Senin, 18 Mei 2009

Kemenakanku Tersayang (2)

Sejak kelas I SMU, aku menjadi pengasuh adik misanku (putra paman, adik ibuku). Tidak lama hanya sampai dia naik ke kelas II SD. Meskipun demikian, orang tuanya selalu memberikan laporan hasil belajar adik misanku itu kepadaku.
Bulan Maret lalu, tepat hari ulang tahunnya, ia diwisuda. Ah, betapa bangganya aku. Bagaimana tidak bangga, aku melihat sejak bayi, melihat pertumbuhannya dari waktu ke waktu (saat itu rumah paman hanya dua ratus meter dari rumah kami), dan aku pun melihat kesuksesannya. Dia pun tidak pernah melupakan bahwa aku pernah mengasuhnya. Setiap aku datang berkunjung ke rumahnya, dia selalu melayaniku layaknya tamu agung. Bahkan bila ia membeli sesuatu, dia membaginya denganku.
Tian, itulah namanya.
Jadi mengasuh Eki, bukan tugas baru bagiku. Tetapi sejak mendapat tugas mengasuh anak itulah, aku berusaha untuk tidak menjadi anak durhaka kepada orang tua, terutama ibuku. Bagiku mengasuh, berarti menjaga, merawat, dan mendidik.
Hm, berlagak benar aku. Seperti sudah pengalaman saja.

***

Eki benar-benar kutu buku walaupun setahun terakhir ini, ia mempunyai hobi baru (mungkin bakat yang menurun dari ayahnya). Ia senang menggambar kartun Jepang (kalau tidak salah disebut manga). Dinding kamarnya bukan penuh dengan poster selebritis tetapi hasil karyanya yang berupa gambar manga. Tentang hobi membacanya, dia tetap kutu buku.

***
"Dik, Eki senang kalau disuruh mengantar kamu sampai ke depan jalan raya, "ujar kakakku suatu hari saat aku hendak pulang ke kosan.
Aku mengerti sebenarnya Kakak mengharapkan bahwa tidak ada salahnya aku meminta tolong kemenakanku itu. Ia sudah bisa mengendarai sepeda motor (tentu saja belum bisa ke jalan raya sebab belum punya SIM). Bukan apa-apa kalau aku tidak meminta tolong Eki, toh aku bisa melakukannya sendiri. Lagipula aku tidak serumah lagi dengan kakakku.

***

Sampai usia enam tahun, Eki hanya mengenal dua tante (dari keluarga ayahnya), yaitu aku dan adik misanku. Jadi dia memanggil bibi atau tante-tantenya yang lain (dari keluarga ayahnya) dengan sebutan yang sama dengan bila ia menyapa adik misanku itu. Hal ini gara-gara ia lebih sering diajak berlibur ke tempat saudara-saudara dari keluarga ibunya.
Menyaksikan pertumbuhan anak adalah sesuatu yang ajaib. Aku telah mengalami hal itu. Memang kita dapat melihat anak-anak tetangga sejak mereka bayi sampai remaja, tetapi alangkah berbeda rasanya jika mereka adalah keluarga kita sendiri, bagian dari diri kita.

***

Eki kini telah remaja. Suatu tahapan kehidupan yang rawan untuk dilalui. Apabila seseorang selamat pada tahapan ini maka hampir dapat dipastikan bahwa hidupnya akan sukses. Sebaliknya seseorang yang pernah tergelincir sekali saja, kesalahan itu akan menjadi noda dalam hidupnya kecuali jika ia mampu menghapus jejak itu sehingga tidak ada lagi yang dapat mengingat apalagi melihatnya.

Aku selalu berpikir mampukah Eki melalui masa-masa sulit itu? Beberapa bulan yang lalu kakakku bercerita bahwa ia pulang jam sepuluh malam. Ibunya yang cemas langsung menuduhnya minum minuman keras. Eki membantah dan menjelaskan bahwa ia memgerjakan tugas di rumah teman dengan fasilitas internet. Kakakku pun mencoba mencium hawa mulutnya dan barulah yakin bahwa putra sulung mereka tidak berbohong.

Aku tidak heran melihat kakakku dan istrinya begitu keras dalam mendidik. Kakak iparku selalu melarang anak-anaknya bergaul dengan anak-anak pemalas atau tidak memiliki sopan santun. Zaman sekarang begitu mudahnya orang tua bertekuk lutut di hadapan anak. Anak menjadi raja sedangkan orang tuanya menjadi budak yang harus memenuhi semua keinginannya.

"Bu, anak saya tidak mau sekolah, "pernah orang tua murid melaporkan perihal anaknya kepadaku.
"Apa sebabnya, Bu?"
"Ada keinginannya yang belum kami penuhi. Dia bukan cuma mogok sekolah, tapi mogok makan dan kalau saya tanya diam saja."
"Mogok makan, benar-benar puasa ya, Bu?"
"Dia mogok makan nasi, Bu. Jadi masak mi sendiri."
"Oh, berarti masih mau makan, "tukasku. "Jangan cemas, Bu."


Begitulah. Mereka mengetahui kelemahan orang tuanya dan membuat keduanya tidak berdaya.
Bahkan saat ada muridku yang pergi dari rumah karena keinginannya tidak dituruti, setelah mengetahui tempat tinggal anaknya yang baru, sang Ibu memohon-mohon supaya anaknya mau pulang. Betapa geramnya aku kepada anak yang tidak tahu diri itu dan heran juga melihat orang tua yang tidak berdaya itu.

"Saya yakin putra Ibu menginap di rumah orang yang dikenalnya, "kataku ketika ibunya menceritakan ulah putranya itu.
"Tapi saya sudah menghubungi semua saudara, dia tidak ada di sana, Bu. SMS yang saya kirim juga tidak dibalas."
"Itu karena dia masih kecewa. Tapi saya yakin dia membaca SMS Ibu."

Aku pikir-pikir sok menasihati juga aku ini. Tapi bagaimana lagi, itu kan memang tugasku sebagai guru dan walikelas.













Tidak ada komentar: