpikir mampukah Eki melalui masa-masa sulit itu? Beberapa bulan yang lalu kakakku bercerita bahwa ia pulang jam sepuluh malam. Ibunya yang cemas langsung menuduhnya minum minuman keras. Eki membantah dan menjelaskan bahwa ia memgerjakan tugas di rumah teman dengan fasilitas internet. Kakakku pun mencoba mencium hawa mulutnya dan barulah yakin bahwa putra sulung mereka tidak berbohong.
Aku tidak heran melihat kakakku dan istrinya begitu keras dalam mendidik. Kakak iparku selalu melarang anak-anaknya bergaul dengan anak-anak pemalas atau tidak memiliki sopan santun. Zaman sekarang begitu mudahnya orang tua bertekuk lutut di hadapan anak. Anak menjadi raja sedangkan orang tuanya menjadi budak yang harus memenuhi semua keinginannya.
"Bu, anak saya tidak mau sekolah, "pernah orang tua murid melaporkan perihal anaknya kepadaku.
"Apa sebabnya, Bu?"
"Ada keinginannya yang belum kami penuhi. Dia bukan cuma mogok sekolah, tapi mogok makan dan kalau saya tanya diam saja."
"Mogok makan, benar-benar puasa ya, Bu?"
"Dia mogok makan nasi, Bu. Jadi masak mi sendiri."
"Oh, berarti masih mau makan, "tukasku. "Jangan cemas, Bu."
Begitulah. Mereka mengetahui kelemahan orang tuanya dan membuat keduanya tidak berdaya.
Bahkan saat ada muridku yang pergi dari rumah karena keinginannya tidak dituruti, setelah mengetahui tempat tinggal anaknya yang baru, sang Ibu memohon-mohon supaya anaknya mau pulang. Betapa geramnya aku kepada anak yang tidak tahu diri itu dan heran juga melihat orang tua yang tidak berdaya itu.
"Saya yakin putra Ibu menginap di rumah orang yang dikenalnya, "kataku ketika ibunya menceritakan ulah putranya itu.
"Tapi saya sudah menghubungi semua saudara, dia tidak ada di sana, Bu. SMS yang saya kirim juga tidak dibalas."
"Itu karena dia masih kecewa. Tapi saya yakin dia membaca SMS Ibu."
Aku pikir-pikir sok menasihati juga aku ini. Tapi bagaimana lagi, itu kan memang tugasku sebagai guru dan walikelas.
Minggu, 17 Mei 2009
Kemenakanku Tersayang (1)
"Aih, gantengnya ponakanmu!"
"Ya, kalau mau tunggu saja sampai dia dewasa, "tukasku bercanda.
"Ngawur kamu! Aku sudah nenek-nenek, tahu!"
Para tetangga pun memujinya. Alisnya seperti bulan sabit, begitu komentar mereka.
Ah, siapa yang tidak bangga punya kemenakan tampan (bisa dipromosikan, ups!) Kalau tantenya saja bangga, bagaimana dengan orang tuanya? Ibunya saja terheran-heran melihat bayi yang baru beberapa jam dilahirkannya itu. "Wah, anakku ganteng, ya!"
Konon, kakak iparku (ibu kemenakanku) rajin membaca surat Yusuf dan Maryam selama mengandung. Kudengar pula dari ibuku, apabila ibu hamil membaca kedua surat tersebut maka insyaAllah, anak yang lahir akan memiliki kebagusan wajah dan budi pekerti. Amin!
Tahun-tahun pertama perkembangannya benar-benar kuperhatikan. Apalagi hampir setiap hari ia ada di rumahku, jadi lebih mudah memperhatikannya.
Kakakku memang menitipkan putranya di rumah kakek neneknya, sementara ia dan istrinya bekerja. Aku sendiri masih kuliah tetapi tidak mengapa, aku suka!
Kalau aku jujur, sebenarnya kemenakanku ini merupakan hasil percobaanku (kejam benar istilah ini tetapi aku belum menemukan kata yang tepat). Aku pernah membaca artikel di sebuah majalah langkah-langkah menjadikan anak cerdas dan gemar membaca sejak balita.
Maka, kusingkirkan ia jauh-jauh dari permainan berupa mobil-mobilan, pistol-pistolan, dan sejenisnya. Aku selalu siap dengan permainan balok, puzzle, bahkan buku-buku cerita.
Sepulang kuliah dan beristirahat sejenak, aku menjemputnya dari rumah tantenya (kakak kandung ibunya) dan menyuapinya. Sebelum tidur, aku selalu menyempatkan diri untuk mengajaknya bermain balok, bercerita dengan boneka-boneka binatang yang berjajar di tempat tidurnya atau membacakan sebuah cerita (biasanya ia tertarik melihat gambarnya dan ikut berkomentar atau bertanya), dan menyanyikan beberapa lagu anak-anak saat ia terlihat mulai mengantuk.
Itu juga salah satu caraku supaya ia segera tidur. Permainan balok cukup melelahkan untuk anak usia balita. Dapat dibayangkan jika ia tidak tidur siang pastilah aku harus berpanas-panas mengikutinya ke sana ke mari apalagi dia anak yang selalu aktif dan serba ingin tahu. Malamnya pasti rewel karena kelelahan.
Usahaku cukup berhasil. Belum genap lima tahun, ia sudah bisa membaca. Setiap ada tamu yang datang, ia langsung mengambil buku pelajarannya dan memamerkan kepandaiannya membaca. Caranya bukan membaca di depan tamu melainkan duduk di ruang tengah dan membaca dengan suara lantang supaya terdengar si Tamu. Cerdas benar. Biasanya si Tamu langsung bangkit menghampirinya, "Oh, Adik sedang belajar, ya? Pintar ya, sudah bisa membaca."
Ya, tak terasa waktu begitu cepat berlalu.
"Dik, Eki bingung, besok kan UNAS bahasa Indonesia, "ujar kakakku ketika aku berkunjung ke rumahnya sehari sebelum UNAS. "Katanya, Pa, bahasa Indonesia ternyata sulit, ya!"
"Dulu sudah pernah kuajari, Mas, katanya sudah mengerti."
"Mungkin baru sekarang ia menyadari kerumitannya. "Nanti ajari sebentar."
"Mana Eki sekarang?"
"Masih les."
"Kalau begitu, aku tunggu."
"Dua hari Eki tidak masuk sekolah, badannya panas, "ujar kakakku lagi. "Waktu aku tanya ternyata ia dipindah ke kelas yang ada ACnya. Dia tidak kuat pakai AC."
"Iya, kuatnya kan pakai kipas angin, "tukasku tersenyum. "Kenapa Eki pindah kelas, Mas?"
"Katanya ia dipindah ke kelas yang lebih bagus. Kelas pilihan, muridnya hanya sembilan orang."
Tepat tengah hari Eki pulang. Kakakku menegurnya, "Eki, itu Tante. Kamu bisa tanya Tante, besok kan bahasa Indonesia."
Eki berpaling dan mencium tanganku (sejak kecil ia selalu demikian) sambil tersenyum.
Aku menyusulnya ke kamar. Kulihat ia sedang membaca buku kumpulan soal.
"Mau tanya apa, Ki?"
"Mmm... kalimat utama sama gagasan utama sama ya, Tante?"
"Lain, "jawabku. "Kalau kalimat utama...."
Eki kemenakanku yang sulung. Dia empat bersaudara, dua laki-laki dan dua perempuan. Anak ini pendiam dan kutu buku. Ke mana-mana membawa buku, di mana-mana membaca buku. Menonton televisi juga sambil membaca buku. Dua hal yang sulit dipilihnya. Ia tidak mau mematikan televisi atau menutup buku yang dibacanya.
Pasti semua gara-gara aku tantenya yang nekad menjadikan kemenakannya gemar membaca. Bagaimana tidak sejak bayi sudah aku jejali dongeng sebelum tidur. Umur tiga tahun aku beri dia buku cerita bergambar. Hasilnya ? Belum genap lima tahun ia sudah ingin belajar membaca....dan lima tahun sudah lancar membaca kalimat sederhana.
Sabtu, 09 Mei 2009
Seuntai Kenangan Sebaris Doa
Mengenangmu, Ibu
bagai arungi samudera cinta tiada bertepi
laksana sinar mentari sepanjang waktu
timbulkan asa yang sempat pergi
Mengingat tentangmu, Ibu
bagai hawa sejuk dini hari
laksana taman indah dalam jiwaku
kan kusiram selalu di hati ini
Segala tentangmu, Ibu
bagai sekuntum mawar penuh duri
semerbak harum kesuma bungaku
terpatri indah di ruang sanubari
Sebaris doa untukmu, Ibu
bidadari mulia di kalbu diri
hanya satu harap dariku
bertemu kita di taman surgawi
Puisi Doa Bertajuk Cinta
Bapak, tatap matamu
seteduh awan di angkasa biru
Bapak, tepukan hangat di pundak ini
hapuskan tangis yang tak mau henti
Bapak. jalan yang telah kita lalui
terkenang selalu di hati ini
Setiap mengenang tentangmu
sederet puisi tertuang dalam kalbuku
Saat mengingat dirimu
hadirlah syair indah di setiap anganku
Bila kumerindukanmu
kan kukirim kisah indah ke negeri mimpi
Bapak, setiap saat kuberdoa
kelak kita dapat berjumpa
Bapak, setiap waktu kupanjatkan doa
semoga kita dapat bersua
Kan kurangkai harap selalu
di kebun surga kita bertemu
Jumat, 08 Mei 2009
Mentari kehidupan (1)
Rafa, Ela, dan Tika bergegas menuju kantin. Mereka sudah tidak sabar lagi untuk menikmati semangkuk bakso di kanton sekolah yang terkenal lezat itu.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti. Di hadapan ketiga gadis itu telah berdiri Banu, jagoan sekolah sambil bertolak
pinggang. Ketiga sahabat itu mundur beberapa langkah.
"Eh, mau ke mana, teman-temanku yang manis?"sapa Banu menyeringai, pertanda ia menginginkan sesuatu.
Rafa cepat menarik kedua sahabatnya untuk segera berlalu.
Merasa tidak diacuhkan, Banu naik darah.
"Eiit, tunggu,"katanya kembali menghalangi ketiga gadis itu.
"Apa maumu?"tanya Rafa menatap Banu tajam. Ia tidak tampak takut sedikit pun melihat Banu yang sedang marah.
"Biasa, pajak awal bulan, "sahut remaja itu sambil membentangkan kedua tangannya.
"Ambil saja di kantor pajak, "tukas Rafa seenaknya membuat Ela dan Tika semakin gemetar, takut kalau Banu semakin marah.
"Aduh, Rafa, "bisik Ela. "Kamu kalau bicara jangan asal begitu."
"Iya, "sela Tika berbisik pula. "Nanti kalau dia benar-benar marah, kita bisa habis...."
Tetapi tanpa berkata sepatah pun, Rafa mengajak kedua sahabatnya melenggang meninggalkan sang Jagoan.
Kali ini Banu benar-benar naik darah. Darahnya sudah mendidih di ubun-ubun dan sebentar lagi pasti meledak.
Mendadak menghentikan langkahnya. Ia merasa seseorang telah menarik ujung blousenya. Gadis itu membalikkan tubuh. Ia menatap Banu tajam.
Ela dan Tika berdiri terpaku. Jantung mereka berdetak kencang.
"Kau tidak boleh pergi sebelum serahkan pajak, "kata Banu sambil menunjuk ke arah Rafa.
Rafa hanya tersenyum seakan-akan meremehkan kata-kata jagoan sekolah itu. Tentu saja Banu semakin geram, ia cepat menarik kembali lengan seragam gadis itu.
"Aduh!"tiba-tiba saja Banu terbanting keras ke tanah. Ia sendiri tidak menyadari bagaimana mungkin bisa terbanting begitu keras ke tanah.
"Hore!Hore!Hidup Rafa!Hidup Rafa!"tiba-tiba terdengar sorak-sorai di sekitar mereka.
Wildan ketua OSIS menghampiri dan segera membantu Banu berdiri.
Sambil menahan pinggangnya yang terasa patah, jagoan yang baru saja keok itu mengumpat-umpat.
"Sudah, "tukas Wildan. "Sudah tahu, itu salahmu sendiri."
"Belum pernah aku dipermalukan seperti ini, Wil."
"Iya, aku tahu. Sudahlah, jangan marah-marah, "hibur Wildan memapah temannya yang sok jago itu. Dalam hati ia senang juga ada yang berani melawan jagoan yang ditakuti murid-murid SMU Pantang Mundur itu.
Sementara itu di kantin, Rafa tengah menikmati semangkuk bakso. Ia tampak begitu tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Ela dan Tika hanya menatap Rafa dengan pandangan kagum. Mereka lupa memesan bakso yang istimewa itu.
==================000=================
Arya membuka tutup saji. Yang ada di meja makan hanya nasi sisa pagi tadi. Tidak ada secuil pun lauk yang dapat dinikmati, padahal perutnya lapar bukan kepalang sore ini. Ia menatap Andini yang membaca majalah di sudut ruang. Istrinya itu tampak tenang mungkin ia tidak tahu kalau suaminya sudah datang.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, "Andini meletakkan majalah di pangkuannya. "Papa sudah pulang?"
"Iya, "ujar Arya melepas dasinya. "Mama masak apa?"
"Ada tahu di lemari es. Papa goreng tahu sendiri."
Arya tercengang mendengar jawaban istrinya. "Kenapa bukan Mama saja?"
"Mama bukan pembantu, Pa," sambil berkata demikian, Andini berlalu dari ruang tengah.
"Tunggu, Ma, "Arya menarik tangan istrinya. "Papa ingin bicara."
Andini memandang suaminya. "Pasti Papa ingin bertanya kenapa Mama tidak memasak. Benar kan?"
"Benar, "Arya menatap istrinya serius. "Tidak biasanya Mama seperti ini."
"Kenapa? Papa keberatan? Papa keberatan harus menggoreng tahu sendiri? Harus mencuci piring sendiri?"Andini
balas menatap suaminya. "Kalau Papa mau tahu itulah tugas suami yang seharusnya. Mencari nafkah, mencuci dan menyetrika pakaian, menyapu, mengepel, belanja, sampai memasak."
Arya terbelalak. "Apa? Siapa yang mengatakan itu?"
"Kyai Manaf. Beliau mengatakan semua itu memang tugas suami."
"Jadi kalau begitu apa tugas istri?"
"Mendidik anak dan menyenangkan suami."
Arya tersenyum mendengar jawaban istrinya. "Kalau begitu Mama harus menggoreng tahu untuk menyenangkan Papa."
"Baik, "Andini tampak sewot. "Tapi nanti malam, Mama tidur dengan Azhar dan Alfa . Awas, kalau Papa cemburu."
"Lho, Mama!"seru Arya. Terlambat, Andini sudah melenggang ke dapur. Laki-laki itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak dapat membayangkan jika dirinya harus berlayar ke pulau impian seorang diri. Apa enaknya? Meskipun pulau itu indah kalau tinggal sendiri di sana, apa asyiknya? Gawat, gawat, pikir ayah dua anak itu. Aku tidak boleh tinggal diam sebab pasti Andini melarang aku masuk kamar anak-anak.
Arya bergegas menyusul istrinya.
====================000=====================
Afna meletakkan surat panggilan itu di atas meja.
Cakra mengerutkan kening. "Surat apa itu, Bu?"
"Surat panggilan dari Kepala Sekolah, "jawab Afna memasukkan bantal ke dalam sarungnya.
"Maksud Ibu?"
"Rafa berkelahi."
Cakra terbelalak. "Apa? Berkelahi?"
Afna mengangguk.
"Ah, ada-ada saja Ibu ini. Masa anak perempuan berkelahi? Lagipula Ayah tidak pernah mengajari anak-anak kita
berkelahi."
"Ayah ini seperti tidak tahu anak zaman sekarang, "tukas Afna. "Semua harus serba emansipasi."
Cakra menghela napas. "Di mana anak itu sekarang?"
"Di kamarnya sedang belajar. Oh ya, besok siapa yang pergi ke sekolah Rafa?"
"Ibu saja. Ayah besok ada jadwal operasi."
"Jadi Ibu yang harus menemui Kepala Sekolah?"
"Siapa lagi?"
Afna tersenyum mengangguk. Ia harus segera menyiapkan makan malam.
"Hari ini masak apa, Bu?"
"Ibu tidak memasak. Tadi anak-anak yang melakukannya."
Cakra tampak tak percaya. Ia mengikuti istrinya keluar kamar.
================*****=================
Sore itu sepulang dari kantor, Arya bertekad menemui Kyai Manaf di rumahnya. Kebetulan Kyai yang beberapa tahun
lebih tua dari dirinya itu baru saja pulang dari pengajian.
Kyai Manaf tersenyum saat mendengar protes dari Arya. Ia bisa mengerti mengapa ayah muda itu tampak kurang setuju dengan ceramah yang ia berikan kepada para ibu beberapa hari yang lalu.
"Gara-gara ceramah Kyai itu, istri saya tidak mau lagi memasak dan membersihkan rumah."
"Kalau begitu Bapak saja yang memasak dan membereskan rumah, "tukas Kyai Manaf sambil membuka stoples berisi
kacang bawang. "Silakan."
Arya mengangguk. "Terima kasih, "ujarnya sambil mengambil piring mungil tempat kacang.
"Kalau misalnya Pak Arya yang sekali-sekali memasak dan mengerjakan semua pekerjaan rumah, bagaimana? Maksud saya Bu Andini hanya mengurus anak?"
Arya mengerutkan kening. Kok jadi begini? pikirnya.
Kyai Manaf tersenyum melihat Arya yang tampak bingung.
============'''''=================
Rafa mendapat hukuman skors satu hari. Hukuman ini dua hari lebih ringan dari yang sebenarnya. Teman-teman menganggap Rafa telah berjasa karena berhasil membuat preman sekolah bertekuk lutut. Mereka sepakat mogok
sekolah jika Kepala Sekolah tidak bersedia memberikan keringanan. Akhirnya Kepala Sekolah menyetujui alasan mereka dan menilai sebenarnya gadis remaja itu tidak sepenuhnya bersalah.
"Anak gadis berkelahi?"Afna menggeleng-gelengkan kepala menatap anaknya duduk menunduk. "Kenapa harus
berkelahi?"
"Dia yang lebih dulu mengganggu Rafa, Bu."
Afna menoleh ke arah Cakra, suaminya yang tampak berpikir. "Ayah, kenapa diam saja?"
"Tunggu sebentar, Bu, "sahutnya. "Ada yang aneh. Kamu berkelahi dengan anak laki-laki atau perempuan, Rafa?"
"Laki-laki, Yah."
"Apa?"Cakra terbelalak. "Dan tidak sedikit pun kamu babak belur?"
Rafa menggeleng. "Dia tidak sempat memukul Rafa."
Afna mendekati putrinya dan duduk di sampingnya. "Jangan ulangi lagi, Nak. Apa kamu tidak malu? Masa gadis semanis kamu berkelahi?"
"Kalau diganggu masa diam saja, Bu?"
"Adik benar, Bu, "tiba-tiba saja si Sulung Tantra sudah berada di tengah-tengah mereka.
"Ini datang-datang, mana salamnya?" tegur Afna.
"Ehm iya, lupa, "Tantra menepuk dahinya. "Assalamualaikum."
"Walailumussalam, "sahut kedua orang tua dan adiknya serentak.
Tantra duduk di kursi plastik dekat meja. "Bu, Pak, maafkan Tantra. Sebenarnya selama ini Tantra yang mengajarkan Rafa."
"Maksudmu?" Afna dan Cakra bertanya serentak.
"Saya yang mengajari Adik berkelahi...."
"Haah?"
Tantra menunduk.
Suasana di ruang keluarga malam itu menjadi hening.
============88888============
Andini tersenyum geli memperhatikan Arya yang sibuk mencuci beras. Tidak biasanya suaminya itu demikian. Biasanya selesai salat subuh berjamaah, ia lebih memilih membaca buku atau majalah.
"Biar Mama yang mencuci piring, Pa."
"Tidak usah, Ma. Papa juga bisa, "ujar Arya sambil membuang air bekas cucian beras.
"Nanti Papa terlambat ke kantor."
"Kan masih jam lima lebih sepuluh. Sudahlah, Mama lihat Alfa di kamar. Siapa tahu dia bangun cari mamanya."
Andini menurut. Ia meninggalkan suaminya dan bergegas menuju kamar.
Sambil bernyanyi kecil, Arya menuangkan beras yang telah dicuci itu ke dalam panci. Tak lupa ia menuangkan air secukupnya ke dalam panci berisi beras itu.
Istriku memang aneh. Kenapa ia tidak membeli saja rice cooker? pikir Arya sambil menyalakan kompor. Untung saja ia mau membeli kompor gas.
"Sudah, Pa?'' Andini menghampiri suaminya sambil menggendong Alfa yang baru delapan bulan itu.
"Sudah, "Arya menunjuk panci yang tertutup di atas kompor menyala.
"Wah, hebat."
"Siapa dulu istrinya?"Arya mencium kening si Kecil.
"Sudah, Papa mandi dulu sana. Nanti terlambat."
Arya mengangguk. "Oh, ya, piringnya jangan dicuci dulu, Ma. Biar Papa saja."
"Iya, sudah mandi sana."
*******
Para pegawai di kantor menilai sebenarnya Anfa dan Rana belum pantas mempunyai cucu. Rambut mereka memang
belum sehelai pun yang beruban. Ini gara-gara keduanya menikah usia belia dan usia pun sebaya. Apalagi Arya, si Sulung pun mengikuti jejak orang tuanya, menikah usia muda.
Saat makan siang, Faisal mengajak Anfa membicarakan sesuatu. Sahabat tetapnya itu tampak mengkhawatirkan
sesuatu.
"Jangan sampai yang dulu terjadi lagi, "ujar Faisal membuka cerita. Ia mengaduk-aduk jus melonnya.
"Apanya yang jangan sampai terjadi lagi?"tukas Anfa tersenyum. "Ada-ada saja."
"Anfa, kamu ingat kejadian enam belas tahun yang lalu, kan?"
"Kejadian yang mana, Sal?"
"Itu si Netty."
"Kau ini. Itu cerita lama dan kami sudah bercerai."
"Anfa, kau ini terlalu tampan, "Faisal menatap wajah sahabatnya. "Ternyata susah juga ya jadi orang tampan."
"Aku tidak mengerti maksudmu, "tukas Anfa mengambil sepotong tahu goreng dan cabai rawit yang tersedia di
piring.
"Itu karyawati kita yang baru."
"Lila maksudmu?"
"Siapa lagi? Aku perhatikan kelihatannya dia ada hati padamu."
"Hei, aku sudah jadi kakek."
"Kalau kakeknya masih muda, siapa menolak?"
Anfa tersenyum. "Kau ini ada-ada saja. Kalau tahu aku sudah punya cucu, pasti dia berubah pikiran."
"Belum tentu. Aku kenal benar tipe gadis seperti Lila. Ia jauh lebih berbahaya daripada yang dulu."
Anfa terdiam. "Kita bicara yang lain saja, "ujarnya kemudian.
"Baiklah."
"Permisi,"seorang gadis menghampiri keduanya. "Boleh saya duduk di sini?"
Anfa dan Faisal berpandangan.
======================8888========================
Ternyata Banu tidak dapat menerima kekalahannya. Seumur-umur belum pernah ia mendapat malu seperti dua minggu yang lalu. Ia merasa harga dirinya sebagai jagoan di sekolah itu terbanting tanpa ampun.
"Pokoknya kamu harus membalas sakit hatiku, "ujar Banu kepada temannya yang berasal dari sekolah lain. Mereka
sengaja mengadakan pertemuan sepulang sekolah di tempat yang telah mereka sepakati.
"Memangnya seperti siapa sih lawanmu itu? Kok bisa kami sampai kalah?"
"Sebenarnya ya tidak. Cuma sedang sial saja."
"Kalau sial ya sudah. Kenapa mesti repot-repot balas dendam?"
Banu menyandarkan punggungnya di dnding. "Kamu ini, "tukasnya kesal. "Reputasiku sebagai jagoan yang selama
ini ditakuti langsung rusak gara-gara gadis sialan itu."
Temannya tertegun. "Sebentar, gadis katamu? Kau dibuat keok oleh seorang gadis?"
"Ah, diam kamu! Pokoknya aku ingin kamu balas dendam."
"Tapi dia kan perempuan, Ban. Masa aku harus memukul perempuan?"
"Tapi perempuan yang satu ini lain. Dia tidak pantas dikasihani."
"Iya, aku lihat dulu."
Banu menarik lengan temannya. "Biasanya ia lewat jalan ini sendirian. Mungkin ini jalan pintas supaya cepat sampai
ke rumah."
"Kok kamu tahu?"
"Aku sudah mengamati gerak-geriknya selama dua hari ini."
Si Teman mengangguk-angguk.
"Itu dia orangnya, "bisik Banu menunjuk seorang remaja berseragam muslim.
"Hah?"si Teman tampak tercengang.
"Belum-belum sudah takut, payah. Cepat dekati dia! Beri pelajaran!"
"Baik, akan kuberi dia pelajaran."
Banu tersenyum puas melihat temannya melangkah mendekati korbannya.
Tetapi....
"Oh, jadi ini jagoan kelas teri yang beraninya hanya dengan teman perempuan?"
"Iya, Mas Tantra. Dia suka mengancam teman-teman perempuan."
"Lho, lho, ada apa ini?"Banu tampak kebingungan.
Si Teman yang ternyata Tantra itu langsung menarik krah baju Banu. "Dasar sialan. Kamu suruh aku menghajar
adikku sendiri?"
"A..aku ti..tidak tahu. Mm... ma maaf, "Banu gugup.
Rafa menatap Banu yang pucat pasi sambil tersenyum mengejek.
"Awas, kalau sampai aku tahu kau mengganggu adikku, lihat saja nanti. Aku akan membuat perhitungan denganmu, "Tantra melepaskan cengkeramannya dengan kasar sehingga Banu terjajar dua langkah.
Tantra menoleh kepada adiknya. "Kita pulang, Dik."
"Iya, Mas."
Banu terpaku.
***"Bu, biar Shafa yang menjemput adik-adik, "ujar Shafa sambil menyodorkan segelas air hangat kepada ibunya. "Ibu
istirahat saja."
"Tapi kamu kan harus praktikum, "tukas Rana memegang gelas itu. "Nanti terlambat sampai kampus."
"Insya Allah tidak, Bu. Lagipula Ibu kelihatan pucat."
"Iya, Shafa. Kepala Ibu agak pusing."
"Sudah minumnya, Bu?"
Rana mengangguk.
Shafa meletakkan gelas di atas meja dekat ranjang. Ia menyelimuti ibunya yang sudah berbaring.
"Ibu mau makan pakai lauk apa? Biar sekalian Shafa ambilkan."
"Pakai sup ayam saja."
"Iya, sebentar Shafa ambilkan, "ujar mahasiswi kedokteran hewan itu beranjak dari tepi ranjang dan bergegas keluar kamar.
Sudah dua hari ini Rana merasa kepalanya bagai dihantam besi. Sakitnya bukan main. Hal itu bermula saat ia mendengar dari suaminya yang akan menghadiri seminar di luar kota. Ia masih teringat percakapan dengan suaminya malam itu di kamar.
"Kapan Ayah berangkat?"
"Sabtu pagi minggu ini, "jawab Anfa membuka lemari pakaian.
"Berapa hari?"
"Mungkin lima hari."
"Lima hari? Lama sekali?"
"Ya, ini memang seminar istimewa. Lho, kemeja Ayah yang biru garis putih, Ibu simpan di mana?"
Rana yang sedang melipat pakaian suaminya segera mendekat.
"Ada di bagian atas. Ayah berangkat ke sana dengan siapa?"
"Dua orang, tiga dengan Ayah."
"Laki-laki semua?"
"Perempuan satu."
Rana mengerutkan kening. "Satu perempuan di antara dua lelaki? Dia sudah menikah?"
"Belum."
Rana terdiam.
Anfa tersenyum melihat istrinya. "Bu, dia seusia Arya."
"Sampai Ayah tahu umur gadis itu, ya?"
"Wah, ternyata Ibu bisa cemburu juga, nih, "Anfa tertawa.
"Memangnya anak muda, "tukas Rana pura-pura marah. Ia segera memasukkan setumpuk pakaian di dalam kopor.
Pintu terbuka. Rana menoleh dan melihat Shafa membawa nampan dengan sepiring nasi dan semangkuk sup ayam di atasnya.
"Terima kasih, Nak."
================8888===================
"Mas Arya sekarang berubah, Pak, "ujar Andini saat ayahnya berkunjung sore itu.
"Berubah?"
"Iya, berubah. Ia tidak seperti dulu lagi.'
"Maksudmu?"
"Oh ya, Andini lupa kalau tadi Andini sempat buat pisang panggang, "Andini tidak menjawab pertanyaan ayahnya."Ayah pasti senang."
Pria lima puluh tahun itu menatap permata hati satu-satunya yang meninggalkannya sendiri di ruang tamu. Dada orang tua itu bergetar. Ia teringat berita yang dibacanya dari surat kabar, dilihatnya dari televisi, dan didengarnya dari radio tentang suami yang suka memukuli istrinya. Apalagi ia tadi sempat melihat siku kiri Andini yang memar.
Oh, anakku, pria itu mendesah dalam hati. Kenapa nasibmu seburuk ini?
Sementara itu Andini sibuk mengaduk-aduk secangkir kopi sambil menggendong Alfa.
"Nah, sudah siap. Sebentar Mama ambil selendang dulu."
Alfa terkekeh-kekeh seolah-olah menganggap kata-kata ibunya lelucon.
Tetapi sesampainya di ruang tamu, ia tertegun. Ternyata Arya sudah pulang dan tengah menghadapi wawancara dengan ayah mertua.
"Bapak menyerahkan putri Bapak bukan untuk kamu sia-siakan."
"Iya, Pak."
"Bukan untuk kamu perlakukan sesuka hatimu."
"Iya, Pak."
Andini terpaku karena ia masih belum mengerti arah pembicaraan suami dan ayahnya itu. Ia hanya menatap
keduanya berganti-ganti. Ayah yang berkata sambil menuding dan Arya yang hanya menjawab 'ya, Pak' seraya menunduk.
"Jadi kamu sudah mengerti, Arya?"
"Iya, Pak."
Ayah mertua mendengus gusar. "Apanya yang iya, Pak?"
"Saya mengerti, Pak."
"Bagus, bagus kalau kamu mengerti. Andini, ke sini kamu, Nak."
Andini meletakkan nampan yang berisi sepiring pisang panggang dan secangkir kopi di meja tamu kemudian ia mendekati ayahnya.
"Ada apa, Bapak?''
"Coba lihat siku kirimu."
"Ini, Pak, "ujar Andini tanpa berpikir apa-apa.
"Arya, coba kau lihat siku istrimu ini."
Arya mendekat. Ia tercengang. "Kenapa bisa sampai begini, Ma?"
Ayah mertua semakin gusar. Hampir saja ia menghardik menantunya iti tetapi ia melihat Andini tengah menggendong Alfa, beliau merendahkan suaranya. "Aneh sekali kau bisa lupa dengan yang sudah kaulakukan."
Andini menyodorkan kopi hangat itu. "Minum dulu, Pak."
"Hm, ya."
"Papa mau minum juga?"
"Tidak usah, biar Papa ambil sendiri."
"Mana Azhar, Ma?"
"Belum pulang, ada les mengaji."
"Permisi, saya ganti baju dulu, Pak."
"Ya."
Andini duduk di samping ayahnya. "Ada apa, Pak?"
Ayah meletakkan cangkir di meja. "Andini, kau harus jujur, Nak."
"Iya, Andini selalu jujur dan berusaha jujur."
"Bagus, Bapak suka mendengarnya. Kau bahagia menjalani pernikahanmu?"
"Bahagia."
"Punya suami semacam Arya itu, kau bahagia?"
"Iya, bahagia. Memang kenapa, Pak?"
"Coba lihat siku kirimu yang memar itu, "sahut sang Ayah geram karena ia berpikir Arya yang melakukannya.
"Oh, ini? Tadi siku Andini terbentur tepi meja, Pak."
"Karena Arya mendorongmu, benar, kan?"
Andini tercengang. Ia baru mengerti.
***
Anfa tidak tahu bahwa istrinya sakit. Rana melarang Arya maupun Shafa untuk memberitahu ayah mereka karena
tidak ingin mengganggu kesibukan suaminya.
Sekarang adalah hari ketiga Anfa mengikuti seminar, masih kurang dua hari. Meskipun demikian, pria yang sangat
menyayangi keluarganya itu sudah tidak sabar lagi untuk segera pulang.
"Boleh saya duduk di sini, Pak?"sapa Lila mendekati meja Anfa.
Anfa mengangguk. Ia sedang membuka laptop.
"Bapak sendiri saja? Mana Pak Faisal?"
"Sudah tidur."
"Bapak belum tidur?"
"Saya belum mengantuk."
"Pak, saya ingin membicarakan sesuatu."
"Silakan."
"Tapi saya mohon Bapak jangan marah."
"Katakan saja."
Lila gadis berambut lurus sampai punggung itu memandang Anfa sekilas lalu menundukkan kepala. Ia tampak gugup dan salah tingkah.
"Ada apa, Lila?"
"Saya ingin menikah, Pak...."
Anfa tersenyum. "Itu keinginan yang baik. Siapa calon suamimu?"
"Saya belum menemukan laki-laki yang baik. Selama ini saya selalu bertemu dengan laki-laki bejat bahkan ayah kandung saya sendiri pun tak lebih dari seorang penjudi dan pemabuk. Saya tidak percaya lagi dengan mereka, Pak."
"Usiamu masih muda, Lila. Tidak semua laki-laki itu tidak baik."
"Bapak benar. Saya baru menyadari hal itu ketika saya bertemu Bapak. Pak Anfa adalah laki-laki idaman hampir setiap wanita."
"Alhamdulillah, terima kasih. Semua itu karunia Allah."
Lila memberanikan diri menatap laki-laki yang duduk di hadapannya dan berbatasan dengan meja bundar. Gadis itu menarik napas perlahan kemudian berkata lirih, "Saya ingin menjadi istri Bapak...."
Anfa tercengang.
=================****================
Tantra menunggu Rafa yang sedang mengancingkan tas coklatnya.
"Sudah selesai, Dik?"
"Sebentar, Mas, Peniti jilbabku lepas."
"Kapan kamu ujian tingkat?"
"Insya Allah minggu depan, Mas, "jawab Rafa sambil menyandangkan tas ke bahunya.
"Kalau begitu mulai besok, setiap sore latihan dengan Mas."
"Berapa jam?"
"Satu jam saja, mau?"
Rafa mengangguk mantap.
Kedua kakak beradik itu berjalan menuju tempat parkir.
"Oh ya, bagaimana dengan musuh bebuyutanmu itu?"
"Banu maksud Mas Tantra?"
"Iya, siapa lagi."
"Dia masih belum kapok. Tapi Rafa senang soalnya teman-teman mulai berani menentang malah ada yang berani melawan."
"Jadi begitu? Padahal sudah diskors seminggu?"Tantra menggeleng-gelengkan kepala.
"Dia memang bandel, Mas."
Tantra mengeluarkan kunci Supra X dari saku celananya.
***
Arya mengusulkan supaya Andini mengajak ayahnya tinggal bersama mereka. Ayah Andini memang hanya seorang diri di rumah itu karena ibu sudah meninggal lima tahun yang lalu.
"Bapak pasti senang kalau bisa serumah denganmu, Ma, "ujar Arya suatu pagi di teras rumah. "Aku lihat beliau sangat menyayangimu."
"Bapak selalu memperhatikan aku sejak kecil, "jawab Andini tersenyum.
"Jadi Mama setuju kalau Bapak tinggal bersama kita?"
"Sangat setuju, Pa. Tapi semua terserah Bapak."
Arya mengangguk. Ia mengambil sepotong melon yang disediakan istrinya di sebuah piring lonjong.
"Azhar, hati-hati!"seru Andini mengingatkan si Sulung yang sedang menitah adiknya.
"Iya, Ma!"jawab anak yang baru masuk SD itu.
"Azhar kakak yang baik ya, Ma, "bisik Arya memandang kedua anaknya yang tengah bercanda di halaman. Alfa tampak gembira karena Azhar menitahnya dengan sabar.
"Iya, Bapak pasti tidak kesepian lagi kalau melihat cucu-cucunya yang lucu itu."
"Benar, dan Papa bisa terhindar dari tuduhan telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga, "sahut Arya tertawa.
Andini ikut tertawa. Mendadak ia teringat peristiwa beberapa hari yang lalu itu. Hampir saja ayahnya marah besar gara-gara mengira Arya telah berlaku kasar pada dirinya. Syukurlah kesalahpahaman itu berakhir dengan menyenangkan.
===========0000==========
"Pak, izinkan saya menemui Ibu sepulang dari seminar, "ujar Lila saat di ruang makan.
"Untuk apa?" tukas Anfa sambil mengambil setusuk sate buah.
"Saya harus menjelaskan semua. Maksud saya alasan kenapa saya ingin menikah dengan Bapak."
Anfa menghela napas perlahan. Ia meletakkan sate buah di piringnya, seleranya tiba-tiba saja melayang. "Lila, kenapa kamu tidak mencari laki-laki yang sebaya denganmu? Usia anak saya yang pertama umurnya sama denganmu dan saya sudah mempunyai dua cucu."
Lila menatap Anfa. "Bapak belum terlalu tua."
"Sudahlah, tolong hentikan pembicaraan yang tidak menguntungkan ini."
"Tapi, Pak...."
Anfa beranjak dari duduknya. "Saya akan membantumu mencari calon suami yang tepat untukmu."
"Tapi, Pak...."
Anfa meninggalkan gadis itu tertegun.
===========0000============
Berita tentang Banu yang kena batunya ternyata tersebar seantero sekolah. Mereka menertawakan jagoan yang sial itu. Bagaimana tidak, mau minta bantuan ketua gank tidak tahunya ketua gank itu tak lain dan tak bukan adalah adik musuh bebuyutannya.
"Banu dapat salam dari PLN, "ujar beberapa murid jika mereka berpapasan dengan dirinya.
"Apa maksud kalian?"tanya Banu melotot.
"Kasiaaan deh kamu, "sahut mereka serentak dengan tangan menggambar petir di udara sebagai lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Banu langsung memaki-maki tak karuan dan anak-anak itu cepat-cepat kabur menyelamatkan diri.
Peristiwa itu membuat Banu semakin marah dan dendam terhadap Rafa. Tetapi untuk menyakiti gadis itu, ia harus berpikir seribu kali. Bukan saja karena Tantra ketua gank di SMU Tunas Harapan itu adalah kakak Rafa dan menguasai ilmu beladiri dari Jepang, tetapi juga karena Rafa pun mendapat gemblengan dari kakaknya. Ya, belakangan Banu mengetahui bahwa gadis itu hampir selihai kakaknya. Pantas saja gadis itu bisa membuatnya terbanting begitu keras dan cepat.
Siang itu Tantra menyempatkan diri menemui adiknya saat istirahat.
"Ada apa, Mas?" tanya Rafa yang akan pergi ke kantin bersama Ela dan Tika.
"Mas ada perlu, "Tantra menarik tangan adiknya.
"Nanti jangan pulang dulu, tunggu Mas datang."
Rafa mengerutkan kening. "Kenapa, Mas?"
Tantra tak segera menjawab. Ia menoleh kepada Ela dan Tika yang masih berdiri di dekat mereka.
"Kami ke kantin dulu, "ujar Tika yang cepat tanggap.
"Iya, nanti kamu menyusul, "sahut Ela.
"Ada apa, Mas?"tanya Rafa setelah kedua temannya berlalu.
"Ada yang akan mencelakakanmu."
"Banu maksud Mas?"
"Kabarnya begitu."
"Dia kan anggota gank Mas kok ...?"
"Dia sudah Mas pecat."
"Dan dia sakit hati?"
"Itu cuma sekian persen dibanding dendamnya terhadapmu."
Rafa tampak murung. "Aku lelah, Mas. Aku tidak mau bermusuhan dengan siapa pun."
"Mas tahu, "Tantra menepuk pundak adiknya. "Nanti tunggu Mas, kita pulang sama-sama."
Rafa mengangguk.
***
Afna panik. Sudah pukul empat sore, tetapi Tantra dan Rafa belum tiba di rumah. Ia sudah menelepon ke sekolah
mereka dan mendapat jawaban bahwa murid-murid telah pulang sejak pukul dua tadi. Dua kali menelepon suaminya yang berada di tempat kerja, Cakra menyuruhnya untuk tenang.
Ah! Afna menutup hpnya dengan kesal. Bagaimana bisa tenang? Tidak biasanya mereka terlambat pulang seperti
sekarang? Wanita itu mondar-mandir di kamar dengan gelisah.
============****==============
Anfa menghela napas. Ia mengerti perasaan Rana. Sedikit pun ia tidak menduga bahwa Lila nekat menemui Rana dan mencurahkan segala perasaannya yang paling dalam.
"Maafkan saya, Pak, "Lila menunduk. "Saya tidak bermaksud untuk lancang."
"Silakan lanjutkan dengan suami saya, "sela Rana seraya beranjak dari duduk.
"Bu, tunggu."
Rana tidak menghiraukan suaminya dan berlalu dari ruang tamu.
"Pak Anfa...."
"Kenapa kamu datang ke rumah saya?"
"Saya tidak tahu, Pak."
"Pulanglah, Lila."
Lila menengadah, menatap laki-laki setengah baya yang berdiri di hadapannya.
"Saya tidak bermaksud mengusirmu, tapi saya tidak ingin istri saya salah paham."
"Ya, saya mengerti Bapak tidak ingin menyakiti hati istri, tapi...."
"Tapi apa?"
"Bapak pasti juga tidak ingin melihat masa depan saya hancur...."
Anfa menatap Lila tajam. "Apa maksudmu?"
"Saya sudah tidak punya harapan lagi, Pak, "tiba-tiba Lila tersedu-sedu.
"Jangan menangis, "Anfa kebingungan. Maklum dia belum pernah menghadapi anak gadisnya menangis. Ia teringat Shafa tidak pernah lagi menangis saat beranjak remaja.
Anfa menyodorkan sekotak tissue di meja.
===========###==========
Rafa mengintip dari balik kaca. Keadaan Tantra sangat kritis. Gadis itu tak henti menangis memikirkan kondisi
kakaknya yang gawat. Tantra koma.
Semula semua berjalan sesuai rencana. Tantra menjemput Rafa di sekolah. Tetapi saat melintasi jalan sepi,
mendadak segerombolan pemuda berseragam SMU menghadang mereka. Tantra dan Rafa terpaksa turun dari motor. Belum sempat bertanya, para remaja itu langsung menyerang kakak beradik itu.
"Rafa,lari!"teriak Tantra sambil menangkis serangan lawan-lawannya yang bertubi-tubi.
Rafa menurut. Ia menyingkir dan menonton dari kejauhan. Tetapi ia melihat kakaknya mulai kewalahan, nekat
ia melempar batu dan tepat mengenai punggung seorang di antara mereka.
"Berani kau melemparku!" seru remaja itu serentak membalikkan tubuh.
Rafa menahan napas. Ia harus bersiap-siap.
Tampaknya calon lawannya hendak mengeluarkan sesuatu dari balik kemejanya. Rafa tidak mau membuang waktu, cepat ia mengadakan sapuan ke arah kaki lawan.
Lawannya terjatuh. Dengan geram remaja itu berusaha berdiri dengan wajah meringis menahan sakit.
"Boleh juga kamu!"
Kini mereka berhadap-hadapan.
Tiba-tiba remaja berambut gondrong itu menyeringai. Ia baru menyadari wajah Rafa yang manis. Tangannya men-
julur hendak menyentuh dagu gadis berjilbab itu.
Tetapi....
Bug! Tiba-tiba ia kembali terbanting keras ke aspal jalan.
"Berani kau melawanku?!" serunya marah.
Sementara itu Tantra semakin terdesak. Walaupun ia menguasai ilmu beladiri, tetapi menghadapi belasan orang
yang menyerang membabibuta tentu kewalahan.
Bret! Sebilah pisau menggoreskan luka di lengan kirinya. Sakit, tapi Tantra tak menggubrisnya.
Darah yang terus mengucur dari lengan membuat remaja itu menjadi lemah.
"Hajar saja!"seru seorang di antara mereka.
Segera saja belasan remaja berandal itu menyarangkan pukulan dan tendangan ke arah Tantra yang terus berusaha melawan.
Rafa berhasil memancing lawannya agar menjauh dari tempat itu. Gadis itu sengaja mencari tempat ramai agar
bisa mendapatkan bantuan. Ia berlari dan pemuda itu mengejarnya.
"Kau mau lari?!"
Rafa menatap tajam sang Lawan. Gadis itu tengah menyiapkan diri dengan satu teknik andalannya. Teknik ini
merupakan sapuan menyilang di tengah kedua kaki lawan.
Tanpa banyak bicara, gadis remaja itu melakukan serangan kilat. Bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan lawan-
nya untuk melakukan pembalasan.
"Pak, tolong saya!"seru Rafa saat melihat dua laki-laki lewat.
"Ada apa, Nak?"
"Dia mengganggu saya, Pak, "ujar Rafa sambil menunjuk lawannya yang berusaha berdiri.
"Kamu laki-laki beraninya hanya dengan perempuan?"Laki- laki tua itu menarik telinga lawan Rafa.
"A aduh, ampun, Kek. Ampun...."
Sementara itu Tantra tersungkur. Seragam putihnya tidak lagi putih, tetapi penuh bercak darah dan tapak sepatu.
Meskipun keadaan Tantra sudah tak berdaya, tetapi para berandal itu belum puas. Mereka terus menginjak-injak
remaja yang sudah tidak sanggup melawan itu.
"Rasakan! Itulah akibatnya kalau berani menyakiti pemimpin kami!"
"Kita injak saja terus! Biar hancur sekalian!"
"Oh ya, mana adiknya?"
"Kita cari dia. Pasti masih bersembunyi di sekitar tempat ini."
Tantra yang mendengar pembicaraan mereka, mendadak bangkit kekuatannya.
"Hei, jangan ganggu adikku!"serunya sambil berusaha berdiri.
"Sudah parah masih sombong!"maki seorang berandal sambil meninju perut Tantra.
Pemuda itu terjengkang.
Afna memeluk putrinya. Rafa menangis tanpa suara.
"Apa yang terjadi, Nak? Bagaimana kakakmu?"
"Tenanglah, Bu, "Cakra menggenggam tangan istrinya. "Sebaiknya kita duduk di bangku panjang itu."
Afna menurut. Sambil menggandeng tangan putrinya, ia mengikuti suaminya.
***
"Kenapa Ayah tega berbuat seperti ini?"tanya Shafa saat melihat ayahnya bersama seorang gadis di ruang tamu.
Anfa menatap putrinya yang berdiri tegak di hadapannya. "Shafa, kau tidak tahu yang sedang kamu katakan."
"Shafa tahu dan Shafa juga melihat, Ayah. Pantas saja Ibu sampai jatuh sakit, ternyata semua itu karena kelakuan Ayah."
"Shafa...."
"Shafa belum selesai bicara, Ayah. Memang wajah Ibu tidak secantik perempuan yang ada di dekat Ayah itu, tapi bagaimana pun juga Ibu istri Ayah!"
Anfa terdiam. Belum pernah ia melihat Shafa begitu marah.
"Shafa juga tahu Ibu bukan wanita yang cantik, tapi Ayah harus tahu kalau Ibu adalah istri terbaik untuk Ayah. Kenapa Ayah tidak ada bedanya dengan laki-laki lain? Selalu menilai perempuan dari kecantikannya, fisiknya!"
Lila kikuk melihat kemarahan Shafa. Ia segera berdiri.
"Sebaiknya saya pulang, Pak, "ujarnya lirih.
Shafa menghampiri gadis sebaya Arya itu. "Aku yakin kau masih punya hati untuk tidak mengganggu ketenangan kami."
Lila menunduk dan segera berlalu.
"Lila...."
Lila menghentikan langkah lalu menoleh.
"Panggilkan taksi, Shafa, "ujar Anfa.
"Baik, Ayah."
================###===================
"Jadi kakakmu berkelahi untuk melindungimu?" tanya Cakra.
Rafa mengangguk. "Iya, Ayah."
"Kalau begitu masalahmu dengan Banu masih berlanjut?"sela Afna.
"Rafa menganggapnya sudah selesai, Bu, tapi ternyata dia masih dendam dan ingin mencelakai Rafa."
"Jadi Banu juga ikut menyerang Mas Tantra?" kali ini Cakra yang ingin tahu.
"Tidak, Ayah. Mungkin dia yang menyuruh remaja berandal itu untuk menyerang kami."
" Kenapa kalian tidak lari saja? Bukankah kalian naik motor?"
"Itu tidak mungkin, Bu. Banyak dari mereka yang membawa senjata dan bisa saja melemparkannya ke arah kami.
Mas Tantra memilih turun."
Cakra membelai kepala putrinya yang berjilbab itu. "Kau ikut berkelahi, Sayang?"
"Iya, Yah. Tadinya Mas Tantra menyuruh Rafa menyingkir, tapi Rafa tidak sampai hati melihat dia kewalahan."
"Kamu terjun ke arena perkelahian?"tanya Afna.
Rafa menggeleng. "Rafa memancing seorang dari mereka dengan lemparan batu."
Afna menggenggam tangan si Bungsu. "Kau gadis yang pemberani. Benar kan, Yah?"
Cakra mengangguk dan tersenyum.
Dokter menutup pintu kamar tempat Tantra dirawat. Serentak Cakra beserta anak istrinya beranjak dari bangku dan menghampiri.
"Dokter, bagaimana anak kami?"
"Iya, Dokter. Bagaimana keadaannya?"Afna tampak cemas.
Dokter menghela napas. Ia tampak bersiap-siap mengatakan sesuatu yang mungkin berat.
Sementara semua menunggu dengan harap cemas.
***
Seusai membaca Al Quran, Shafa menghampiri ibunya yang sedang menyiapkan makan malam.
"Sayur lodeh sudah dihangatkan, Bu?"
"Sudah, "jawab Rana sambil meletakkan sepiring berisi tahu dan tempe goreng.
Shafa membuka lemari gantung dan mengambil lima piring dan gelas.
"Adik-adikmu sedang apa, Shafa?"
"Ada di kamar, sedang belajar."
Shafa memperhatikan ibunya yang sedang menuangkan air putih ke dalam gelas-gelas.
"Bu...."
"Iya, Shafa?"
"Ibu masih marah pada Ayah?"
Rana menghela napas perlahan. "Entahlah, Shafa, mungkin Ibu juga salah."
"Maksud Ibu?"
"Tidak sepantasnya Ibu marah pada ayahmu."
Shafa mengerutkan kening menatap ibunya yang menutup gelas. "Ayah sudah mengkhianati Ibu."
"Tidak seperti itu. Semua yang terjadi bukan keinginan Ayah."
"Kenapa Ibu selalu membela Ayah? Bahkan dulu Ibu harus rela dimadu?"
Rana tersenyum. "Ayah tidak mencintai Tante Netty sedikit pun, Shafa."
"Tapi Ayah menikahi Tante Netty?" Gadis itu menggelengkan kepala, "Tidak, Bu, itu tidak masuk akal."
"Kadang-kadang yang terjadi di dunia ini memang sulit diterima akal."
"Kenapa Ibu tidak minta cerai saja?"
Rana kembali tersenyum. "Kalau Ayah dan Ibu bercerai, kedua adik kembarmu itu mungkin tidak akan ada, "tukasnya.
"Jadi Ibu lebih suka dimadu? Shafa tidak habis pikir bagaimana perasaan Ibu saat sendiri sedangkan Ayah dan Tante Netty bermesraan di kamar...."
"Shafa, satu hal yang Ibu yakini sampai saat ini."
"Apa itu, Bu?"
"Ayahmu sangat mencintai Ibu, bahkan sangat menyayangi."
"Ibu begitu yakin?"
Rana mengangguk.
"Ah, sudahlah. Panggilkan si Kembar."
"Sayur lodehnya sudah dihangatkan, Bu?" sela Rangga.
Rana dan putrinya menoleh dan tersenyum. Ternyata Rangga dan Rahar sudah berada di ruang makan.
"Sudah, "jawab Rana. "Ayo, ambil nasi. Piringnya sudah disiapkan Mbak Shafa."
"Terima kasih, Mbak, "ujar Rangga.
"Iya, Mbak Shafa cantik, "Rahar menimpali.
"Sudah cantik, baik lagi, "sahut Rangga.
Shafa mendehem. "Tapi Mbak tidak punya coklat, lho."
Rana tersenyum heran. "Apa hubungannya?"
"Kalau sudah merayu, berarti mereka minta coklat, Bu."
Rana menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum geli. Persis ayah mereka, pikirnya.
"Ayah pulang jam berapa, Bu?"
"Ayah pulang jam sembilan. Beliau berpesan supaya kita makan dulu saja.
=========###================
"Maafkan anakku, Mas."
Anfa hanya tersenyum. Dunia ini memang penuh kejutan. Siapa yang menyangka kalau Lila adalah anak sulung hasil pernikahan Netty dan Surya?
Pantas aku seperti pernah mengenali wajahnya, ujar Anfa dalam hati.
"Aku dan suamiku akan berusaha supaya dia tidak mengganggu kalian lagi."
"Yang aku tidak habis pikir, dia sampai hati bercerita bohong tentang kalian."
"Maksud Mas?"
"Dia bercerita tentang keadaan keluarganya yang katanya berantakan."
Netty melotot.
"Netty, menurutku sebaiknya hal ini kaubicarakan dengan suamimu. Maaf, aku tidak bermaksud memotong pembicaraan, tapi ini sudah malam dan aku harus segera pulang."
Netty tersenyum. "Kau belum berubah, kau masih tetap suami yang setia."
Anfa beranjak dari kursi tamu. "Sampaikan salamku untuk suamimu."
"Insya Allah."
============))(((==============
Cakra merapikan selimut Afna. Istrinya itu jatuh pingsan saat mendengar penjelasan dokter tentang kondisi Tantra.
"Ibu sudah sadar?"
Afna tersenyum.
"Tantra mana, Yah?"
"Masih di UGD, Bu. Tapi alhamdulillah, keadaannya sudah lebih baik."
"Benarkah?"
Cakra mengangguk.
"Alhamdulillah."
Rafa masuk dan menutup pintu perlahan.
"Ibu mau makan sekarang?" tanya gadis itu.
"Ibu belum lapar, Nak, terima kasih."
"Rafa, temani Ibu, Ayah mau beli handuk kecil."
"Iya, Yah."
***
Pagi itu Ela dan Tika menghampiri Rafa yang baru saja memasukkan tasnya ke laci bangku.
"Rafa, kamu harus bertindak, "Ela tersengah-engah.
"Iya, kamu tidak boleh tinggal diam, "Tika menimpali.
"Ada apa ini? Tenang, kawan-kawan, tenang."
"Tidak ada lagi waktu untuk tenang, "tukas Ela, "Jangan sampai nama sekolah kita tercemar."
Rafa kebingungan. Ditatapnya kedua teman dekatnya itu bergantian. "Kalian ini bicara apa?"
"Kami baru mendengar kabar nanti siang SMU Tunas Harapan akan menyerbu SMU kita."
Rafa tersentak mendengar penjelasan Tika.
===================****=====================
Surya terkejut mendengar penuturan istrinya. Ia tidak habis pikir mengapa Lila sampai berbohong.
"Saya mencintai Pak Anfa, Papa, "ujar gadis itu lirih tetapi tegas.
"Pria yang sama baiknya dengan Pak Anfa dan sebaya denganmu pasti ada, "tukas Netty, "Beliau
hampir sebaya ayahmu."
"Mama, cinta tidak mengenal usia."
"Kamu benar, anakku. Tapi jangan sampai membuat kita kehilangan akal. Apa kau tidak memikirkan bagaimana perasaan istri dan anak-anaknya?
Lila terdiam mendengar kata-kata ibunya.
"Mama benar, "Surya menimpali, "Kenapa kamu tidak mencoba membuka diri, Lila? Papa yakin banyak teman sekantormu yang diam-diam menaruh hati."
Netty beranjak dari ruang keluarga. Ia hendak mengambil rajutan di kamar.
Surya menatap putrinya yang tertunduk. Pria itu teringat Rana, cinta pertamanya. Bertahun-tahun ia telah berusaha melupakan wanita yang telah menjadi milik orang lain itu. Ia memang belum berhasil melupakan Rana, tetapi ia telah berhasil melawan kehendak dirinya yang ingin menemui kekasih hatinya itu. Setiap kali timbul keinginan itu, Surya selalu berusaha mengingat kesetiaan dan kesabaran istrinya, dan ia tak mau
menyakiti hati pendamping hidupnya. Akhirnya Surya menyadari bahwa cinta tak harus memiliki.
============0000=============
Rana meletakkan secangkir teh hangat di meja ruang tengah. Wanita itu duduk di samping suaminya tanpa berkata sepatah pun.
Anfa melipat surat kabar di tangannya.
"Ibu masih marah?"
"Tergantung."
"Maksud Ibu?"
"Tergantung perasaan Ayah."
"Baiklah, Ayah menganggap Ibu sudah tidak marah lagi. Bagaimana?"
Rana beranjak tetapi Anfa menangkap pergelangan tangannya.
"Asyiik! Ayah Ibu pacaran!" sorak si Kembar yang mendadak ada di ruang itu.
Rana cepat-cepat melepaskan tangan suaminya. Wajahnya merah padam.
Sementara Anfa tersenyum melihat tingkah kedua anaknya.
"Kalian sudah siap berangkat?"
"Sudah, Yah."
"Cium tangan Ibu dulu, "ujar Anfa, lalu mengambil cangkir berisi teh hangat itu.
"Belajar yang baik, ya, "ujar Rana mencium pipi kedua anaknya.
"Ayah berangkat, Bu."
Rana mencium tangan suaminya, "Selamat bekerja, "katanya.
=============000============
Rafa masih gelisah. Ia memang berhasil menggagalkan perkelahian pelajar itu tetapi sampai kapan? Gadis itu baru menyadari bahwa kakaknya adalah sosok pemimpin yang dicintai dan disegani anak buahnya wajar saja kalau mereka marah begitu mendengar berita sang ketua masuk rumah sakit.
Ia memutuskan menghadap Bapak Kepala Sekolah untuk membicarakan masalah yang pelik itu. Ia melihat arloji di pergelangan kirinya. "Masih lima belas menit lagi bel masuk, "gumamnya sambil bergegas menuju kantor kepala sekolah.
***Rana terheran-heran melihat Arya sedang menyapu halaman saat ia berkunjung. Sementara Andini mengupas mangga muda dan belimbing.
"Kamu menyapu?"
"Eh, Ibu, "Arya mencium tangan ibunya.
Setelah meletakkan pisau, Andini pun mendekat dan mencium tangan ibu mertua.
"Ibu mau minum apa?"
"Terima kasih, Andini, "Rana duduk di sebuah bangku yang terbuat dari semen di samping pintu rumah. "Boleh kan
Ibu ambil minum sendiri?"
Andini mengangguk sambil tersenyum.
Arya menyandarkan sapu lidi di tembok samping rumah. Ia telah menyelesaikan pekerjaannya.
"Oh ya, bandeng yang kemarin Papa beli, masih ada kan, Ma?"
"Masih, "Andini memotong-motong belimbing, "Papa mau masak apa?"
Rana semakin tercengang. Arya memasak? Sejak kapan anak sulungnya itu bisa memasak? Kalau memasak air pasti bisa, tetapi itu lebih tepat menyebutnya dengan merebus. Tetapi wanita itu memilih diam.
"Acar. Ibu suka bandeng yang diacar. Iya kan, Bu?"Arya memandang ibunya.
Rana mengangguk-angguk. Bengong.
===========)))(((============
Entah apa yang terjadi pada Banu. Yang jelas, pelajar badung itu tampak murung saat keluar dari ruang kepala sekolah. Tidak ada seorang murid pun yang berani mengusik.
Sementara itu Rafa baru saja meminjam buku dari perpustakaan ketika Banu menghadangnya.
"Jangan gembira dulu karena kau telah berhasil membuatku kena skors lagi."
"Aku tidak sudi melihatmu, "Rafa bergegas.
"Dengarkan aku! Atau mau kulempar dengan batu yang besar?"
Rafa menghentikan langkah. Ia membalikkan tubuh.
Banu tertawa mengejek. "Tidak kusangka, "katanya, "Ternyata cuma seperti itu saja kehebatan kakakmu yang
jago beladiri itu."
"Ya, dan memang hanya itu yang bisa kau dan anak buahmu lakukan. Sembunyi dan main keroyok. Dasar pengecut."
Wildan yang lewat dan melihat perang urat syaraf itu buru-buru menengahi.
"Sudah, sudah. Banu, kau ditunggu Bu Santi di kelas."
Banu menepuk dahinya. "Matilah aku, "keluhnya, lalu cepat-cepat meninggalkan Wildan dan Rafa di halaman.
"Dia belum berubah, "Wildan menggeleng-gelengkan kepala."
"Mudah-mudahan suatu saat dia akan sadar, Mas, "Rafa tersenyum.
"Ya, mudah-mudahan, Dik."
==========****============
Suasana kelas III IPS-3 mendadak sunyi. Bu Santi, guru bahasa Indonesia yang terkenal galak dan ditakuti telah
duduk di kursi guru.
Setelah mengucapkan salam, beliau memulai pelajaran.
"Anak-anak, pagi ini kita akan mendiskusikan tentang kalimat baku. Nah, siapa yang dapat menjelaskan pengertian kalimat baku? Ayo, angkat telunjuk kananmu!"
Suasana semakin senyap. Murid-murid memilih menundukkan pandangan dan sibuk mengamati kutu di bangku mereka. Beberapa di antaranya malah lebih suka menyembunyikan wajahnya di balik buku.
"Kamu, Tanto?"
Tanto gugup. "A...aye kagak ngarti, Bu!" jawabnya dengan logat Betawi yang medok.
Lucu, tetapi tidak ada yang berani tertawa. Sebagian menyembunyikan senyumnya sambil berpura-pura memutar-mutar pulpen.
"Mengapa kamu masih saja suka menggunakan bahasa Betawi, Tanto? Materi bahasa Indonesia hari ini adalah
kalimat baku. Kamu telah berbicara dengan menggunakan kalimat tidak baku."
Tanto tidak menjawab. Jujur, ia masih bingung apa hubungan kalimat baku dengan dirinya?
"Keluarkan buku catatan kalian!"
"Ciri-ciri kalimat baku!"
"Belum, Bu! Belum!"Murid-murid kalang kabut membuka buku catatan.
"Tidak dipengaruhi bahasa daerah!"
"Aku pinjam catatanmu, "bisik seorang murid kepada teman sebangkunya, "Aku ora bisa nulis cepet-cepet, tulisanmu kan apik."
"Ibu ulangi tidak dipengaruhi bahasa daerah!"ujar Bu Santi yang rupanya mendengar bisikan itu, "Ingat, tidak boleh menggunakan bahasa daerah ketika pelajaran bahasa Indonesia berlangsung!"
Hasilnya tidak ada yang berani mengeluarkan kata-kata lagi, takut salah. Bu Santi selalu saja mengoreksi setiap kata yang keluar dari mulut murid-muridnya.
Banu beranjak dari bangku dan menuju papan tulis.
"Ada apa, Banu?"
"Mau hapus papan tulis, Bu."
"Satu lagi contoh kalimat tidak baku, "Bu Santi langsung memberikan penilaian, "Kalimat baku yang merupakan kalimat aktif harus memakai imbuhan eksplisit. Jadi yang benar adalah menghapus bukan hapus. Mengerti, Banu?"
"I...iya, Bu...."
"Ulangi kalimatmu dengan benar!"
"Saya mau menghapus papan tulis, Bu."
"Salah, yang benar adalah 'saya hendak menghapus tulisan di papan tulis. Yang akan kamu hapus adalah tulisan di papan tulis, bukan papan tulis'. Benar begitu, Banu?"
Banu mengangguk sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
***
Setelah menunggu beberapa hari, barulah Rana dapat menceritakan kejadian yang menarik perhatiannya yang terjadi dalam keluarga anak sulungnya kepada suaminya. Tentu saja Anfa tidak percaya. Sepengetahuannya Arya memang rajin bekerja, tetapi kalau sampai harus menyapu apalagi memasak, nanti dulu. Kalau harus memilih, ia lebih suka mengangkut lemari daripada memasak.
"Jadi anak itu bisa memasak?"
"Benar, Yah. Malah Ibu melihat sendiri dari meracik bumbu sampai masakannya matang."
"Pasti hangus semua, "tukas Anfa sambil meraih surat kabar di atas meja ruang tengah.
"Kok Ayah tidak percaya?"
"Bukannya tidak percaya, Bu. Ayah cuma heran sejak kapan Arya berubah ya?"
"Ayah mau berubah seperti Arya?"Rana tersenyum simpul.
"Seperti Arya?"Anfa tampak berpikir. "Maksud Ibu?"
"Ya...tidak ada salahnya kan kalau sekali-kali Ayah yang memasak dan mencuci pakaian?"
"Boleh, tapi ada syaratnya."
"Memangnya sayembara, pakai syarat segala. Apa syaratnya, Yah?"
"Ibu harus mau menuruti permintaan Ayah."
"Minta apa?"
"Jawab dulu, mau atau tidak."
"Tapi kan Ibu belum tahu."
"Kalau begitu, Ayah pilih lembur di kantor saja, "Anfa mulai mengancam.
"Iya, Ibu menurut saja kata Ayah."
"Terima kasih, Ibu memang cantik,"Anfa tersenyum menatap istrinya. "Nanti, setiap kali Ayah selesai mencuci atau memasak, atau pekerjaan rumah lainnya, Ayah minta...."
"Minta apa, Yah?'
"Cium pipi dari Ibu."
Merah padam seketika wajah Rana. "Kalau begitu, tidak usah saja."
"Lho, kenapa?"
"Malu kalau ketahuan si Kembar."
Anfa tertawa. Rana melirik suaminya dengan jengkel.
Sementara di luar bulan purnama menyinari langit malam.
==================66666======================
Lila tampak murung. Sudah satu bulan, ia mengundurkan diri atas perintah orangtuanya. Surya dan Netty sangat khawatir jika Lila sampai mengganggu rumah tangga orang lain. Surya berpendapat bahwa lebih baik putri sulungnya itu melanjutkan kuliah transfer strata satu.
"Kau masih memikirkan Pak Anfa?"tegur Netty menghampiri anaknya yang duduk di teras.
Lila diam saja. Ia hanya menoleh sebentar.
"Boleh Mama tahu keistimewaan mantan atasanmu itu?"
"Entahlah, Ma, "jawab gadis itu lirih. "Yang jelas, ia memiliki sesuatu yang sulit kujelaskan. Sesuatu yang membuatku terpesona dan aku tidak sanggup menolak perasaan itu."
Netty terdiam mendengar jawaban anak sulungnya. Seperti itulah yang dulu ia rasakan. Ia begitu tergila-gila terhadap Anfa dan anaknya kini mengalami perasaan itu.
Netty menggenggam tangan Lila lembut. "Mama mengerti perasaanmu, Nak. Jatuh cinta memang berjuta rasanya. Tapi kamu harus sadar kalau Pak Anfa itu punya keluarga. Apa kamu tidak kasihan dengan istri dan anak-anaknya? Apa kamu senang kalau mama atau papamu meninggalkan kalian atau menikah lagi karena tergila-gila pada orang lain?"
Lila memeluk ibunya. "Tidak, Ma, tidak, "tukasnya. "Maafkan Lila."
Netty balas memeluk anaknya.
==============6666===============
Rafa merapikan selimut yang menutupi tubuh Tantra. Ia bersyukur karena keadaan kakaknya semakin membaik.
Tantra mulai dapat diajak berkomunikasi walaupun hanya sebentar. Beberapa jahitan pada tubuh, terutama perut
dan dada membuat remaja itu kesakitan saat berbicara atau menarik napas.
"Dik...."
"Ya, Mas?"
"Minum."
Rafa mengambil sebotol air mineral di atas meja.
Tantra tersenyum tanda terima kasih.
"Mas harus menuruti kata dokter supaya cepat sembuh. Rafa ingin kita bisa seperti dulu."
Tantra terdiam. Tiba-tiba ia teringat bulan depan UAN dimulai. Bagaimana dengan dirinya yang masih harus menjalani perawatan di rumah sakit?
"Mas? Eh, melamun, ya?"
Tantra tersentak.
Rafa menghela napas. "Kalau melamun, nanti cepat tua lho."
Mau tak mau Tantra tersenyum.
"Selamat pagi, "seorang perawat mengantar makan pagi.
"Pagi, "sahut kedua kakak beradik itu serentak.
Rafa memperhatikan kakaknya yang tampak tidak berkedip saat perawat mungil itu nampan berisi nasi dan lauk.
"Selamat makan."
"Suster...."
Perawat itu menoleh. "Ya, ada apa?"
Tantra menatap perawat itu dan berkata, "Suster cantik..."
Rafa sempat melihat wajah perawat itu merah padam tetapi kemudian ia tersenyum ramah. "Terima kasih, selamat makan."
***
Tiba-tiba saja Anfa menyadari sudah hampir enam bulan ia tidak berkomunikasi dengan adiknya. Ini gara-gara pekerjaan kantornya yang semakin menyita sebagian besar waktunya. Untung saja istri dan anak-anaknya, terutama
si Kembar tidak pernah protes melihat kesibukannya.
Pagi itu setelah menikmati sarapan, ia menelepon adiknya. Ternyata Rafa yang menerima.
"Rafa? Ini Pakdhe."
"Pakdhe Anfa?"
"Ibu ada?"
"Sedang tebus resep."
"Resep? Siapa yang sakit?"
"Mas Tantra."
"Apa?"Anfa tampak tegang. "Sakit apa? Sekarang kakakmu ada di mana?"
"Kami sekeluarga menginap di rumah sakit, Pakdhe."
Rana yang sedang meletakkan sepiring pisang goreng mengerutkan kening.
Anfa menutup handphonenya.
"Siapa yang sakit, Yah?"
"Tantra."
"Tantra? Padahal dia kan mau ujian?"
"Iya, kasihan anak itu. Ayo, siap-siap, Bu, kita harus menjenguk Tantra."
"Anak-anak?"
"Nanti kita hubungi Shafa, biar dia dan si Kembar menunggu di rumah."
"Baik, Yah."
=============)))(((================
"Mbak Shafa, aku lapar, "ujar Rangga menghampiri kakaknya yang duduk di bangku taman. Ia sudah bosan bermain sepak bola.
"Itu ada roti selai di kotak."
"Ah, bosan, "sela Rahar yang mengikuti saudara kembarnya. "Lagipula kenapa mesti di sini? Ini tempat apa, sih?"
"Ini kampus, "jawab Shafa.
"Kampus itu apa?"
"Tempat belajar mahasiswa."
Kali ini Rangga yang mengangguk-angguk. "Oh, jadi kalau mahasiswa belajar itu harus di kampus ya, Mbak? Kalau
di rumah, tidak boleh, ya?"
Shafa mulai pusing menghadapi kedua adik kembarnya yang serba ingin tahu. "Boleh, maksud Mbak, kampus itu sekolah untuk mahasiswa."
"Oooh, "si Kembar mengangguk-angguk serentak.
"Oh ya, begini saja, kalau kalian bosan roti selai, nanti kita makan lontong sate, mau?"
"Mau, mau!"
"Tapi...."
"Tapi apa, Mbak?"
"Kalian harus menghabiskan roti selai yang tinggal setangkup ini."
"Mbak Shafa saja, "sela Rahar.
"Iya, "Rangga menimpali, "Mbak kan belum makan."
Shafa mengibarkan bendera putih.
=================00000=================
"Pakdhe, Mas Tantra sedang kasmaran, "ujar Rafa membuat wajah Tantra merah padam.
"Sst, Rafa...,"tegurnya.
Anfa tersenyum. "Tidak perlu malu, Tantra, "tukasnya, "Memang sudah saatnya."
"Siapa gadis yang beruntung itu?"
"Mbak Nada, Pakdhe. Dia suster."
"Cantik?"
"Mm...kalau menurut Mas Tantra sih cantik."
"Cantik, Tantra?"
"Cantik sekali."
Anfa berpaling kepada Rafa, "Anak manis, Pakdhe sedang menanyai kakakmu, kok kamu yang menjawab?"
"Maaf, Pakdhe, soalnya Mas Tantra jawabnya lama, "Rafa tersipu.
"Kapan kamu boleh pulang?"
"Tergantung kondisi saya, Pakdhe. Kalau baik, insyaAllah paling cepat bulan depan. Tapi kalau...."Tantra berhenti berkata-kata, wajahnya tampak tegang menahan nyeri.
"Kenapa?"
"Kalau bicara terlalu banyak selalu begitu, Pakdhe, "Rafa menjelaskan. "Kondisi Mas kan belum pulih."
"Bagaimana bisa?"
"Kak Tantra yang tidak mau diam, maunya gerak terus."
"Ya, sudah. Jangan bicara dulu."
"Pakdhe, Rafa mau beli minum. Pakdhe titip?"
"Tidak, Rafa. Terima kasih.
Rafa keluar dan menutup pintu perlahan.
"Mau ke mana, Rafa?"tegur Cakra melihat putrinya keluar.
"Beli minum."
"Jangan lama-lama."
"Iya, Yah."
Afna menatap kakaknya yang baru saja menutup pintu.
"Kenapa sampai seperti itu, Afna?"
"Dia sempat koma beberapa hari, Mas. Perkelahian itu menyebabkan banyak luka di tubuhnya."
"Tapi tidak ada yang perlu dicemaskan, kan?"tanya Rana.
"Alhamdulillah, tidak ada, Mbak. Allah masih melindungi kami."
"Kenapa sampai dia bisa terlibat perkelahian?" Rana penasaran.
"Mbak Rana akan lebih kaget lagi kalau tahu Rafa juga terlibat, "tukas Cakra.
Anfa dan Rana terbelalak.
***
Lila menuruti saran orang tuanya untuk melanjutkan kuliah. Menuntut ilmu adalah jalan keluar yang tepat supaya dapat melupakan seseorang yang telah menawan hatinya. Gadis itu berharap dengan kuliah, ia tidak akan lagi menemui masalah semacam itu.
Tetapi hari pertama mengikuti kuliah, Lila sudah terpesona pada salah seorang dosen. Dosen itu masih muda, tampan, ramah, dan tidak sombong (ini menurut Lila).
"Bangun, bangun, "ujar Nada melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Lila.
"Eh, aku sudah bangun dari tadi, kok."
"Melamun terus, ada apa?"
"Mm...Nada...."
"Hm?"
Lila menarik buku yang sedang dibaca Nada.
"Eh, kembalikan bukuku."
"Habisnya kamu ajak bicara kok malah baca buku."
Nada tersenyum. "Baiklah, sahabatku sayang, aku akan menatap wajahmu dan mendengarkan segala keluh kesahmu."
Mau tak mau Lila tersenyum.
"Nada, Pak Arya itu masih sendiri?"
"Maksudmu? Pak Arya itu sudah menikah atau belum, begitu?"
"Iya."
"Sudah, anaknya dua."
"Hah, dua?"
"Yup."
"Ya...," Lila tampak lesu. Kenapa ya pilihanku tidak pernah tepat? pikirnya.
Nada yang melihat perubahan wajah sahabatnya mendadak iseng. "Kamu naksir, ya?"
"Ah, kata siapa?"tukas Lila merah padam. "Sudah, ah, kita ke kantin. Aku lapar, nih.'
"Oke."
"Nada, kamu hebat, bisa kuliah dan bekerja, "ujar Lila saat mereka meninggalkan ruang kuliah.
"Ah, biasa saja, Lila. Lagipula tugasku kan pagi sampai siang, jadi sore aku bisa kuliah."
"Kapan kamu belajar?"
"Pulang kuliah dan jam tiga pagi."
"Kok kamu memilih fakultas teknik? Kamu kan perawat?"
"Justru itu, aku harus bisa mengerti ilmu listrik."
"Maksudmu?"
"Kalau tiba-tiba listrik rumah sakit padam dan tukang betulkan listrik tidak ada, bagaimana, hayo?"
Lila mengangguk-angguk. Asli begong sebab jawaban Nada memang memaksa, sudah tidak cocok masih juga dicocok-cocokkan.
"Kamu sendiri keluar dari pekerjaanmu sebagai karyawati sebuah perusahaan ternama tapi sekarang makah jadi mahasiswi fakultas teknik?"
Mereka tertawa. Tiba-tiba Lila menyenggol Nada.
"Itu siapa?"Lila melihat seorang wanita menggendong anak laki-laki sekitar satu tahun memasuki ruangan seorang dosen.
"Oh, Bu Andini, istri Pak Arya."
"Istri?"Lila tercengang. Ia tidak menyangka sedikit pun kalau istri dosen yang tampan itu adalah seorang wanita bertubuh kurus dengan kulit sawo matang. Tingginya sekitar seratus lima puluh lima. Wajahnya memang manis tapi kalau dibandingkan dengan suaminya yang tampan, tinggi, atletis, dan berkulit putih...wah, jauh.
Tiba-tiba Lila tersentak. Ia teringat Anfa, mantan direkturnya. Pria itu mempunyai istri bertubuh mungil dan berwajah biasa tetapi ia sangat menyayangi dan mencintai istrinya.
Gadis itu menghela napas. Ada sesuatu yang harus ia pelajari tentang cinta dan kesetiaan.
Nada mengajak sahabatnya berlalu.
==========0000============
Tantra sedang menunggu ibu dan adiknya di depan kelas. Ia bersyukur ujian akhir diadakan di sekolah adiknya. Rafa sedang libur dan menyempatkan diri menemani ibu menjemput kakaknya.
"Kok sendirian? Ibu mana?"
"Ada, sedang belanja di supermarket seberang."
"Lama atau tidak, Dik?"
"Mana Rafa tahu. Memangnya ada apa sih, Mas? Kok kelihatan gelisah?"
"Hari ini kan waktunya periksa."
"Periksa atau mau ketemu Mbak Nada?"Rafa mengerling.
"Ngawur kamu."
"Mas benar-benar naksir Mbak Nada, ya?"
Tantra terdiam. Ia tidak sanggup membohongi perasaan sendiri.
==========0000========
Suster Nada mendorong kursi roda yang diduduki Tantra keluar ruang periksa.
"Terima kasih."
"Sama-sama."
"Suster...."
"Ya, ada apa, Dik?"
"Besuk kami mengundang Suster makan malam di rumah."
Cakra yang tanggap segera menyahut, "Benar, Suster. Kami mengundang Suster sebagai ucapan terima kasih."
"Terima kasih, Pak Cakra. Tetapi sore, saya harus kuliah."
"Kalau begitu kami yang akan menjemput Suster, "tukas Afna, "Di mana kampus Suster?"
Suster Nada terdiam.
***
"Pokoknya Rahar mau yang itu!" seru Rahar sambil menunjuk kostum Spiderman yang tergantung di antara pakaian
anak-anak.
"Ini lebih cantik, "bujuk Rana membelai sehelai gamis merah muda lengkap dengan jilbab berwarna senada.
"Tapi Rahar mau yang itu!"
"Rahar kan anak perempuan, masa pakai baju Spiderman?"
"Iya, harusnya Mas yang pakai, "sela Rangga.
"Biaar, Rahar kan suka."
Rana menghampiri suaminya yang sedang mengamati para manusia yang lalu lalang.
"Ayah, bagaimana?"
"Bagaimana apanya?"
"Rahar mau baju Spiderman."
"Belikan saja."
"Ayah ini, "Rana jengkel melihat Anfa yang tampak kurang menanggapi, "Dia kan anak perempuan...."
"Kostum Spiderman cocok untuk anak kita, Bu."
Rana membelalakkan mata.
Anfa tersenyum.
==============0000================
Banu yang telah dikeluarkan dari sekolah kini sibuk merenungi nasibnya. Setiap hari ia hanya melamun dan menyesali kenakalannya selama ini.
Tak terasa sudah dua bulan ia resmi menjadi pengacara (pengangguran banyak acara : acara makan, tidur, melamun, dan sebagainya).
"Kamu masih mendapat kesempatan jika kau mau minta maaf pada Tantra dan dia mau memaafkanmu, "ujar Bapak Kepala Sekolah saat itu.
Tetapi Banu gengsi. Minta maaf pada Tantra yang telah memecatnya dari keanggotaan gang? Mana sudi?!
Begitulah, Banu dikeluarkan dari sekolah sebelum sempat menempuh ujian.
"Makan dulu, Mas, "ujar pembantunya meletakkan segelas jus jeruk di meja tengah, "Nasi gorengnya sudah siap."
"Nanti saja, "sahut Banu tanpa beranjak dari berbaring di sofa hijau muda itu.
"Atau Mas mau makan di sini ? Biar, saya ambilkan."
Banu menatap pembantunya gusar. "Kamu tidak dengar, ya? Aku omong apa tadi, hah?!"
Pembantu wanita itu tampak ketakutan dan cepat-cepat berlalu.
Banu melanjutkan pertapaannya.
=============000=============
"Nada, ada yang cari kamu, "ujar Lila.
"Siapa?"
"Mana aku tahu. Masih SMU sih, tapi...cakep kok, "goda Lila.
"Kamu ini, "merah padam seketika wajah Nada, "Eh, di mana dia?"
"Di depan sekretariat senat. Aku suruh tunggu di dalam, tidak mau."
Nada bergegas menemui tamu yang dimaksud Lila.
"Tantra?"gadis itu terpaku mendapati kenyataan di depan matanya.
"Mbak kaget?" pemuda yang ternyata Tantra itu tersenyum.
"Kamu sudah sehat, Dik?"
"Alhamdulillah."
"Ke sini naik apa, sama siapa?"
"Motor, sendiri."
"Sendiri? Memang boleh?"
"Mbak ini mau jadi wartawan, ya? Kok aku diwawancarai?"
"Maaf, maaf, "Nada tersenyum. "Mm...ada perlu apa?"
"Tidak ada."
"Lalu?"
"Aku hanya ingin mengatakan kalau aku suka padamu."
Nada terpana.
"Bahkan rasanya lebih dari suka. Aku jatuh cinta padamu."
Nada tidak bisa berkata-kata. Yang dirasakannya adalah wajahnya semakin merah padam. Begitu mantap Tantra menyampaikan maksudnya.
"Tantra...."
"Jangan berkata apa-apa. Mbak boleh menolak, tapi tidak sekarang. Aku akan kembali bulan depan untuk meminta jawaban, "setelah berkata demikian remaja itu pun mengucap salam dan berlalu.
"Waalaikumussalam."
***
Pagi itu Tantra baru saja membuka tasnya saat seorang remaja menghampirinya.
"Tantra."
Tantra mengangkat wajahnya. Betapa terkejut ia melihat Banu telah berdiri di hadapannya. Wajah anak muda itu kuyu dan tatapan matanya tak bersemangat. Tantra mengerutkan kening. Bagaimana dia bisa masuk ke sekolahku?
"Tantra, aku ingin bicara denganmu."
"Bicaralah, aku akan mendengarkan, "Tantra menjawab kaku.
Banu tidak menjawab tetapi cepat ia menjabat erat tangan murid kelas XII itu, "Maafkan aku."
Tantra terdiam.
"Kau mau memaafkan aku, kan? Aku sungguh menyesal."
"Dia sudah menyesali perbuatannya dan minta maaf padamu, "ternyata Bapak Kepala Sekolah menyusul.
Minta maaf ? tukas Tantra dalam hati. Dia sudah membuat orangtua dan adikku diliputi ketakutan karena aku koma berhari-hari. Dia dan teman-temannya sudah mengeroyok, menyiksa, dan bahkan melukaiku sampai ada beberapa jahitan di beberapa bagian tubuhku. Sekarang dia mau minta maaf ?
"Tantra, manusia tidak luput dari kesalahan, "ujar Kepala Sekolah, "Banu telah menyesali perbuatannya dan Bapak rasa ia pantas mendapat kesempatan."
Tantra masih terdiam.
Sementara Banu menunggu penuh harap.
=================000=====================
Asli, beberapa malam ini Nada sulit memejamkan mata. Ia terbayang-bayang wajah Tantra saat mengutarakan isi hatinya itu. Penampilan remaja itu begitu yakin, sorot matanya tajam mampu menembus ke dasar hati. Bahkan kata-kata yang diucapkannya pun sangat mantap tanpa keraguan. Kejadian di depan ruang sekretariat itu tampaknya Tantra tidak memperdulikan para mahasiswa yang mondar- mandir dan lalu lalang. Ia juga tidak menghiraukan betapa kikuknya Nada saat itu apalagi ada beberapa yang tersenyum seraya berbisik-bisik.
Ah, gila, Nada menertawakan dirinya. Kenapa aku jadi memikirkan anak itu? Yang benar saja, masa aku tertarik padanya? Dia terlalu muda, lulus SMU saja belum.
Nada membalik bantalnya yang mulai terasa panas.
Tetapi Nada harus mengakui Tantra memang lebih dewasa dari usia sebenarnya. Pendiam, tidak suka basa-basi alias to the point, dan terkesan ramah. Gadis itu teringat saat ia datang untuk memeriksa tekanan darahnya.
"Suster cantik, "begitu sapa remaja itu.
Teringat itu, Nada merasakan pipinya bersemu merah.
Ah, apakah aku telah jatuh cinta?
Gadis itu menarik napas panjang. Ia menatap langit-langit kamar yang lengang.
***
Pagi itu suasana di kantor kepala sekolah terasa tegang. Bapak Kepala Sekolah sedang menerima kehadiran Tantra, Banu, dan kedua orangtua mereka.
"Maaf, Pak, apakah Bapak tidak bisa mengubah keputusan itu?" tanya ayah Banu dengan wajah penuh harap.
"Maafkan saya, Pak, "jawab Kepala Sekolah dengan ramah, "Saya tidak punya wewenang untuk mengubah hasil keputusan itu. Bapak juga Ibu tentu juga memahami bahwa itu adalah hasil dari rapat kita dan sekolah Ananda Banu dan Tantra."
"Tapi, Pak, "sela ibu si Banu menahan tangis, "Kalau terus begini, bagaimana dengan masa depan anak kami?"
Afna yang merasa iba segera berbisik kepada anaknya yang kebetulan duduk di sampingnya, "Kau mau memaafkan temanmu itu, Nak?"
Tantra menoleh. Ia menatap ibunya sambil tersenyum.
"Tantra?"
Sambil tersenyum ia menggeleng.
"Kenapa Tantra?"kali ini Cakra yang bertanya.
"Saya tidak punya alasan apa-apa, Ayah. Saya belum ingin memaafkan, itu saja."
Mendengar itu Banu tertunduk lesu.
"Kamu tidak kasihan melihat temanmu tidak bisa melanjutkan sekolah hanya karena kamu belum memaafkan kesalahannya?"
"Lalu apa bedanya dengan dia, Ayah? Bukankah dia juga tidak kasihan waktu melihatku terkapar berlumuran darah dan sekarat?"
Banu semakin tertunduk. Tatapannya menelusuri petak-petak lantai.
Kepala Sekolah dan para orangtua murid berpandangan. Mereka menarik napas panjang.
===================0000===================
Anfa mengambil cuti dua hari. Ia ingin bersantai bersama keluarga karena sejak beberapa bulan terakhir belum pernah sekali pun ia pulang tepat waktu. Tentu saja kedua anak kembarnya menyambut dengan sukacita apalagi mereka sedang libur karena sekolah mereka dipakai ujian nasional.
"Bu, Ayah sedang apa di dapur?" tanya Rahar menghampiri ibunya yang sedang mengganti sarung bantal ruang tamu.
"Ayah mau membuat kejutan untuk kita."
"Kejutan?"sela Rangga yang baru saja masuk sambil menimang bolanya, "Kejutan apa, sih, Bu?"
"Kita lihat saja, Mas, "usul Rahar.
"Iya, Dik, ayo."
"Eh, jangan, "cegah Rana sambil meletakkan bantal di sofa.
"Kita kan mau tahu, Bu, "Rangga protes.
"Iya, kita kan mau tahu."
"Jangan, nanti Ayah malu."
"Memangnya Ayah masak di kamar mandi?"Rangga tampak heran, "Kok pakai malu segala?"
"Bukan begitu, Rangga, tapi..., "ucapan Rana terputus oleh suara Anfa dari ruang makan.
"Waktu sarapan telah tiba! Ayo, Ibu, Rangga, Rahar, silakan masuk ke ruang makan."
Tanpa banyak komentar ketiga ibu beranak itu bergegas ke ruang makan. Benar juga di atas meja telah tersedia nasi goreng sosis. Empat gelas es jeruk nipis menambah selera.
"Ini dia nasi goreng hasil kreasi Ayah, "ujar Anfa penuh percaya diri, "Pasti lezat tiada duanya."
Si Kembar berpandangan, mereka tampak menyangsikan hal itu. Selama ini yang mereka tahu ayah alergi dengan segala sesuatu yang berbau dapur? Jangankan membedakan merica dengan ketumbar, yang mana jahe yang mana kunyit saja ayah tidak tahu.
"Lho, kenapa kalian masih berdiri?" tanya Anfa melihat istri dan kedua anaknya masih terpaku, "Ayo, serbu!"
"Eh, iya, "sahut Rana segera tanggap, "Kelihatannya masakan Ayah enak nih."
===================0000================
"Rafa?"Tantra terkejut melihat adiknya telah berdiri menunggunya di depan kelas, "Mana Ibu?"
"Ibu ada tamu, Mas, "jawab Rafa sambil membetulkan jilbabnya yang miring, "Kok sepi, Mas? Yang lain sudah pulang, ya?"
"Iya, sudah sepuluh menit yang lalu."
"Ayo, kita pulang, Mas."
"Naik apa? Angkot?"
"Iya, angkot. Aku kan belum punya SIM."
" Eh, tunggu, ada yang ketinggalan."
"Cepat sana, ambil !"
Tantra bergegas kembali ke kelas.
"Rafa, apa kabar?"
Karena merasa mendengar ada yang menyapa, Rafa pun menoleh. Alangkah terkejut gadis itu saat melihat si pemilik suara.
"Kamu?"
"Iya, aku...."
"Pergilah, sebelum aku muak melihat tampangmu, "desis Rafa.
"Rafa, dengarkan aku dulu. Please, kumohon...."
"Pergi !"
Tantra yang mendengar teriakan adiknya cepat-cepat keluar. Ia melihat Rafa berdiri berhadapan dengan Banu. Remaja itu gusar bukan kepalang, "Kenapa kau ini selalu mengganggu anak perempuan? Carilah lawan yang sepadan."
"Tantra, aku hanya...."
"Sudahlah, aku tak butuh basa basimu, "potong Tantra, "Jangan kaukira setelah aku hampir mati lantas aku jadi takut berkelahi. Akan kulakukan apa saja meski itu nyawaku sekali pun demi adikku."
Banu terpaku. Ia hanya memandang Tantra yang mengajak adiknya berlalu sambil memeluk pundaknya.
***Cakra tersenyum melihat Afna termenung di depan pintu. Laki-laki itu menekan pundak istrinya lembut sambil berbisik, "Orang cantik dilarang melamun."
"Ayah, "Afna menoleh.
"Melamun, Bu ?"
"Tantra, Yah. Ibu tidak menyangka kalau hatinya begitu keras."
"Tidak usah heran, Bu. Dia cetak biru dirimu."
"Ibu?"Afna menunjuk dirinya tak percaya.
Cakra mengangguk mantap. "Soal kekerasan hati, kedua anak kita memang menurun dari sifatmu, tetapi Tantra
yang lebih dominan dibanding adiknya.
Afna terdiam mencerna ucapan suaminya.
"Kita harus membujuk Tantra supaya mau memaafkan Banu. Kasihan anak itu kalau harus berhenti sekolah gara-gara anak kita."
"Tadi Ibu sudah membujuknya, tapi tampaknya Tantra tidak mau membahas masalah itu lagi."
"Benar-benar seperti ibunya, "Cakra tersenyum, "Untung ayahnya berhasil merayu si Ibu supaya bersedia dinikahi."
"Ayah terlalu pede."
"Biar, daripada minder."
Keduanya tertawa.
"Bu, kita harus cari akal supaya Tantra mau memaafkan Banu."
"Iya, tapi bagaimana caranya?"
Cakra menghela napas perlahan. Sejenak ia melayangkan pandang ke luar. Malam itu langit kelam meskipun terlihat taburan bintang di angkasa.
"Suster Nada, "Cakra menjetikkan jari.
"Suster Nada ?"Afna mengerutkan kening, "Maksud Ayah?"
=============00000=============
"Maaf, Mbak, Pak Arya ada?"
Lila yang sedang menutup tasnya menoleh, "Iya, maaf?"
"Pak Arya ada?"
"Oh, masih mengajar. Silakan duduk, Bu."
"Terima kasih, "Wanita itu duduk di bangku panjang yang tersedia di depan sekretariat himpunan mahasiswa fakultas teknik jurusan teknik listrik.
Lila duduk di dekat wanita itu.
"Maaf, Ibu istri Pak Arya?"
"Benar. Mbak tahu?"
"Dulu Ibu pernah datang ke sini, kan? Waktu itu saya tanya teman."
Wanita itu tersenyum sambil mengangguk-angguk.
"Nama Ibu siapa?"
"Andini, "wanita itu mengulurkan tangannya.
Lila menyambutnya, "Saya Lila."
===========0000===========
Kendati kakak beradik, tetapi secara fisik Arya dan Shafa bagaikan langit dan bumi. Bukan karena kedua bersaudara itu berlainan jenis, tetapi karena Arya lebih mirip sang ayah sedangkan Shafa mirip ibunya. Yang belum mengenal keduanya sering tidak percaya kalau mereka bersaudara kandung, bahkan ada yang menarik simpulan mungkin saja ibu atau ayah mereka berbeda.
Shafa yang iri dengan kulit putih kakaknya mulai mencari cara untuk memutihkan kulit. Sebenarnya sudah lama gadis itu makan hati karena setiap kali ia bersama Arya, selalu saja teman-teman memandang dirinya dan Arya berganti-ganti, seolah-olah heran bagaimana mungkin kakak beradik bisa begitu berbeda?
ore itu seusai mengajar, Arya menjemput Shafa. Adiknya itu telah menunggu di bangku depan kantin kampus.
"Shafa, "gadis berambut ikal sebahu berbisik saat melihat Arya berjalan ke arah mereka duduk, "Ada makhluk manis, tuh."
Shafa menoleh. Ia segera berdiri menyambut kakaknya.
"Lama menunggu, Dik?"
"Ah, baru sepuluh menit, Mas."
Si Gadis teman Shafa itu tercengang.
"Mas Arya, kenalkan ini temanku."
Arya mengangguk ramah.
"Mas Arya ini kakakku."
"Kakak? Kakak ketemu besar?"
"Bukan, ketemu kecil. Bahkan sebelum aku lahir dia sudah jadi kakakku."
Arya tersenyum mendengar perbincangan itu.
"Tapi...,"si Gadis berbisik, "Kok kakakmu ganteng sekali, kulitnya juga putih, kalau kamu kan gelap...."
Shafa tersinggung tetapi ia memilih untuk tidak menjawab.
"Ayo, Mas, kita pulang. Eh, aku duluan, ya. Asalamualaikum."
"Wa waalaikumussalam...."
Shafa berjalan di samping kakaknya. Gadis itu melihat punggung tangan Arya dan mencoba membandingkan dengan warna kulit tangannya. Memang lebih putih si Kakak. Shafa semakin mantap untuk segera membeli sabun dan alat kosmetik pemutih kulit.
===============((()))===================
Rana tersenyum mendengar cerita Arya. Ia melirik putrinya yang tampak cemberut.
"Ya, kalau dia tidak percaya, biarkan saja masa mau dipaksa?"
"Yang paling mengesalkan kata-katanya itu lho, Bu...katanya kulitku gelap...."
"Oh, pantas, "sela Arya, "Adik tadi minta mampir ke toko segala tahunya mau beli pemutih kulit."
Shafa melempar kakaknya dengan bantal kursi ruang tengah yang ditangkap Arya dengan mudah.
"Sudah, Arya, "ujar Rana, "Jangan menggoda adikmu."
"Maaf, Bu, "sahut Arya sambil mendekap bantal lemparan adiknya di pangkuan.
"Shafa, Allah itu Mahaadil, Nak. Dia menganugerahkan kelebihan dan kekurangan pada setiap makhluk ciptaan-Nya termasuk manusia. Kita harus bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian."
Shafa mengangguk-angguk. Ia mulai dapat berpikir jernih.
"Lagipula, "kali ini Arya yang berbicara, "Temanmu banyak, Dik. Itu artinya kamu punya daya pikat dan pesona tertentu. Mas yakin itu karena kebaikan hatimu. Benar kan, Bu?"
Rana mengangguk sambil tak lupa tersenyum manis.
==========
Tantra tampak gembira melihat ayah dan adiknya datang bersama gadis pujaan hatinya, Nada Arshelia.
"Tantra, aku ingin bicara."
"Silakan."
Nada terdiam sejenak. Ia tampak sedang mengatur kata-kata dan perasaannya.
"Aku menunggu."
Nada tersenyum.
"Aku sudah punya jawaban untukmu."
"Benarkah?"
Nada mengangguk.
"Apa jawabanmu?"
"Aku...aku...."
"Aku apa, Mbak?"
Nada menunduk, "Rasanya aku juga suka padamu...."
"Hanya suka?"
"Mm...lebih...."
"Lalu....?" kuncup bunga di hati Tantra mulai mekar.
"Asalamualaikum...."
"Waalaikumussalam."
Tantra tercengang melihat tamu yang baru datang.
"Kau....?"
"Iya, aku. Kau pasti kaget, Tantra."
Nada berdiri di samping tamu itu.
"Tantra, Banu ini adikku. Aku telah lama mengetahui masalah kalian tapi aku baru tahu kalau ternyata kalian saling kenal."
"Kau mau memaafkanku?"Banu menatap Tantra dengan pandangan memelas.
"Kalau kamu memang mencintaiku, kamu pasti mau memaafkan adikku, "sela Nada.
Remaja yang minggu depan lulus SMU itu tampak tak senang dengan ucapan Nada. Ia menatap perawatnya itu dengan tajam.
"Jadi itu syarat yang kamu ajukan? Kalau aku tidak mau, lalu kalian mau apa?"
"Tantra, dia adikku satu-satunya, harapan orang tua kami. Tolong mengertilah."
"Kalian yang harus mengerti."
"Tapi...."
"Dengarkan aku, "Tantra memotong ucapan Nada, "Dia dan teman-temannya mengeroyokku sampai aku sekarat. Bahkan adikku yang gadis itu terpaksa menghadapi seorang anak buahnya, untung saja dia bisa mencari pertolongan. Lalu ibuku sempat pingsan gara-gara tahu aku koma dan melihat sekujur tubuhku luka parah. Ayahku terpaksa mencari penghasilan lain untuk biaya rumah sakit."
"Tapi kamu sembuh kan? Tolong pikirkan adikku, masa depannya bisa berantakan kalau kau tidak mau memaafkan."
"Masa depan dia ada di tangan dia sendiri bukan aku, "tukas Tantra.
"Tantra, jangan begitu."
Tantra menoleh. Ia melihat ibunya telah berdiri di hadapannya.
"Ibu, tanpa aku memaafkannya pun, dia masih bisa punya masa depan."
"Nak, kenapa kau tidak mau lapang dada? Kenapa kamu masih memupuk dendam di hatimu?"
"Aku tidak dendam, Bu."
"Ya, kau dendam, "tukas Afna tajam. "Kau dendam, karena kau senang melihat temanmu ini menderita!"
"Terserah kata Ibu, aku tetap tidak mau memaafkan dia!" Selesai berkata, Tantra melangkah ke luar.
Afna menghadang.
"Ibu minta maafkanlah dia."
"Kenapa Ibu membela dia?"
"Karena Ibu adalah seorang ibu."
"Maafkan Tantra, "remaja itu menarik napas panjang, "Selamanya tidak."
Nada dan Banu tampak bersedih melihat adegan itu.
"Tidak Ibu sangka ternyata putra Ibu mempunyai hati yang kejam. Kamu bukan saja sudah menyakiti orang lain, tapi juga ibumu sendiri...."
"Ya, Bu!"tiba-tiba suara Tantra bagai guntur menggelegar, "Aku memang anak durhaka! Karena aku tidak mau menuruti permintaan Ibu!"
"Tantra, dengarkan Ibu!"
"Kalau Ibu lebih membela dia, silakan saja! Aku tidak perduli!"
Afna terpaku mendengar kata-kata anaknya yang marah itu.
Tak lama kemudian terdengar deru Supra X dari halaman.
Cakra dan Rafa yang mendengar ribut-ribut cepat-cepat menuju ruang tamu.
"Bu, "Cakra memeluk Afna. Istrinya itu tampak gemetar menahan marah dan tangis.
"Ajak Ibu ke kamar, Rafa."
"Baik, Ayah. Ayo, Bu, "Rafa menggandeng ibunya.
Cakra memandang kedua tamunya dengan perasaan tak enak.
"Maaf, ini samasekali tidak kami duga."
Nada dan Banu terdiam. Tidak tahu yang harus dikatakan.
***
Netty menghampiri Lila yang sedang menghadap layar komputer.
"Ada tugas kuliah?"
"Tidak, Bu, "jawab Lila menoleh, "Aku sedang mengomentari puisi."
Netty duduk di kursi yang berada di samping putri sulungnya, "Puisi? Sejak kapan kamu suka puisi?"
"Ibu ini, "tukas Lila, "Aku kan memang senang puisi."
"Iya, Ibu tahu. Maksud Ibu sudah lama kan kamu tidak menulis puisi lagi. Kalau tidak salah sejak mau ujian SMU."
"Iya, Bu. Nah, kebetulan sebulan yang lalu, aku membuat perkumpulan penulis puisi."
"Oh ya? Banyak peminatnya?"
"Alhamdulillah, sudah ada lima belas orang."
"Boleh Ibu baca puisi yang kamu komentari?"
Netty menatap layar komputer. Ia mengangguk-angguk saat membaca beberapa bait puisi itu.
"Nirwana?"
"Iya, Bu. Yang menulis puisi ini pakai nama Nirwana."
"Ibu mau baca komentarmu."
"Kok kelihatannya Ibu jadi penasaran?"
Netty hanya tersenyum. Ia membaca komentar yang ditulis anaknya itu. Puisimu bagus, Nirwana. Karya-karyamu bisa menjadi warna baru dunia persajakan.
"Kenapa tersenyum, Bu?"
"Komentarmu seolah-olah kamu sedang membaca karya anak kecil."
"Memang dia lebih muda."
"Dia pernah memberitahu umurnya?"
Lila menggeleng.
"Lalu dari mana kamu tahu kalau Nirwana ini lebih muda?"
Lila terdiam. Selama ini ia tidak mengetahui usia Nirwana yang sebenarnya. Tetapi para anggota lainnya mengaku masih duduk di bangku SMP dan SMU.
"Kamu pernah bertemu dia?"
"Maksud Ibu, Nirwana? Belum, Bu."
"Kamu tidak penasaran?"
"Penasaran juga...."
"Coba saja buat janji utuk bertemu."
"Mana bisa, Bu?"
"InsyaAllah."
Lila mengerutkan kening.
===========0000=============
Cakra menyusul Tantra dengan mengemudi sedan birunya. Rafa telah memberitahu persembunyian kakaknya jika ia sedang kalut.
Pantai. Ya, pantai. Tantra selalu merasa nyaman berada di sana.
Cakra keluar dari sedan. Ia melihat putra sulungnya itu berdiri tegak memandang laut lepas. Tiba-tiba saja ayah berputra dua itu menjadi cemas, jangan-jangan.... Ah, cepat dihapusnya pikiran buruk yang sempat terlintas.
"Tantra...."
Tantra tidak menoleh juga menjawab.
"Kau harus pulang."
"Aku ingin tetap di sini, Ayah, "kali ini Tantra menjawab tanpa menoleh.
"Kau marah?"
"Aku marah pada diriku sendiri."
"Kamu mengaku marah pada dirimu sendiri? Tapi kenapa kamu juga memarahi semua orang?"
Tantra terdiam mendengar kata-kata tajam ayahnya.
"Kamu menyimpan kemarahan begitu lama sampai-sampai kamu menolak gadis yang sudah menerima cintamu."
"Aku memang tidak mencintainya, Ayah."
"Kenapa?"
"Aku berubah pikiran, dia terlalu tua untukku. Aku tidak mau."
Tantra mengelus dada mendengar jawaban Tantra. "Kamu bukan cuma membohongi dirimu sendiri, kamu bahkan tega menghardik ibumu. Sebelumnya kamu tak pernah seperti itu...."
Remaja itu tersentak mendengar kata ibu. Ia menoleh dan menatap ayahnya.
=====================000000000===============
"Kapan kamu menikah, Nira ?" tanya Surya menghampiri adiknya yang baru saja datang sambil membawa setumpuk pekerjaan murid-muridnya.
"Eh, Mas Surya, "Nira buru-buru meletakkan setumpuk kertas itu di meja ruang keluarga. "Kapan datang, Mas?"sapa Nira setelah mencium tangan dan kedua pipi kakaknya.
"Sudah dari pagi tadi. Sabtu, juga masuk?"
"Iya, Mas, apalagi aku kan walikelas. Lho, kalau Sabtu, Mas Surya libur?"
"Iya, kan lima hari kerja."
Bu Lasmi muncul sambil membawa sepiring sate buah lengkap dengan vlanya.
"Carikan adikmu ini calon, Surya. Masa dari tujuh bersaudara, cuma dia saja yang belum. Adiknya yang tiga orang saja sudah menikah. Malah si Bungsu sedang hamil anak pertama."
"Kalau Nira belum mau, harus bagaimana, Bu?"
"Kamu punya teman tidak? Siapa tahu adikmu mau?"
Nira tampak tidak nyaman dengan percakapan ibu dan kakaknya itu.
"Bu, mangkuknya belum, ya?"ia mengalihkan pembicaraan.
"Oh iya, Ibu lupa. Ambilkan, Nir, sekalian es markisa di lemari es."
Nira berlalu.
Ibu menoleh ke arah Surya.
"Tahun ini usia adikmu 39."
"Tapi Ibu lihat sendiri kelihatannya Nira kurang berminat, ia selalu saja menghindar."
Ibu mengangguk-angguk. "Benar juga, apa ia pernah patah hati?"
=============000===========
Sore itu Tantra sengaja menunggu Nada di depan gerbang kampus. Lila yang pernah melihat Tantra segera tahu diri dan berpura-pura akan membeli sesuatu di koperasi mahasiswa (kopma).
"Mbak, aku ingin bicara."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan, "tukas Nada sambil berlalu.
Tantra menghadang, Nada terpaksa menghentikan langkah.
"Dengar, Tantra. Aku sangat berterimakasih karena kamu telah memaafkan adikku dan itu berarti tidak ada lagi yang harus kita bicarakan."
"Maafkan, aku, Mbak. Aku tak pernah bermaksud berkata seperti itu."
Nada tersenyum tipis. "Aku yang harus tahu diri, "tukas gadis itu, "Kau pasti berubah pikiran, karena masalah kita memang terletak pada perbedaan usia."
"Aku tidak perduli."
"Kau akan menyesal."
"Tidak."
Nada menatap remaja di hadapannya dengan sinis, "Kau begitu yakin kalau aku juga akan menerima cintamu?"
"Ya, aku yakin."
"Kau salah, Tantra. Lagipula aku memang tak pantas untukmu."
"Kenapa?"
"Bukan urusanmu."
"Kalau memang karena perbedaan usia, aku akan menunggumu sampai kau menilaiku pantas menerima cinta."
"Bukan hanya karena itu."
"Lalu?"
"Aku ini bukan gadis baik-baik, "Nada menghela napas panjang, "Sepanjang usiaku ini aku sudah pacaran dua belas kali...dan aku...bukan gadis lagi...."
Pengakuan Nada bak petir menyambar disiang bolong. Tantra tak sanggup berkata sepatah pun, ia hanya bisa memandang gadis itu berlalu.
==========000=============
"Jadi waktu kalian sudah membayangkan akan dapat steak yang lezat, ya, Mbak?" tanya Rafa geli.
"Begitulah, Dik, "jawab Shafa, "Kata Pak Dhe kan masak steak, ya, Mbak pikir daging panggang itu, eh, tidak tahunya kentang goreng."
"Lho, bentuknya kan stick, "sela Anfa sambil mengambil seiris puding yang dihidangkan di ruang tengah.
"Pak dhemu memang suka iseng, "sahut Rana, "Heran, dari dulu nggak sembuh-sembuh."
"Tapi enak kan? Buktinya habis."
"Iya, orang nggak yang lain, "Shafa dongkol campur geli, "Masa temannya telur dadar sama tahu goreng?"
"Eh, bersyukur lho, ayahmu mau memasak, "Afna muncul sambil membawa sepiring donat, "Padahal Ayah paling anti kalau disuruh masak."
"Oh ya? Maksud Tante?"Shafa tampak tertarik.
"Setiap kali Nenek menyuruh ayah menggoreng tahu, tempe, atau telur, eh ayah malah membujuk Tante. Katanya kalau mau menggoreng dapat hadiah buku cerita. Tante percaya saja, tidak tahu kalau sebenarnya ayahmu yang dapat tugas."
"Jadi yang menggoreng, Tante, tapi yang dapat pujian Ayah?"
"Iya."
"Ketahuan, Yah?" kali ini Shafa berpaling memandang ayahnya.
"Waktu itu Ayah memang sedang apes, "jawab Anfa, "Sedang asyik-asyiknya membujuk Tante Afna, eh, Nenek tidak sengaja lihat, jadinya Ayah kena jewer."
Suasana tampak hangat sore itu. Kedua kakak beradik, Anfa dan Afna bercerita tentang masa remaja mereka, yang sesekali diselingi dengan teriakan si Kembar yang sibuk bermain pedang-pedangan di ruang yang sama.
Tetapi sayang, Cakra dan Tantra belum pulang.
===========***=========
Singkat cerita. Akhirnya Lila berhasil membuat janji dengan Nirwana, anggota baru situs sastra yang dikelolanya. Gadis itu merasa lega ternyata Nirwana tinggal satu kota dengan Eyang Putri, ibu dari ayahnya. Surya yang menemani putri sulungnya itu mengunjungi neneknya, sedangkan Netty dan kedua putranya tidak bisa ikut sebab Senin sudah ulangan akhir semester.
"Anak gadismu semakin cantik saja, Surya, "ujar Ibu tersenyum memandang Lila yang malam itu mengenakan blouse lengan panjang biru muda bermotif bunga-bunga aneka warna dipadu dengan rok biru tua sampai mata kaki. Rambutnya yang panjang sampai punggung disatukan dengan jepit berwarna perak.
"Alhamdulillah, "Surya tersenyum, "Maklum. Bu, ayahnya kan ganteng."
"Bisa saja kamu ini, "Ibu tersenyum, "Oh ya, kok hanya kalian berdua?"
"Anak-anak mau ulangan kenaikan, Bu, jadi tidak bisa datang."
"Oh, begitu, ya, "Ibu tersenyum, "Sudah lama ya, Lila tidak ke sini, sibuk kuliah, ya? Ada angin apa nih, kok tiba-tiba datang?"
"Dia mau ketemu sama penyair idolanya, Eyang, "sela Surya menggoda anak gadisnya.
"Ayah...,"bisik Lila malu.
"Eh, siapa namanya?" Ibu tampak antusias, "Siapa tahu Nenek kenal?"
"Namanya Nirwana, Eyang."
"Bagus sekali, ya, namanya."
"Eyang, mana Tante Nira?"
"Ada di kamarnya, biasa sedang asyik dengan komputernya."
"Boleh, Lila ke sana?"
"Boleh, biasanya kamarnya dibuka, kok."
Lila bergegas menuju kamar bibinya. Benar juga kata neneknya, kamar itu terbuka. Layar komputer menyala, tetapi Tante Nira tidak ada di sana.
Kebetulan meja komputer itu dekat dengan pintu, jadi Lila bisa membaca tulisan yang ada di layar itu dengan mudah.Mendadak gadis itu merasa malu.
***
Sore itu Tantra sengaja menunggu Nada di depan gerbang kampus. Lila yang pernah melihat Tantra segera tahu diri dan berpura-pura akan membeli sesuatu di koperasi mahasiswa (kopma).
"Mbak, aku ingin bicara."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan, "tukas Nada sambil berlalu.
Tantra menghadang, Nada terpaksa menghentikan langkah.
"Dengar, Tantra. Aku sangat berterimakasih karena kamu telah memaafkan adikku dan itu berarti tidak ada lagi yang harus kita bicarakan."
"Maafkan, aku, Mbak. Aku tak pernah bermaksud berkata seperti itu."
Nada tersenyum tipis. "Aku yang harus tahu diri, "tukas gadis itu, "Kau pasti berubah pikiran, karena masalah kita memang terletak pada perbedaan usia."
"Aku tidak perduli."
"Kau akan menyesal."
"Tidak."
Nada menatap remaja di hadapannya dengan sinis, "Kau begitu yakin kalau aku juga akan menerima cintamu?"
"Ya, aku yakin."
"Kau salah, Tantra. Lagipula aku memang tak pantas untukmu."
"Kenapa?"
"Bukan urusanmu."
"Kalau memang karena perbedaan usia, aku akan menunggumu sampai kau menilaiku pantas menerima cinta."
"Bukan hanya karena itu."
"Lalu?"
"Aku ini bukan gadis baik-baik, "Nada menghela napas panjang, "Sepanjang usiaku ini aku sudah pacaran dua belas kali...dan aku...bukan gadis lagi...."
Pengakuan Nada bak petir menyambar disiang bolong. Tantra tak sanggup berkata sepatah pun, ia hanya bisa memandang gadis itu berlalu.
==========000=============
"Jadi waktu kalian sudah membayangkan akan dapat steak yang lezat, ya, Mbak?" tanya Rafa geli.
"Begitulah, Dik, "jawab Shafa, "Kata Pak Dhe kan masak steak, ya, Mbak pikir daging panggang itu, eh, tidak tahunya kentang goreng."
"Lho, bentuknya kan stick, "sela Anfa sambil mengambil seiris puding yang dihidangkan di ruang tengah.
"Pak dhemu memang suka iseng, "sahut Rana, "Heran, dari dulu nggak sembuh-sembuh."
"Tapi enak kan? Buktinya habis."
"Iya, orang nggak yang lain, "Shafa dongkol campur geli, "Masa temannya telur dadar sama tahu goreng?"
"Eh, bersyukur lho, ayahmu mau memasak, "Afna muncul sambil membawa sepiring donat, "Padahal Ayah paling anti kalau disuruh masak."
"Oh ya? Maksud Tante?"Shafa tampak tertarik.
"Setiap kali Nenek menyuruh ayah menggoreng tahu, tempe, atau telur, eh ayah malah membujuk Tante. Katanya kalau mau menggoreng dapat hadiah buku cerita. Tante percaya saja, tidak tahu kalau sebenarnya ayahmu yang dapat tugas."
"Jadi yang menggoreng, Tante, tapi yang dapat pujian Ayah?"
"Iya."
"Ketahuan, Yah?" kali ini Shafa berpaling memandang ayahnya.
"Waktu itu Ayah memang sedang apes, "jawab Anfa, "Sedang asyik-asyiknya membujuk Tante Afna, eh, Nenek tidak sengaja lihat, jadinya Ayah kena jewer."
Suasana tampak hangat sore itu. Kedua kakak beradik, Anfa dan Afna bercerita tentang masa remaja mereka, yang sesekali diselingi dengan teriakan si Kembar yang sibuk bermain pedang-pedangan di ruang yang sama.
Tetapi sayang, Cakra dan Tantra belum pulang.
===========***=========
Singkat cerita. Akhirnya Lila berhasil membuat janji dengan Nirwana, anggota baru situs sastra yang dikelolanya. Gadis itu merasa lega ternyata Nirwana tinggal satu kota dengan Eyang Putri, ibu dari ayahnya. Surya yang menemani putri sulungnya itu mengunjungi neneknya, sedangkan Netty dan kedua putranya tidak bisa ikut sebab Senin sudah ulangan akhir semester.
"Anak gadismu semakin cantik saja, Surya, "ujar Ibu tersenyum memandang Lila yang malam itu mengenakan blouse lengan panjang biru muda bermotif bunga-bunga aneka warna dipadu dengan rok biru tua sampai mata kaki. Rambutnya yang panjang sampai punggung disatukan dengan jepit berwarna perak.
"Alhamdulillah, "Surya tersenyum, "Maklum. Bu, ayahnya kan ganteng."
"Bisa saja kamu ini, "Ibu tersenyum, "Oh ya, kok hanya kalian berdua?"
"Anak-anak mau ulangan kenaikan, Bu, jadi tidak bisa datang."
"Oh, begitu, ya, "Ibu tersenyum, "Sudah lama ya, Lila tidak ke sini, sibuk kuliah, ya? Ada angin apa nih, kok tiba-tiba datang?"
"Dia mau ketemu sama penyair idolanya, Eyang, "sela Surya menggoda anak gadisnya.
"Ayah...,"bisik Lila malu.
"Eh, siapa namanya?" Ibu tampak antusias, "Siapa tahu Nenek kenal?"
"Namanya Nirwana, Eyang."
"Bagus sekali, ya, namanya."
"Eyang, mana Tante Nira?"
"Ada di kamarnya, biasa sedang asyik dengan komputernya."
"Boleh, Lila ke sana?"
"Boleh, biasanya kamarnya dibuka, kok."
Lila bergegas menuju kamar bibinya. Benar juga kata neneknya, kamar itu terbuka. Layar komputer menyala, tetapi Tante Nira tidak ada di sana.
Kebetulan meja komputer itu dekat dengan pintu, jadi Lila bisa membaca tulisan yang ada di layar itu dengan mudah.Mendadak gadis itu merasa malu.
***
"Ayah sedang apa?"sapa Shafa saat mendapati ayahnya sibuk mengupas kentang di dapur.
"Akhir-akhir ini ayahmu punya hobi baru, "sela Rana yang sedang menutup termos air panas.
"Masak maksud Ibu? "Shafa semakin terheran-heran. Maklumlah Minggu pagi ia juga pergi ke kampus mengikuti kegiatan. "Wah, Ayah memang hebat. Mau masak apa, Yah?"
"Stick, "sahut Anfa penuh keyakinan.
"Steak?"terbayang di benak Shafa daging panggang yang lezat dengan aroma menggiurkan selera.
Rana menarik tangan putri sulungnya. "Sst, jangan ganggu Ayah, "bisiknya, "Kita bantu adik-adikmu menyiapkan barang-barang."
Shafa mengangguk setuju. "Selamat memasak, Yah."
"Terima kasih."
=============000=================
Afna memperhatikan Tantra yang meletakkan secangkir teh hangat di meja kecil dekat ranjang.
"Terima kasih, Nak."
"Ibu mau minum sekarang?"
"Nanti saja, biar Ibu ambil sendiri."
"Atau Ibu mau makan? Biar Tantra ambilkan."
Afna tersenyum. "Ibu belum lapar, "tukasnya, "Duduklah Ibu ingin bicara."
Tantra menurut. Ia duduk di tepi tempat tidur.
Sesungguhnya Afna lega karena Tantra telah menyelesaikan masalahnya dengan Banu. Anak sulungnya itu telah dapat menghapus perasaan marah dan berlapang dada memaafkan teman sekolahnya. Kemarahan Tantra yang lalu tidak lebih dari ekspresi emosi yang berlebihan. Sebenarnya dia remaja yang baik dan berbakti pada orangtua.
Tantra menatap ibunya yang tampak berkaca-kaca.
"Ibu, jangan menangis, "Tantra mengangkat tangannya dan mengusap pipi ibunya.
Afna tersenyum, digenggamnya tangan si Sulung.
"Terima kasih, Tantra."
"Maafkan aku, Bu. Aku sudah membuat Ibu sedih sampai sakit begini."
"Sudahlah, Nak. Ibu tahu kau tidak bermaksud begitu. Sebaiknya kamu belajar untuk tes masuk SMU."
"Baik, Bu."
"Ayah dan adikmu sudah pulang?"
"Belum, Bu."
"Belum?"Afna tampak cemas.
"Coba Tantra hubungi Ayah, "ujar Tantra beranjak keluar kamar untuk mengambil handphone di kamarnya.
================0000=============
Surya geleng-geleng kepala mendengar rencana istrinya.
"Jadi Mama usulkan supaya Lila mengadakan pertemuan dengan anggota situs itu?"
"Iya, Pa."
"Tapi bagaimana kalau dia tinggal di luar kota atau bahkan lain pulau?"
"Mama yakin Lila akan bisa menemui Nirwana."
"Mama begitu yakin? Kenapa?"
"InsyaAllah, Pa. Masa yakin saja tidak boleh."
Surya mengangguk-angguk.
"Sebenarnya...."
"Sebenarnya apa, Ma?"
Netty membisikkan sesuatu dan Surya tampak mengangguk-angguk.
"Oh ya, jam berapa Papa jemput anak-anak di sekolah?"
"Jam sebelas, masih dua jam lagi, "jawab Surya mengambil sepotong singkong rebus yang dihidangkan di meja ruang keluarga.
"Mama penasaran ingin lihat komentar Lila."
Surya tersenyum.
Kamar Lila sedikit terbuka. Netty melihat anak sulungnya itu sedang menghadap layar komputer.
"Puisi Nirwana terlalu sederhana...."
Lila menoleh. "Ma, "selanya.
"Puisi Nirwana terlalu sederhana. Seperti membaca naskah pidato."
"Sebenarnya puisi Nirwana itu biasa saja, Ma. Tidak ada yang istimewa, sepertinya ia tidak berbakat jadi penyair."
"Oh ya?"Netty tersenyum, "Bagaimana kalau dugaanmu salah?"
"Puisi-puisinya terlalu sederhana, Ma."
"Hati-hati dengan penilaianmu, Lila."
"Maksud Mama?"
"Jangan sampai kau merasa lebih berbakat, lebih tahu, dan lebih berpengalaman dibanding orang lain."
Lila terdiam mendengar ucapan ibunya.
***
"Mbak, aku mau bicara."
Nada yang baru saja melepas sepatunya menoleh.
"Ada apa? Kelihatannya kamu tegang?"
"Aku memang tegang dan itu karena Mbak Nada."
"Aku?Maksudmu?"
"Kenapa Mbak Nada menolak Tantra?"
Nada menatap adiknya kesal. "Aku tidak mau membicarakan dia lagi, "sahutnya.
"Kau membohongi dirimu sendiri, "tukas Banu tajam, "Sebenarnya kamu sangat mencintai Tantra. Akui saja, Mbak."
"Jangan mengguruiku, Banu. Kamu adikku."
"Aku tidak berniat menggurui, Mbak, aku bicara kenyataan. Kenyataan bahwa Mbak tidak jujur. Orang lain bisa Mbak bohongi, tapi bisakah Mbak bohong pada diri sendiri, hati kecilmu?"
Nada terdiam.
"Dan satu hal, untuk apa Mbak mengatakan pada Tantra kalau sudah bukan gadis lagi?"
Nada tersentak. Rupanya Tantra telah menyampaikan semua ucapan itu pada Banu.
"Untuk apa, Mbak?"
Nada mengambil dan meletakkan sepatunya di rak. "Supaya dia tidak terus mengejarku."
"Percuma. Aku kenal benar siapa Tantra. Dia pasti kembali."
"Dia tidak akan kembali. Tidak ada yang mau dengan gadis yang sudah ternoda."
"Lihat saja nanti. Lagipula dia tidak percaya dengan ucapanmu."
Nada terpaku membiarkan adiknya berlalu ke dalam.
===============8888==============
Kembalinya Tantra ke dojo disambut gembira oleh pelatih dan teman-temannya. Sudah beberapa bulan remaja itu absen.
"Adikmu sangat berbakat, "bisik Pak Pelatih saat melihat Rafa berhasil membekuk lawannya dengan satu teknik kuncian.
"Saya rasa Rafa bahkan lebih berbakat dibanding saya, "tukas Tantra tersenyum.
Asisten Pelatih mengangkat tangan kanan Rafa, pertanda gadis kelas X itu berhasil memenangkan pertandingan latihan.
Rafa menghampiri kakaknya.
"Mas, nanti mampir ke toko buku, ya."
"InsyaAllah."
Pelatih menyuruh Tantra dan salah seorang murid maju ke tengah matras. Keduanya sama-sama bersabuk hitam.
"Kalian berdua peragakan beberapa teknik bantingan. Lakukan bergantian."
Rafa menatap kedua remaja sebaya itu saling membungkukkan badan. Ia memperhatikan kakaknya yang memang sedikit murung sejak pertemuan terakhirnya dengan Nada. Ia tahu kakaknya benar-benar jatuh cinta.
==============8888==================
Lila merasa beruntung dapat berkenalan dengan penyair idolanya. Lebih-lebih penyair itu ternyata teman dekat bibinya sendiri. Pagi itu seusai sarapan dan membereskan rumah, Nira mengajak Lila berkunjung ke rumah teman semasa kuliah di fakultas sastra.
Indah Ardiani memang sudah lama malang-melintang di blantika puisi Indonesia. Hobi menulis puisi maupun berdeklamasi sudah ditekuninya sejak duduk di bangku SD. Beberapa buku antologi puisi telah berhasil diterbitkannya dan puluhan penghargaan dari tingkat daerah sampai dunia pun sukses diraihnya.
"Jadi Lila mengelola situs puisi?"
"Iya, Tante."
"Wah, bagus sekali. Banyak yang berminat?"
"Alhamdulillah, sampai sekarang hampir dua puluh orang."
"Kelihatannya kalian asyik sekali, "sela Nira tersenyum, "Lila terus ngobrolnya sama Tante Indah, ya."
"Lho, Tante mau ke mana?"
"Tante mau ke toko seberang jalan itu. Sebentar, kok."
"Iya, Tante."
"In, aku keluar dulu, ya."
Indah tersenyum sambil melambaikan tangan.
"Sebenarnya saya ada janji dengan salah satu anggota situs itu, Tante."
"Maksud Lila, janji mau ketemu?"
Lila mengangguk.
"Kapan, di mana?"
"Mestinya kemarin, tapi sampai di sini sudah mau magrib."
"Jadi rencananya mau ketemu hari ini?"
"Begitulah, Tante."
"Oh ya boleh Tante tahu nama anggota situs itu?"
"Dia pakai nama Nirwana."
"Nirwana?"Indah mengerutkan kening.
"Iya, kenapa, Tante?"
Indah tidak menjawab. Ibu berputra dua itu mengajak Lila masuk ke ruang internet yang berada di samping rumah.
Lila hanya bisa menebak-nebak sampai akhirnya Indah menunjukkan satu situs yang memuat profil penyair baru yang dinilai memberikan warna baru pada dunia perpuisian.
"Inilah Nirwana yang sebenarnya."
Lila membaca profil yang ditunjuk Indah. Ia tertegun.NIrwana samasekali bukan orang baru di dunia sastra. Selain mengarang puisi, ia juga suka menulis novel, cerpen, bahkan artikel. Hanya saja ia memang lebih suka berkarya di dunia maya.
"Lila tidak mengenal dia?"
Lila memperhatikan foto yang tertampang di situs itu lebih teliti.
"Seperti...seperti Tante Nira...?"
Indah tersenyum.
***Sore itu sepulang dari kantor, Cakra menjemput Rafa di tempat kursus. Putrinya itu memang sedang giat-giatnya mengikuti kursus bahasa Jerman.
"Mein vater, ich liebe dich, "ujar Rafa sambil mencium tangan ayahnya.
"Ini gadis cantik, bukannya salam malah sok pakai bahasa Jerman segala, "tukas Cakra geli.
"Hi hi, maaf, Yah, "Rafa tersipu-sipu, "Asalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
"Sudah lama, Yah?"
"Baru saja. Bagaimana kursus hari ini? Lancar?"
"Alhamdulillah, Yah, lancar."
"Kelihatannya kamu suka bahasa Jerman, ya. Buktinya langsung kamu praktikkan."
"Sekalian latihan, Yah, "Rafa mengiringi langkah ayahnya yang panjang dan lebar, "Biarpun salah, yang penting pede."
Cakra tersenyum simpul.
"Kita langsung pulang, Yah?"
"Memangnya kamu mau mampir ke mana dulu?"
"Antarkan Rafa cari buku, Yah."
"Baik, tapi Ayah telepon Ibu dulu, "jawab Cakra mengambil handphone dari saku kemejanya.
===============0000==============
Malam itu Lila membuka situs puisinya kembali. Banyak hikmah yang didapatnya setelah pertemuannya dengan Tante Indah dan Nirwana.
Ya, Nirwana ternyata adalah Tante Nira, adik ayahnya. Ia penulis yang cukup terkenal di dunia maya. Tante Nira memang belum pernah menerbitkan sebuah buku tetapi pengetahuannya tentang dunia sastra dan bahasa tidak dapat dianggap remeh. Tante yang masih betah melajang itu masih memusatkan perhatiannya pada dunia pendidikan.
Asalamualaikum, Tante. Ini Lila. Lila sudah baca puisi Tante yang terbaru. Maaf ya, Tante, kenapa puisi Tante lain dari biasanya? Lila sulit menangkap makna yang tersirat di dalamnya, atau Lila yang masih harus banyak belajar?
Netty yang diam-diam masuk kamar dan membaca komentar putrinya sulungnya itu tersenyum. Ia menarik napas lega.
"Lila...."
"Mama, "Lila menoleh.
"Kok sekarang panggil Nirwana, jadi tante?"
Lila tersenyum malu. "Sebenarnya Mama dan Papa sudah tahu kan kalau Nirwana itu Tante NIra?"
"Mama tahu karena Mama pernah melihat profilnya di salah satu blog tapi Papa tidak. Dia hanya tahu Tante Nira suka menulis, tapi tidak tahu kalau adiknya pakai nama samaran Nirwana."
"Jadi Papa tahu dari Mama?"
"Iya."
"Ah, jahat. Lila jadi malu sama Tante Nira."
"Mama cuma ingin mengingatkan sepandai apa pun kita, tetaplah rendah hati. Ingat Nak, di atas langit ada langit. Ini suatu pelajaran untukmu, supaya tidak cepat-cepat menilai diri sudah mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibanding orang lain."
Lila mengangguk-angguk. Ia teringat Tante Indah yang ramah dan Tante Nira yang rendah hati.
******************************
Waktu begitu cepat berlalu. Tanpa terasa telah empat tahun Tantra mengenyam pendidikan di fakultas teknik jurusan arsitek, sementara Rafa memilih kuliah di fakultas sastra jurusan sastra Indonesia, dia berniat akan mengambil spesialis linguistik. Keduanya kuliah di universitas yang sama.
Rafa memperhatikan Tantra yang sedang memilih drawing pen. Setelah penolakan Nada yang berkali-kali itu akhirnya kakaknya memutuskan untuk tidak memikirkan cinta lagi. Sebenarnya cukup banyak gadis-gadis bahkan bunga-bunga kampus yang tertarik dan menaruh hati, tetapi ditampiknya dengan halus.
"Asalamualaikum, maaf...."
"Waalaikumussalam, "Rafa menoleh. Ia tercengang melihat seseorang yang berdiri di hadapannya, "Mbak Nada...?"
"Ya, saya Nada, "ujar wanita itu tersenyum, "Dik Rafa, kan?"
"I...iya."
"Sendiri saja, Dik?"
"Sama Mas Tantra."
Nada berpaling ke arah yang ditunjuk Rafa. Tepat saat itu Tantra pun sedang berjalan ke arah mereka.
Pemuda itu terpaku melihat gadis yang sudah lama tidak dilihatnya.
"Nada?" ujarnya.
Nada tersenyum. Tantra tampak begitu dewasa.
"Mas Tantra masih ingat Mbak Nada kan?" tanya Rafa setelah kakaknya mendekat.
Tantra tidak menjawab, ia hanya tersenyum.
"Kamu sudah lullus, Dik?"
"InsyaAllah, minggu depan ujian skripsi, tapi aku sudah kerja."
"Oh ya, di mana?"
Rafa tahu diri. Ia minta izin untuk mencari kamus linguistik.
"Kau sendiri bagaimana, Mbak?"
"Maksudmu?"
"Mana suami dan anak-anakmu?"
Nada menggeleng, "Aku belum menikah."
"Kenapa?"
Nada menundukkan kepala. Karena sebenarnya aku menunggu, katanya, tetapi di dalam hati.
"Kalau kau mau, aku akan menikahimu."
Nada mengangkat wajahnya menatap pemuda di hadapannya tak percaya.
"Tapi...."
"Tapi apa, Mbak?"
"Kau tidak malu? Kamu lihat aku, aku sudah semakin tua."
Tantra tersenyum. "Semua orang akan bertambah tua, "tukasnya, "Kalau kau setuju, Minggu sore besok aku akan datang bersama orangtuaku untuk menyampaikan lamaran."
Nada mengangguk dan itu sudah lebih dari cukup bagi Tantra.
"Nomor telepon rumah, supaya aku bisa menghubungi?"
"Masih sama seperti dulu."
"Ehm...ehm...."
Tantra dan Nada menoleh. Keduanya melihat Rafa yang tersenyum dengan melipat tangannya di dada.
Bertiga berpandang dan tertawa.
Tamat